HARGA DIRI RENDAH
A. Proses Terjadinya
Masalah
1.
Pengertian
Konsep diri adalah
semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu dan
mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen
1991). Menurut Soenaryo dalam psikologi keperawatan (2004) mengatakan bahwa
konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya sebagai utuh
menyangkut fisik, emosi, intelektual, social dan spiritual. Komponen konsep
diri menuurut Stuart dan Sundeen (1998):
1.
Citra tubuh, adalah
kumpulan dari sikap individu yang disadari dengan tidak disadari terhadap
tubuhnya.
2.
Ideal diri, adalah
persepsi individu tentang bagaimana dia harus berperilaku berdasarkan standar
apresiasi, tujjuan atau nilai-nilai personal tertentu.
3.
Harga diri, adalah
penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa
sebabnya baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
4.
Penampilan, adalah
serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan
fungsi individu di berbagai kelompok sosial.
5.
Identitas personal,
pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap
kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu.
Gangguan
harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negative terhadap diri
sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan (Budi ana Keliat, 2009). Gangguan harga diri rendah dapat terjadi
secara:
1.
Situasional, yaitu
terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus operasi, kecelakan, dicerai suami,
utus sekolah, putus hubungan kerja dll. Pada klien yang dirawat dapat terjadi
harga diri rendah karena privasi yang kurang diperhatikan: pemeriksaan fisik
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pemasangan kateter, pemasangan
perianal, dll), harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak
menghargai.
2.
Kronik, yaitu perasaan
negative terhadap diri telah berlangsung lama.
2. Tanda
dan gejala
-
Apatis, ekspresi sedih,
afek tumpul
-
Menghindar dari orang
lain (menyendiri)
-
Mengkritik diri sendiri
-
Berpakaian tidak rapi
-
Selera makan berkurang
-
Berbicara lambat dengan
nada suara lemah
-
Komunikasi kurang/tidak
ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat
-
Tidak ada kontak mata,
klien sering menunduk
-
Berdiam diri di
kamar/klien kurang mobilitas
-
Menolak berhubungan
dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak
bercakap-cakap
-
Tidak melakukan
kegiatan sehari-hari
-
Posisi janin tidur
3. Rentang
respon
Respon maladaptif Respon adaptif
Konsep
diri positif Harga
diri rendah Difusi identitas depersonalisasi
Akuatualisasi
diri
4. Faktor
Predisposisi
Faktor
predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
5. Faktor
Prespitasi
Faktor
prespitasi terjadinya harga diri rendah adalah biasanya adalah kehilangan
tubuh, perubahan penampilan atau produktifitas menurun. Selain itu faktor prespitasi
dapat pula berupa:
1.
Ketegangan peran
Stres yang
berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran posisi.
2. Konflik
peran
Ketidaksesuaian
peran denga napa yang diinginkan.
3. Peran
yang tidak jelas
Kurangnya
pengetahuan individu tentang peran.
4. Peran
yang berlebihan
Menampilkan
seperangkat peran yang kompleks.
5. Perkembangan
transisi
Perubahan normal
dengan nilai yang tidak sesuai dengan diri.
6. Situasi
transisi peran
Bertambah atau
berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu.
7. Transisi
peran sehat-sakit
Kehilangan
bagian tubuh, perubahan ukuran, fungsi, penampilan, prosedur pengobatan dan
perawatan.
6. Mekanisme
Koping Harga Diri Rendah
a.
Aktivias lari dari
krisis identitas: music rock, berlatih fisik berat.
b.
Aktivitas mengganti
identitas sementara: kegiatan sosial, agama, politik.
c.
Aktivitas yang
memperkuat rasa diri: kompetisi olahrag, pencapaian akademik, kontes
popularitas.
d.
Membuat identitas tak
bermakna: drug abuse
Sumber koping:
a. Aktivitas
luar rumah dan olahraga
b. Hobi
dan kerajinan tangan
c. Aktivitas
seni
d. Kesehatan
dan asuhan mandiri
e. Pendidikan
dan pelatihan
f. Pekerjaan
g. Bakat
khusus
h. Kepandaian
i.
Imajinasi dan
kreativitas
j.
Hubungan interpersonal
B. Pohon
masalah harga diri rendah
Resiko
perilaku kekerasan
Perubahan persepsi sensori :
halusianasi
Isolasi sosial : menarik diri
Core problem Gangguan konsep diri : harga
diri rendah
Koping individu tidak efektif
C. Masalah
Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1.
Harga diri rendah
2.
Koping individu tidak
efektif
3.
Isolasi social
4.
Perubahan persepsi
sensori: halusinasi
5.
Resiko perilaku
kekerasan
D. Data
Yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan |
Data
yang perlu dikaji |
|
Data
subjektif |
Data
objektif |
|
Harga diri rendah |
1. Mengungkapkan
bahwa dirinya merasa tidak berguna 2. Mengungkapkan
bahwa dirinya merasa tidak mampu 3. Mengungkapkan
dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting) |
1. Mengkritik diri sendiri 2. Perasaan tidak mampu 3. Pandangan hidup pesimis 4. Tidak menerima pujian 5. Penurunan produktivitas 6. Penolakan terhadap kemampuan diri 7. Kurang perhatain perawatan diri 8. Berpakaian tidak rapi 9. Berkurang selera makan 10. 10.Tidak
berani menatap lawan bicara 11.
lebih banyak menunduk 12.
12. bicara lambat
dengan nada suara |
E.
Diagnosa Keperawatan
Harga diri
rendah.
F. Rencana
Tindakan Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan |
Perencanaan |
||
Tujuan |
Kriteria Evaluasi |
Intervensi |
|
Harga diri rendah |
Tujuan umum: klien
memiliki diri yg positif 1. Tujuan
khusus: 2. klien
dapat membuna hubungan saling percaya dengan perawat |
1. setelah
interaksi klien menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa
senang, ada kontak mata, mau menjabat tangan, mau menyebut nama, mau menjawab
salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah
yang dihadapi |
1. bina
hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik: 2. sapa
klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal 3. perkenalkan
diri dengan sopan 4. tanyakan
nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien 5. jelaskan
tujuan pertemuan jujur dan menepati janji 6. tunjukkan
sikap empati dan menerima apa adanya 7. beri
perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar klien |
1. klien
dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki |
Setelah interaksi
klien menyebutkan aspek positif dan kemampuan yang aspek positif keluarga aspek positif
lingkungan klien |
1.1
diskusikan dengan
klien tentang : aspek positif yg dimiliki klien, keluarga, lingkungan kemampuan yg dimiliki
klien 1.2
bersama klien buat
daftar tentang : aspek positif klien, keluarga, lingkungan kemampuan yg
dimiliki klien 1.3
beri pujian yg
realistis, hindarkan memberi penilaian negative |
|
2. klien
dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan |
3. setelah
interaksi klien menyebutkan kemampuan yang dapat dilaksanakan |
3.1 diskusikan
dengan klien kemampuan yang dapat dilaksankan 3.2 diskusikan
kemampuan yang dapat dilanjutkan pelaksanannya |
|
4. klien dapat merencanakan kegiatan
sesuai dengan kemampuan yg dimiliki |
4. setelah
interaksi klien membuat rencana kegiatan harian |
4.1 rencanakan
Bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
klien 4.2 tingkatkan
kegiatan sesuai kondisi klien 4.3 beri
contoh cara pelaksanaan kegiatan yang dapat klien lakukan |
|
5. klien
dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yg dibuat |
5. setelah
interaksi klien melakukan kegiatan sesuai jadwal yg dibuat |
5.1 anjurkan
klien untuk melaksankan kegiatan yang telah direncanakan 5.2 pantau
kegiatan yg dilaksanakan klien 5.3 beri
pujian atas usaha yg dilakukan klien 5.4 diskusikan
kemungkinan pelaksanaan kegiatan setelah pulang |
|
6.
klien dapat
memanfaatkan system pendukungnya |
6. setelah
interaksi klien memanfaatkan system pendukung yang ada di keluarga |
6.1 beri
penkes pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah 6.2 bantu
keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat 6.3 bantu
kelurga menyiapkan lingkungan rumah |
G.
Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. SP
1 (pasien): mendiskusikan kemampuan dan aspek yang dimiliki pasien,melatih
kemampuan yg dipilih dan menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang telah
dilatih dalam rencana harian
2. SP
II (pasien): melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan
kemampuan pasien.
3. SP
I (keluarga): mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam menghadapi
pasien, memberi promosi kessehatan tentang HDR, memberi kesempatan keluarga
mempraktekkan cara merawat
4. SP
II: melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien HDR langsung kepada
pasien.
5. SP
III: membuat perencanaan pulang dengan keluarga.
H.
Srategi
pelaksanaan Harga Diri Rendah
1.
Orientasi
Selamat Pagi, Pak. Perkenalkan nama saya syaukas, panggil saja saya syaukas. Hari ini saya dinas dari
pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB. Nama Bapak siapa? Senang dipanggil
siapa?" "Bagaimana perasaan
Bapak sekarang? Apa semalam Bapak tidur nyenyak?"
"Bapak, saya bertugas disini untuk
merawat Bapak dari hari Senin sampai Sabtu mulai dari jam 08.00 sampai dengan
14.00 apabila dinas pagi, dan juga dari jam 14.00-20.00 WIB apabila dinas sore,
saya harap selama saya merawat Bapak, saya dapat memberikan pelayanan yang
terbaik. Baik Pak, disini kita akan berbicara
untuk saling mengenal. Bapak mau ngobrol- ngobrol berapa lama? Bagaimana
kalau 15 menit dari jam 11.00 sampai 11.15?"
"Kita akan ngobrol dimana Bapak?
Bagaimana kalau kita ngobrol disini?
2.
Fase
Kerja
"Bapak, tadi sudah menyebutkan nama
Bapak, lalu berapa umur Bapak sekarang ? Bapak sudah berapa lama dirawat disini? Bapak berasal dari mana? Bapak bersaudara berapa ? Siapa saja yang diajak
tinggal dirumah? Bapak masih ingat tidak kapan dibawa kesini? Siapa yang membawa Bapak
kesini? Menurut Bapak, dibawa kesini karena apa? Selama dirawat disini hal
apa yang sudah Bapak lakukan ? Bagaimana perasaan Bapak saat melakukan kegiatan
tersebut? Boleh saya tahu apa pekerjaan Bapak sebelum disini? Bisa diceritakan
tentang pekerjaannya?"
3.
Terminasi
"Sesuai janji kita tadi, kita sudah
mengobrol 15 menit, sekarang sudah pukul 11.15 WIB, untuk saat ini kita akhiri
dulu ya Pak. Tadi Bapak sudah bagus sekali mau mendengarkan saya dan menjawab
dengan baik."
"Setelah kita ngobrol tadi, bagaimana
perasaan Bapak? Klien mau menjawab pertanyaan perawat dan sesekali melihat perawat.
"Nah Bapak, sekarang sudah pukul 11.15
WIB, pembicaraan kita cukupkan saja dulu sampai disini ya. Sekarang Bapak
istirahat dulu. Kalau nanti ada yang mau diceritakan atau ditanyakan kepada
saya,Bapak bisa sampaikan saat kita bertemu lagi. Bagaimana kalau besok kita
bertemu lagi membicarakan tentang keluarga, kemampuan, serta kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki? Jam berapa kita besok bertemu Bapak? Saya besok dinas
sore, bagaimana kalau jam 4 sore setelah makan snack, Bapak?"
"Bapak mau ngobrol-ngobrolnya dimana?
Bagaimana kalau disini?"
A. Proses
Terjadinya Masalah
1. Definisi
Kekerasan (violence)
merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan
atau menyakiti orang lain, termasuk kepada hewan atau benda-benda. Ada
perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan
agresi sebagai bentuk perilaku.
Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan perasaan dendam atau
ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan suatu perilaku kekerasan
sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang berupa tindakan menyerang
orang lain (assault), agresivitas
terhadap diri sendiri (self aggression) serta
penyalahgunaan narkoba (drugs abuse). Untuk
melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan suatu bentuk
perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. (Muhith, Abdul, 2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat
perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden, dkk, 2013).
2. Tanda Dan Gejala
Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya antara lain:
Data subjektif:
1.
Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam.
2.
Klien mengungkapkan perasaan tidak berguna
3.
Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4.
Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa
tercekik, dada terasa sekal dan bingung
5.
Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan
6.
Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Data objektif;
1.
Muka merah
2.
Mata melotot
3.
Rahang dan bibir mengatup
4.
Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal
5.
Tampak mondar-mandir
6.
Tampak bicara sendiri dan ketakutan
7.
Tampak berbicara dengan suara tinggi
8.
Tekanan darah meningkat
9.
Frekuensi denyut nadi meningkat
10. Nafas pendek (Kartika Sari Wijayaningsih, 2015)
3. Rentanng Respon
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence
(Ermawati Dalami, dkk
2014)
Dalam setiap orang terdapat
kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan agresif/perilaku kekerasan.
a. Perilaku asertif
merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau mengungkapkan rasa marah
atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain sehingga perilaku
ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif
merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan marah
yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku
kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi atau ketakutan
(panik).
Stress, cemas, harga diri
rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan yang dapat mengarah pada
perilaku kekerasan. Respon rasa marah bisa diekspresikan secara eksternal
(perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan
perilaku konstrukstif, menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima
tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan persaan lega, menurunkan
ketegangan sehingga perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak
menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan
perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif
seperti menekan perasaan marah dilakukan individu seperti pura-pura tidak marah
atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap.
Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat
akan menimbulkan perasaan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri.
(Dermawan, Deden, 2013).
4. Faktor
Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
a.
Faktor biologis
Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan
Naluri).Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap stimulus eksternal,
internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system limbic berperan sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b.
Faktor psikologis
Frustration Aggression Theory (teori agresif
frustasi) Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku
kekerasan.
Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan
adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi
yang mendukung.
Eksistensial Theory (Teory Eksistensi) bertingkah
laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan memenuhinya
melalui berperilaku destruktif.
c. Faktor
sosiokultural
Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif dan agresif.
Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialitas.
5.
Faktor
Presipitasi
Stressor yang mencetuskan
perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stressor tersebut dapat
disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-lain)
maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta,
takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan
kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).
6.
Sumber
Koping
a. Kesehatan dan energi
b. Dukungan spiritual
c. Keyakinan positif
d. keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial
e. sumber daya sosial dan material
f. kesejahteraan fisik
7. Mekanisme Koping
Perilaku Kekerasan
Mekanisme koping
adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas
yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada
klien marah untuk melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi:
menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu dorongan,
penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi:
menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
3. Represi:
mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi:
mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan dengan berlebih-lebihan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
Misalnya seorang yang tertarik pada teman-teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement:
melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek yang tidak begitu
berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya
Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya, mulai bermain perang-perangan
dengan teman-temannya. (Muhith, Abdul, 2015)
B.
Pohon
Masalah
Perilaku Kekerasan Harga diri rendah kronis Regiment terapeutik inefektif Gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran Isolasi sosial: menarik diri
Berduka disfungsional Koping keluarga tidak efektif
(Fitria, Nita 2010)
C.
Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1.
Resiko Perilaku Kekerasan.
2.
Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.
3.
Isolasi sosial: Menarik Diri.
4.
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah.
5.
Penatalaksanaan Regiment Terapeutik Inefektif.
D. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah
Keperawatan |
Data Yang Perlu
Dikaji |
Resiko perilaku kekerasan |
DS: -
Klien
mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk memukul dirinya
sendiri -
Keluarga klien mengatakan pernah membenturkan kepalanya
ke dinding -
Klien mengatakan saat marah tidak bisa mengontrol
emosinya -
Klien mengatakan pernah memukul istrinya -
Keuarga mengatakan di rumah klien sering merusak dan melempar-lempar barang. DO: -
Wajah klien tampak tegang -
Wajah memerah -
Tangan mengepal Pandangan mata tajam |
E. Diagnose Keperawatan
Resiko Perilaku
Kekerasan
F. Perencanaan Tindakan Keperawatan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN |
TUJUAN |
INTERVENSI |
Risiko Prilaku Kekerasan |
Selama perawatan
diruangan, pasien tidak memperlihatkan perilaku kekerasan, dengan criteria
hasil ·
Dapat membina
hubungan saling percaya. ·
Dapat
mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, bentuk dan akibat PK yang sering
dilakukan. ·
Dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol PK dengan cara : -
Fisik -
Sosial dan verbal -
Spiritual -
Minum obat teratur. ·
Dapat menyebutkan dan
mendemonstrasikan cara mencegah PK yang sesuai ·
Dapat memelih cara
mengontrol PK yang efektif dan sesuai ·
Dapat melakukan cara
yang sudah dipilih untuk mengontrl PK ·
Memasukan cara yang
sudah dipilih dalam kegitan harian ·
Mendapat dukungan
dari keluarga untuk mengontrol PK ·
Dapat terlibat dalam
kegiatan diruangan |
BHSP SP I: ·
Diskusikan penyebab,
tanda dan gejala, bentuk dan akibat PK yang dilakukan pasien serta akibat PK ·
Latih pasien mencegah
PK dengan cara: fisik (tarik nafas dalam & memeukul bantal) ·
Masukkan dalam jadwal
harian SP II: ·
Diskusikan jadwal
harian ·
Latih pasien
mengntrol PK dengan cara social ·
Latih pasien cara
menolak dan meminta yang asertif ·
Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian SP III: ·
Diskusikan jadwal
harian ·
Latih cara spiritual
untuk mencegah PK ·
Masukkan dalam
jadawal kegiatan harian SP IV ·
Diskusikan jadwal
harian ·
Diskusikan tentang
manfaat obat dan kerugian jika tidak minum obat secara teratur ·
Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian |
G.
Srategi
pelaksanaan Resiko perilaku kekerasan
1.
Orientasi
"Selamat pagi pak, sesuai janji saya dua jam yang lalu, sekarang
saya datang lagi untuk berdiskusi dengan bapak tentang mengontrol marah dengan
cara fisik, untuk cara yang kedua."
“Bagaimana pak? Berapa lama? Disini saja ya?"
2. Kerja
"Jika ada sesuatu
yang membuat bapak merasa jengkel, selain dengan napas dalam, bapak juga bisa
mengontrolnya dengan memukul kasur atau bantal."
"Sekarang mari
kita latihan memukul bantal atau kasur. Nah, mana kamar bapak? Jadi, jika nanti
bapak merasa kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan lampiaskan kemarahan
tersebut dengan memukul bantal atau kasur. Nah, coba bapak lakukan. Bagus...
bapak dapat melakukannya."
"Kekesalan
dilampiaskan pada kasur dan bantal.
"Cara ini pun
dapat dilakukan secara rutin jika ada rasa marah. Dan jangan lupa rapikan
kembali tempat tidurnya."
3. Terminasi
"Bagaimana perasaan bapak
setelah latihan menyalurkan amarah?" Ada berapa cara yang sudah kita
latih? Coba sebutkan lagi. Bagus!"
"Sekarang mari
kita masukkan jadwal latihan memukul kasur dalam aktivitas bapak. Lalu bila ada
keinginan marah sewaktu-waktu segera gunakan kedua cara tadi ya pak."
"Besok pagi
kita berjumpa lagiuntuk belajar cara mengontrol amarah
dengan belajar
bicara yang baik."
"Sampai
jumpa."
A.
Proses
Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Menurut
Casto (2010) defisit perawatan diri adalah gangguan persepsi tentang suatu
objek atau gambaran. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh pelaksanaan standar
asuhan keperawatan difisit perawatan diri akan mempengaruhi kemampuan kognitif
dan psikomotor pasien dalam merawat diri. Sedangkan menurut Thomas (2012)
defisit perawatan diri merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada
pasien dengan gangguan jiwa.
Defisit
perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan dalam kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan
aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Tidak ada
keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau
badan, bau napas dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah yang timbul pada
pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan
jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian merawat
diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku
negative dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun
masyarakat (Yusuf, 2015).
2. Tanda dan
Gejala
Menurut
Depkes (2000) dalam Dermawan, 2013, tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
1.
Fisik
-
Badan bau,
pakaian kotor.
-
Rambut dan
kulit kotor.
-
Kuku
panjang dan kotor.
-
Gigi kotor
disertai mulut bau.
-
Penampilan
tidak rapi.
2.
Psikologis
-
Malas,
tidak ada inisiatif.
-
Menarik
diri, isolasi diri.
-
Merasa tak
berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3.
Sosial
-
Interaksi
kurang.
-
Kegiataan
kurang.
-
Tidak mampu
berperilaku sesuai normal.
-
Cara makan
tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat, gosok gigi dan mandi tidak
mampu mandiri.
3. Rentang
Respon
Menurut
Dermawan (2013), adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai berikut:
Adaptif Maladaptif
|
||
Pola
perawatan diri seimbang |
Kadang
perawatan diri kadang tidak |
Tidak
melakukan perawatan diri pada saat stress |
Pola perawatan diri
seimbang: saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk berprilaku adaptif,
maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan
perawatan diri.
Kadang perawatan diri
kadang tidak: saat klien mendapatkan stressor kadang-kadang klien tidak memperhatikan
perawatan dirinya, Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
4. Faktor
Predisposisi
1)
Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2)
Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3)
Kemampuan
realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidak pedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4)
Sosial
Kurang dukungan dan
latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi lingkungan
mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
5. Faktor
Presipitasi
Faktor presipitasi
defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000, dalam
Dermawan, 2013), faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1)
Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2)
Praktik social
Pada anak-anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3)
Status
sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan
bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4)
Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat
penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien menderita
diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5)
Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu
sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6)
Kebiasaan
seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan
produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7)
Kondisi
fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan
untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
6. Mekanisme
Koping
Mekanisme koping pada
pasien dengan deficit perawatan diri adalah sebagai berikut:
1)
Regresi, menghindari stress,
kecemasan dan menampilkan perilaku kembali, seperti pada perilaku perkembangan
anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas (Dermawan,
2013).
2)
Penyangkalan
(Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan
dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan
(Yusuf dkk, 2015).
3)
Menarik
diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor,
misalnya: menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat
sering disertai rasa takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
4)
Intelektualisasi
suatu bentuk penyekatanemosional karena beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa sedih
karena kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015).
B.
Pohon Masalah
Effect Isolasi
Sosial
↑
Core Problem
Defisit Perawatan Diri
↑
Causa Harga
Diri Rendah Kronis
C.
Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan defisit perawatan diri menurut
Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
a.
Defisit
perawatan diri
b.
Harga diri
rendah
c.
Isolasi sosial
D.
Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan |
Data yang Perlu Dikaji |
Defisit
Perawatan Diri |
Subjektif: 1. Pasien merasa lemah 2. Malas untuk beraktivitas 3. Merasa tidak berdaya Objektif: 1. Rambut kotor, acak-acakan 2. Badan dan pakaian kotor dan bau 3. Mulut dan gigi bau 4. Kulit kusam dan kotor 5. Kuku panjang dan tidak terawat |
E.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosa yang muncul
pada defisit perawatan diri:
a.
Defisit
perawatan diri
b.
Gangguan
sensori persepsi: halusinasi
c.
Resiko
perilaku kekerasan
d.
Harga diri
rendah
e.
Isolasi sosial
F.
Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan merupakan suatu proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, dan
mengurangi masalah pasien (Hidayat, 2010). Menurut Sutejo (2017) Perencanaan
keperawatan pada klien dengan defisit perawatan diri yaitu:
a.
Tujuan
jangka panjang
Pasien dapat memelihara atau merawat
kebersihan secara mandiri.
1.
Bina
hubungan saling percaya.
Rasional:
Kepercayaan dari pasien merupakan hal
yang akan memudahkan perawatan dalam melakukan pendekatan keperawatan.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3
kali, pasien mampu menunjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat dengan kriteria
hasil:
2.
Ekspresi
wajah bersahabat
3.
Menunjukkan
rasa senang
4.
Bersedia
berjabat tangan
5.
Bersedia
menyebutkan nama
6.
Ada kontak
mata
7.
Bersedia
duduk berdampingan
8.
Bersedia
mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi:
Bina hubungan saling percaya dengan
prinsip komunikasi terapeutik:
1. Sapa pasien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Jujur dan menempati janji
6. Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
7. Beri perhatian pada pemenuhan kebetuhan dasar pasien
b.
Latih
pasien cara-cara perawatan diri
Rasional:
Pengetahuan tentang pentingnya perawatan
diri dapat meningkatkan motivasi pasien.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan
interaksi selama 2 kali, pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
dengan kritetia hasil:
1)
Pasien dengan
aman melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri.
Intervensi:
Melatih pasien cara-cara perawatan diri
dengan cara:
1.
Menjelaskan
pentingnya kebersihan diri.
2.
Menjelaskan
alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
3.
Menjelaskan
cara-cara melakukan kebersihan diri.
4.
Melatih pasien
mempraktikan cara menjaga
c.
kebersihan
diri.Latih pasien berdandan
Rasional:
Membiasakan diri untuk melakukan
perawatan diri sendiri.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 2
kali, pasien mampu melakukan tindakan perawatan, berupa berhias dan berdandan
secara baik dengan kriteria hasil:
1.
Pasien
dengan aman melakukan atau mempertahankan aktivitas perawatan diri berupa
berhias dan berdandan.
2.
Pasien berusaha
untuk memelihara kebersihan diri.
Intervensi:
Melatih pasien berdandan, dengan
rincian:
1.
Untuk pasien
laki-laki, latihan meliputi: berpakaian, menyikat rambut, bercukur.
2.
Memantau
kemampuan pasien dalam berpakaian dan berhias.
3.
Memonitor
atau mengidentifikasi adanya kemunduran sensori, kognitif, dan psikomotor yang
menyebabkan pasien mempunyai kesulitan dalam berpakaian dan berhias.
4.
Diskusikan
dengan pasien kemungkinan adanya hambatan dalam berpakaian dan berhias.
5.
Menggunakan
komunikasi/instruksi yang mudah dimengerti.
6.
Sediakan
baju bersih, sisir, dsb.
7.
Dorong
pasien untuk mengenakan baju sendiri dan memasang kancing dengan benar.
8.
Memberikan
bantuan kepada pasien jika perlu.
9.
Evaluasi
perasaan pasien setelah mampu berpakaian dan berhias.
10. Berikan reinforcemen atau pujian atas keberhasilan pasien
berpakaian.
d.
Diskusikan
dengan pasien akibat kurang/ tidak mau makan.
Rasional:
Identifikasi mengenai penyebab pasien
tidak mau makan menentukan intervensi perawat selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3
kali, pasien mampu melakukan kegiatan makan dengan baik dengan kriteria hasil:
e.
Kebutuhan personal
hygiene pasien terpenuhi.
f.
Pasien
mampu melakukan kegiatan makan secara mandiri dan tepat
dengan mengungkapkan kepuasan.
Intervensi:
1.
Memantau kemampuan
pasien makan.
2.
Identifikasi
bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien tidak mmau
makan.
3.
Identifikasi
adanya hambatan makan.
4.
Diskusikan
dengan pasien akibat kurang/tidak mau makan.
5.
Diskusikan
dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan.
6.
Menjelaskan
cara mempersiapkan makanan kepada pasien.
7.
Menjelaskan
personal hygiene tentang pola makan.
8.
Menjelaskan
cara makan yang tertib.
9.
Kaji budaya
pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri.
Rasional:
Mengetahui kebiasaan pasien dalam toileting dalam membantu perawat
melakukan intervensi selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu melakukan
BAB/BAK secara mandiri dengan kriteria hasil:
a.
Mampu duduk
dan turun dari toilet.
b.
Mampu
membersihkan diri setelah eleminasi secara mandiri/dibantu.
Intervensi:
1.
Bantu
pasien ke toilet
2.
Berikan
pengetahuan tentang personal hygiene dalam kaitannya dengan toileting.
3.
Menjelaskan
temmpat BAB/BAK yang sesuai.
4.
Menjelaskan
cara membersihkan diri setelah BAB/BAK.
5.
Menjelaskan
cara membersihkan tempat BAB dan BAK.
6.
Diskusikan dengan
keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh pasien.
Rasional:
Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk membantu pasien dan
member motivasi.
Tujuan jangka pendek:
Setelah interaksi selama 4 kali, keluarga mampu merawat anggota keluarganya
yang mengalami masalah.
Kurang perawatan diri dengan kriteria hasil:
1.
Keluarga
dapat mengetahui defisit perawatan diri pasien dan cara memberikan dukungan
dalam memberikan dukungan pada pasien dalam melakukan perawatan diri.
Intervensi:
1.
Anjurkan
keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan membantu mengingatkan
pasien dalam merawat diri.
2.
Anjurkan
keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien dalam merawat diri.
Tujuan
tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri, antara lain: pasien
mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri, pasien mampu melakukan
berhias/berdandan secara baik, pasien mampu melakukan makan dengan baik dan
pasien mampu melakukan defekasi/berkemih secara mandiri (Keliat, 2011, p.221).
Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah (Keliat, 2011, p.221):
a.
Melatih pasien
cara-cara perawatan kebersihan diri.
Dilakukan dengan cara menjelasan pentingnya menjaga
kebersihan diri, menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri,
menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri dan melatih pasien
mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri.
b.
Melatih pasien
berdandan/berhias.
Dilakukan dengan cara melatih pasien berdandan.
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi: berpakaian, menyisir rambut dan
bercukur. Adapun untuk pasien wanita, latihannya meliputi: berpakaian, menyisir
rambut dan berhias.
c.
Melatih pasien makan
secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan cara mempersiapkan
makan, menjelaskan cara makan yang tertib, menjelaskan cara merapihkan peralatan
makan setelah makan dan praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
d.
Mengajarkan pasien
melakukan defekasi/berkemih secara mandiri. Dilakukan dengan cara menjelaskan
tempat defekasi/berkemih yang sesuai, menjelaskan cara membersihkan diri setelah
defekasi/berkemih dan menjelaskan cara membersihkan tempat defekasi/berkemih.
G.
Srategi
pelaksanaan Defisit Perawatan Diri
1. Fase
Orientasi
Salam terapeutik
“Selamat pagi,
ibu. Perkenalkan nama
saya Yulia Wardah.
Saya biasa dipanggil Yulia. Saya perawat yang menjaga ibu pagi
ini. Nama ibu siapa?Biasa dipanggil siapa.”
Validasi
“Bagaimana perasaan ibu hari ini? Ibu
pagi ini sudah mandi? Sudah bergantibaju? Menurut ibu, apa ibu cukup bersih
sekarang?”.
Kontrak
“Ibu, sekarang kita akan berbincang-bincang
tentang pentingnya kebersihanibu. Mau dimana kita berbincang-bincang/ bagaimana
kalau diruang tamu?Mau berapa lama, ibu? Bagaimana kalau 15 menit?
2. Fase kerja
Berapa kali ibu mandi dalam sehari?
Apakah ibu sudah mandi hari ini? Menurut ibu apa kegunaannya mandi ? Apa
alasan ibu sehingga tidak bisa merawat diri? Menurut ibu apa manfaatnya kalau
kita menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat
diri dengan baik seperti apa ya...?, badan gatal, mulut bau, apa lagi...? Kalau
kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut ibu yang bisa muncul
?" Betul ada kudis, kutu...dsb.
"Apa yang ibu lakukan untuk merawat
rambut dan muka? Kapan saja ibu menyisir
rambut? Bagaimana dengan bedakan? Apa maksud atau tujuan sisiran dan
berdandan?"
3. Terminasi
"Bagaimana perasaan T setelah mandi
dan mengganti pakaian?
Evaluasi Obyektif
"Coba ibu sebutkan lagi apa saja
cara-cara mandi yang baik yang sudah ibu lakukan tadi?"."Bagaimana
perasaan ibu setelah kita mendiskusikan tentang pentingnya kebersihan diri
tadi? Sekarang coba Tina ulangi lagi tanda-tanda bersih dan rapi"
"Bagus sekali
Kontrak topik:
Baik besok lagi kita latihan berdandan.
Oke?"
Waktu:Pagi-pagi sehabis makan.
Tempat:
Disini aja ya
HALUSINASI
A.
Proses
Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Halusinasi
adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011) dalam
Zelika, (2015).
Halusinasi
adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai
dengan kenyataan Sheila L Vidheak, (2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut
Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam
membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2013). Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi.
2.
Jenis
Halusinasi
Beberapa
jenis halusinasi (Cancro
dan Lehman, 2000):
1.
Halusinasi Pendengaran
Meliputi
mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang, berbicara kepada
klien atau membicarakan klien. Mungkin ada satu atau banyak suara dapat berupa
suara orang yang dikenal atau tidak dikenal. Halusinasi perintah merupakan
bentuk halusinasi dengar yang berupa suara-suara yang menyuruh klien untuk
mengambil tindakan, sering kali membahayakan diri sendiri atau orang lain dan
dianggap berbahaya (Videbeck, 2008, p.362).
2.
Halusinasi Penglihatan
Melihat
bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau ornag
yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang bentuknya rusak, misalnya
melihat monster yang menakutkan padahal yang dilihat adalah perawat.
Halusinasi ini adalah jenis halusinasi kedua yang paling sering terjadi
(Videbeck, 2008, p.364).
3.
Halusinasi Penciuman
Mencium
aroma atau bau padahal tidak ada. Bau
tersebut dapat berupa bau tertentu seperti urine atau feses, atau bau yang
sifatnya lebih umum, misalnya bau busuk atau bau yang tidak sedap. Jenis
halusinasi ini sering kali ditemukan pada klien demensia, kejang, atau stroke
(Videbeck, 2008, p.364).
4.
Halusinasi Taktil
(perabaan)
Sensasi
seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh atau binatang kecil yang
merayap di kulit. Halusinasi taktil paling sering ditemukan pada klien yang
mengalami putus alkohol (Videbeck, 2008, p.364).
5.
Halusinasi Pengecapan
Rasa
yang tetap ada di dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa seperti
sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa logam atau pahit atau
mungkin seperti rasa tertentu (Videbeck, 2008, p.364).
6.
Halusinasi Kinestetik
Terjadi
ketika klien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan tubuh. Gerakan
tubuh kadang kala yang tidak lazim, misalnya melayang di atas tanah (Videbeck,
2008, p.364).
3.
Tanda
dan Gejala
Tanda dan gejala gangguan persepsi
sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai berikut (Dalami, dkk, 2014):
a.
Halusinasi penglihatan
1.
Melirikkan mata ke
kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja yang sedang dibicarakan.
2.
Mendengarkan dengan
penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak berbicara atau pada benda
seperti mebel.
3.
Terlihat percakapan
dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak tampak.
4.
Menggerakan-gerakan
mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab suara.
b.
Halusinasi pendengaran
1.
Tiba-tiba tampak
tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain, benda mati atau stimulus
yang tidak tampak.
2.
Tiba-tiba berlari
keruangan lain
c.
Halusinasi penciuman
1.
Hidung yang dikerutkan
seperti mencium bau yang tidak enak.
2.
Mencium bau tubuh
3.
Mencium bau udara
ketika sedang berjalan ke arah orang lain.
4.
Merespon terhadap bau
dengan panik seperti mencium bau api atau darah.
5.
Melempar selimut atau
menuang air pada orang lain seakan sedang memadamkan api.
d.
Halusinasi pengecapan
1.
Meludahkan makanan
atau minuman.
2.
Menolak untuk makan,
minum dan minum obat.
3.
Tiba-tiba meninggalkan
meja makan.
4.
Halusinasi perabaan
5.
Tampak menggaruk-garuk
permukaan kulit.
4.
Rentang
Respon
Menurut Stuart dan Laraia (2005)
halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalan
rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif.
Jika klien sehat, persepsinya akurat mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui pancaindra (pendengaran,
penglihatan, penghidu, pengecapan, peraban), klien dengan halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut
tidak ada. Rentang respon tersebut dapat digambarkan seperti dibawah ini
(Muhith, 2015):
Respon
Adaptif |
|
Respon
Maladaptif |
|
||
1.
Pikiran logis 2.
Persepsi akurat 3.
Emosi konsisten
dengan pengalaman 4.
Perilaku sesuai 5.
Berhubungsn sosial |
1.
Distorsi pikiran
ilusi 2.
Reaksi emosi
berlebihan 3.
Perilaku aneh atau
tidak biasa 4.
Menarik diri |
1.
Gangguan piker atau
delusi 2.
Halusinasi 3.
Sulit merespon emosi 4.
Perilaku
disorganisasi 5.
Isolasi sosial |
Respon adaptif adalah respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu akan dapat memecahkan
masalah tersebut. Respon adaptif meliputi:
a.
Pikiran logis adalah
pandangan yang mengarah pada kenyataan
b.
Persepsi akurat adalah
pandangan yang tepat pada kenyataan
c.
Emosi konsisten dengan
pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli.
d.
Perilaku sesuai adalah
sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
e.
Hubungan sosial adalah
proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
Respon psikososial meliputi:
a. Proses
pikir terganggu yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi
adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang benar-benar terjadi (objek nyata)
karena gangguan panca indra.
c. Emosi
berlebihan atau kurang.
d. Perilaku
tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi.
e. Batas
untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
f. Menarik
diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain.
Respon maladaptif adalah respon
indikasi dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari
norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif ini
meliputi:
a. Kelainan
pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social
b. Halusinasi
merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak
realita atau tidak ada
c. Kerusakan
proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
d. Perilaku
tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
e. Isolasi
sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.
6.
Faktor
Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor
presipitasi dapat meliputi (Dalami, dkk, 2014):
1.
Biologis
Hal
yang dikaji dalam faktor biologis meliputi: Adanya faktor herediter mengalami gangguan jiwa,
adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan Napza.
Abnormalitas
perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian
berikut:
a.
Penelitian pencitraan
otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan
perilaku psikotik.
b.
Beberapa zat kimia di
otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada
sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
c.
Pembesaran ventrikel
dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan
pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi
otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).
2.
Psikologis
Keluarga,
pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidup klien adanya kegagalan yang
berulang, kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
3.
Sosial Budaya
Kondisi
sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang
terisolasi disertai stress.
5.
Faktor
Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor
presipitasi dapat meliputi (Prabowo, 2014):
1.
Biologis
Gangguan
dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2.
Stress lingkungan
Ambang
toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
7.
Sumber
Koping
Sumber koping mempengaruhi reapon
individu dalam menanggapi stressor.
8.
Mekanisme
Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respon neurobiology termasuk (Dalami, dkk, 2014):
1.
Regresi, menghindari
stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali seperti pada perilaku
perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk menanggulangi ansietas.
2.
Proyeksi, keinginan
yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang lain karena
kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
keracunan persepsi).
3.
Menarik diri, reaksi
yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis, reaksi fisik
yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, misalnya menjauhi
polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering
disertai rasa takut
dan bermusuhan.
B. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan (Efek) |
↑ |
Perubahan persepsi sensori halusinasi
(penglihatan, pendengaran, pengecapan, perabaan dan penciuman) (Core
Problem) |
↑ |
Isolasi sosial: menarik diri (Etiologi) |
↑ |
Harga
diri rendah |
C. Masalah Keperawatan
Halusinasi
D. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan |
Data Yang Perlu
Dikaji |
Halusinasi |
Subjektif: 1.
Mendengar
suara-suara atau kegaduhan 2.
Mendengar suara yang
bercakap-cakap 3.
Mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya 4.
Melihat bayangan,
sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu dan monster 5.
Mencium bau-bauan
seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan 6.
Merasakan rasa
seperti darah, urine, feses 7.
Merasa takutan atau
senang dengan halusinansinya Objektif: 1.
Bicara atau tertawa
sendiri 2.
Marah-marah tanpa
sebab 3.
Mengarahkan telinga
kea rah tertentu 4.
Menutup telinga 5.
Menunjuk ke arah
tertentu 6.
Ketakutan kepada
seuatu yang tidak jelas 7.
Mencium sesuatu
seperti sedang membaui bau-bauan tertentu 8.
Menutup hidung 9.
Sering meludah 10.
Menggaruk-garuk
permukaan kulit. |
E. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis
keperawatan ditetapkan berdasarkan data subjektif dan objektif yang ditemukan
pada pasien. Diagnosis keperawatan pada gangguan ini adalah gangguan sensori
persepsi: Halusinasi (Keliat, 2011,
p.148).
F. Rencana Tindakan
Keperawatan
DIAGNOSA KEPERAWATAN |
TUJUAN |
INTERVENSI |
Gangguan
persepsi sensori: halusinasi |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien mampu mengontrol
halusinasi dengan kriteria hasil: · Klien
dapat membina hubungan saling percaya · Klien
dapat mengenal halusinasinya; jenis, isi, waktu, dan frekuensi halusinasi,
respon terhadap halusinasi, dan tindakan yg sudah dilakukan · Klien
dapat menyebutkan dan mempraktekan cara mengntrol halusinasi yaitu dengan
menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, terlibat/ melakukan kegiatan,
dan minum obat · Klien
dapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya · Klien
dapat minum obat dengan bantuan minimal · Mengungkapkan
halusinasi sudah hilang atau terkontrol |
1. Bina
hubungan saling percaya 2.
Adakan kontak sering
dan singkat secara bertahap. 3.
Observasi tingkah
laku klien terkait halusinasinya. 4.
Tanyakan keluhan
yang dirasakan klien. 5.
Jika klien tidak
sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi,
diskusikan dengan klien tentang halusinasinya meliputi : SP
I ·
Identifikasi jenis halusinasi Klien ·
Identifikasi isi
halusinasi Klien ·
Identifikasi waktu
halusinasi Klien ·
Identifikasi
frekuensi halusinasi Klien ·
Identifikasi situasi
yang menimbulkan halusinasi ·
Identifikasi respons Klien terhadap halusinasi ·
Ajarkan Klien
menghardik halusinasi ·
Anjurkan Klien
memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian SP
II ·
Evaluasi jadwal
kegiatan harian Klien ·
Berikan pendidikan
kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur ·
Anjurkan Klien
memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. ·
Beri pujian jika
klien menggunakan obat dengan benar. Keluarga 1.
Diskusikan masalah
yang dirasakn keluarga dalam merawat Klien 2.
Jelaskan pengertian
tanda dan gejala, dan jenis halusinasi yang dialami Klien serta proses
terjadinya 3.
Jelaskan dan latih
cara-cara merawat Klien halusinasi 4.
Latih keluarga
melakukan cara merawat Klien halusinasi secara langsung Discharge
planning : jadwal aktivitas dan minum obat SP
III ·
Evaluasi jadwal
kegiatan harian Klien ·
Latih Klien mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain ·
Anjurkan Klien
memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP
IV ·
Evaluasi jadwal
kegiatan harian Klien ·
Latih Klien
mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan (kegiatan yang biasa dilakukan
Klien di rumah) ·
Anjurkan Klien
memasukkan dalam jadwal kegiatan harian |
G.
Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Halusinasi
a. Tahap Orientasi
“Selamat pagi Bapak, Saya perawat Mardiana
yang akan merawat Bapak. Nama Bapak siapa? Bapak senang dipanggil apa?”
“Bagaimanakah
perasaaan Bapak hari ini, apa keluhan Bapak saat ini?”
“Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap
tentang suara yang selama ini bapak dengar tapi tak tampak wujud nya? Dimana
kita duduk? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana
kalau 15 menit?”
b.
Tahap
Kerja
“Apakah bapak mendengar suara tanpa ada
wujudnya? Apa yang dikatakan
suara itu? “Apakah terus – menerus
terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling sering dengar suara? Berapa kali sehari bapak alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?
“Apa yang bapak rasakan pada saat
mendengar suara itu? Apa yang bapak lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara -cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?”
“Bapak, ada empat cara untuk mencegah
suara-suara
itu muncul.
Pertama, dengan menghardik suara
tersebut.
Kedua dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.
Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah
terjadwal.
Empat, minum obat dengan teratur.”
Menggunakan teknik-teknik komunikasi tempelitik.
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara
dulu, yaitu dengan menghardik”.
Caranya sebagai berikut = saat suara-suara itu muncul langsung
bapak bilang, pergi saya tidakk mau mendengar, kamu suara palsu, begitu di
ulang-ulang sampai suara itu tak terdengar lagi. Coba bapak perangakan, nah
begitu, bagus, coba lagi, ya bagus bapak sudah bias.”
c.
Tahap terminasi
Bagaimana perasaan bapak setelah
peragaan latihan tadi?”
Kalau suara-suara itu muncul lagi.
Silahkan cara-cara tersebut.
Bagaimana kalau kita buat jadwal
latihannya?
Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk
belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara kedua, jam berapa
pak? Bagaimana kalau 2 jam lagi?
Berapa lama kita akan berlatih?
Dimana tempatnya?
Baiklah sampai jumpa”.
ISOLASI SOSIAL
A. Proses Terjadinya
Masalah
1. Pengertian
Isolasi
sosial menurut Townsend, dalam Kusumawati F dan Hartono Y (2010) adalah suatu
keadaan kesepian yang dirasakan seseorang karena orang lain menyatakan negatif
dan mengancam. Sedangkan Menarik diri adalah usaha menghindari interaksi dengan
orang lain. Individu merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalanya (Depkes,
2006 dalam Dermawan D dan Rusdi, 2013).
Isolasi
sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dengan orang lain disekitarnya (Keliat, 2011).
Jadi
isolasi sosial Menarik diri adalah suatu keadaan kesepian yang dialami
seseorang karena merasa ditolak, tidak diterima, dan bahkan pasien tidak mampu
berinteraksi untuk membina hubungan yang berarti dengan orang lain
disekitarnya.
2. Tanda dan
gejala
Tanda
dan gejala yang muncul pada klien dengan isolasi sosial: menarik diri menurut
Dermawan D dan Rusdi (2013) adalah sebagai berikut:
a. Gejala
Subjektif
-
Klien menceritakan
perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
-
Klien merasa tidak aman
berada dengan orang lain.
-
Respon verbal kurang
atau singkat.
-
Klien mengatakan
hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
-
Klien merasa bosan dan
lambat menghabiskan waktu.
-
Klien tidak mampu
berkonsentrasi dan membuat keputusan.
-
Klien merasa tidak
berguna.
-
Klien tidak yakin dapat
melangsungkan hidup.
-
Klien merasa ditolak
b. Gejala
Objektif
-
Klien banyak diam dan
tidak mau bicara
-
Tidak mengikuti
kegiatan
-
Banyak berdiam diri di
kamar
-
Klien menyendiri dan
tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat
-
Klien tampak sedih,
ekspresi datar dan dangkal
-
Kontak mata kurang
-
Kurang spontan
-
Apatis (acuh terhadap
lingkungan)
-
Ekpresi wajah kurang
berseri
-
Tidak merawat diri dan
tidak memperhatikan kebersihandiri
-
Mengisolasi diri
-
Tidak atau kurang sadar
terhadap lingkungan sekitarnya
-
Memasukan makanan dan
minuman terganggu
-
Retensi urine dan feses
-
Aktifitas menurun
-
Kurang enenrgi (tenaga)
-
Rendah diri
-
Postur tubuh berubah, misalnya sikap
fetus/janin (khusunya pada posisi tidur).
3. Rentang
Repson
Menurut Stuart (2007).
Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada masa remaja atau lebih awal
dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut merupakan pola respon
maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat menyababkan
disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
respon maladaptif
kesepian menarik diri ketergantungan manipulasi impulsive narsisisme menyendiri otonomi kebersamaan saling
percaya
Respon adaptif adalah respon individu
dalam menyelesaikan dengan cara yang dapat diterima oleh norma-norma
masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon ini meliputi:
-
Menyendiri
Merupakan
respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau
dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
-
Otonomi
Merupakan
kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan
dalam hubungan sosial, individu mamapu menetapkan untuk
interdependen dan pengaturan diri.
-
Kebersamaan
Merupakan
kemampuan individu untuk saling pengertian, saling member, dan menerima dalam
hubungan interpersonal.
-
Saling ketergantungan
Merupakan
suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar individu
dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu
dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang bertentangan dengan
norma-norma agama dan masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013)
respon maladaptive tersebut adalah:
a. Manipulasi
Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai
objek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol
digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi
alat untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif
merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak
dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan tidak mampu untuk
belajar dari pengalaman dan miskin penilaian.
c. Narsisme
Respon
sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku ogosentris, harga diri yang rapuh,
terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak
mendapat dukungan dari orang lain.
d. Isolasi
sosial
Adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain.
5. Faktor
Predisposisi
Menurut Fitria
(2009) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:
1.
Faktor tumbuh kembang
Pada
setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas perkembangan yang harus
terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas
tersebut tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang
nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.
2.
Faktor komunikasi dalam
keluarga
Gangguan
komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi
sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
hubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
3.
Faktor sosial budaya
Norma-norma
yang salah didalam keluarga atau lingkungan dapat
menyebabkan hubungan sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak
produktif seperti lanjut usia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat
diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4.
Faktor biologis
Faktor
biologis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan dalam
hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi gangguan hubungan sosial
adalah otak, misalnya pada klien skizfrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal
6.
Faktor Presipitasi
Menurut
Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1. Faktor
eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor
internal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi akibat
kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi
akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi
kebutuhan individu.
7.
Sumber Koping
·
keterlibatan dengan jaringan kekeluargaan dan pertemanan
·
hubungan dengan hewan peliharaan
·
penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal :
musik, seni, menulis, dll.
8. Mekanisme
Koping
a. koping
terkait dengan kepribadian anti sosial :
· proyeksi
· splitting (memisahkan)
· devaluasi orang lain
b. koping kepribadian batas :
· splitting
· reaksi formasi
· proyeksi
· isolasi
· idealisasi orang lain
· devaluasi orang lain
· identifikasi proyektif
I. Pohon Masalah
core problem
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
J. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
·
Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
·
Solasi sosial : menarik diri
·
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
K. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan |
Data yang perlu dikaji |
Isolasi sosial |
Subjektif : ·
klien mengatakan saya tidak
mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri Objektif : ·
klien terlihat lebih suka
sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif Tindakan, ingin mencederai
diri/ingin mengakhiri hidup |
L. Diagnosis Keperawatan
Isolasi sosial: menarik diri
M.
Rencana Tindakan Keperawatan
RENCANA TINDAKAN |
||
DIAGNOSA KEPERAWATAN |
TUJUAN |
INTERVENSI |
Isolasi sosial |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam klien dapat berinteraksi denngan orang lain baik secara
individu maupun secara berkelompok dengan kriteria hasil: v
klien dapat membina hubungan
saling percaya v
dapat menyebutkan penyebab
isolasi sosial v
dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan orang lain v
dapat meneyebutkan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain v
dapat berkenalan dan
bercakap-cakap dengan orang lain secara bertahap v
terlibat dalam aktivitas
sehari-hari |
TINDAKAN
PSIKOTERAPEUTIK v
klien SP 1 ·
bina hubungan saling percaya ·
identifikasi penyebab isolasi
sosial SP 2 ·
diskusikan Bersama klien
keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi
dengan orang lain ·
ajarkan kepada kllien cara
berkenalan dengan satu orang ·
anjurkan kepada klien untuk
memasukkan kegiatan berkenalan dengan orang lain dalam jadwal kegiatan harian
dirumah SP 3 ·
evaluasi pelaksaan dari
jadwal kegiatan harian klien ·
beri kesempatan pada klien
mempraktekkan cara berkenalan dengan dua orang ·
ajarkan klien
berbincang-bincang dengan dua orang dengan topik tertentu ·
anjurkan kepada klien untuk
memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain dalam jadwal
kegiatan rumah SP 4 ·
evaluasi pelaksanaan dari
jadwal kegiatan harian klien ·
jelaskan tentang obat yang
diberikan (jenis, dosis, waktu, manfaat dan efek samping obat) ·
anjurkan klien memasukkan
kegiatan bersosialisasi dalam jadwal kegiatan harian rumah ·
anjurkan klien untuk
bersosialisasi dengan orang lain |
N. Srategi Pelaksanaan Isolasi Sosial
1. Orientasi
“Assalamualaikum
pak, saya perawat yang akan merawat bapak, perkenalakan pak nama saya I, senang
dipanggil I, nama bapak siapa? Sebang dipanggil apa? Bagaiamana kabar bapak
hari ini, apa keluhan bapak hari ini? Bagaimana kalau kita bercakap-cakap
tentang keluarga dan teman-teman bapak? Mau dimana kita bercakap-cakap?
Bagaimana kalau diruang tamu? Mau berapa lama pak? Bagaimana kalau 15 menit?
2. Fase kerja
“Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa
yang paling dekat dengan bapak? Siapa yang jarang bercakap-cakap dengan bapak?
Apa yang membuat bapak jarang bercakap-cakap?” “apa saja kegiatan yang bisa
bapak lakukan dengan temanteman yang bapak kenal? Apa yang menghambat bapak
dalam bereteman atau bercakap-cakap dengan orang lain? Menurut bapak apa saja
keuntungan kalau kita mempunyai teman? Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa
lagi pak? ( sampai pasien dapat menyebut beberapa). Nah kalau kerugian tidak
mempunyai teman apa ya pak? iya apa lagi pak? (sampai pasien dapat menyebutkan
beberapa). Jadi banyak juga ruginya kalau tidak punya teman ya pak. Kalau
begitu inginkah bapak belajar bergaul denga oran lain? bagus, bagaiaman kalau
sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain?” Begini loh pak, untuk
berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan
yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: perkenalkan nama saya S, senang di
panggil S, asal saya dari lampung, hobi saya main volley. Selanjutnya bapak
menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini: nama bapak
siapa ? Senang di panggil apa? Asalnya dari mana? Hobinya apa? Ayo pak dicoba!
Misalnya saya belum kenal dengan bapak, coba bapak berkenalan dengan saya” “ Ya
bagus sekali!coba sekali lagi pak,iya bagus sekali pak, nah setelah bapak
berkenalan dengan orang tersebut bapak dapat melanjutkan percakapan tentang
hal-hal yang menyenangkan untuk bapak bicarakan. Misalnya tentang cuaca,
tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainnya”.
3. Terminasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita latihan
berkenalan?” “bapak tadi sudah mempraktikan cara bereknalan dengan baik sekali”
“Selanjutnya, bapak dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama
saya tidak ada. Sehingga bapak lebih siap untuk berkenalan dengan orang
lain.bapak mau mempraktikan dengan orang lain? Mau jam berapa mencobanya pak?
Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan harian bapak ya?”
Astuti, L. I. (2019).
Gambaran Defisit Perawatan Diri Pada Pasien Dengan Skizofernia Di
Wisma Sadewarsj Grhasia Daerah Iatimewa Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah,
16-25.
Dermawan
D Dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Fitria,
Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba
Medika.
Fitria,Nita, (2010). Prinsip
Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP); penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Herman, Ade.
2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Ika Rusman.2009.
Keperawatan Kesehatan Mental Terintegrasi dengan Keluarga.
Jakarta: Sagung
Seto.Riyardi S dan Purwanto T. 2013.
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: GRAHA ILMU.
Irwan. Farhanah Dkk. (2018). Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Halusinasi. 4-20.
Ilham, T. V. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien Halusinasi
Di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota Padang. Karya
Tulis Ilmiah, 8-16.
Keliat,
B.A, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHM (Basik Keliat Course).
Jakarta: EGC.
Keliat.
1998. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV
Andi Offset,
Yogyakarta.
Nurjanah,
Intan Sari. 2005. Komunitas Keperawatan. Yogyakarta: Moco Med.
Nanda.
2011. Panduan Diagnose Keperawatan
Nanda 2009-2011. Jakarta: EGC.
Wijayaningsih, (2015). Praktik
klinik keperawatan jiwa; Penerbit CV. Trans Info
Media, Jakarta.
Stuart
Dan Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Ed 5. Jakarta: EGC.
Stuart Dan Sundeen, 2000. Principles And Practice Of Psychiatric Nursing.
St.
Louis: Mosby
Year Book.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk
Keperawatan. Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment