BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah)
agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi
Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada
misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini,
persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan
syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama
periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran
pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara
harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga
diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara
umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi
melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring
dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di
kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis
maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi
patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para
malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak
manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah,
Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta
aliran-aliran lainnya.
Di era modernisasi
sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang
cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya
dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap
benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan
pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih
dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui
penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan
membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang
berada pada kaum Mu’tazilah.
Makalah ini akan mencoba
menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Aliran
Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
2. sekte sekte
pemahaman qadariah
3. tokoh tokoh
mu’tazilah dan pemikiranya
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian
Aliran Jabariyah , Qadariyah, dan Mu’tazilah
2. agar memaham sekte sekte pemahaman
qadariah
3. untuk mengetahui
tokoh tokoh mu’tazilah dan pemikiranya
BAB II
PEMBAHASAN
A. ALIRAN JABARIYAH
1. Pengertian Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut
al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu,
aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul
melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan
bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa
(majbur).
Menurut Harun
Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak
memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar
belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat yang lain
mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang
ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas
ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
.
Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
a. Bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat,
buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
b. Bahwa Allah tidak mengetahui
sesuatu apapun sebelum terjadi.
c. Ilmu Allah bersifat
Huduts (baru)
d. Iman cukup dalam hati saja
tanpa harus dilafadhkan.
e. Bahwa Allah tidak
mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
f. Bahwa surga dan neraka
tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal
dan abadi hanyalah Allah semata.
g. Bahwa Allah tidak dapat
dilihat di surga oleh penduduk surga.
h. Bahwa Alqur'an adalah
makhluk dan bukan kalamullah
B. ALIRAN QADARIYAH
1. Pengertian Dan Penisbatan
Paham Qadariyah
Pengertian Qadariyah
secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan
dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin
sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah
adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kaum Qadariyah
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan
perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama
Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan.
Sedangkan nama Qadariyah
diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan
pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan
(qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam
teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom
of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak
atau kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas
dialamatkan kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah
menentukan segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang
jahat sekalipun.
Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh
orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu
menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka
anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah
ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa:“kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”,
dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.
Jadi istilah Qadariyah
dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada
taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir.
Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar
takdir ialah:
a.
Tersebar luasnya madzhab asy’ariyah sehingga menjadikan kaum
qadariyah dan mu’tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy’ariyah yang
mayoritas.
b.
Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut
agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi
hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada
diluar takdir ilahi
Dikemukakan pula
dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah
sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan
sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:
Artinya : “Katakanlah
kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan
barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam
ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan
lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan
Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan
Mu’tazilah.
Jadi istilah Qadariyah
dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada
taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir.
Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar
takdir ialah:
a. Tersebar luasnya
madzhab asy'ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu'tazilah sebagai
minoritas dihadapan kaum asy'ariyah yang mayoritas.
b. Tuduhan adanya kesamaan
antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa
kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan
saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi
2. Asal Usul Kemunculan Paham Qadariyah
Sejarah lahirnya aliran
Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah
perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan
Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan
dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen,
kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam
kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri
sekitar tahun 700M.
Iftiraq (perpecahan) itu
sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu terbunuh.
Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun
ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin
Abi
Thalib, barulah muncul
kelompok Khawarij dan Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan pada masa kekhalifahan
Utsman Radhiyallahu ‘anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang
sebenarnya.
7. Sekte Paham Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu
kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak
pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham
Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari
mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu
adalah Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah,
Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab
Shalih Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah.
Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya
Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang
mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran)
tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah
keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu
menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan
saling berlawanan. Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil
perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber
pada tiga pemahaman.
- Golongan
Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta
mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka
berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak
mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
- Qadariyah
majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam
penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama
menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya,
sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak
Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
- Qadariyah
Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua
perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini
membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian
mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham
lainnya (Ahlussunah wal jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:
- Qadariyah
yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir
- Qadariyah
yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.
Kita tahu ketika faham
qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam yang bukan
berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam
pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran
islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita
lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:
Artinya:
“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”,
dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul
pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an sebagia
sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada
Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada
faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada
faham jabariyah..
C. ALIRAN MU’TAZILAH
1. Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari
bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad
Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya.
Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu
arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan
huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang
dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir
atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang
terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan
“ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena
konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan
Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka
tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan
disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau
menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari
Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya
dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa
bahkan diberi kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan
sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300
tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula
kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama
Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan
yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan
Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka
mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran
mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di
kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada
masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan
dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan
Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif
mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu
hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan
tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar
khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan
sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu,
menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada
diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia
berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan
membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna”
(Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan
kepada mereka.
b. Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau
pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah
ini, yaitu :
1.
Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri
(meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin
Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan
pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada
Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu
tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari
majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid
Basrah itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah,
karena ia mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.
2.
Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai
Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang
Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat
menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah
dari bani Umayyah.
3.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil
dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya
karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang
berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh
karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
4.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa
Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan
majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah
mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri
dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah
kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
5.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al
Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang
yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat
diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian
mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan
mukmin dan kafir.
c. Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata
dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai
penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar)
yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al-
Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut
paham Mu`tazilah
Berikut penjelasannya
masing-masing yaitu :
a. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa
Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi
sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran
adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya
mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak
dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan
menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan
mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha
mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya.
d. Akar
dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai
sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud
akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan
pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran
adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka
yakini tersebut.
e. Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah berdasarkan versi
mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang
memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah
bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa
keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang
menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah
(pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan
untuk melakukan kekerasan.
2. Mu’tazilah
Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah
adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun
khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan
aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.
f. Perkembangan Mu’tazilah
Pada awal
perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya
dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum
muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para
sahabat.
Kelompok ini
baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada
masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M).
kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab
resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam
tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan
yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain.
Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah.
Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq
Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah
SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti
diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak
kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada
yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah
al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat
pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini.
Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim
tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam
pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga
tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah
yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena
tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat
Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa
al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak
simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil
membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan
menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan
selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti
Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad,
kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran
Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah
buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak
awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di
berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
g. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
a. Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
b. Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang
pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota
Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan.
Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran
dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun
(Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan
politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi
sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
c. Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui
banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan
Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya
yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu
yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa
kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
d. Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan
al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai
kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu
tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni
kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah)
dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
e. An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting
adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa
untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya,
al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada
hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil,
bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat
bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paham
Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya.
Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak
dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan
Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim
dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim.
Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.
Intinya paham Qadariyah
menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa
campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. .
Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free
will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.
Mu`tazilah mempunyai lima
ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap
sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh
golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai
aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi
oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul
karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui
kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya
memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist
untuk menahan pendirian mereka.
B. Saran
Setiap
muslim bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam,
karena itu setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam
kehidupan sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Al-Dar
Al-Fikr: Beirut. Press, Jakarta, 1986.Watt, Montgomery. W. Islamic
Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburg
University, 1992.Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah
analisis perbandingan, UI http://
blogspot.co.id/2017/04/ aliran-jabariyah.html.
http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D
http://cakrowi.blogspot.com/.../kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.
http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/03/10/asal-usul-pandangan-dan-pendapat-aliran-jabariyah/
http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com/
http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html
http://fahimganteng.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html
Sufyan Raji Abdullah. Mengenal
aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya. Jakarta: Pustaka
Riyadl. 2007
Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996.
Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup
Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1990.
https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqah-qadariyah-gen-firqoh-dan-akar-bidah/.
https://shafavolefel.wordpress.com/2015/12/16/contoh-makalah-qadariyah/
http://karyacombirayang.blogspot.co.id/2015/10/aliran-qadariyah.html
http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/10/aliran-qadariyah.html
Nasution, Harun. 1986. Teologi
Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir Ahmad,
Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali
pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon.
2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku
Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Sudarsono. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M.
2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-usul.htmlhttp://www.fauzulmustaqim.com/2015/11/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
No comments:
Post a Comment