BAB
I
PENDAHULUAN
Gangguan
jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit
dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini
dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan area
sosiokultural.
Dalam
konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptive dikonstruksikan sebagai
tahapan mulai adanya factor predisposisi, factor presipitasi dalam bentuk stressor
pencetus, kemampuan penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki,
dan bagaimana mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini
kemudian baru menentukan apakah perilaku individu tersebut adaptif atau
maladaptive.
Banyak
ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap apa yang
dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku terjadi. Perbedaan
pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa.
Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model
perilaku, model eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress –
adaptasi. Masing-masing model memiliki pendekatan unik dalam terapi gangguan
jiwa.
Berbagai
pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi
modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien gangguan yang bervariasi yang
bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya
menjadi perilaku yang adaptif.
BAB
II
PEMBAHASAAN
A.
Pengertian
Terapi
modalitas yaitu suatu terapi yang dilakukan dengan cara melakukan berbagai
pendekatan penanganan pada klien dengan gangguan jiwa. Terapi modalitas adalah
terapi dalam keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki
klien (modal-modality) sebagai titik tolak terapi atau penyembuhan. Dapat juga
didefinisikan terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien dengan
gangguan yang bervariasi yang bertujuan untuk mengubah prilaku klien dengan
gangguan jiwa dengan prilaku maladaptifnya menjadi prilaku yang adaptif.
B.
Jenis
terapi modalitas
Ada beberapa jenis terapi
modalitas, antara lain:
1.
Terapi individual
2.
Terapi lingkungan (milleu
therapy)
3.
Terapi biologis atau terapi
somatic
4.
Terapi kognitif
5.
Terapi keluarga
6.
Terapi kelompok
7.
Terapi perilaku
8.
Terapi bermain
a. Terapi
Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan
pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien.
Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk
mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja
dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur)
sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien
mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan
mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan cara yang
sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi
individual meliputi:
ü Tahapan
orientasi
ü Tahapan
kerja
ü Tahapan
terminasi
Tahapan orientasi dilaksanakan ketika
perawat memulai interaksi dengan klien. Yang pertama harus dilakukan dalam
tahapan ini adalah membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan
saling percaya sangat penting untuk mengawali hubungan agar klien bersedia
mengekspresikan segala masalah yang dihadapi dan mau bekerja sama untuk
mengatasi masalah tersebut sepanjang berhubungan dengan perawat.
Setelah klien mempercayai perawat,
tahapan selanjutnya adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi
latar belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga
penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan kesepakatan
antara perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai dalam
hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Perawat melakukan intervensi keperawatan
setelah klien mempercayai perawat sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja,
di mana klien melakukan eksplorasi diri. Klien mengungkapkan apa yang
dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya memperhatikan konteks cerita klien
akan tetapi harus memperhatikan juga bagaimana perasaan klien saat menceritakan
masalahnya. Dalam fase ini klien dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman
tentang siapa dirinya, apa yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk
berani mengambil risiko berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi
perilaku adaptif.
Setelah kedua fihak (klien dan perawat)
menyepakati bahwa masalah yang mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah
mereda dan lebih terkendali maka perawat dapat melakukan terminasi dengan
klien. Pertimbangan lain untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah
merasa lebih baik, terjadi peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan, serta
yang lebih penting adalah tujuan terapi telah tercapai.
b. Terapi
Lingkungan
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar
terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi
perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti
terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah
perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan
interaksi.
Dalam terapi lingkungan perawat harus memberikan kesempatan,
dukungan, pengertian agar klien dapat berkembang menjadi pribadi yang
bertanggung jawab. Klien juga dipaparkan pada peraturan-peraturan yang harus
ditaati, harapan lingkungan, tekanan peer, dan belajar bagaimana berinteraksi
dengan orang lain. Perawat juga mendorong komunikasi dan pembuatan keputusan,
meningkatkan harga diri, belajar keterampilan dan perilaku yang baru.
Bahwa lingkungan
rumah sakit adalah lingkungan sementara di mana klien akan kembali ke rumah,
maka tujuan dari terapi lingkungan ini adalah memampukan klien dapat hidup di
luar lembaga yang diciptakan melalui belajar kompetensi yang diperlukan untuk
beralih dari lingkungan rumah sakit ke lingkungan rumah tinggalnya.
c. Terapi
Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model
medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan
model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan
pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis.
Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala
dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal dipercaya akibat adanya perubahan
biokimiawi tertentu.
Ada
beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi: pemberian obat (medikasi
psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro convulsive therapy (ECT), foto
terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang sampai sekarang tetap diterapkan
dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi medikasi psikoaktif dan ECT.
d. Terapi
Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap
yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu
mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola
berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut.
Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan
berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah
membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan
kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif
Ada tiga tujuan terapi kognitif meliputi:
a.
Mengembangkan pola berfikir
yang rasional. Mengubah pola berfikir tak rasional yang sering mengakibatkan
gangguan perilaku menjadi pola berfikir rasional berdasarkan fakta dan
informasi yang actual
b.
Membiasakan diri selalu
menggunakan pengetesan realita dalam
menanggapi setiap stimulus sehingga terhindar dari distorsi pikiran.
c.
Membentuk perilaku dengan
pesan internal. Perilaku dimodifikasi dengan terlebih dahulu mengubah pola
berfikir.
Bentuk intervensi dalam terapi kognitif
meliputi mengajarkan untuk mensubstitusi pikiran klien, belajar penyelesaian
masalah dan memodifikasi percakapan diri negatif.
e. Terapi
Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota
keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga
adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama
terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa
melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan
diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap
munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terleih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa
kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari
solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau
mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1
(perjanjian), fase 2 (kerja), fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan
klien mengembangkan hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi,
dan tujuan terapi ditetapkan bersama.
Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan
dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi di antara
anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing individual anggota
keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturan-peraturan yang
selama ini ada.
Terapi
keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses
yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi
isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang
berkesinambungan.
f. Terapi
Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok.
Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur.
Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan
hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Tahapannya meliputi:
tahap permulaan, fase kerja, diakhiri tahap terminasi.
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa
aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai
model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok, meredakan ansietas yang
biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan memfasilitasi interaksi di
antara anggota kelompok. Fase permulaan dilanjutkan dengan fase kerja.
Di fase kerja terapis membantu klien untuk mengeksplorasi isu
dengan berfokus pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar
masing-masing anggota kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di fase
permulaan untuk mencapai tujuan terapi. Fase kerja adalah inti dari terapi
kelompok di mana klien bersama kelompoknya melakukan kegiatan untuk mencapai
target perubahan perilaku dengan saling mendukung di antara satu sama lain
anggota kelompok. Setelah target tercapai sesuai tujuan yang telah ditetapkan
maka diakhiri dengan fase terminasi.
Fase
terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan dilibatkan dalam
hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat adalah mendorong anggota
kelompok untuk saling memberi umpan balik, dukungan, serta bertoleransi
terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir dari terapi kelompok adalah mendorong
agar anggota kelompok berani dan mampu menyelesaikan masalah yang mungkin
terjadi di masa mendatang.
g. Terapi
Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku
timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat
dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang
digunakan dalam terapi jenis ini adalah:
1.
Role model
2.
Kondisioning operan
3.
Desensitisasi sistematis
4.
Pengendalian diri
5.
Terapi aversi atau releks
kondisi
Teknik role model adalah strategi
mengubah perilaku dengan memberi contoh perilaku adaptif untuk ditiru klien.
Dengan melihat contoh klien mampelajari melalui praktek dan meniru perilaku
tersebut. Teknik ini biasanya dikombinasikan dengan teknik kondisioning operan
dan desensitisasi.
Kondisioning operan disebut juga
penguatan positif di mana terapis memberi penghargaan kepada klien terhadap
perilaku yang positif yang telah ditampilkan oleh klien. Dengan penghargaan dan
umpan balik positif yang didapat maka perilaku tersebut akan dipertahankan atau
ditingkatkan oleh klien.
Misalnya seorang klien begitu bangun
tidur langsung ke kamar mandi untuk mandi, perawat memberikan pujian terhadap
perilaku tersebut. Besok pagi klien akan mengulang perilaku segera mandi
setelah bangun tidur karena mendapat umpan balik berupa pujian dari perawat.
Pujian dalam hal ini adalah reward atau penghargaan bagi perilaku positif klien
berupa segera mandi setelah bangun.
h. Terapi
Bermain
Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak
akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan
ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan,
status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk
mengatasi masalah anak tersebut.
Prinsip terapi bermain meliputi membina hubungan yang hangat dengan
anak, merefleksikan perasaan anak yang terpancar melalui permainan, mempercayai
bahwa anak dapat menyelesaikan masalahnya, dan kemudian menginterpretasikan
perilaku anak tersebut.
Terapi
bermain diindikasikan untuk anak yang mengalami depresi, anak yang mengalami
ansietas, atau sebagai korban penganiayaan (abuse). Bahkan juga terpai bermain
ini dianjurkan untuk klien dewasa yang mengalami stress pasca trauma, gangguan
identitas disosiatif dan klien yang mengalami penganiayaan
C.
Karakteristik
Lingkungan
harus bersifat terapeutik yaitu: mendorong terjadi proses penyembuhan,
lingkungan tersebut harus memiliki karakteristik sbb:
a.
Pasien merasa akrab dengan
lingkungan yang diharapkannya.
b.
Pasien merasa senang
/nyaman.dan tidak merawsa takut dengan lingkungannya.
c.
Kebutuhan-kebutuhan fisik
pasien mudah dipenuhi
d.
Lingkungan rumah sakit/
bangsal yang bersih
e.
Lingkungan menciptakan rasa
aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls pasien.
f.
Personal dari lingkungan
rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu yang memiliki hak,
kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien sebagai respon adanya
stress.
g.
Lingkungan yang dapat
mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan dan memberikan kesempatan kepada
pasien untuk menentukan pilihannya dan membentuk perilaku yang baru.
D.
Peran
Perawat dalam Terapi Lingkungan
1.
Pencipta lingkungan yang aman
dan nyaman
·
Perawat menciptakan dan
mempertahankan iklim/suasana yang akrab, menyenangkan, saling menghargai di
antara sesame perawat, petugas kesehatan, dan pasien.
·
Perawat yang menciptakan
suasana yang aman dari benda-benda atau keadaan-keadaan yang menimbulkan
terjadinya kecelakaan/luka terhadap pasien atau perawat.
·
Menciptakan suasana yang
nyaman.
·
Pasien diminta berpartisipasi
melakukan kegiatan bagi dirinya sendiri dan orang lain seperti yang biasa
dilakukan di rumahnya. Misalnya membereskan kamar.
2.
Penyelenggara proses
sosialisasi
·
Membantu pasien belajar berinteraksi
dengan orang lain, mempercayai orang lain, sehingga meningkatkan harga diri dan
berguna bagi orang lain.
·
Mendorong pasien untuk
berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan perilakunya secara terbuka sesuai
dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
·
Melalui sosialisasi pasien
belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan yang baru, dan dapat
dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya pada waktu yang luang
3.
Sebagai teknis perawatan
Fungsi
perawat adalah memberikan/memenuhi kebutuhan dari pasien, memberikan
obat-obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan perilaku-perilaku
yang menonjol/menyimpang serta mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul
dalam terapi tersebut.
4.
Sebagai leader atau
pengelola.
Perawat harus mampu mengelola
sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang mendukung penyembuhan dan
memberikan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis kepada pasien.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sampai
dengan saat ini tidak ada jenis terapi modalitas yang dapat mengatasi semua
masalah gangguan jiwa klien. Kombinasi terapi modalitas merupakan keharusan.
Untuk itu perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengkombinasikan
berbagai terapi modalitas sehingga perubahan perilaku yang dicapai akan maksimal.
Untuk
mencapai langkah ini tentu dituntut semakin maningkatnya kemampuan perawat
dalam melaksanakan berbagai pendekatan/strategi terapi modalitas ini. Belajar
berkelanjutan karenanya menjadi hal yang wajib dilakukan setiap perawat jiwa.
B.
Saran
Perawat
jiwa yang ada di rumah sakit (rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, panti
kesehatan jiwa, yayasan yang merawat pasien gangguan jiwa), pengajar
keperawatan jiwa di sekolah keperawatan, perawat jiwa yang ada di struktur
departemen kesehatan dan dinas kesehatan diharapkan bersatu padu untuk
menyuarakan kesehatan jiwa pada setiap kesempatan mulai dari sekarang pada
setiap orang yang ditemui. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa advokasi dan
action.
DAFTAR
PUSTAKA
Guze,
B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (1990). The Handbook of Psychiatry. California: Year Book Medical Publishers
Kaplan,
H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (1996). Synopsis of Psychiatry. New York: Williams and Wilkins
Stuart,
G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing.
(Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc.
No comments:
Post a Comment