BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehamilan merupakan episode dramatis
terhadap kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang
wanita yang pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum wanita menganggap bahwa
kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian wanita
mengganggap sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan kehidupan
selanjutnya. Perubahan fisik dan emisional yang kompleks, memerlukan adaptasi
terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik
antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosial
cultural dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri dapat merupakan pencetus
berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat
gangguan jiwa yang berat.
Masa nifas adalah suatu masa dimana
tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikologis terhadap proses melahirkan yang
lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain itu pengertian masa nifas adalah masa
mulainya persalinan sampai pulihnya alat-alat dan anggota badan yang
berhubungan dengan kehamilan/persalinan (Ahmad Ramli. 1989).
Dari dua pengertian di atas kelompok
meyimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga
pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta psikososial yang
berhubungan dengan kehamilan/persalinan selama 6 minggu. Dalam proses adaptasi pada masa
postpartum terdapat tiga metode yang meliputi ”immediate puerperineum” yaitu 24
jam pertama setelah melahirkan, ”early puerperineum” yaitu setelah 24 jam
hingga 1 minggu, dan ”late puerperineum” yaitu setelah satu minggu sampai 6
minggu postpartum.
Perubahan psikologi pascapartum pada
seorang ibu yang baru melahirkan terbagi dalam tiga fase:
1. taking in dimana pada fase ini ibu ingin
merawat dirinya sendiri, banyak bertanya dan bercerita tentang pengalamannya
selama persalinan yang berlangsung 1 sampai 2 hari.
2. taking hold dimana pada fase ini ibu mulai fokus
dengan bayinya yang berlangsung 4 sampai 5 minggu.
3. fase letting-go dimana ibu mempunyai persepsi bahwa
bayinya adalah perluasan dari dirinya, mulai fokus kembali pada pasangannya dan
kembali bekerja mengurus hal-hal lain.
Perubahan
tersebut merupakan perubahan psikologi yang normal terjadi pada seorang ibu
yang baru melahirkan. Namun, kadang-kadang terjadi perubahan psikologi yang
abnormal. Gangguan psikologi pascapartum dibagi menjadi tiga kategori yaitu
postpartum blues atau kesedihan pascapartum, depresi pascapartum nonpsikosis,
dan psikosis pascapartum. Pada makalah ini kami akan membahas secara khusus
mengenai post partum blues. Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam
menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu atau
bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun segi
psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi
sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami
gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang oleh
para peneliti dan klinisi disebut post-partum blues.
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
v Untuk mengetahui dan memahami lebih
dalam lagi yang dimaksud dengan gangguan psikologis pada ibu masa postpartum
khusunya post partum Blues.
2. Tujuan Khusus
v Untuk mengetahui dan memahami
definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Gangguan psikologis ibu postpartum.
v Meningkatkan kemampuan dalam
penulisan asuhan keperawatan.
v Memenuhi salah satu tugas
perkuliahan Keperawatan Maternitas.
BAB II
KONSEP DASAR
A.
Pengertian
Post partum blues adalah keadaan di mana seorang ibu mengalami
perasaan tidak nyaman (kesedihan atau kemurungan)/gangguan suasana hati setelah
persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan
dirinya sendiri. Ketika
plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan hormon yang
melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh Ibu, yang dapat
mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosional Ibu.
Post-partum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage
pada tahun 1875 telah menulis referensi di literature kedokteran mengenai suatu
keadaan disforia ringan pasca-salin yang disebut sebagai ‘milk fever’ karena gejala
disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues (PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan.
disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues (PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan.
B.
Etiologi
Etiologi
atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum
diketahui. Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya
postpartum blues, antara lain:
1.
Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar
estrogen, progesteron, prolaktin dan estradiol. Penurunan kadar estrogen
setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan emosional pascapartum
karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase yaitu
suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi noradrenalin dan serotonin yang
berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
2.
Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
3.
Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
4.
Latar belakang psikososial ibu, seperti; tingkat
pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat
gangguan kejiwaan sebelumnya, sosial ekonomi serta keadekuatan dukungan sosial
dari lingkungannya (suami, keluarga dan teman). Apakah suami menginginkan juga
kehamilan ini, apakah suami, keluarga, dan teman memberi dukungan moril
(misalnya dengan membantu pekerjaan rumah tangga, atau berperan sebagai tempat
ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya atau timbul
permasalahan, misalnya suami yang tidak membantu, tidak mau mengerti perasaan
istri maupun persoalan lainnya dengan suami, problem dengan orang tua dan
mertua, problem dengan si sulung.
5.
Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika
mereka terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami
peristiwa kehidupan yang menakan. Ibu mengalami ketakutan pada
bayinya tentang adanya ketidaksempurnaan pada bayinya.
Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985)
menunjukkan bahwa depresi tersebut membawa
kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge
Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat
obstetrical) dalam pertolongan melahirkan dapat memicu depresi postpartum blues
ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar,, episiotomy dan sebagainya.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
sebagai factor pemicu.
C.
Manifestasi Klinis
Gejala-gejala
postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang ibu. Gejala
tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau ke-6 hari setelah melahirkan.
Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya Ibu sering tiba-tiba menangis
karena merasa tidak bahagia, penakut, tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit
kepala sering berganti mood, mudah tersinggung (iritabilitas), merasa terlalu
sensitif dan cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang
semula sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat
keputusan, merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja
di lahirkan , insomnia yang berlebihan. Gejala-gejala itu mulai muncul setelah
persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam
sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau
beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression.
D.
Patofisilologi
Sejarah
kehamilan adalah factor utama yang bisa menimbulkan terjadinya baby blues ini
atau biasa dikenal dengan post partum blues. Riwayat seperti kehamilan yang
tidak di inginkan, adanya problem dengan orang tua atau mertua, kurangnya biaya
untuk persalinan, kurangnya perhatin yang diberikan pada si ibu dan factor ari etiologi serta factor psikolog
lainnya merupakan penyebab utama.
Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan
emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim
monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi
nonadrenalin dan serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian
depresi. Karena proses ini pula seorang
ibu setelah melahirkan mengalami perubahan pada tingkat emosional.
Biasanya
ibu akan mengalami kenaikan dalam resons psikologisnya, sensitive dan lebih
membutuhkan perhatian, kasih sayang dari orang di sekitarnya yang di anggap
penting baginya. Keabnormalitasan pada post partum blues ini mengakibatkan rasa
tidak nyaman, kecemasan yang mendalam pada diri ibu, tek jarang terkadang
seorang ibu menangis tanpa sebab yang pasti. Khawatir pada bayinya dengan
kekhawatiran yang berlebihan
E.
Pemeriksaan Diagnostik
Sampai
saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara langsung post
partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom yang tampak
dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi post partum blues bila memenuhi
kriteria gejala yang ada. Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu
yang mengalami kelelahan luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang
mengalami post partum blues mempunyai jumlah kadar tyroid yang sangat rendah.
Skrining
untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca
salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa
kuesioner dengan sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale
(EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur
intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin.
Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,
perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum
blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap
pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan
harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca
salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat
diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai skoring
lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi
positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji
validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan
Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila
hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.
F.
Penatalaksanaan
Post-partum
blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali terabaikan dan tidak
ditangani dengan baik. Banyak ibu yang ‘berjuang’ sendiri dalam beberapa saat
setelah melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah namun mereka
sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka
pergi mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya Untuk minta pertolongan,
seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur lebih banyak,
tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai
merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.
Penanganan
gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan
gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami post-partum
blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan
dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan
psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi.
Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka
dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan
dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira mendapat pertolongan
yang praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu
untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin
menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang
keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat diberikan pertolongan
dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang berpengalaman
dalam bidang tersebut.
Para ahli
obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk
kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan
penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli
psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para
petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya
dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan
dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-masa
tersebut serta penanganannya.
Post-partum
blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas
panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan
tulus dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi
bayi, membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel,
bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Dalam penanganan para ibu yang
mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik.
Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman
secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada
saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan
penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis
secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga
dan juga teman dekatnya.
G.
Pencegahan
Post partum blues dapat dicegah
dengan cara :
1. Anjurkan ibu untuk merawat dirinya,
yakinkan pada suami atau keluarga untuk selalu memperhatikan si ibu
2. Menu makanan yang seimbang
3. Olah raga secara teratur
4. Mintalah bantuan pada keluarga atau
suami untuk merawat ibu dan bayinya.
5. Rencanakan acara keluar bersama bayi
berdua dengan suami
6. Rekreasi
H.
Asuhan Keperawatan Post Partum Blues
1.
Pengkajian
Pengkajian
pada pasien post partum blues menurut Bobak ( 2004 ) dapat dilakukan pada
pasien dalam beradaptasi menjadi orang tua baru. Pengkajiannya meliputi ;
a. Identitas lengkap klien meliputi :
Data diri klien : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record.
b. Dampak psikologis klien, meliputi :
·
Perasaan ibu setelah melahirkan anaknya.
·
Pengalaman dalam persalinan sangat berbeda dari yang
diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi epidural, kelahiran sesar), orang tua
bisa merasa kecewa karena tidak bisa mencapai yang telah direncanakan
sebelumnya.
·
konsep diri, citra tubuh, dan seksualitas pada ibu.
·
Apakah anak yang dilahirkan merupakan anak yang di
harapkan??
·
Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan tubuhnya selama
masa nifas dapat mempengaruhi perilaku dan adaptasinya dalam menjadi orang tua.
·
Sering timbul rasa khawatiran bagi orang tua baru.
·
Ibu mengalami ketergantungan pada alcohol dan rokok.
·
Kurangnya perhatian dan kasih saying dari orang yang di
anggap berarti.
·
Adanya permasalahan dengan pembiayaan saat persalinan.
·
Kurangnya kasih sayang yang di rasakan ibu saat masih usia
anak-anak.
·
Adanya keinginan bunuh diri pada masa sebelum kehamilan.
Sedangkan Pengkajian Dasar data
klien menurut Marilynn E. Doenges ( 2001 ) Adalah :
a.
Aktivitas / istirahat Insomnia mungkin teramati.
b.
Sirkulasi : Episode diaforetik lebih sering terjadi pada
malam hari.
c.
Integritas Ego : Peka rangsang, takut/menangis (" Post
partum blues " sering terlihat kira-kira 3 hari setelah kelahiran).
d.
Eliminasis : Diuresis diantara hari ke-2 dan ke-5.
e.
Makanan/cairan : Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan
mungkin pada hari – hari ke-3.
f.
Nyeri/ketidaknyamanan : Nyeri tekan payudara/pembesaran
dapat terjadi diantara hari ke-3 sampai ke-5 pascapartum.
2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan pada pasien postpartum blues diantaranya Adalah :
a. Nyeri akut berhubungan dengan trauma
mekanis.
b. Resiko tinggi ketidakefektifan
koping individu berkaitan perubahan emosional yang tidak stabil pada ibu.
c. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan Respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan setelah melahirkan.
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan setelah melahirkan.
d. Risiko tinggi terhadap perubahan
peran menjadi orang tua berhubungan dengan pengaruh komplikasi fisik dan
emosional.
e. Kurang pengetahuan mengenai
perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber – sumber.
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber – sumber.
3.
Intervensi Keperawatan
a. Dx I : intervensi :
1. Tentukan adanya, lokasi, dan sifat
ketidaknyamanan.
2. Inspeksi perbaikan perineum dan
epiostomi.
3. Berikan kompres es pada perineum,
khususnya selama 24 jam pertama setelah kelahiran.
4. Berikan kompres panas lembab
(misalnya ; rendam duduk / bak mandi)
5. Anjurkan duduk dengan otot gluteal
terkontraksi diatas perbaikan episiotomy.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat
analgesik 30-60 menit sebelum menyusui.
b. Dx II : intervensi :
1. Ciptakan lingkungan yang nyaman
untuk ibu post partum
2. Hindarkan factor yang dapat
menimbulkan emosi.
3. Berikan pengertian pada keluarga
tentang perubahan yang di alami oleh klien.
4. Berikan pengertian pada keluarga
klien untuk lebih bersabar.
5. Ajarkan teknik relaksasi pengalihan
perhatian jika klien merasakan kejenuhan.
c. Dx III : Intervensi
1. Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan
untuk istirahat.
2. Kaji factor-faktor, bila ada yang
mempengaruhi istirahat.
3. Berikan informasi tentang kebutuhan
untuk tidur/istirahat setelah kembali ke rumah.
4. Berikan informasi tentang efek-efek
kelelahan dan ansietas pada suplai ASI.
5. Kaji lingkungan rumah, bantuan
dirumah, dan adanya sibling dan anggota keluarga lain.
d. Dx IV : intervensi :
1. Kaji kekuatan, kelemahan, usia,
status perkawinan, ketersediaan sumber pendukung dan latar belakang budaya.
2. Perhatikan respons klien/pasangan
terhadap kelahiran dan peran menjadi orang tua.
3. Evaluasi sifat dari menjadi orangtua
secara emosi dan fisik yang pernah dialami klien/pengalaman selama kanak-kanak.
4. Tinjau ulang catatan intrapartum
terhadap lamanya persalinan, adanya komplikasi, dan peran pasangan pada
persalinan.
5. Evaluasi status fisik masa lalu dan
saat ini dan kejadian komplikasi pranatal, intranatal, atau pascapartum.
6. Evaluasi kondisi bayi ;
komunikasikan dengan staf perawatan sesuai indikasi.
7. Pantau dan dokumentasikan interaksi
klien/pasangan dengan bayi.
8. Anjurkan pasangan/sibling untuk
mengunjungi dan menggendong bayi dan berpartisipasi terhadap aktifitas
perawatan bayi sesuai izin.
9. Kolaborasi dalam merujuk untuk
konseling bila keluarga beresiko tinggi terhadap masalah menjadi orang tua atau
bila ikatan positif diantara klien/pasangan dan bayi tidak terjadi.
e. Dx V : intervensi :
1. Pastikan persepsi klien tentang
persalinan dan kelahiran, lama persalinan, dan tingkat kelelahan klien.
2. Kaji kesiapan klien dan motivasi
untuk belajar.
3. Berikan informasi tentang perawatan
diri, termasuk perawatan perineal dan higiene, perubahan fisiologis.
4. Diskusikan kebutuhan seksualitas dan
rencana untuk kontrasepsi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Postpartum blues yaitu suatu
perasaan bercampur aduk.
2. Penyebab postpartum blues belum
diketahui secara pasti.
3. Penderita postpartum dapat dideteksi
melalui skrinning yaitu dengan kuisioner yang berupa pertanyaan tentang rasa
cemas.
4. Asuhan keperawatan pada pasien
postpartum blues pada dasarnya harus holistik yaitu menyeluruh dari
bio-psiko-sosio-spiritual dan melibatkan orang tua si anak yaitu ayah dan ibu
si anak
B.
Saran
Diharapkan
makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan pelayanan
Keperawatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk para
tim medis agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang
keperawatan sehingga dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health education
dalam perawatan depresi postpartum blues.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak,
Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar: Keperawatan Maternitas edisi-4. Jakarta:
EGC.
Diposting
oleh Agus Sutiono dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Konsep Dasar dan Askep
Postpartum Blues. http://agussutionopathy.blogspot.com/2008/05/bab-i-tinjauan-pustaka-konsep-dasar.html.
diakses tanggal 09 januari 2011.
Diposting
Oleh zietraelmart
dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Ilmu Jiwa Kebidanan.http://zietraelmart.multiply.com/journal/item/8/POST_PARTUMBLUES. diakses tanggal 09 januari 2011.
Marilyn
E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa
I Made, Jakarta : EGC.
No comments:
Post a Comment