DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................i
DAFTARISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
.....................................................................1
A.
LatarBelakang .........................................................……….………….1
C. rumusan masalah…………………..............………………………………1
BAB III PENUTUP ........................................................................11
A.
Kesimpulan ......................................................................................11
B. Saran
...................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA
.................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belakangan ini penelitian
tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena
pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran
keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai
di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan
fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam,
atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu
sendiri. Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam,
dan bahkan secara amat dominan, fiqih — terutama fiqih abad pertengahan —
mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena
itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak
semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan
baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas di dalam makalah tentang Pernikahan ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian mazhab
2. Latar belakang munculnya
mazhab
3. Macam mcam mazhab dalam
fikih
BAB II
PEMBAHASAN
1. PengertianMadzhab
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang
berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang
baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara
atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama
Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah
melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya
menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya,
dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
a.
Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara
yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan
pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan ikhtilaf(perbedaan pendapat) di kalangan sahabat ada tiga yakni
1. Perbedaan para sahabat dalam
memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat
disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena
ra’yu.
Sementara
Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW.Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan
masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan
Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di
berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini
dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini
dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang
oleh Daulah Abbasiyyah. Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa
pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih
pada periode ini.
Dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab
munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini
tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali
– seperti yang ada sekarang. Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan
bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi
sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab
saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang
mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin
Yasar al-Bashir (wafat 110 H.)
, Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat
150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157
H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin
Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan
bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.),
dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) . Muhammad Khudari Beik
(ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu
Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode
keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang
terakhir adalah periode kemunduran fiqih.
1.
Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan
Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan
penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah S.A.W. Sumber hukum
ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi S.A.W.Periode awal ini juga dapat
dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah
Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada
periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian
mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah,
ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan
hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun
muamalah.
2.
Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk
pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini,
disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan
ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul di tengah masyarakat.
3.
Periode awal
pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad
ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah
satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan
menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad
hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4.
Periode keemasan. Periode
ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam
periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan
Islam Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode
ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan
yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang
ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha
untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan
sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya
dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam
Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun.Periode keemasan ini
juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara
kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir
oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini
adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing
mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah
al-mursalah.
5.
Periode tahrir, takhrij, dan tarjih Periode ini dimulai
dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan
dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama
masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para
imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan
ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill
(mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad,
maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya
ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid
yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat
dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah
sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama
kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling
tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. Dorongan
para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah
saja. Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan
(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di
kalangan murid imam mazhab. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing
mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan
buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad
terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini
sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan
talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa
ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-
‘Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293.
Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh
yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah
perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada
masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan
kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang
dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar
(terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas
pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah
dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa
ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. Munculnya upaya
pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat
fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai
mazhab. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki
Usmani,
seperti diberlakukannya istilah
at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri
(penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan
hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat
tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan zaman, Muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan
pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya,
pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada
dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan
kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk
melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah.
Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang
berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator
atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut.
Fatwa ini dikemukakan oleh
Maula Abi as-Su ‘ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman
al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti
Kerajaan Turki Usmani).Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum
(fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa
pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang
merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki
Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau
merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama dan
yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa
Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang
pokok agama maupun dalam bidang cabang – cabang agama.
Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam
kalangan umat islam di bidang ushul dan bidang furu’. Perselisihan yang terjadi
dikalangan sahabat ialah mengenai pendapat bahwa : “apakah Nabi benar – benar
meninggal atau hanya diangkat Allah saja” . Sedang dibidang amaliyah,
perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu mengenai khlifah
dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan – perselisihan yang
timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian
hari.
Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab :
1.
Golongan para sahabat yang berani membahas dan
menganalisa, dan berani memberi fatwa baru tanpa ragu. Golongan sahabat ini
merupakan mereka yang ememahami, mendalami di jiwa syari’at.
2.
Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa –
fatwa terhadap kejadian – kejadian yang baru. Golongan para sahabat ini
merupakan mereka.
3.
Macam – macam madzhab
Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)- Mazhab Hanafi Imam Abu Hanifah adalah
seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan. Beliau
mempergunakan qiyas dan istihsan apabila tidak memeperolah nash dalam
kitabullah, sunnaturrasul atau Idjma’. Hingga terciptalah Madzhab beliau atau
yang sering kita kenal dengan Madzhab Hanafi. Nama beliau yang sebenarnya
adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di
kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan
kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang
mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’. Metode
ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada
Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak
menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum
sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan
sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab
fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat
dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik
bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .Pada akhir
hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar
Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman
beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga
Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada
beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan
palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada
sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu
Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud . Para ahli
sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70
tahun.
a.
Imam Maliki (Tahun 93 – 179
H.)- Mazhab Maliki
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan
julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al
Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama
waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah . Dalam sumber lain
menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu
‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al
Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal
Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli
dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam
Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang
berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa
Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari
hadits-hadits dan atsar.
Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau
berpegang kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini
Imam malik tidak memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu
Hanifah.
b. am Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)-mazhab Syafi’I
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin
Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu
Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Sebagian besar riwayat menyebutkan
bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan
Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi
Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa
oleh ibunya untuk pindah ke Makkah Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i
sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits
Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih
Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial
masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’I dalam membentuk
pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat
dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan
dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul
jadid (mazhab baru). Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i
dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa
pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan
para ahli fiqih rasional Irak. Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama
berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.
Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya
Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga
tahun. Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan
atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah.
Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan
kematangan pemikiran Syafi’i. Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir
hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan
sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya.
Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan
ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
c.
Imam Hambali (Tahun 164 –
241 H.)-Madzhab Hambali
Nama
lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal
dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.Ilmu yang pertama
kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau
juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal banyak orang
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari
dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah,
Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid,
Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin
Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin
Ma’qil. Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan
belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol
adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam
Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya,
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.sehingga
madzhab Hambali pun ada. Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah
menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal
dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri
delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
2. Dasar Dasar Fiqh Empat
Madzhab
Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi Abu
Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara
terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar
bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya
kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan
apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi
saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih
pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan
Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya
berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu
Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya
jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum,
maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash
tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah
dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan
hukum disebut “melalui qiyas”. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah
dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami
suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran
utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan
teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya.
Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan
teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad.
Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash
dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan
tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis
yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan
qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an
dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih
yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan
Sunnah. Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang
benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih
Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada
pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin
Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum
seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah
mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak
pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional
kepadanya.
a.
Dasar-dasar Fiqih Mazhab
Maliki Seperti halnya Imam Hanafi,
Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi
pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik
dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam
Malik kemudian menuliskannya. Dari beberapa isyarat yang ada dalam
fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan
dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa
dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur
Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah
(pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi
orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at
al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya
Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut :
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat,
maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi,
seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu
ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio)
b.
Dasar-dasar Fiqih Mazhab
Syafi’I
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan
bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori
istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan
suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.Pemahaman
integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari
pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal,
menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an,
merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum
tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an. Hipotesa menarik lainnya dalam
pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang
muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk
membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam
menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan
nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa,
zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai,
darah dan yang lainnya. Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam
Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat,
waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus
dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang
menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan
suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan
Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi
dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk
berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
C . Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran
fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin
Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima
dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab
Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan
nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad
memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas,
dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara
khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd
al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah. Dari
dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam
Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia
lebih mendahulukan penggunaan qiyas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempurnan di tangan
murid-muridnya, disusun secara sitematis sehingga mengasilkan kitab-kitab fiqh
mazhab. Ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh itulah yang diikuti para
pengikutnya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para
hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitabkitab fiqh peninggalan imam mazhab ini
merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan dan perkembangan pemikiran
mazhab tersebut hingga sekarang.
Ringkasnya, pebedaan
pendapat atau timbulnya mazhab itu telah ada dimasa sahabat, terus berkembang
hingga masa tabi’in, kemudian meluas sesuai dengan makin berlipat gandanya
“Peristiwa Baru” yang bermunculan. Mereka telah berhasil memberikan beragam
jawaban terhadap masalah-masalah baru tersebut, malah ulama-ulama masa lampau
itu telah melewati peristiwa-peristiwa yang terjadi, sehingga mereka telah
sukses dalam menciptakan rumusan fiqh andaian.
DAFTAR PUSTAKA
• Ash-Shiddieqy, Prof. M.T.
Hasbi. 1953. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU FIQH. Yogyakarta: Untuk Kalangan
Sendiri
• Syalthut, Prof. Dr.
Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh Madzhab . Bandung : Pustaka Setia
• Ash-Shiddieqy, Prof. M.T.
Hasbi. 1968. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta : C.V. Mulya
• http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
• http://himawarief.blogspot.com/2009/12/latar-belakang.html
No comments:
Post a Comment