ASUHAN KEPERAWTAN PADA PASIEN
DENGAN KUSTA
Disusun
Oleh:
SAFRIJAH
1340411510
AKADEMI KEPERAWATAN ABULYATAMA
BANDA ACEH
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWTAN PADA PASIEN
DENGAN KUSTA”
Maksud dan tujuan
kami menyusun makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah serta menambah pengetahuan tentang Konsep
Komunikator.
Kami menyadari dalam
penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan karena kurangnya pengetahuan
dan terbatasnya referensi yang kami dapatkan, sehingga kami memerlukan saran
dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat pengetahuan bagi pembaca mengenai Konsep
Komunikator.
Banda Aceh, November
2017
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang............................................................................................. 1
B.
Tujuan........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
A.
Definisi......................................................................................................... 2
B.
Etiologi......................................................................................................... 2
C.
Patofisiologi................................................................................................. 3
D.
Manifestasi
Klinik dan Diagnosis................................................................ 3
E.
Pemeriksaan
Diagnostik/Penunjang............................................................. 4
F.
Konsep
Terapi/Pengobatan........................................................................... 5
G.
Pencegahan
Penyakit Kusta......................................................................... 6
H.
Program Pemberantasan
Kusta..................................................................... 8
BAB III KONSEP KEPERAWATAN.............................................................. 10
A.
Pengkajian.................................................................................................. 10
B.
Diagnosa
Keperawatan.............................................................................. 12
C.
Intervensi.............................................................................................. ..... 12
BAB IV PENUTUP............................................................................................. 16
A.
Kesimpulan................................................................................................. 16
B.
Saran........................................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konon penyakit
kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta.
Walaupun
pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan
dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengobatan yang
efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson
dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra sertahap menjadi kebal
terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan
pengobatan multi obat pada awal 1980an dan penyakit inipun mampu ditangani
kembali.
Maka dari itu,
penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan
Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui
apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan
keperawatannya.
B.
Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan
sebagai berikut :
a. Untuk
menjelaskan definisi kusta.
b. Untuk
menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta.
c. Untuk
menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta.
d. Untuk
menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta.
e. Untuk
menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta.
f. Untuk
menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta.
g. Untuk
menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Penyakit kusta
adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae
(M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi , selanjutnya
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas,sistem retikulo
endotelial, mata, otot, tulang dan testis ( Amirudin.M.D, 2000 ).
Penyakit Kusta
adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta ( Mycobacterium leprae ) yang menyerang
kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk
mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).
B.
Etiologi
Kuman penyebabnya
adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di
Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi
paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler
besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell)dan
sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama , yaitu 2-3 minggu ,
diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics
Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah
pada suhu 27º30º C ( Depkes,
2005).
M.leprae dapat
bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat
bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
a.
M.Leprae merupakan parasit intra seluler
obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia buatan.
b.
Sifat tahan asam M. Leprae dapat
diektraksi oleh piridin.
c.
M.leprae merupakan satu- satunya
mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
d.
M.leprae adalah satu-satunya spesies
micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.
e.
Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae
mengandung komponen antigenic yang stabil dengan aktivitas imunologis yang
khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada
penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).
C.
Patofisiologi
Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain secara
langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti,
tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.
Kusta mempunyai
masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai
bertahun-tahun.Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum
diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang
paling sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila
kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.
D.
Manifestasi
Klinik dan Diagnosis
Manifestasi
klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan
diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah
seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa pemeriksaan
bakteriologik dan memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin, 2000).
Untuk
mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan
dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk
itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama
atau “Cardinal Sign,” nmyaitu :
1.
Lesi (kelainan) kulit yang mati
rasa.Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi ) atau kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi
).
2.
Penebalan saraf tepi yang disertai
dengan gangguan fungsi saraf.ganggguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).gangguan fungsi saraf ini bisa
berupa :
a. Gangguan
fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b. .Gangguan
fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c. Gangguan
fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3.
Adanya kuman tahan asam didalam kerokan
jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang
meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).
E.
Pemeriksaan
Diagnostik/Penunjang
Deteksi dini
untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan tingkat kecacatan
ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat keberhasilan
terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan ditangani secara
dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
1.
Gambaran klinik
Gejala klinik tersebut diantara
lain :
a. Lesi
kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
b. Nyeri,
dan terdapat pembesaran saraf tepi.
c. Adanya
tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun motorik.
d. Demam
dan malaise.
e. Kedua
tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya
lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
2.
Laboratorium :
a. Darah
rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
3.
Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan
gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang meningkat sehingga terjadi udema dan
hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant
memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis
(kematian jaringan) didalam granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan
fibrosis.
F.
Konsep
Terapi/Pengobatan
Terapi
Medik
Tujuan
utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a)
Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis
obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin
600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b)
Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis
obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin
600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari
diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c)
Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur,
dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan
100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d)
Pengobatan MDT terbaru
Metode
ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB
dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim
400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk
tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
e)
Putus obat
Pada
pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
G.
Pencegahan
Penyakit Kusta
Mengingat di
masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang bisa
menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam
mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan
untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta.
Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan
perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier
.
1.
Pencegahan Primer
Pencegahan
tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.Secara garis besar,
upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum,
misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan
dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang
mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
2.
Pencegahan Sekunder
Tingkat
pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah
sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara
fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes
penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan
yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk
mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas
berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.
3.
Pencegahan Tersier
Pencegahan
ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan rehabilitasi.
Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi
organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan
pusat-pusat rehabilitasi medik.
H.
Program
Pemberantasan Kusta
Untuk mencapai
tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dalam
melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai
penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita dan mencegah timbulnya cacat.
1)
Tujuan Program Jangka Panjang
a. Penemuan
penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di antara
penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.
b. Meningkatkan
pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar dan penderita
baru.
c. Tercapainya
100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan dan untuk MB 18
bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan cermat.
d. Pembinaan
pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas
waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya
dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat Pemberantasan
Penyakit Menular langsung Departemen Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171
e. Mencegah
cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan terjadi cacat
baru.
f. Melakukan
penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat
memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia.
g. Pengawasan
sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan motivasi kepada semua
penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa
pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB.
h. Melaksanakan
pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam
memenuhi kebutuhan program.
2)
Tujuan Program Jangka Pendek
Tujuan program kusta adalah
menurunkan angka kesakitan penyakit kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk
secara nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah kesehatan
masyarakat.
3)
Kebijaksanaan
a. Pelaksanaan
program kusta diintegrasikan dalam kegiatan puskesmas.
b. Penderita
kusta tidak boleh diisolasi
c. Pengobatan
kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi WHO diberikan secara gratis.
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan
petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian
dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan
tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat
Penyakit Sekarang
Biasanya klien
dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
c. Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
Pada klien
dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Morbus hansen
merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (
mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat
Psikososial
Klien yang
menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada
konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. Pola
Aktivitas Sehari-Hari
Aktifitas sehari-hari terganggu
karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang
tidak memungkinkan
g. Pemeriksaan
Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam
keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II
morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.Sistem
penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan,
dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.Sistem
pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan :
a)
Kerusakan fungsi sensorik, Kelainan
fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/
mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan
fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan
lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan
dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
c) Kerusakan
fungsi otonom,Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
Sistem
muskuloskeletal :
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya
kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
Sistem
integumen :
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering,
tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak.
B.
Diagnosa
Keperawatan
1. Integritas
kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2. Gangguan
rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan .
3. Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4. Gangguan
konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh.
C.
Intervensi
Diagnosa
1
Tujuan
: setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria
hasil : 1)
Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai
penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/
catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional: Memberikan inflamasi
dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang
terdapat lesi.
2. Berikan
perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya
penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi
warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran
pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan
lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan
lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi
perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.
5. Istirahatkan
bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa
maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan
beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi
lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi
untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2. Observasi
tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan
atau keadaan pasien
3. Ajarkan
dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa
nyeri
4. Atur
posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi
untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria
hasil : 1) Pasien dapat melakukan
aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1.
Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional:
Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2.
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan
pada kulit
Rasional:
Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3.
Lakukan latihan rentang gerak secara
konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif
Rasional:
Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan
fungsi otot/ sendi
4.
Jadwalkan pengobatan dan aktifitas
perawatan untuk memberikan periode istirahat
Rasional:
Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5.
Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/
orang yang terdekat pada latihan
Rasional:
Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan
memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa
4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan
keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil: 1) Pasien
menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan
perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1.
Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional:
Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan
dalam perbaikan optimal
2.
Terima dan akui ekspresi frustasi,
ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional:
penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu
perbaikan
3.
Berikan harapan dalam parameter situasi
individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah
Rasional:
meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan
dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4.
Berikan penguatan positif
Rasional:
Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
5.
Berikan kelompok pendukung untuk orang
terdekat
Rasional:
meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu
pasien
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a. Kusta
adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
b. Kusta
dibagi dalam 2 bentuk,yaitu :
·
kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
·
kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
c. Micobakterium
leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran napas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium
leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon
imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun
jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih
mengarah pada lepromatosa.
e. Manifestasi
klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
sensibilitas.
f. Penularan
penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta
yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain
itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia,
jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.
g. Untuk
pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara
primer, sekunder dan tersier.
h. Dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah
melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan,
kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.
B.
Saran
1. Untuk
menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu
program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
2. Hendaknya
masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan
tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta
untuk mempermudah pengobatanya.
3. Karena
di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu
diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif
DAFTAR
PUSTAKA
Adhi, N. Dkk,
1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.
Graber,Mark A,1998,Buku
Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Harahap, M.
1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
Juall,
Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman
Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Mansjoer, Arif,
2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
No comments:
Post a Comment