Tugas Keperawatan Anak
ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian
Epilepsi
merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari
pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai
dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, atau gangguan fenomena sensori. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau
lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain,
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
1.2 Epidemiologi
A. Frekuensi
·
Amerika
Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami
kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak
mengalami 1 kali rekurensi.
·
Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas
serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India,
8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.
B. Mortalitas/Morbiditas
·
Kejang
demam biasanya tidak berbahaya.
·
Anak
dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang
tidak (2% : 1%).
·
Faktor
resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks,
riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan
pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10%
mendapatkan kejang demam.
C. Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.
D. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan
kejadian lebih tinggi pada pria.
E. Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3
bulan sampai 5 tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asuhan Keperawatan Kejang Demam
A. Definisi
Kejang
demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau
lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain,
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
B. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam
belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh :
·
infeksi
saluran pernafasan atas,
·
otitis
media,
·
pneumonia,
·
gastroenteritis,
dan
·
infeksi
saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu
seperti difenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi
yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.
C. Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi
kejang demam adalah :
1.
Umur
a.
3%
anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b.
Insiden
tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi
pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c.
Serangan
pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.
2.
Jenis
kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi
pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini
mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki.
3.
Suhu
badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat
mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan
merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak,
berkisar antara 38,3°C – 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan
mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat
sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu
meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang
yang rendah.
4.
Faktor
keturunan
Faktor keturunan memegang peranan
penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 –
50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga ( orang tua,
saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.
Faktor resiko kejang demam pertama
yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama
pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7
Faktor –faktor lain diantaranya:
·
riwayat
kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
·
perkembangan
terlambat,
·
problem
pada masa neonatus,
·
anak
dalam perawatan khusus, dan
·
kadar
natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau
lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang
rekuren.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang
rekuren.
·
Faktor
resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
·
Usia
muda saat kejang demam pertama
·
Suhu
yang rendah saat kejang pertama
·
Riwayat
kejang demam dalam keluarga
·
Durasi
yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
·
Pasien
dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren. Pasien
tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.
D. Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak
memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa melalui suatu proses
oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang
disediakan dengan perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan
ke otak melalui sistem kardiovaskular.
Suatu sel, khususnya sel otak atau
neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran
permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat
lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat
sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah
oleh adanya :
1.
perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2.
rangsangan
yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik
dari sekitarnya
3.
perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada
keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak
dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepasnya
muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah
kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi
rendahnya nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu
tubuh tertentu.
Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu
38°C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru
terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang yang
rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan mendapat
serangan.
Kejang
demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa
terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang
berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya epilepsi.
Berdasarakan
referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada
beberapa faktor fisiologis yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai
kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge
(rabas) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge
(rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik.
Bukti
baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glutamat,
aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksistasi neuron dengan
bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari
daerah kematian neuron dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian
neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps
hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus
temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi
arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara
bedah.
Kejang
mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang
percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak
subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi berulang
(misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya epilepsi pada manusia pasca
cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang-ulang
dari lobus temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui
korpus kallosum.
Kejang
adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu
pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) , yang
menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan rerhadap kejang
spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik
menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis
kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi
kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus
benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik
progresif (21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar
molekular epilepsi tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan
kejang-kejang linglung, akan dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu
memegang peran integral pada terjadinya kejang menyeluruh.
Aktivitas
kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan peningkatan
pada ambilan 2 deoksiglukosa pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau
tidak ada aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang imatur
mengalami kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu
dapat memainkan peran pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran
pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur. Lagipula, neuron pars
retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars reticulata (SNR)
sensitif-asam gama aminobutirat (GABA) memainkan peran pada pencegahan kejang.
Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia abu-abu mengatur dan memodulasi
penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian
eksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme
non-sipnapsis perambatan kejang dan kelainan seseptor GABA.
E.
Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak
dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada
umur 18 bulan.
Kejang
demam dibagi atas :
1.
Kejang
demam sederhana (simple febrile seizure).
·
Berlangsung
singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
·
Kejang
berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal.
·
Kejang
hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
·
Kejang
demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2.
Kejang
demam kompleks (Complex febrile seizure)
·
Berlangsung
lama (> 15 menit).
·
Kejang
fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
·
Kejang
berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didauhului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.
F. Manifestasi Klinik
Kejang yang terkait dengan kenaikan
suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 30oC
atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10
menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang
menetap lebih lama 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi
atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh.
Ketika demam tidak lagi ada pada saat
anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah
menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada
keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan
pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran
pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam
yang paling sering.
Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
ada kelainan neurologi.
1.
Anamnesis
·
Adanya
kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi,
interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
·
Riwayat
Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga
(kakak-adik, orang tua)
·
Singkirkan
dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.
2.
Pemeriksaan
Fisik
·
Kesadaran
·
suhu
tubuh
·
tanda
rangsang meningkat
·
tanda
peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun, muntah proyektil,
fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di luar SSP.
·
Tanda
ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis,
furunkulosis, dan lain-lain1
3.
Pemeriksaan
Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya
kelumpuhan nervi kranialis
G. Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak
berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi <> 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi
SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang
demam.
·
Kejang
didahului oleh demam
·
Pasca
kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
·
Pemeriksaan
punksi lumbal normal
Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur penderita,
tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan neurologis dan
gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam
pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium,
elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG
selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi
dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi,
karena perekaman antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur
aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan
bila terindikasi, penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus (misal
hantaran zigomatik), sangat meningkatkan hasil positif, discharge (rabas)
kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada
penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor
EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman
kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini
sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat secara tepat
menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan
perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan
kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe
kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan
tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon
untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial.
Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam
pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada
pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa.
Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi
korteks setempat atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali manfaat dari
intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian, skenning CT
atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis
abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan,
defisit neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial
merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan
proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji
metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status
epileptikus.
H.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
·
Pemeriksaan
laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain,
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
·
Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan
gula darah.
·
Lumbal
pungsi :
a. Pemeriksaan cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
b. Meningitis dapat menyertai kejang,
walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.
c. Factor resiko meningitis pada pasien
yang datang dengan kejang dan demam meliputi berikut ini:
d. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
e. Aktivitas kejang saat tiba di rumah
sakit
f. Kejang fokal, penemuan fisik yang
mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi
g. Pemeriksaan saraf yang abnormal
·
Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi
lumbal dianjurkan pada :
a.
Bayi
kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b.
Bayi
antara 12-18 bulan dianjurkan
c.
Bayi
> 18 bulan tidak rutin
d.
Bila
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
2.
Pencitraan
·
Foto
X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-Scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti :
·
Kelainan
neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
·
Paresis
Nervus VI
·
Papiledema
·
CT
scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam kompleks.
3.
Tes
lain (EEG)
·
Pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan.
·
Pemeriksaan
EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6
tahun atau kejang demam fokal.
·
EEG
tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan membuktikan
bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah
manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik atau pada anak yang
berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang
menetap selama lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam atau hari, dan
kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang demam berulang dan sebagian
kecil menderita kejang berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan
epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga
positif, kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik,
tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis abnormal.
Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding
dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor
resiko.
Askep
kejang demam
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA An. E
DENGAN
KEJANG DEMAM DI RS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
1.
PENGKAJIAN
a.
Identitas
1)
Identitas Pasien
Nama :
An. E
Umur :
7 th
Agama :
Islam
Suku/Bangsa :
Sasak /Indonesia
Dx. Medis :
Kejang demam
2)
Identitas Penanggung
Jawab
Nama :
Ny. S
Umur :
38 th
Agama :
Islam
Suku/Bangsa :
Sasak /Indonesia
Pendidikan :
SMP
Pekerjaan :
IRT
Alamat :
Sumbawa
b.
Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama : Ny. S mengatakan bahwa An. E mengalami
kejang.
2. Riwayat penyakit sekarang : Klien mengalami kejang 6x
berupa kedua tangan dan kaki kelojotan, kedua mata mendelik ke atas, lamanya ±
30 menit, jarak antara kejang 1 jam. Sebelum terjadi kejang klien dalam keadaan
sadar, sesudah kejang klien tidak sadar, tertidur dan sulit untuk dibangunkan.
Keluhan kejang didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak tinggi terus
menerus sejak 10 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Terdapat muntah 1x dan sakit
kepala, pada 6 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan tidak disertai dengan sesak
nafas. Riwayat terjadi trauma kepala tidak ada, riwayat panas badan > 1
minggu tidak jelas, terdapat riwayat gigi berlubang dan cairan keluar dari
hidung. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada riwayat trauma kepala, riwayat
panas badan > 1 minggu tidak jelas, terdapat riwayat gigi berlubang dan
cairan keluar dari hidung.
3. Riwayat penyakit keluarga : Ny. S mengatakan tidak ada
riwayat penyakit keturunan.
c.
Pemeriksaan Fisik
Head to Toe
1. Keadaan Umum : GCS 10 (E4M5V1)
2. TTV :
TD : 120/80 mmHg
S : 39° C ( Mendadak naik jika akan terjadi
kejang )
RR : 24x/menit
Nadi : 88x/menit.
3. Pupil : bulat isokhor 3 mm
4. Gigi : ada riwayat gigi yang berlubang
5. Hidung : keluar cairan, terpasang sonde feeding
6. Mulut : tampak kejang di daerah mulut dengan durasi
waktu kejang 42 detik.
7. Pemeriksaan Dada :
a. Paru- Paru
Inspeksi : O2 binasal
canul 3 liter/menit, pada saat akan terjadi kejang saturasi oksigen menurun dan pernafasan
meningkat.
Auskultasi : Frek.
24x/menit
b. Jantung
Inspeksi : terpasang EKG monitor
Palpasi : 88x/menit
c. Ekstremitas
1. Atas :
Kanan : Terpasang infuse line NACL 0,9%
Jika mengalami kejang tangan dan kaki mengalami
kelojotan.
2. Genetalia
Terpasang kateter
Pengkajian ABCD :
Airway :
Tidak
ada sumbatan jalan nafas
Breathing :
RR
: 24x/menit, pada saat akan terjadi kejang
saturasi oksigen menurun dan pernafasan meningkat
Circulation : TD : 120/80 mmHg
Disabilitas : GCS (E4M5V1)
2.
ANALISA DATA
No
|
Hari/tanggal/jam
|
Analisa
Data
|
Etiologi
|
Problem
|
1
|
Kamis/25-04-2013
/
08.00 WIB
|
Ds : Keluarga pasien mengatakan An. E kejang 6x
berupa kedua tangan dan kaki kelojotan, kedua mata mendelik ke atas, lamanya
± 30 menit, jarak antara kejang 1 jam. Sebelum terjadi kejang klien dalam
keadaan sadar, sesudah kejang klien tidak sadar,
Do :
- GCS 10 (E4M5V1)
- Pupil Isokor 3mm
|
Awitan cepat dari perubahan status kesadaran dan
aktivitas kejang.
|
Resiko injury (cidera)
|
2
|
Kamis/25-04-2013
/
08.00 WIB
|
Ds : -
Do :
-
Pada saat akan terjadi kejang saturasi
oksigen menurun dan pernafasan meningkat
-
Paru- Paru
Inspeksi : O2 binasal canul 3 liter/menit, pada saat
akan terjadi kejang saturasi oksigen
menurun dan pernafasan meningkat.
Auskultasi : Frek. 24x/menit
|
Kontraksi otot-otot pernafasan
|
Pola nafas tidak efektif
|
3
|
Kamis/25-04-2013
/
08.00 WIB
|
Ds : Orang tua pasien mengatakan keluhan kejang
didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak tinggi terus menerus sejak
10 hari.
Do :
-
S : 390 C
Tangan Kanan : Terpasang infuse line NACL 0,9%
|
Proses Penyakit
|
Hipertermi
|
Prioritas Diagnosa Keperawatan
1.
Hipertermi b.d proses
penyakit
2.
Pola nafas tidak
efektif b.d kontraksi otot-otot pernafasan
3.
Resiko injury (cidera
) b.d awitan cepat dari perubahan status kesadaran dan aktivitas kejang.
3.
INTERVENSI
Hari/tgl/jam
|
No.Dx
|
Tujuan
dan KH
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
|
1
|
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama
3x24 jam, maka masalah hipertermi dapat teratasi dg KH :
-
Akral teraba hangat
-
S : 36,50 – 37,50 C
|
1.
Observasi TTV
2.
Berikan kompres hangat
3.
Ajarkan kepada anggota keluarga cara kompres yg benar
4.
Kolaborasi dg dokter pemberian antipiretik dan pemberian cairan IV
|
1.
Mengetahui perubahan suhu pasien
2.
Kompres hangat dapat menyebabkan fase dilatasi shg dapat menurunkan suhu
tubuh
3.
Keluarga dapat mandiri dalam melakukan kompres shg pencegahan awal terjadinya
kejang demam
4.
Antipiretik dan pemberian cairan IV dapat menurunkan panas tubuh.
|
|
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
|
2
|
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama
3x24 jam, maka masalah pola nafas tidak efektif dpt teratasi dg KH:
-
Pasien terlihat nyaman dalam bernafas
-
Tidak ada tanda- tanda sianosis
-
R : 16-24x/menit
|
1.
Observasi TTV dan pantau tanda-tanda sianosis
2.
Posisikan kepala lebih tinggi ( setelah kejang selesai )
3.
Edukasi kepada keluarga tentang posisi yg baik ( semi fowler ) jika terjadi
sesak nafas
4.
Kolaborasi dg dokter pemberian O2
|
1.
Mengetahui perubahan TTV dan saturasi O2
2.
Meringankan pasien dalam bernafas dan memperingan sesak nafas
3.
Memberikan pengetahuan kpd keluarga shg jika terjadi sesak nafas sewaktu-
waktu dpt di atasi scr mandiri oleh keluarga
4.
Memperbaiki suplay O2 dlm tubuh
|
|
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
|
3
|
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama
3x24 jam, maka masalah resiko jatuh dpt teratasi dg KH :
-
Pasien tidak ada cidera dalam melakukan aktifitas
-
Kesadaran CM GCS E4M5V6
|
1.
Observasi kesadaran pasien dan aktifitas pasien
2.
Bantu pasien dalam melakukan aktivitas
3.
Ajarkan kpd keluarga penggunaan restrain
|
1.
Mengetahui gejala awal terjadinya resiko cidera
2.
Memenuhi kebutuhan pasien yg tdak bisa dilakukan secara mandiri
3.
Meminimalkan resiko cidera.
|
|
4.
Implementasi
Hari/Tgl/Jam
|
No.Dx
|
Implementasi
|
Respon
|
TTD
|
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
|
1
|
-
Observasi TTV
-
Berikan kompres hangat
-
Kolaborasi dg dokter pemberian antipiretik dan pemberian cairan IV
|
S : -
O :
-
Tampak adanya keringat
-
Akral teraba hangat
-
S : 390 C
-
IV diberikan terpasang di tangan kanan ( NACL 0,9% )
|
An
|
11.00 WIB
|
2
|
-
Pantau tanda-tanda sianosis
-
Posisikan kepala lebih tinggi ( setelah kejang selesai )
-
Kolaborasi dg dokter pemberian O2
|
S : -
O :
-
Tidak ada tanda- tanda sianosis
-
Posisi kepala terlihat lebih tinggi
-
O2 binasal terpasang aliran 3lt/menit
-
RR : 28x/menit
|
An
|
14.00 WIB
|
3
|
-
Observasi kesadaran pasien
|
S : -
O :
-
Kesadaran CM GCS E4M5V6
-
Pasien menjawab pertanyaan yg ditanyakan oleh perawat
|
An
|
5.
Evaluasi
Hari/Tgl/Jam
|
No.Dx
|
Evaluasi
|
TTD
|
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
|
1
|
S : -
O :
-
Tampak adanya keringat
-
Akral teraba hangat
-
S : 390 C
-
IV diberikan terpasang di tangan kanan ( NACL 0,9% )
A : Masalah hipertermi belum teratasi
P :- Kolaborasi pemberian antipiretik
|
An
|
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
|
2
|
S : -
O :
-
Tidak ada tanda- tanda sianosis
-
Posisi kepala terlihat lebih tinggi
-
O2 binasal terpasang aliran 3lt/menit
-
RR : 28x/menit
A : Masalah pola nafas belum teratasi
P : Observasi
TTV dan pola nafas pasien
|
An
|
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
|
3
|
S : -
O :
-
Pasien menjawab pertanyaan yg ditanyakan oleh perawat
-
Kesadaran CM GCS E4M5V6
|
An
|
2.2 Konsep
Teoritis Epilepsi
A. Pengertian
Epilepsi adalah gangguan kronik
dengan ciri timbulnya dengan gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan
yang berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik yang abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat riversible dengan berbagai etiologi.
Serangan ialah suatu gejala yang
timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba. (Arif Mansoer,1999: 27).
Epilepsi adalah gangguan kejang
kronis dengan kejang berulang yang terjadi dengan sendirinya, yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang. (Donna L. Wong, hal: 576)
B. Etiologi
1.
idiopatik
2.
faktor
genetik
3.
kelainan
kongenital otak
4.
gangguan
metabolik
5.
Infeksi
6.
Trauma
7.
Neoplasma
otak dan selaputnya
8.
kelainan
pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
9.
Keracunan
10. Penyakit darah, gangguan keseimbangan
hormon, degenerasi serebral.
C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan
paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal
yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
·
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan.
·
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang
untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
·
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan,
hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh
kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
·
Ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi
neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan
metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan
oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara
umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.
Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada
metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.
D. Manifestasi
klinis
a.
Epilepsi
umum:
1)
Major:
Grand Mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a.
Primer
: hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik
b.
Sekunder
: adanya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang.
2) Petit mal
(a) Bangkitan petit mal
Epilepsi petit mal yang sering disebut
pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 – 4%
dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 – 5 tahun).
Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik.
Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan, kadang- kadang
terlihat gerakan alis, kelopak bola mata. Setelah sadar biasanya penderita
dapat melanjutkan aktifitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus
kali dalam sehari.
Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
(1) Timbul pada usia 4 – 5 tahun dengan
taraf kecerdasan yang normal
(2) Harus murni dan hilang kesadaran
hanya beberapa detik
(3) Harus mudah ditanggulangi hanya
dengan satu macam obat.
(4) Pola EEG khas berupa gelombang
runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik
(b) Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter
misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan
terjadi demikian tepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan
kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik
(c) Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola
sikap tubuh karena menurunnya tonus otot tiba-tiba dan cepat sehingga penderita
jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.
Ketiga jenis bangkitan ini (petit
mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan biasa
disebut trias Lennox-Gastaut.
(d) Spasme infantil
Jenis epilepsi ini juga dikenal
sebagai salamspasm atau sindroma west. Timbul pada bayi 3 – 6 bulan dan lebih
sering pada anak laki- laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu
dihubungkan dengan kerusakan kerusakan otak yang luas proses degeneratif,
gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat
berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik
keatas, kadang- kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis
pupil, sianosis dan berkeringat.
b. Epilepsi Parsial (20% dari seluruh
kasus epilepsi)
1. Bangkitan motorik
Fokus epileptogen terletak di korteks
motorik. Bnagkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa
disertai dengan hilang kesadaran. Penderita sering kali dapat melihat sendiri
gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinis ini disebut
jacksonian marche.
2. Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari
letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengna
fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada
salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan
salah satu anggota badan. Aktifitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar
ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi
kejang-kejang.
3. Epilepsi lobus temporalis
Jarang terlihat pada usia sebelum 10
tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinis
fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus
temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu
dan kawasan asisiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu
epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
E.
Komplikasi
Komplikasi epilepsi
adalah kondisi-kondisi sekunder, gejala, atau kekacauan lain yang disebabkan
oleh epilepsi. Dalam banyak kasus pembedaan antara gejala epilepsi dan
komplikasi epilepsi belum jelas.
Daftar komplikasi
epilepsi: daftar kompilkasi yang telah disebut dalam berbagai sumber untuk
epilepsi meliputi:
§
Status epileptikus
§
Kematian mendadak
tidak diterangkan
§
Permasalahan tingkah
laku
§
Permasalahan
emosional
§
Kerusakan otak terutama
status epileptikus dengan serangan Grand Mal
F. Penatalaksanaan
§
Pengobatan kausal
§
Operasi
G.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pungsi
Lumbar
Pungsi
lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
·
Memiliki tanda peradangan selaput otak
(contoh : kaku leher)
·
Mengalami complex partial seizure
·
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya
(sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
·
Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat
darurat)
·
Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang
berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah
normal.
·
Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada
anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi
sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus
seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b.
EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk
meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit
(kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang
dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya
dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam,
gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang
demam atau risiko epilepsi.
c.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin,
kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin
dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan
untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
1)
Neuroimaging
Yang
termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi
untuk pertama kalinya.
2)
CT Scan
Untuk
mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral
1. Magnetik
resonance imaging (MRI)
2. Kimia
darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
: membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi,
purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi
: pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan
pada abdomen.
Perkusi
: perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung,
suara napas, bising usus.
Pencegahan
Upaya sosial luas yang
menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi.
Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai
resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan
dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk
mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan
kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana
dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh
dilakukan selama anak mendapat serangan :
·
Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak
mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan benda di
mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau
parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
·
Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan
anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat
serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan
tidak baik juga.
·
Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan
pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali
serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu
pernapasan dari mulut ke mulut jika si anak tak bernapas
ASUHAN
KEPERAWATAN EPILEPSI
1.
Pengkajian
Dapatkan
riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal,
dan neonatal; adanya contoh infeksi, apnea, kolik, atau menyusu yang buruk;
informasi mengenai kecelakaan atau penyakit serius sebelumnya.
Dapatkan
riwayat aktifitas kejang yang mencakup hal-hal berikut:
·
Gambaran
perilaku anak selama kejang
·
Usia
awitan
·
Waktu
ketika kejang terjadi, waktu ketika tidur atau terjaga, hubungan dengan makan
·
Adanya
faktor pencetus yang dapat menimbulkan kejang (mis: demam, infeksi), jatuh yang
menyebabkan trauma kepala, ansietas, keletihan, aktivitas (seperti:
hiperventilasi), kejadian-kejadian dilingkungan (mis: pemaajanan pada stimulus
kuat seperti sinar terang, sinar berkilau atau suara keras)
·
Durasi,
perkembangan, dan adanya perasaan atau perilaku pasca kejang.
·
Lakukan
pengkajian fisik dan neurologi.
·
Observasi
pengkajian fisik dan neurologis
·
Bantu
dalam prosedur diagnostik dan pengujian, mis: elektroensefalografi,
tomografi, radiografi tengkorak, ekoensefalografi,
skan otak; kimia darah; glukosa serum; nitrogen urea darah, amonia, tes khusus
untuk gangguan metabolik
1. Observasi kejang
Jelaskan hal-hal berikut:
·
Hanya
hal-hal yang harus diobservasi dengan benar
·
Urutan
kejadian (sebelum, selama, dan setelah kejang)
·
Durasi
kejang
·
Tonik-klonik:
dari tanda-tanda pertama kejadian kejang sampai sentakan-sentakannya berhenti
·
Tanpa
kejang: dari kehilangan kesadaran sampai pasien sadar kembali
·
Parsial
kompleks: dari aura sampai berhenti secara otomatis atau menunjukkan
responsivitas pada lingkungan
2. Awitan
Waktu awitan
Kejadian pra kejang yang signifikan,
sinar terang, bising, kegirangan, emosi berlebih
Perilaku
Perubahan pada ekspresi wajah, seperti pada rasa takut
Menangis atau bunyi lain
Gerakan stereotip atau otomatis
Aktivitas acak
Posisi kepala, tubuh, ekstremitas
Deveasi tubuh ke samping
3. Gerakan
Perubahan posisi, bila ada
Sisi permulaan :tangan, ibu jari,
mulut, seluruh tubuh
Fase tonik, bila ada—lama, melibatkan
beberapa bagian tubuh
Fase klonik: kedutan atau gerakan
menyentak, melibatkan beberapa bagian tubuh, urutan bagian yang terkena, umum,
perubahan dalam karakteristik gerakan
Kurang gerakan atau tonus otot pada
bagian-bagian tubuh atau seluruh tubuh
4. Wajah
Perubahan warna : pucat, sianosis,
wajah kemerahan
Keringat
Mulut—posisi, menyimpang kesalah satu
sisi, gigi mengatup, lidah tergigit, mulut berbusa, flek darah atau perdarahan
Kurang dalam ekspresi
5. Mata
Posisi—lurus, menyimpang keatas,
menyimpang keluar, konjugasi atau devergen
Pupil (bila mampu untuk mengkaji)
perubahan pada ukuran, kesamaan reaksi terhadap sinar dan akomodasi.
6. Upaya pernafasan
Ada dan lamanya apnea
Adanya stertor (mengorok)
7. Lain-lain
Berkemih involunter
Devekasi involunter
8. Observasi pasca kejang
Masa pasca kejang
Metode terminasi
Status kesadaran—tidak responsif,
mengantuk, konfusi
Orientasi terhadap waktu dan orang
Tidur tetapi mampu untuk bangun
Kemampuan motorik
Adanya perubahan pada kekuatan
motorik
Kemampuan untuk menggerakkan semua
ekstremitas
Adanya paresis atau kelemahan
Kemampuan untuk bersiul (bila sesuai
dengan usia)
Bicara—berubah, aneh, jenis, dan
luasnya kesulitan
Sensasi
Keluhan tidak nyaman atau nyeri
Adanya kerusakan pada sensori dari
pendengaran, penglihatan
Pengumpulan kembali sensasi
pra-kejang, peringatan serangan
Kesadaran bahwa serangan sudah mulai
terjadi
2.
Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan
1)
Resiko
tinggi cedera berhubungan dengan tipe kejang
v INTERVENSI
KEPERAWATAN/ RASIONAL
·
Terapi
obat antiepilepsi.
·
Ajari
keluarga dan anak, bila tepat, tentang pemberian obat-obatan
·
Tekankan
pentingnya mematuhi program terapeutik
·
Hindari
situasi yang diketahui akan mencetuskan kejang (mis: cahaya berkedip-kedip,
keletihan)
Hasil yang diharapkan : anak tetap bebas dari aktifitas
kejang.
2)
Resiko
tinggi cidera, hipoksia, dan aspirasi berhubungan dengan aktifitas motorik dan
hilangnya kesadaran (kejang tonik-klonik)
v INTERVENSI
KEPERAWATAN/ RASIONAL
·
Hitung
lamanya kejang untuk menentukan durasi kemungkinan hipoksia dan kebutuhan
perawatan darurat
·
Lindungi
anak selama kejang
·
Jangan
berusaha merestrain anak atau menggunakan paksaan untuk mencegah cedera pada
anak atau diri sendiri
·
Bila
anak berdiri atau duduk di kursi roda pada awal episode, bantu anak untuk
mencapai lantai untuk mencegah jatuh
·
Tempatkan
selimut kecil atau tangan anda sendiri di bawah kepala anak untuk mencegah
cidera
·
Jangan
menempatkan apapun dimulut anak, seperti spetel lidah, makanan atau cairan,
yang dapat menimbulkan cedera, menghambat pernafasan, atau teraspirasi
·
Lepaskan
kacamata untuk melindungi mata dari trauma
·
Longgarkan
pakaian yang dapat membatasi gerakan atau pernafasan
·
Cegah
anak dari membenturkan kepala pada objek keras
·
Singkirkan
benda-benda yang dapat menimbulkan bahaya (perabot)
·
Bantali
objek seperti keranjang bayi, penghalang tempat tidur, atau kursi roda
·
Pertahankan
agar penghalang tempat tidur tetap terpasang ketika anak sedang tidur,
istirahat, atau mengalami kejang untuk menghindari jatuh
·
Biarkan
kejang berakhir tanpa pengaruh
·
Bila
mungkin posisikan anak dengan kepala pada garis tengah, bukan hiperekstensi
untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat
·
Bila
anak mulai muntah, miringkan dengan hati-hati untuk mencegah aspirasi
·
Lindungi
anak setelah kejang
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perbedaan antara kejang demam dan Epilepsi
Menurut dr Nanang Kusdiyan, SpA
MKes, kejang demam atau step (stuip) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal/anus di atas 38 derajat celsius) tanpa
disertai adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit (misalnya,
akibat diare/muntah yang hebat) atau gangguan metabolik (misalnya akibat kadar
glukosa dalam darah turun). Kondisi ini umum terjadi pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun. Akan tetapi kejang yang disertai demam pada bayi yang berusia kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Sedangkan epilepsi atau ayan
adalah suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan
epilepsi berupa manifestasi klinis/gejala akibat lepasnya muatan listrik yang
berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak.
Perbedaan
Berdasarkan Penyebabnya
§
Idiopatik, yaitu golongan yang belum atau
tidak diketahui penyebabnya, termasuk faktor keturunan
§
Epilepsi tidak selalu bergejala kejang seperti
yang diketahui oleh orang awam selama ini. Epilepsi tertentu dapat bergejala
bengong atau penurunan kesadaran
§
Simtomatik yang merupakan golongan yang
diketahui penyebabnya, seperti misalnya: kelainan metabolik, trauma kepala,
tumor kepala, stroke, infeksi otak, kelainan otak bawaan sejak lahir, dsb.
Sedangkan
kejang akibat demam sering disebabkan oleh adanya penyakit infeksi seperti
ISPA, batuk, pilek, infeksi telinga, sehingga menimbulkan kejang. Namun, nilai
ambang ketahanan anak terhadap demam berbeda, ada yang sudah mengalami kejang
pada suhu 38 derajat celcius ada juga yang baru kejang ketika suhunya mencapai
40 derajat celcius. Kejang demam juga sering disebabkan oleh ketidakmatangan
otak dan termoregulator atau pengaturan suhu tubuh, genetik atau turunan, ada
riwayat keluarga yang mengalami kejang demam.
Apakah Kejang Demam Dapat
Berisiko Epilepsi?
Untuk
kejang demam sederhana, budan tidak perlu khawatir. Karena, biasanya setelah
kejang selama tidak mengalami trauma saat kejang, maka tidak akan meninggalkan
gejala sisa dan akan menghilang setelah usia 5 tahun.
Namun,
apabila kejang demam kompleks dapat menjadi salah satu faktor risiko munculnya
epilepsi. Kejang demam dapat terulang kembali, apabila:
§
Riwayat kejang demam pada keluarga
§
Usia si kecil kurang dari 12 bulan
§
Suhu tubuh rendah saat kejang, misalnya 38
derajat celcius sudah demam
§
Cepatnya si kecil kejang saat demam.
3.2
Kritik Dan Saran
Demikian
makalah ini kami susun sedemikian rupa, dengan harapan berguna untuk
teman-teman mahasiswa sekalian. Kami selaku kelompok yang menyusun makalah ini
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu kami menerima
kritik dan saran dari teman-teman mahasiswa agar tugas makalah kedepan dapat
lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999,
Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC,
Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999,
Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih
bahasa Budi Santosa. Prima Medika.
Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit.
Jakarta : EGC
Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik
Wong. Volume 2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC :
Jakarta.
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha
Esa karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah
ini. Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dari dosen.
Makalah ini
membahas tentang “ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI”, semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai
mahasiswa Akper dapat menambah dan memperluas
pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih
sangat jauh dari sempurna, maka dari itu kami masih mengharapkan kritik dan
saran dari bapak/ibu selaku dosen-dosen pembimbing kami serta temen-temen
sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun kami dari yang salah
menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita, akhir kata kami mengucapkan terima kasih
Penulis
12 April 2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1 Pengertian
..............................................................................................
1.2 Epidemiologi...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
2.1 Asuhan
Keperawatan Kejang Demam....................................................
A.
Definisi.............................................................................................
B.
Etiologi.............................................................................................
C.
Faktor Resiko...................................................................................
D.
Patofisiologi.....................................................................................
E.
Klasifikasi........................................................................................
F.
Manifestasi Klinik............................................................................
G.
Kriteria Diagnosis............................................................................
H.
Pemeriksaan Penunjang....................................................................
2.2 Konsep
Teoritis Epilepsi.........................................................................
A. Pengertian...........................................................................................
B. Etiologi...............................................................................................
C. Patofisiologi.......................................................................................
D. Manifestasi
klinis................................................................................
E.
Komplikasi.........................................................................................
F.
Penatalaksanaan.................................................................................
G. Pemeriksaan
Diagnostik.....................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................................
3.2 Kritik
Dan Saran.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
No comments:
Post a Comment