LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH
A. Masalah Utama
Harga Diri Rendah
B. Proses Terjadinya Masalah
1.
pengertian
Konsep
diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui
individu dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (stuart
dan sundeen 1991). Menurut soenaryo dalam psikollogi keperawatan (2004)
mengatakan bahwa konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya sebagai
utuh menyangkut fisik, emosi, intelektual, social dan spiritual.
Komponen
konsep diri menuurut stuart dan sundeen (1998) :
1. Citra
tubuh, adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dengan tidak disadari
terhadap tubuhnya.
2. Ideal
diri, adalah persepsi individu tentang bagaimana dia harus berperilaku
berdasarkan standar apresiasi, tujjuan atau nilai-nilai personal tertentu.
3. Harga
diri, adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa sebabnya baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
4. Penampilan,
adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan
dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial.
5. Identitas
personal, pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu.
Gangguan
harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negative terhadap diri
sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan (budi ana keliat, 2009). Gangguan harga diri rendah dapat terjadi
secara :
Ø Situasional,
yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus operasi, kecelakan, dicerai
suami, utus sekolah, putus hubungan kerja dll. Pada klien yang dirawat dapat
terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang diperhatikan : pemeriksaan
fisik sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pemasangan kateter,
pemasangan perianal, dll), harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang
tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak
menghargai.
Ø Kronik,
yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama.
2. Tanda
dan gejala
-
Apatis, ekspresi sedih,
afek tumpul
-
Menghindar dari orang
lain (menyendiri)
-
Mengkritik diri sendiri
-
Berpakain tidak rapi
-
Selera makan berkurang
-
Berbicara lambat dengan
nada suara lemah
-
Komunikasi kurang/tidak
ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat
-
Tidak ada kontak mata,
klien sering menunduk
-
Berdiam diri di
kamar/klien kurang mobilitas
-
Menolak berhubungan dengan
orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
-
Tidak melakukan
kegiatan sehari-hari
-
Posisi janin tidur
3. Rentang
respon
Respon maladaptif Respon adaptif
Konsep
diri positif Harga
diri rendah Difusi identitas depersonalisasi
Akuatualisasi
diri
4. Faktor
predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya
harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan
berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
5. Faktor
prespitasi
Faktor prespitasi terjadinya harga
diri rendah adalaj biasanya adalah kehilangan tubuh, perubahan penampilan atau
produktifitas menurun.
Selain itu faktor prespitasi dapat pula
berupa :
1) Ketegangan
peran
Stres yang berhubungan dengan
frustasi yang dialami dalam peran posisi.
2) Konflik
peran
Ketidaksesuaian peran denga napa
yang diinginkan.
3) Peran
yang tidak jelas
Kurangnya pengetahuan individu
tentang peran
4) Peran
yang berlebihan
Menampilkan seperangkat peran yang
kompleks
5) Perkembangan
transisi
Perubahan norma dengan nilai yang
tidak sesuai dengan diri
6) Situasi
transisi peran
Bertambah atau berkurangnya orang
penting dalam kehidupan individu
7) Transisi
peran sehat-sakit
Kehilangan bagian tubuh, perubahan
ukuran, fungsi, penampilan, prosedur pengobatan dan perawatan
6. Mekanisme
koping harga diri rendah
Ø Aktivias
lari dari krisis identitas : music rock, berlatih fisik berat.
Ø Aktivitas
mengganti identitas sementara : kegiatan sosial, agama, politik.
Ø Aktivitas
yang memperkuat rasa diri : kompetisi olahrag, pencapaian akademik, kontes
popularitas.
Ø Membuat
identitas tak bermakna : drug abuse
Sumber
koping :
Ø Aktivitas
luar rumah dan olahraga
Ø Hobi
dan kerajinan tangan
Ø Aktivitas
seni
Ø Kesehatan
dan asuhan mandiri
Ø Pendidikan
dan pelatihan
Ø Pekerjaan
Ø Bakat
khusus
Ø Kepandaian
Ø Imajinasi
dan kreativitas
Ø Hubungan
interpersonal
C. Pohon
masalah harga diri rendah
Resiko perilaku kekerasan
Perubahan persepsi sensori :
halusianasi
Isolasi sosial : menarik diri
Core problem Gangguan konsep diri : harga
diri rendah
Koping individu tidak efektif
D. Masalah
keperawatan yang mungkin muncul
1. Harga
diri rendah
2. Koping
individu tidak efektif
3. Isolasi
sosial
4. Perubahan
persepsi sensori : halusinasi
5. Resiko
perilaku kekerasan
E. Data
yang perlu dikaji
Masalah
keperawatan |
Data yang perlu
dikaji |
|
Data subjektif |
Data objektif |
|
Harga diri rendah |
1.Mengungkapkan
bahwa dirinya merasa tidak berguna 2.Mengungkapkan
bahwa dirinya merasa tidak mampu 3.Mengungkapkan
dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting) |
1.
Mengkritik diri sendiri 2.
Perasaan tidak mampu 3.
Pandangan hidup pesimis 4.
Tidak menerima pujian 5.
Penurunan produktivitas 6.
Penolakan terhadap kemampuan diri 7.
Kurang perhatain perawatan diri 8.
Berpakaian tidak rapi 9.
Berkurang selera makan 10.Tidak berani
menatap lawan bicara 11. lebih banyak menunduk 12. bicara
lambat dengan nada suara |
F. Diagnosa
keperawatan
harga diri rendah
G. rencana
tindakan keperawatan
Diagnosa keperawatan |
perencanaan |
||
tujuan |
Kriteria
evaluasi |
intervensi |
|
Harga diri rendah |
Tujuan umum : klien
memiliki diri yg positif Tujuan khusus : 1.klien
dapat membuna hubungan saling percaya dengan perawat |
1. setelah
interaksi klien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa
senang, ada kontak mata, mau menjabat tangan, mau menyebut nama, mau menjawab
salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah
yang dihadapi |
1.bina
hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik : - sapa
klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal - perkenalkan
diri dengan sopan - tanyakan
nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien - jelaskan
tujuan pertemuan jujur dan menepati janji - tunjukkan
sikap empati dan menerima apa adanya - beri
perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar klien |
2.klien
dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki |
Setelah interaksi
klien menyebutkan aspek positif dan kemampuan yang aspek positif keluarga aspek positif
lingkungan klien |
2.1 diskusikan
dengan klien tentang : aspek positif yg dimiliki klien, keluarga, lingkungan kemampuan yg dimiliki
klien 2.2
bersama klien buat
daftar tentang : aspek positif klien, keluarga, lingkungan kemampuan yg
dimiliki klien 2.3
beri pujian yg
realistis, hindarkan memberi penilaian negative |
|
3. klien
dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan |
3. setelah
interaksi klien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan |
3.1 diskusikan
dengan klien kemampuan yang dapat dilaksankan 3.2 diskusikan
kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanannya |
|
4.klien
dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yg dimiliki |
4. setelah
interaksi klien membuat rencana kegiatan harian |
4.1 rencanakan
Bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
klien 4.2
tingkatkan kegiatan
sesuai kondisi klien 4.3
beri contoh cara
pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan |
|
5. klien
dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yg dibuat |
5. setelah
interaksi klien melakukan kegiatan sesuai jadwal yg dibuat |
5.1 anjurkan
klien untuk melaksankan kegiatan yang telah direncanakan 5.2 pantau
kegiatan yg dilaksanakan klien 5.3 beri
pujian atas usaha yg dilakukan klien 5.4 diskusikan
kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah pulang |
|
6. klien
dapat memanfaatkan system pendukungnya |
6. setelah
interaksi klien memanfaatkan system pendukung yang ada di keluarga |
6.1 beri
penkes pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah 6.2 bantu
keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat 6.3 bantu
kelurga menyiapkan lingkungan rumah |
Ø strategi
pelaksanaan Tindakan keperawatan
SP 1 (pasien) : mendiskusikan
kemampuan dan aspek yang dimiliki pasien,melatih kemampuan yg dipilih dan
Menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian
SP II (pasien): melatih pasien
melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan pasien
SP I (keluarga) : mendiskusikan masalah
yg dihadapi keluarga dalam menghadapi pasien, memberi promosi kessehatan
tentang HDR, memberi kesempatan keluarga mempraktekkan cara merawat
SP II : melatih keluarga
mempraktekkan cara merawat pasien HDR langsung kepada pasien
SP III : membuat perencanaan pulang
dengan keluarga
DAFTAR
PUSTAKA
Fitria,
Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Lp Dan Sp ) Untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Keliat.
1998. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Nanda.
2011. Panduan Diagnose Keperawatan
Nanda 2009-2011. Jakarta : EGC.
Stuart
Dan Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Ed 5. Jakarta : EGC
Stuart
Dan Sundeen, 2000. Principles And
Practice Of Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Year Book.
Sunaryo.
2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
LAPORAN
PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN
A. masalah
utama
perilaku
kekerasan
B. proses
terjadinya masalah
1. definisi
Kekerasan (violence)
merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan
atau menyakiti orang lain, termasuk kepada hewan atau benda-benda. Ada
perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan
agresi sebagai bentuk
perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan perasaan
dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu
perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa
tindakan menyerang orang lain (assault),
agresivitas terhadap diri sendiri (self
aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs abuse). Untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri
juga merupakan suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Muhith, Abdul,
2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung
perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan. (Dermawan,
Deden,dkk, 2013).
2.
tanda dan gejala
Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan
adanya antara lain:
Data subjektif:
1.
Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam.
2.
Klien mengungkapkan perasaan
tidak berguna
3.
Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4.
Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa
tercekik, dada terasa sekal dan bingung
5.
Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
6.
Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Data objektif;
1.
Muka merah
2.
Mata melotot
3.
Rahang dan bibir mengatup
4.
Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal
5.
Tampak mondar-mandir
6.
Tampak bicara sendiri dan ketakutan
7.
Tampak berbicara dengan suara tinggi
8.
Tekanan darah meningkat
9.
Frekuensi denyut nadi meningkat
10. Nafas pendek (Kartika Sari Wijayaningsih, 2015)
3.
rentanng
respon
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence
(Ermawati Dalami, dkk
2014)
Dalam setiap orang terdapat
kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan agresif/perilaku kekerasan.
a.
Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang
mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan
kelegaan pada individu.
b.
Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak
mampu untuk mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
c.
Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari
kemarahan yang sangat tinggi atau ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat
menimbulkan kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa
marah bisa diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal
(depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif, menggunakan
kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain,
akan memberikan persaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu karena ia
merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat
menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah
dilakukan individu seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari
perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan
menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan
destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan, Deden, 2013).
4. Faktor
Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
a. Faktor biologis
Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan
Naluri).Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap stimulus eksternal,
internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system limbic berperan sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor
psikologis
Frustration Aggression Theory (teori agresif
frustasi) Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan
adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi
yang mendukung
Eksistensial Theory (Teory Eksistensi)Bertingkah
laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan memenuhinya
melalui berperilaku destruktif.
c. Faktor
sosiokultural
Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif dan agresif
Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialitas.
5.
Faktor
Presipitasi
Stressor yang
mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stressor
tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian dan
lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan
rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu
lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan dapat memicu perilaku
kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).
6.
sumber
koping
-
Kesehatan dan energi
-
dukungan spiritual
-
keyakinan positif
-
keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial
-
sumber daya sosial dan material
-
kesejahteraan fisik
7.
Mekanisme
Koping Perilaku Kekerasan
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri
(Stuart dan Sudden, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri
antara lain:
a.
Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya
saat mengalami suatu dorongan, penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue,
meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
b.
Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal
kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya,
berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya
c.
Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia
dapat melupakannya.
d.
Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa
diekspresikan dengan berlebih-lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman-teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e.
Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan,
melampiaskan pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya
yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya, mulai bermain perang-perangan dengan teman-temannya. (Muhith, Abdul,
2015)
C.
Pohon
Masalah
Perilaku Kekerasan Harga diri rendah kronis Regiment terapeutik inefektif Isolasi sosial: menarik diri Gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran
Berduka disfungsional Koping keluarga tidak efektif
(Fitria, Nita 2010)
D.
Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Resiko Perilaku Kekerasan
2. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran
3. Isolasi sosial: Menarik Diri
4. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
5. Penatalaksanaan Regiment Terapeutik
Inefektif
E.
Data Yang Perlu Dikaji
Masalah
keperawatan |
Data
yang perlu dikaji |
Resiko perilaku kekerasan |
DS: -
Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk memukul
dirinya sendiri -
Keluarga klien mengatakan pernah membenturkan kepalanya
ke dinding -
Klien mengatakan saat marah tidak bisa mengontrol
emosinya -
Klien mengatakan pernah memukul istrinya -
Keuarga mengatakan di rumah klien sering merusak dan melempar-lempar barang. DO: -
Wajah klien tampak tegang -
Wajah memerah -
Tangan mengepal Pandangan mata tajam |
F.
diagnose keperawatan
-
resiko perilaku kekerasan
G.
perencanaan Tindakan keperawatan
DX Keperawatan |
Perencanaan |
||
Tujuan |
Kriteria Evaluasi |
Intervensi |
|
Resiko perilaku kekerasan |
Tujuan Keperawatan: Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku
kekerasan Tujuan Khusus: -
Klien dapat membina hubungan saling percaya -
Klien dapat mengenal perilaku kekerasan yang
dilakukannya -
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan -
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang
pernah dilakukan -
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang
pernah dilakukan -
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan -
Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam
mengungkapkankemarahan -
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan -
Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk
mengontrol perilaku kekerasan -
Klien menggunakan obat sesuai program yang telah
ditetapkan |
1.
Klien menunjukkan tanda-tanda percaya kepada
perawat:ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata,
mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama,mau duduk berdampingan dengan
perawat, bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi 2.
Klien menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukannya:Menceritakan penyebab perasaan jengkel/marah, baik dari diri
sendiri maupun lingkungannya 3.
Klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku
kekerasan. ·
Tanda sosial: bermusuhan yang dialami saat terjadi
perilaku kekerasan ·
Tanda emosional: perasaan marah, jengkel dan bicara
kasar ·
Tanda fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi
tegang dan lain-lain 4.
Klien menjelaskan: Jenis-jenis ekspresi kemarahan yang
selama ini dilakukannya, perasaan saat melakukan kekerasan, efektivitas cara
yang dipakai dalam menyelesaikan masalah 5.
Klien menjelaskan akibat tindakannya bagi: Diri sendiri,
orang lain, lingkungan 6.
Klien menjelaskan cara yang sehat untuk mengungkapkan
marah 7.
7. Klien memperagakan cara mengontrol perilaku
kekerasan: ·
Fisik: tarik napas dalam-dalam, memukul bantal/kasur ·
Verbal: mengungkap kan perasaan kesal/jengkel kepada
orang lain tanpa menyakiti ·
Spiritual: berdoa sesuai agam 8.
Keluarga: ·
Menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku
kekerasan ·
Mengungkap kan perasaan puas dalam merawat klien 9.
Klien menjelaskan ·
Manfaat minum obat ·
Kerugian tidak minum obat ·
Nama obat ·
Bentuk dan warna obat ·
Dosis yang diberikan ·
Waktu pemakaian ·
Cara pemakaian ·
Efek yang dirasakan ·
Klien menggunakan obat sesuai program |
1.
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi teraupetik ·
Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal ·
Perkenalkan nama lengkap, nama panggilan, dan tujuan
perawat berkenalan ·
Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai
klien ·
Buat kontrak yang jelas ·
Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali
berinteraksi ·
Tunjukkan sikap empati dan menerima apa adanya ·
Beri perhatian kepada klien dan masalah yang dihadapi
klien ·
Dengarkan dengan penuh perhatian 2.
Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya: ·
Motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal
atau jengkelnya ·
Dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap
ungkapan perasaan klien 3.
Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku
kekerasan yang dialaminya: ·
Motivasi klien untuk menceritakan kondisi fisik saat
perilaku kekerasan terjadi ·
Motivasi klien menceritakan kondisi emosionalnya saat
terjadi perilaku kekerasan ·
Motivasi klien menceritakan hubungan dengan orang lain
saat terjadi perilaku kekerasan 4.
Diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang
dilakukannya selama ini: ·
Motivasi klien untuk menceritakan jenis-jenis tindak
kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya ·
Motivasi klien untuk menceritakan perasaan setelah
tindakan tersebut ·
Diskusikan apakah
dengan tindakan tersebut masalah yang dialami dapat teratasi 5.
Diskusikan dengan klien akibat negatif yang dilakukan
kepada/pada: ·
Diri sendiri ·
Orang lain ·
Lingkungan 6.
Diskusikan dengan klien: ·
Apakah klien mau mempelajari cara baru untuk
mengungkapkan marah yang sehat ·
Jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk
mengungkapkan kekerasan yang diketahui klien ·
Jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan marah: Cara fisik: napas dalam, pukul bantal atau kasur,
olahraga Cara verbal: Mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal
kepada orang lain Cara sosial: Latihan asertif dengan orang lain Cara spiritual: sholat/berdoa, zikir, meditasi dan
lain-lain 7.
Diskusikan cara yang akan dipilih dan anjurkan klien
memilih cara yang memungkinkan untuk mengungkapkan kemarahan 8.
Latih klien memperagakan cara yang dipilih: ·
Peragakan cara yang dipilih ·
Jelaskan manfaat cara tersebut ·
Anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan ·
Beri penguatan kepada klien, perbaiki cara yang masih
belum sempurna 9.
Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat
marah/jengkel 10.
Diskusikan pentingnya peran dan dukungan keluarga
sebagai pendukung klien untuk mengatasi perilaku kekerasan 11.
Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien
mengatasi perilaku kekerasan 12.
Jelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku
kekerasan yang dapat dilakukan oleh keluarga 13.
Peragakan cara merawat klien 14.
Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang 15.
Beri pujian kepada keluarga setelah peragaan 16.
Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang
dilatih 17.
Jelaskan kepada klien ·
Manfaat minum obat ·
Kerugian tidak minum obat ·
Nama obat ·
Bentuk dan warna obat ·
Dosis yang diberikan ·
Waktu pemakaian ·
Cara pemakaian ·
Efek yang dirasakan 18.
Anjurkan klien ·
Meminta dan menggunakan obat tepat waktu ·
Melapor kepada perawat/dokter jika mengalami efek yang
tidak biasa ·
Beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan
obat |
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, Deden,dkk, (2013).
Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa;
penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Fitria,Nita, (2010). Prinsip
Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP dan SP); penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi Offset, Yogyakarta.
Wijayaningsih, (2015). Praktik
klinik keperawatan jiwa; Penerbit CV.Trans Info Media,Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
Defisit
Perawatan Diri
B.
Proses
Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Menurut Casto (2010) defisit perawatan diri adalah gangguan
persepsi tentang suatu objek atau gambaran. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
pelaksanaan standar asuhan keperawatan difisit perawatan diri akan mempengaruhi
kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam merawat diri. Sedangkan menurut
Thomas (2012) defisit perawatan diri merupakan salah satu gejala yang sering
ditemukan pada pasien dengan gangguan jiwa.
Defisit perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan
aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Tidak ada keinginan
untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan,
bau napas dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada
pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan
jiwa kronis sering mengalami
ketidakpedulian merawat diri.
Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam
keluarga maupun masyarakat (Yusuf, 2015).
2. Tanda dan
Gejala
Menurut Depkes (2000) dalam Dermawan, 2013, tanda dan gejala klien
dengan defisit perawatan diri adalah:
a.
Fisik
1)
Badan bau,
pakaian kotor.
2)
Rambut dan
kulit kotor.
3)
Kuku
panjang dan kotor.
4)
Gigi kotor
disertai mulut bau.
5)
Penampilan
tidak rapi.
b.
Psikologis
1)
Malas,
tidak ada inisiatif.
2)
Menarik
diri, isolasi diri.
3)
Merasa tak berdaya,
rendah diri dan merasa hina.
c.
Sosial
1)
Interaksi
kurang.
2)
Kegiataan
kurang.
3)
Tidak mampu
berperilaku sesuai norma.
4)
Cara makan
tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.
3. Rentang
Respon
Menurut Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan
diri sebagai berikut:
Adaptif
Maladaptif
|
||
Pola perawatan diri seimbang |
Kadang perawatan diri kadang tidak |
Tidak melakukan perawatan diri pada saat stress |
Pola perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stresor dan
mampu untuk berprilaku adaptif,
maka pola perawatan
yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan
perawatan diri.
Kadang perawatan diri
kadang tidak: saat klien
mendapatkan stressor
kadang-kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
4. Faktor Predisposisi
a.
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi
dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
b.
Biologis
Penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri.
c.
Kemampuan
realitas turun
Klien dengan gangguan
jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d.
Sosial
Kurang dukungan dan
latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasili ngkungan mempengaruhi
latihan kemampuan dalam perawatan diri.
5. Faktor
Presipitasi
Faktor presipitasi
defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan
kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan
perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
a.
Body image
Gambaran individu
terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan
fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
b.
Praktik
sosial
Pada anak-anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri,
maka kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c.
Status
sosial ekonomi
Personal hygiene
memerlukan alat dan
bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi
yang semuanya memerlukan uang
untuk menyediakannya.
d.
Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene
sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien menderita diabetes
melitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
e.
Budaya
Di sebagian masyarakat
jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f.
Kebiasaan
seseorang
Ada kebiasaan orang
yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun,
sampo dan lain-lain.
g.
Kondisi
fisik atau psikis
Pada keadaan
tertentu/sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
6. Mekanisme
Koping
Mekanisme koping
pada pasien dengan
defisit perawatan diri
adalah sebagai berikut:
a.
Regresi, menghindari stress,
kecemasan dan menampilkan
perilaku kembali, seperti pada perilaku perkembangan anak atau
berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas
(Dermawan, 2013).
b.
Penyangkalan
(Denial), melindungi diri
terhadap kenyataan yang tak menyenangkan
dengan menolak menghadapi
hal itu, yang
sering dilakukan dengan cara
melarikan diri seperti
menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak berani
melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk, 2015).
c.
Menarik
diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor, misalnya:
menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa
takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
d.
Intelektualisasi, suatu
bentuk penyekatan emosional
karena beban emosi dalam suatu
keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya
rasa sedih karena
kematian orang dekat,
maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita
lagi” (Yusuf dkk, 2015).
C. Pohon
Masalah
Effect Isolasi
Sosial
↑
Core Problem Defisit Perawatan Diri
↑
Causa Harga
Diri Rendah Kronis
D. Masalah
Keperawatan yang Mungkin Muncul
Masalah keperawatan
yang mungkin muncul
pada pasien dengan defisit perawatan diri menurut
Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
1.
Defisit
perawatan diri
2.
Harga diri
rendah
3.
Isolasi
sosial
E. Data yang
Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan |
Data yang Perlu Dikaji |
Defisit
Perawatan Diri |
Subjektif: 1.
Pasien
merasa lemah 2.
Malas
untuk beraktivitas 3.
Merasa
tidak berdaya Objektif: 1.
Rambut
kotor, acak-acakan 2.
Badan dan
pakaian kotor dan bau 3.
Mulut dan
gigi bau 4.
Kulit
kusam dan kotor 5.
Kuku
panjang dan tidak terawat |
F. Diagnosis
Keperawatan
Diagnosa yang muncul
pada defisit perawatan diri:
1.
Defisit
perawatan diri
2.
Gangguan
sensori persepsi: halusinasi
3.
Resiko
perilaku kekerasan
4.
Harga diri
rendah
5.
Isolasi
sosial
G. Rencana
Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan
keperawatan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan
yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, dan mengurangi masalah pasien (
Hidayat, 2010). Menurut Sutejo (2017) Perencanaan keperawatan pada klien dengan
defisit perawatan diri yaitu:
1.
Tujuan
jangka panjang
Pasien dapat memelihara
atau merawat kebersihan secara mandiri.
a.
Bina
hubungan saling percaya
Rasional:
Kepercayaan dari pasien
merupakan hal yang akan memudahkan perawatan dalam melakukan pendekatan keperawatan.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan
interaksi selama 3 kali, pasien mampu menunjukkan tanda-tanda percaya kepada
perawat dengan kriteria hasil:
1)
Ekspresi
wajah bersahabat
2)
Menunjukkan
rasa senang
3)
Bersedia
berjabat tangan
4)
Bersedia
menyebutkan nama
5)
Ada kontak
mata
6)
Bersedia
duduk berdampingan
7)
Bersedia
mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi:
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik:
1)
Sapa pasien
dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
2)
Perkenalkan
diri dengan sopan
3)
Tanyakan
nama lengkap pasien dan nama panggilan
4)
Jelaskan
tujuan pertemuan
5)
Jujur dan menempati
janji
6)
Tunjukkan
sikap empati dan menerima pasien apa adanya
7)
Beri
perhatian pada pemenuhan kebetuhan dasar pasien
b.
Latih pasien
cara-cara perawatan diri
Rasional:
pengetahuan tentang
pentingnya perawatan diri dapat meningkatkan motivasi pasien.
Tujuan jangka pendek:
setelah dilakukan
interaksi selama 2 kali,pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
dengan kritetia hasil:
1)
pasien
dengan aman melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri.
Intervensi:
Melatih pasien cara-cara perawatan diri
dengan cara:
1)
Menjelaskan
pentingnya kebersihan diri.
2)
Menjelaskan
alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
3)
Menjelaskan
cara-cara melakukan kebersihan diri.
4)
Melatih
pasien mempraktikan cara menjaga kebersihan diri.
c.
Latih
pasien berdandan
Rasional:
Membiasakan diri untuk
melakukan perawatan diri sendiri.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan
interaksi selama 2 kali, pasien mampu melakukan tindakan perawatan, berupa
berhias dan berdandan secara baik dengan kriteria hasil:
1)
pasien
dengan aman melakukan atau mempertahankan aktivitas perawatan diri berupa
berhias dan berdandan
2)
pasien
berusaha untuk memelihara kebersihan diri.
Intervensi:
Melatih pasien berdandan, dengan rincian:
1)
untuk
pasien laki-laki, latihan meliputi: berpakaian, menyikat rambut, bercukur.
2)
Memantau
kemampuan pasien dalam berpakaian dan berhias
3)
Memonitor
atau mengidentifikasi adanya kemunduran sensori, kognitif, dan psikomotor yang
menyebabkan pasien mempunyai kesulitan dalam berpakaian dan berhias.
4)
Diskusikan
dengan pasien kemungkinan adanya hambatan dalam berpakaian dan berhias.
5)
Menggunakan
komunikasi/instruksi yang mudah dimengerti.
6)
Sediakan
baju bersih, sisir, dsb.
7)
Dorong
pasien untuk mengenakan baju sendiri dan memasang kancing dengan benar.
8)
Memberikan
bantuan kepada pasien jika perlu.
9)
Evaluasi
perasaan pasien setelah mampu berpakaian dan berhias.
10) Berikan reinforcemen atau pujian atas keberhasilan pasien
berpakaian.
d.
Diskusikan
dengan pasien akibat kurang/ tidak mau makan.
Rasional:
identifikasi mengenai
penyebab pasien tidak mau makan menentukan intervensi perawat selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan
interaksi selama 3 kali, pasien mampu melakukan kegiatan makan dengan baik
dengan kriteria hasil:
a.
kebutuhan
personal hygiene pasien terpenuhi.
b.
Pasien
mampu melakukan kegiatan makan secara mandiri dan tepat dengan mengungkapkan
kepuasan.
Intervensi:
1)
Memantau kemampuan pasien makan.
2)
Identifikasi
bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien tidak mmau makan.
3)
Identifikasi
adanya hambatan makan.
4)
Diskusikan
dengan pasien akibat kurang/tidak mau makan.
5)
Diskusikan
dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan.
6)
Menjelaskan
cara mempersiapkan makanan kepada pasien.
7)
Menjelaskan
personal hygiene tentang pola makan.
8)
Menjelaskan
cara makan yang tertib.
e.
Kaji budaya
pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri.
Rasional:
Mengetahui kebiasaan
pasien dalam toileting dalam membantu perawat melakukan intervensi selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi
selama 3 kali, pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri dengan kriteria
hasil:
a.
Mampu duduk
dan turun dari toilet
b.
Mampu
membersihkan diri setelah eleminasi secara mandiri/dibantu.
Intervensi:
1)
Bantu
pasien ke toilet
2)
Berikan
pengetahuan tentang personal hygiene dalam kaitannya dengan toileting
3)
Menjelaskan
temmpat BAB/BAK yang sesuai.
4)
Menjelaskan
cara membersihkan diri setelah BAB/BAK
5)
Menjelaskan
cara membersihkan tempat BAB dan BAK
f.
Diskusikan
dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien
Rasional:
Memberikan kesempatan
kepada keluarga untuk membantu pasien dan member motivasi.
Tujuan jangka pendek:
Setelah interaksi
selama 4 kali, keluarga mampu merawat anggota keluarganya yang mengalami
masalah
kurang perawatan diri
dengan kriteria hasil:
1)
Keluarga
dapat mengetahui defisit perawatan diri pasien dan cara memberikan dukungan
dalam memberikan dukungan pada pasien dalam melakukan perawatan diri.
Intervensi:
1)
Anjurkan
keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan membantu mengingatkan
pasien dalam merawat diri.
2)
Anjurkan
keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien dalam merawat diri.
Tujuan
tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri, antara lain: pasien
mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri, pasien mampu melakukan
berhias/berdandan secara baik, pasien mampu melakukan makan dengan baik dan
pasien mampu melakukan defekasi/berkemih secara mandiri (Keliat, 2011, p.221).
Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah (Keliat, 2011, p.221):
i.
Melatih pasien
cara-cara perawatan kebersihan diri.
Dilakukan dengan cara menjelasan
pentingnya menjaga kebersihan diri, menjelaskan alat-alat untuk menjaga
kebersihan diri, menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri dan melatih
pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
ii.
Melatih pasien
berdandan/berhias.
Dilakukan dengan cara melatih
pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:berpakaian, menyisir
rambut dan bercukur. Adapun untuk pasien wanita, latihannya meliputi:
berpakaian, menyisir rambut dan berhias.
iii.
Melatih pasien makan
secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan
cara mempersiapkan makan, menjelaskan cara makan yang tertib, menjelaskan cara
merapihkan peralatan makan setelah makan dan praktek makan sesuai dengan tahapan
makan yang baik.
iv.
Mengajarkan pasien
melakukan defekasi/berkemih secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan
tempat defekasi/berkemih yang sesuai, menjelaskan cara membersihkan diri
setelah defekasi/berkemih dan menjelaskan cara membersihkan tempat
defekasi/berkemih.
Astuti, L. I. (2019). Gambaran Defisit Perawatan Diri
Pada Pasien Dengan Skizofernia Di Wisma Sadewarsj Grhasia Daerah Iatimewa
Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah, 16-25.
Saputra, D. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Defisit Perawatan Diri Di Ruang Dahlia Rumah Sakit Jiwa Prof. HB.
Sa'anin Padang. Karya Tulis Ilmiah, 9-22.
LAPORAN
PENDAHULUAN HALUSINASI
A. Masalah Utama
Defisit
Perawatan Diri
B. Proses Terjadinya
Masalah
1.
Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi
yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata
Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak, (2001) dalam
Darmaja (2014).
Menurut Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya kemampuan
manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari
pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia,
2013). Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
2.
Jenis
Halusinasi
Beberapa
jenis halusinasi(Cancro dan Lehman, 2000):
1. Halusinasi
Pendengaran
Meliputi
mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang, berbicara kepada
klien atau membicarakan klien. Mungkin ada satu atau banyak suara dapat berupa
suara orang yang dikenal atau tidak dikenal. Halusinasi perintah merupakan
bentuk halusinasi dengar yang berupa suara-suara yang menyuruh klien untuk
mengambil tindakan, sering kali membahayakan diri sendiri atau orang lain dan
dianggap berbahaya (Videbeck, 2008, p.362).
2. Halusinasi
Penglihatan
Melihat
bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau ornag
yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuknya rusak, misalnya melihat
monster yang menakutkan padahal yang dilihat adalah perawat. Halusinasi ini
adalah jenis halusinasi kedua yang paling sering terjadi (Videbeck, 2008,
p.364).
3. Halusinasi
Penciuman
Mencium
aroma atau bau padahal tidak ada. Bau
tersebut dapat berupa bau tertentu seperti urine atau feses, atau bau yang
sifatnya lebih umum, misalnya bau busuk atau bau yang tidak sedap. Jenis
halusinasi ini sering kali ditemukan pada klien demensia, kejang, atau stroke
(Videbeck, 2008, p.364).
4. Halusinasi
Taktil (perabaan)
Sensasi
seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh atau binatang kecil yang
merayap di kulit. Halusinasi taktil paling sering ditemukan pada klien yang
mengalami putus alkohol (Videbeck, 2008, p.364).
5. Halusinasi
Pengecapan
Rasa
yang tetap ada di dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti
sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit atau
mungkin seperti rasa tertentu (Videbeck, 2008, p.364).
6. Halusinasi
Kinestetik
Terjadi
ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan tubuh. Gerakan
tubuh kadang kala yang tidak lazim, misalnya melayang di atas tanah (Videbeck,
2008, p.364).
3.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat
teramati sebagai berikut (Dalami, dkk, 2014):
a. Halusinasi penglihatan
1) Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau
apa saja yang sedang dibicarakan.
2) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang
tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
3) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang
tidak tampak.
4) Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.
b. Halusinasi pendengaran
1) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang
lain, benda mati atau stimulus yang tidak tampak.
2) Tiba-tiba berlari keruangan lain
c. Halusinasi penciuman
1) Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.
2) Mencium bau tubuh
3) Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
4) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau
darah.
5) Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
d. Halusinasi pengecapan
1) Meludahkan makanan atau minuman.
2) Menolak untuk makan, minum dan minum obat.
3) Tiba-tiba meninggalkan meja makan.
e. Halusinasi perabaan
1) Tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.
4.
Rentang Respon
Menurut Stuart dan Laraia
(2005) halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada
dalan rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan
menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui
pancaindra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, peraban), klien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya
stimulus tersebut tidak ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan seperti
dibawah ini (Muhith, 2015):
Respon Adaptif |
|
Respon Maladaptif |
|
||
1.
Pikiran
logis 2.
Persepsi
akurat 3.
Emosi
konsisten dengan pengalaman 4.
Perilaku
sesuai 5.
Berhubungsn
sosial |
1.
Distorsi
pikiran ilusi 2.
Reaksi
emosi berlebihan 3.
Perilaku
aneh atau tidak biasa 4.
Menarik
diri |
1.
Gangguan
piker atau delusi 2.
Halusinasi 3.
Sulit
merespon emosi 4.
Perilaku
disorganisasi 5.
Isolasi sosial |
Respon
adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu akan dapat memecahkan
masalah tersebut. Respon adaptif meliputi:
a.
Pikiran
logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b.
Persepsi
akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c.
Emosi
konsisten dengan pengalaman yaitu
perasaan yang timbul dari pengalaman ahli.
d.
Perilaku
sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
e.
Hubungan
sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
Respon psikososial meliputi:
a. Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra
c. Emosi berlebihan atau kurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
e. batas untuk menghindari interaksi dengan orang lain
f. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
Respon
maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang
dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan,
adapun respon maladaptif ini meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati
d. Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh
individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.
5.
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi
(Dalami, dkk, 2014):
1. Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi: Adanya faktor
herediter mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit
atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza. Abnormalitas perkembangan
sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru
mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien
dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi
korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien adanya kegagalan yang berulang, kurangnya
kasih sayang, atau overprotektif.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam)
dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
6.
Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi
(Prabowo, 2014):
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
7.
Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi reapon individu dalam menanggapi
stressor.
8.
Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk
(Dalami, dkk, 2014):
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan
emosi pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar
sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan
lain-lain, sedangkan reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
C. Pohon
Masalah
Risiko mencederai diri,
orang lain dan lingkungan (Efek) |
↑ |
Perubahan persepsi
sensori halusinasi (penglihatan, pendengaran, pengecapan, perabaan dan
penciuman) (Core Problem) |
↑ |
Isolasi sosial: menarik
diri (Etiologi) |
↑ |
Harga diri rendah |
D. Masalah
Keperawatan :
Halusinasi
E. Data yang
Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan |
Data
Yang Perlu Dikaji |
Halusinasi |
Subjektif: 1.
Mendengar
suara-suara atau kegaduhan 2.
Mendengar
suara yang bercakap-cakap 3.
Mendengar
suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya 4.
Melihat
bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu dan monster 5.
Mencium
bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan 6.
Merasakan
rasa seperti darah, urine, feses 7.
Merasa
takutan atau senang dengan halusinansinya Objektif: 1.
Bicara
atau tertawa sendiri 2.
Marah-marah
tanpa sebab 3.
Mengarahkan
telinga kea rah tertentu 4.
Menutup
telinga 5.
Menunjuk
ke arah tertentu 6.
Ketakutan
kepada seuatu yang tidak jelas 7.
Mencium
sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu 8.
Menutup
hidung 9.
Sering
meludah 10.
Menggaruk-garuk
permukaan kulit. |
F. Diagnosis
Keperawatan
Diagnosis
keperawatan ditetapkan berdasarkan data subjektif dan objektif yang ditemukan
pada pasien. Diagnosis keperawatan pada gangguan ini adalah gangguan sensori persepsi: Halusinasi (Keliat, 2011, p.148).
G. Rencana Tindakan
Keperawatan
Tindakan
keperawatan pada pasien halusinasi bertujuan agar pasien mengenali halusinasi
yang dialaminya, dapat mengontrol halusinasinya dan pasien mengikuti program
pengobatan secara optimal. Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah:
(Keliat, 2011, p.149).
1.
Membantu pasien
mengenali halusinasi
Tindakan
yang dilakukan adalah berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa
yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya
halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respon pasien saat
halusinasi muncul.
2.
Melatih pasien
mengontrol halusinasi
Terdapat
empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu:
a. Menghardik
halusinasi
Merupakan
upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk
mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak
memperdulikannya. Bila ini dapat
dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi
yang muncul. Tahapan yang dilakukan meliputi: menjelaskan cara menghardik
halusinasi, memperagakan cara menghardik, meminta pasien memperagakan ulang,
memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.
b. Menggunakan
obat secara teratur
Untuk
mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat
secara teratur sesuai dengan program. Tindakan keperawatan agar pasien patuh
menggunakan obat berupa: Jelaskan kegunaan obat, akibat bila putus obat, cara
mendapatkan obat/berobat, dan cara menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
c. Bercakap-cakap
dengan orang lain
Untuk
mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain.
Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi, fokus
perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
dengan orang lain tersebut.
d. Melakukan
aktifitas terjadwal
Untuk
mengurangi resiko munculnya kembali halusinasi adalah dengan menyibukkan diri
dengan aktifitas yang teratur. Dengan aktifitas yang terjadwal, pasien tidak
akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetuskan
halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi dapat dibantu untuk mengatasi
halusinasinya dengan cara beraktifitas secara teratur dari bangun pagi sampai
tidur malam, tujuh hari dalam seminggu. Setiap kegiatan yang dilatih
dimasukkan dalam jadwal kegiatan pasien sampai tidak ditemukan waktu luang.
DAFTAR
PUSTAKA
Irwan. Farhanah Dkk. (2018). Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Masalah Halusinasi. 4-20.
Ilham, T. V. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien
Halusinasi Di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota
Padang. Karya Tulis Ilmiah, 8-16.
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL
A.
Masalah
Utama
Isolasi social
B.
Proses
Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Isolasi sosial menurut Townsend,
dalam Kusumawati F dan Hartono Y (2010) adalah suatu keadaan kesepian yang
dirasakan seseorang karena orang lain menyatakan negatif dan mengancam.
Sedangkan Menarik diri adalah usaha menghindari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
berbagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalanya (Depkes, 2006 dalam
Dermawan D dan Rusdi, 2013).
Isolasi sosial adalah keadaan
seorang individu yang mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain disekitarnya (Keliat, 2011).
Jadi isolasi sosial Menarik diri
adalah suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena merasa ditolak,
tidak diterima, dan bahkan pasien tidak mampu berinteraksi untuk membina
hubungan yang berarti dengan orang lain disekitarnya.
2. Tanda dan
gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada
klien dengan isolasi sosial: menarik diri menurut Dermawan D dan Rusdi (2013)
adalah sebagai berikut:
a.
Gejala Subjektif
1) Klien
menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2) Klien
merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Respon
verbal kurang atau singkat
4) Klien
mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
5) Klien
merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6) Klien
tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7)
Klien merasa tidak
berguna
8)
Klien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup
9)
Klien merasa ditolak
b.
Gejala Objektif
1)
Klien banyak diam dan tidak mau bicara
2)
Tidak mengikuti
kegiatan
3)
Banyak berdiam diri di
kamar
4)
Klien menyendiri dan
tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
5)
Klien tampak sedih,
ekspresi datar dan dangkal
6)
Kontak mata kurang
7)
Kurang spontan
8)
Apatis (acuh terhadap
lingkungan)
9)
Ekpresi wajah kurang
berseri
10)
Tidak merawat diri dan
tidak memperhatikan kebersihan diri
11)
Mengisolasi diri
12)
Tidak atau kurang sadar
terhadap lingkungan sekitarnya
13)
Memasukan makanan dan
minuman terganggu
14)
Retensi urine dan feses
15)
Aktifitas menurun
16)
Kurang enenrgi (tenaga)
17)
Rendah diri
18)
Postur tubuh
berubah,misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada posisi tidur).
3.
Rentang repson
Menurut Stuart (2007). Gangguan
kepribadian biasanya dapat dikenali pada masa remaja atau lebih awal dan
berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut merupakan pola respon
maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat menyababkan
disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
respon maladaptif
kesepian menarik diri ketergantungan manipulasi impulsive narsisisme menyendiri otonomi kebersamaan saling
percaya
Respon adaptif adalah respon individu
dalam menyelesaikan dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma
masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon ini meliputi:
a.
Menyendiri
Merupakan
respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau
dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
b.
Otonomi
Merupakan
kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan
dalam hubungan sosial, individu mamapu menetapkan untuk interdependen dan
pengaturan diri.
c.
Kebersamaan
Merupakan
kemampuan individu untuk saling pengertian, saling member, dan menerima dalam
hubungan interpersonal.
d.
Saling ketergantungan
Merupakan
suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu dengan
orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu
dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan
norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013)
respon maladaptive tersebut adalah:
a.
Manipulasi Merupakan
gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai
pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk
berkuasa pada orang lain.
b.
Impulsif
merupakan
respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak dapat
diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan tidak mampu untuk
belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.
c.
Narsisme
Respon
sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku ogosentris,harga diri
yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika
tidak mendapat dukungan dari orang lain.
d.
Isolasi sosial
Adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain.
4.
faktor predisposisi
Menurut
Fitria (2009) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial
yaitu:
1)
Faktor tumbuh kembang
Pada
setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas perkembangan yang harus
terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas
tersebut tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang
nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.
2)
Faktor komunikasi dalam
keluarga
Gangguan
komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi
sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
hubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
3)
Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan dapat menyebabkan
hubungan sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti
lanjut usia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan
sosialnya.
4)
Faktor biologis
Faktor
biologis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan dalam
hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi gangguan hubungan sosial
adalah otak, misalnya pada klien skizfrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal
5.
faktor presipitasi
Menurut
Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1) Faktor
eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
2) Faktor
internal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat
kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi
akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi
kebutuhan individu
6.
sumber koping
· keterlibatan dengan jaringan kekeluargaan dan
pertemanan
· hubungan dengan hewan peliharaan
· penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan
stress interpersonal : musik, seni, menulis, dll
7.
mekanisme koping
1. koping
terkait dengan kepribadian anti sosial :
·
proyeksi
·
splitting (memisahkan)
·
devaluasi orang lain
2.
koping kepribadian batas :
·
splitting
·
reaksi formasi
·
proyeksi
·
isolasi
·
idealisasi orang lain
·
devaluasi orang lain
·
identifikasi proyektif
C.
pohon masalah
core problem
gangguan konsep diri : harga diri rendah
D.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul
·
resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
·
isolasi sosial : menarik diri
·
gangguan konsep diri : harga diri rendah
E.
Data yang perlu dikaji
Masalah keperawatan |
Data yang perlu dikaji |
Isolasi sosial |
Subjektif : ·
klien mengatakan saya tidak
mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri Objektif : ·
klien terlihat lebih suka
sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif Tindakan, ingin mencederai
diri/ingin mengakhiri hidup |
F.
diagnosis keperawatan
isolasi sosial :
menarik diri
G.
rencana Tindakan keperawatan
RENCANA TINDAKAN |
||
DIAGNOSA KEPERAWATAN |
TUJUAN |
INTERVENSI |
Isolasi sosial |
setelah dilakukan
Tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat berinteraksi denngan orang
lain baik secara individu maupun secara berkelompok dengan kriteria hasil : v klien dapat
membina hubungan saling percaya v dapat menyebutkan
penyebab isolasi sosial v dapat menyebutkan
keuntungan berhubungan dengan orang lain v dapat
meneyebutkan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain v dapat berkenalan
dan bercakap-cakap dengan orang lain secara bertahap v terlibat dalam
aktivitas sehari-hari |
TINDAKAN
PSIKOTERAPEUTIK v klien SP 1 ·
bina hubungan saling percaya ·
identifikasi penyebab isolasi
sosial SP 2 ·
diskusikan Bersama klien
keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain ·
ajarkan kepada kllien cara
berkenalan dengan satu orang ·
anjurkan kepada klien untuk
memasukkan kegiatan berkenalan dengan orang lain dalam jadwal kegiatan harian
dirumah SP 3 ·
evaluasi pelaksaan dari
jadwal kegiatan harian klien ·
beri kesempatan pada klien
mempraktekkan cara berkenalan dengan dua orang ·
ajarkan klien
berbincang-bincang dengan dua orang dengan topik tertentu ·
anjurkan kepada klien untuk
memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain dalam jadwal
kegiatan rumah SP 4 ·
evaluasi pelaksanaan dari
jadwal kegiatan harian klien ·
jelaskan tentang obat yang
diberikan (jenis, dosis, waktu, manfaat dan efek samping obat) ·
anjurkan klien memasukkan
kegiatan bersosialisasi dalam jadwal kegiatan harian rumah ·
anjurkan klien untuk
bersosialisasi dengan orang lain |
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan
D Dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan
Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP
dan SP). Jakarta: Salemba Medika
Herman,
Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Keliat, B.A, dkk. 2011. Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHM (Basik Course). Jakarta: EGC
Keliat,
B.A, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Nurjanah, Intan Sari. 2005. Komunitas
Keperawatan. Yogyakarta: Moco Medika Rusman.2009. Keperawatan Kesehatan
Mental Terintegrasi dengan Keluarga. Jakarta: Sagung Seto
Riyardi
S dan Purwanto T. 2013. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: GRAHA ILMU
No comments:
Post a Comment