Thursday, 7 May 2020

askep epilepsi dan kejang demam


Tugas Keperawatan Anak



ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Pengertian
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

1.2  Epidemiologi
A.    Frekuensi
·         Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5. Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
·         Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.
B.     Mortalitas/Morbiditas
·         Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
·         Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi dibandingkan yang tidak (2% : 1%).
·         Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan 10% mendapatkan kejang demam.
C.     Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.
D.    Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.
E.     Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Asuhan Keperawatan Kejang Demam
A.    Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

B.     Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan oleh :
·         infeksi saluran pernafasan atas,
·         otitis media,
·         pneumonia,
·         gastroenteritis, dan
·         infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti difenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.


C.    Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :
1.      Umur
a.       3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b.      Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c.       Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
2.      Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.
3.      Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3°C – 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.
4.      Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 – 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7
Faktor –faktor lain diantaranya:
·         riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
·         perkembangan terlambat,
·         problem pada masa neonatus,
·         anak dalam perawatan khusus, dan
·         kadar natrium rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang rekuren.
Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang rekuren.
·         Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
·         Usia muda saat kejang demam pertama
·         Suhu yang rendah saat kejang pertama
·         Riwayat kejang demam dalam keluarga
·         Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
·         Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren. Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.

D.    Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari metabolisme glukosa melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya :
1.      perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2.      rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya
3.      perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. 
Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan mendapat serangan. 
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. 
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.
Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada beberapa faktor fisiologis yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge (rabas) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik. 
Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksistasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara bedah.
Kejang mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya epilepsi pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang-ulang dari lobus temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus kallosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) , yang menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan rerhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik progresif (21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekular epilepsi tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran integral pada terjadinya kejang menyeluruh. 
Aktivitas kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu, menyebabkan peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau tidak ada aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur. Lagipula, neuron pars retikulata substansia abu-abu (substantia nigra pars reticulata (SNR) sensitif-asam gama aminobutirat (GABA) memainkan peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia abu-abu mengatur dan memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian eksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis perambatan kejang dan kelainan seseptor GABA.

E.     Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada umur 18 bulan.
Kejang demam dibagi atas :
1.      Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).
·         Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
·         Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal.
·         Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
·         Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2.      Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
·         Berlangsung lama (> 15 menit).
·         Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.
·         Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didauhului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang mengalami kejang demam.

F.     Manifestasi Klinik
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 30oC atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-tonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. 
Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
1.      Anamnesis
·         Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
·         Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam keluarga (kakak-adik, orang tua)
·         Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.
2.      Pemeriksaan Fisik
·         Kesadaran
·         suhu tubuh
·         tanda rangsang meningkat
·         tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun, muntah proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di luar SSP.
·         Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain1
3.      Pemeriksaan Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

G.    Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi <> 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang demam.
·         Kejang didahului oleh demam
·         Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
·         Pemeriksaan punksi lumbal normal
Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur penderita, tipe dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidur dan perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat meningkatkan hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat secara tepat menentukan lokasi dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status epileptikus.

H.    Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium
·         Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
·         Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit dan gula darah.
·         Lumbal pungsi :
a.       Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
b.      Meningitis dapat menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya tanda meningitis.
c.       Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam meliputi berikut ini:
d.      Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
e.       Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
f.       Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit, petekie) sianosis, hipotensi
g.      Pemeriksaan saraf yang abnormal
·         Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
a.       Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b.      Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c.       Bayi > 18 bulan tidak rutin
d.      Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
2.      Pencitraan
·         Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
·         Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
·         Paresis Nervus VI
·         Papiledema
·         CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam kompleks. 


3.      Tes lain (EEG)
·         Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
·         Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
·         EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan membuktikan bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik atau pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang menetap selama lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis abnormal. Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor resiko.



Askep kejang demam
ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. E
DENGAN KEJANG DEMAM DI RS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

1.        PENGKAJIAN
a.        Identitas
1)            Identitas Pasien
Nama                      : An. E
Umur                       : 7 th
Agama                    : Islam
Suku/Bangsa           : Sasak /Indonesia
Dx. Medis               : Kejang demam
2)            Identitas Penanggung Jawab
Nama                      : Ny. S
Umur                       : 38 th
Agama                    : Islam
Suku/Bangsa           : Sasak /Indonesia
Pendidikan              : SMP
Pekerjaan                : IRT
Alamat                    : Sumbawa
b.        Riwayat Kesehatan
1.      Keluhan utama : Ny. S mengatakan bahwa An. E mengalami kejang.
2.      Riwayat penyakit sekarang : Klien mengalami kejang 6x berupa kedua tangan dan kaki kelojotan, kedua mata mendelik ke atas, lamanya ± 30 menit, jarak antara kejang 1 jam. Sebelum terjadi kejang klien dalam keadaan sadar, sesudah kejang klien tidak sadar, tertidur dan sulit untuk dibangunkan. Keluhan kejang didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak tinggi terus menerus sejak 10 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Terdapat muntah 1x dan sakit kepala, pada 6 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan tidak disertai dengan sesak nafas. Riwayat terjadi trauma kepala tidak ada, riwayat panas badan > 1 minggu tidak jelas, terdapat riwayat gigi berlubang dan cairan keluar dari hidung. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada riwayat trauma kepala, riwayat panas badan > 1 minggu tidak jelas, terdapat riwayat gigi berlubang dan cairan keluar dari hidung.
3.      Riwayat penyakit keluarga : Ny. S mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan.
c.        Pemeriksaan Fisik Head to Toe
1.      Keadaan Umum : GCS 10 (E4M5V1)
2.      TTV :
TD : 120/80 mmHg
S : 39° C ( Mendadak naik jika akan terjadi kejang )
RR : 24x/menit
Nadi : 88x/menit.
3.      Pupil : bulat isokhor 3 mm
4.      Gigi : ada riwayat gigi yang berlubang
5.      Hidung : keluar cairan, terpasang sonde feeding
6.      Mulut : tampak kejang di daerah mulut dengan durasi waktu kejang 42 detik.
7.      Pemeriksaan Dada :
a.       Paru- Paru
Inspeksi : O2 binasal canul 3 liter/menit, pada saat akan terjadi kejang  saturasi oksigen menurun dan pernafasan meningkat.
Auskultasi : Frek. 24x/menit
b.      Jantung
Inspeksi : terpasang EKG monitor
Palpasi : 88x/menit
c.       Ekstremitas
1.      Atas :
Kanan : Terpasang infuse line NACL 0,9%
Jika mengalami kejang tangan dan kaki mengalami kelojotan.
2.      Genetalia
Terpasang kateter
Pengkajian ABCD :
Airway            : Tidak ada sumbatan jalan nafas
Breathing        : RR : 24x/menit, pada saat akan terjadi kejang  saturasi oksigen menurun dan pernafasan meningkat
Circulation      : TD : 120/80 mmHg
Disabilitas       : GCS (E4M5V1)


2.        ANALISA DATA
No
Hari/tanggal/jam
Analisa Data
Etiologi
Problem
1
Kamis/25-04-2013  /
08.00 WIB
Ds : Keluarga pasien mengatakan An. E kejang 6x berupa kedua tangan dan kaki kelojotan, kedua mata mendelik ke atas, lamanya ± 30 menit, jarak antara kejang 1 jam. Sebelum terjadi kejang klien dalam keadaan sadar, sesudah kejang klien tidak sadar,
Do :
- GCS 10 (E4M5V1)
- Pupil Isokor 3mm
Awitan cepat dari perubahan status kesadaran dan aktivitas kejang.
Resiko injury (cidera)
2
Kamis/25-04-2013  /
08.00 WIB
Ds : -
Do :
-          Pada saat akan terjadi kejang  saturasi oksigen menurun dan pernafasan meningkat
-          Paru- Paru
Inspeksi : O2 binasal canul 3 liter/menit, pada saat akan terjadi kejang  saturasi oksigen menurun dan pernafasan meningkat.
Auskultasi : Frek. 24x/menit
Kontraksi otot-otot pernafasan
Pola nafas tidak efektif
3
Kamis/25-04-2013  /
08.00 WIB
Ds : Orang tua pasien mengatakan keluhan kejang didahului dengan panas badan yang awalnya mendadak tinggi terus menerus sejak 10 hari.
Do :
-          S : 390 C
Tangan Kanan : Terpasang infuse line NACL 0,9%
Proses Penyakit
Hipertermi


Prioritas Diagnosa Keperawatan
1.      Hipertermi b.d proses penyakit
2.      Pola nafas tidak efektif b.d kontraksi otot-otot pernafasan
3.      Resiko injury (cidera ) b.d awitan cepat dari perubahan status kesadaran dan aktivitas kejang.

3.        INTERVENSI
Hari/tgl/jam
No.Dx
Tujuan dan KH
Intervensi
Rasional
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
1
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, maka masalah hipertermi dapat teratasi dg KH :
-          Akral teraba hangat
-          S : 36,50 – 37,50 C
1.      Observasi TTV
2.      Berikan kompres hangat
3.      Ajarkan kepada anggota keluarga cara kompres yg benar
4.      Kolaborasi dg dokter pemberian antipiretik dan pemberian cairan IV
1.      Mengetahui perubahan suhu pasien
2.      Kompres hangat dapat menyebabkan fase dilatasi shg dapat menurunkan suhu tubuh
3.      Keluarga dapat mandiri dalam melakukan kompres shg pencegahan awal terjadinya kejang demam
4.      Antipiretik dan pemberian cairan IV dapat menurunkan panas tubuh.
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
2
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, maka masalah pola nafas tidak efektif dpt teratasi dg KH:
-          Pasien terlihat nyaman dalam bernafas
-          Tidak ada tanda- tanda sianosis
-          R : 16-24x/menit
1.      Observasi TTV dan pantau tanda-tanda sianosis
2.      Posisikan kepala lebih tinggi ( setelah kejang selesai )
3.      Edukasi kepada keluarga tentang posisi yg baik ( semi fowler ) jika terjadi sesak nafas
4.      Kolaborasi dg dokter pemberian O2
1.      Mengetahui perubahan TTV dan saturasi O2
2.      Meringankan pasien dalam bernafas dan memperingan sesak nafas
3.      Memberikan pengetahuan kpd keluarga shg jika terjadi sesak nafas sewaktu- waktu dpt di atasi scr mandiri oleh keluarga
4.      Memperbaiki suplay O2 dlm tubuh
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
3
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, maka masalah resiko jatuh dpt teratasi dg KH :
-          Pasien tidak ada cidera dalam melakukan aktifitas
-          Kesadaran CM GCS E4M5V6
1.      Observasi kesadaran pasien dan aktifitas pasien
2.      Bantu pasien dalam melakukan aktivitas
3.      Ajarkan kpd keluarga penggunaan restrain

1.      Mengetahui gejala awal terjadinya resiko cidera
2.      Memenuhi kebutuhan pasien yg tdak bisa dilakukan secara mandiri
3.      Meminimalkan resiko cidera.



4.        Implementasi
Hari/Tgl/Jam
No.Dx
Implementasi
Respon
TTD
Kamis/ 24-04-2013
08.20 WIB
1
-          Observasi TTV
-          Berikan kompres hangat
-          Kolaborasi dg dokter pemberian antipiretik dan pemberian cairan IV
S : -
O :
-          Tampak adanya keringat
-          Akral teraba hangat
-          S : 390 C
-          IV diberikan terpasang di tangan kanan ( NACL 0,9% )


An
11.00 WIB
2
-          Pantau tanda-tanda sianosis
-          Posisikan kepala lebih tinggi ( setelah kejang selesai )
-          Kolaborasi dg dokter pemberian O2
S : -
O :
-          Tidak ada tanda- tanda sianosis
-          Posisi kepala terlihat lebih tinggi
-          O2 binasal terpasang aliran 3lt/menit
-          RR : 28x/menit



An
14.00 WIB
3
-          Observasi kesadaran pasien
S : -
O :
-          Kesadaran CM GCS E4M5V6
-          Pasien menjawab pertanyaan yg ditanyakan oleh perawat



An



5.        Evaluasi
Hari/Tgl/Jam
No.Dx
Evaluasi
TTD
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
1
S : -
O :
-          Tampak adanya keringat
-          Akral teraba hangat
-          S : 390 C
-          IV diberikan terpasang di tangan kanan ( NACL 0,9% )
A : Masalah hipertermi belum teratasi
P :- Kolaborasi pemberian antipiretik



An
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
2
S : -
O :
-          Tidak ada tanda- tanda sianosis
-          Posisi kepala terlihat lebih tinggi
-          O2 binasal terpasang aliran 3lt/menit
-          RR : 28x/menit
A : Masalah pola nafas belum teratasi
P :  Observasi TTV dan pola nafas pasien


An
Kamis/ 24-04-2013
20.00 WIB
3
S : -
O :
-          Pasien menjawab pertanyaan yg ditanyakan oleh perawat
-          Kesadaran CM GCS E4M5V6


An

2.2  Konsep Teoritis Epilepsi
A.    Pengertian
Epilepsi adalah gangguan kronik dengan ciri timbulnya dengan gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan yang berulang-ulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat riversible dengan berbagai etiologi.
Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba. (Arif Mansoer,1999: 27).
Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang terjadi dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. (Donna L. Wong, hal: 576)

B.     Etiologi
1.      idiopatik
2.      faktor genetik
3.      kelainan kongenital otak
4.      gangguan metabolik
5.      Infeksi
6.      Trauma
7.      Neoplasma otak dan selaputnya
8.      kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
9.      Keracunan
10.  Penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral.


C.    Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
·         Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
·         Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
·         Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
·         Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D.    Manifestasi klinis
a.       Epilepsi umum:
1)      Major: Grand Mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a.       Primer : hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik
b.      Sekunder : adanya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.
2)      Petit mal
(a)    Bangkitan petit mal
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 – 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 – 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan, kadang- kadang terlihat gerakan alis, kelopak bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktifitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari.
Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
(1)   Timbul pada usia 4 – 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal
(2)   Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik
(3)   Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
(4)   Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik
(b)   Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian tepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik
(c)    Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.
Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan biasa disebut trias Lennox-Gastaut.
(d)   Spasme infantil
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salamspasm atau sindroma west. Timbul pada bayi 3 – 6 bulan dan lebih sering pada anak laki- laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan kerusakan otak yang luas proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik keatas, kadang- kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
b.      Epilepsi Parsial (20% dari seluruh kasus epilepsi)
1.      Bangkitan motorik
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bnagkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita sering kali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinis ini disebut jacksonian marche.
2.      Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengna fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktifitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
3.      Epilepsi lobus temporalis
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinis fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asisiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

E.     Komplikasi
Komplikasi epilepsi adalah kondisi-kondisi sekunder, gejala, atau kekacauan lain yang disebabkan oleh epilepsi. Dalam banyak kasus pembedaan antara gejala epilepsi dan komplikasi epilepsi belum jelas.
Daftar komplikasi epilepsi: daftar kompilkasi yang telah disebut dalam berbagai sumber untuk epilepsi meliputi:
§   Status epileptikus
§   Kematian mendadak tidak diterangkan
§   Permasalahan tingkah laku
§   Permasalahan emosional
§   Kerusakan otak terutama status epileptikus dengan serangan Grand Mal

F.     Penatalaksanaan
§   Pengobatan kausal
§   Operasi

G.    Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
·         Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
·         Mengalami complex partial seizure
·         Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
·         Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
·          Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
·         Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b.      EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
c.       Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
1)      Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
2)      CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral
1.    Magnetik resonance imaging (MRI)
2.    Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi      : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada gusi, purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi        : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi        : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.
Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :
·         Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya selama serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya kemungkinan tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah mematahkan gigi si anak.
·         Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
·         Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut  jika si anak tak bernapas

ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI
1.      Pengkajian
Dapatkan riwayat kesehatan, terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal, dan neonatal; adanya contoh infeksi, apnea, kolik, atau menyusu yang buruk; informasi mengenai kecelakaan atau penyakit serius sebelumnya.
Dapatkan riwayat aktifitas kejang yang mencakup hal-hal berikut:
·           Gambaran perilaku anak selama kejang
·           Usia awitan
·           Waktu ketika kejang terjadi, waktu ketika tidur atau terjaga, hubungan dengan makan
·           Adanya faktor pencetus yang dapat menimbulkan kejang (mis: demam, infeksi), jatuh yang menyebabkan trauma kepala, ansietas, keletihan, aktivitas (seperti: hiperventilasi), kejadian-kejadian dilingkungan (mis: pemaajanan pada stimulus kuat seperti sinar terang, sinar berkilau atau suara keras)
·           Durasi, perkembangan, dan adanya perasaan atau perilaku pasca kejang.
·           Lakukan pengkajian fisik dan neurologi.
·           Observasi pengkajian fisik dan neurologis
·           Bantu dalam prosedur diagnostik dan pengujian, mis: elektroensefalografi, tomografi,   radiografi tengkorak, ekoensefalografi, skan otak; kimia darah; glukosa serum; nitrogen urea darah, amonia, tes khusus untuk gangguan metabolik
1.      Observasi kejang
Jelaskan hal-hal berikut:
·         Hanya hal-hal yang harus diobservasi dengan benar
·         Urutan kejadian (sebelum, selama, dan setelah kejang)
·         Durasi kejang
·         Tonik-klonik: dari tanda-tanda pertama kejadian kejang sampai sentakan-sentakannya berhenti
·         Tanpa kejang: dari kehilangan kesadaran sampai pasien sadar kembali
·         Parsial kompleks: dari aura sampai berhenti secara otomatis atau menunjukkan responsivitas pada lingkungan
2.      Awitan
Waktu awitan
Kejadian pra kejang yang signifikan, sinar terang, bising, kegirangan, emosi berlebih
Perilaku
  Perubahan pada ekspresi wajah, seperti pada rasa takut
  Menangis atau bunyi lain
  Gerakan stereotip atau otomatis
  Aktivitas acak
Posisi kepala, tubuh, ekstremitas
Deveasi tubuh ke samping
3.      Gerakan
Perubahan posisi, bila ada
Sisi permulaan :tangan, ibu jari, mulut, seluruh tubuh
Fase tonik, bila ada—lama, melibatkan beberapa bagian tubuh
Fase klonik: kedutan atau gerakan menyentak, melibatkan beberapa bagian tubuh, urutan bagian yang terkena, umum, perubahan dalam karakteristik gerakan
Kurang gerakan atau tonus otot pada bagian-bagian tubuh atau seluruh tubuh
4.      Wajah
Perubahan warna : pucat, sianosis, wajah kemerahan
Keringat
Mulut—posisi, menyimpang kesalah satu sisi, gigi mengatup, lidah tergigit, mulut berbusa, flek darah atau perdarahan
Kurang dalam ekspresi
5.      Mata
Posisi—lurus, menyimpang keatas, menyimpang keluar, konjugasi atau devergen
Pupil (bila mampu untuk mengkaji) perubahan pada ukuran, kesamaan reaksi terhadap sinar dan akomodasi.
6.      Upaya pernafasan
Ada dan lamanya apnea
Adanya stertor (mengorok)
7.      Lain-lain
Berkemih involunter
Devekasi involunter
8.      Observasi pasca kejang
Masa pasca kejang
Metode terminasi
Status kesadaran—tidak responsif, mengantuk, konfusi
Orientasi terhadap waktu dan orang
Tidur tetapi mampu untuk bangun
Kemampuan motorik
Adanya perubahan pada kekuatan motorik
Kemampuan untuk menggerakkan semua ekstremitas
Adanya paresis atau kelemahan
Kemampuan untuk bersiul (bila sesuai dengan usia)
Bicara—berubah, aneh, jenis, dan luasnya kesulitan
Sensasi
Keluhan tidak nyaman atau nyeri
Adanya kerusakan pada sensori dari pendengaran, penglihatan
Pengumpulan kembali sensasi pra-kejang, peringatan serangan
Kesadaran bahwa serangan sudah mulai terjadi


2.      Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan
1)      Resiko tinggi cedera berhubungan dengan tipe kejang
v  INTERVENSI KEPERAWATAN/ RASIONAL
·           Terapi obat antiepilepsi.
·           Ajari keluarga dan anak, bila tepat, tentang pemberian obat-obatan
·           Tekankan pentingnya mematuhi program terapeutik
·           Hindari situasi yang diketahui akan mencetuskan kejang (mis: cahaya berkedip-kedip, keletihan)
Hasil yang diharapkan : anak tetap bebas dari aktifitas kejang.
2)      Resiko tinggi cidera, hipoksia, dan aspirasi berhubungan dengan aktifitas motorik dan hilangnya kesadaran (kejang tonik-klonik)
v  INTERVENSI KEPERAWATAN/ RASIONAL
·           Hitung lamanya kejang untuk menentukan durasi kemungkinan hipoksia dan kebutuhan perawatan darurat
·           Lindungi anak selama kejang
·           Jangan berusaha merestrain anak atau menggunakan paksaan untuk mencegah cedera pada anak atau diri sendiri
·           Bila anak berdiri atau duduk di kursi roda pada awal episode, bantu anak untuk mencapai lantai untuk mencegah jatuh
·           Tempatkan selimut kecil atau tangan anda sendiri di bawah kepala anak untuk mencegah cidera
·           Jangan menempatkan apapun dimulut anak, seperti spetel lidah, makanan atau cairan, yang dapat menimbulkan cedera, menghambat pernafasan, atau teraspirasi
·           Lepaskan kacamata untuk melindungi mata dari trauma
·           Longgarkan pakaian yang dapat membatasi gerakan atau pernafasan
·           Cegah anak dari membenturkan kepala pada objek keras
·           Singkirkan benda-benda yang dapat menimbulkan bahaya (perabot)
·           Bantali objek seperti keranjang bayi, penghalang tempat tidur, atau kursi roda
·           Pertahankan agar penghalang tempat tidur tetap terpasang ketika anak sedang tidur, istirahat, atau mengalami kejang untuk menghindari jatuh
·           Biarkan kejang berakhir tanpa pengaruh
·           Bila mungkin posisikan anak dengan kepala pada garis tengah, bukan hiperekstensi untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat
·           Bila anak mulai muntah, miringkan dengan hati-hati untuk mencegah aspirasi
·           Lindungi anak setelah kejang




BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Perbedaan antara kejang demam dan Epilepsi
Menurut dr Nanang Kusdiyan, SpA MKes, kejang demam atau step (stuip) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal/anus di atas 38 derajat celsius) tanpa disertai adanya infeksi susunan saraf pusat, gangguan elektrolit (misalnya, akibat diare/muntah yang hebat) atau gangguan metabolik (misalnya akibat kadar glukosa dalam darah turun). Kondisi ini umum terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Akan tetapi kejang yang disertai demam pada bayi yang berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam.
Sedangkan epilepsi atau ayan adalah suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulangnya bangkitan epilepsi berupa manifestasi klinis/gejala akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan hipersinkron dari sel neuron di otak.
Perbedaan Berdasarkan Penyebabnya
§  Idiopatik, yaitu golongan yang belum atau tidak diketahui penyebabnya, termasuk faktor keturunan
§  Epilepsi tidak selalu bergejala kejang seperti yang diketahui oleh orang awam selama ini. Epilepsi tertentu dapat bergejala bengong atau penurunan kesadaran
§  Simtomatik yang merupakan golongan yang diketahui penyebabnya, seperti misalnya: kelainan metabolik, trauma kepala, tumor kepala, stroke, infeksi otak, kelainan otak bawaan sejak lahir, dsb.
Sedangkan kejang akibat demam sering disebabkan oleh adanya penyakit infeksi seperti ISPA, batuk, pilek, infeksi telinga, sehingga menimbulkan kejang. Namun, nilai ambang ketahanan anak terhadap demam berbeda, ada yang sudah mengalami kejang pada suhu 38 derajat celcius ada juga yang baru kejang ketika suhunya mencapai 40 derajat celcius. Kejang demam juga sering disebabkan oleh ketidakmatangan otak dan termoregulator atau pengaturan suhu tubuh, genetik atau turunan, ada riwayat keluarga yang mengalami kejang demam.

Apakah Kejang Demam Dapat Berisiko Epilepsi?
Untuk kejang demam sederhana, budan tidak perlu khawatir. Karena, biasanya setelah kejang selama tidak mengalami trauma saat kejang, maka tidak akan meninggalkan gejala sisa dan akan menghilang setelah usia 5 tahun.
Namun, apabila kejang demam kompleks dapat menjadi salah satu faktor risiko munculnya epilepsi. Kejang demam dapat terulang kembali, apabila:
§   Riwayat kejang demam pada keluarga
§   Usia si kecil kurang dari 12 bulan
§   Suhu tubuh rendah saat kejang, misalnya 38 derajat celcius sudah demam
§   Cepatnya si kecil kejang saat demam.

3.2    Kritik Dan Saran
Demikian makalah ini kami susun sedemikian rupa, dengan harapan berguna untuk teman-teman mahasiswa sekalian. Kami selaku kelompok yang menyusun makalah ini sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu kami menerima kritik dan saran dari teman-teman mahasiswa agar tugas makalah kedepan dapat lebih baik lagi.







DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta

NANDA, 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005 – 2006 Alih bahasa  Budi Santosa. Prima Medika.

Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta : EGC

Wong, Donna L., et al. 2008Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.





                                    KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dari dosen.
Makalah ini membahas tentang “ASUHAN KEPERAWATAN KEJANG DEMAM DAN EPILEPSI”,  semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai mahasiswa Akper  dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku dosen-dosen pembimbing kami serta temen-temen sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun kami dari yang salah menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, akhir kata kami mengucapkan terima kasih


                                                                                                Penulis


                                                                                            12 April 2017


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI   ................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1  Pengertian ..............................................................................................
1.2  Epidemiologi...........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
2.1  Asuhan Keperawatan Kejang Demam....................................................
A.      Definisi.............................................................................................
B.       Etiologi.............................................................................................            
C.       Faktor Resiko...................................................................................
D.      Patofisiologi.....................................................................................
E.       Klasifikasi........................................................................................
F.        Manifestasi Klinik............................................................................
G.      Kriteria Diagnosis............................................................................
H.      Pemeriksaan Penunjang....................................................................
2.2  Konsep Teoritis Epilepsi.........................................................................
A.  Pengertian...........................................................................................
B.  Etiologi...............................................................................................
C.  Patofisiologi.......................................................................................
D.  Manifestasi klinis................................................................................
E.   Komplikasi.........................................................................................
F.   Penatalaksanaan.................................................................................
G.  Pemeriksaan Diagnostik.....................................................................

BAB III PENUTUP.................................................................................................
3.1  Kesimpulan.............................................................................................
3.2  Kritik Dan Saran.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................





No comments:

Post a Comment