Wednesday, 2 February 2022

IDENTIFIKASI White Spot Syndrome Virus (WSSV) PADA UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) DENGAN MENGGUNAKAN Polymerase Chain Reaction (PCR) DI STASIUN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN

 


DAFTAR GAMBAR

Halaman

1   Udang Vannamei.............................................................................................. 8

2   Struktur organisasi............................................................................................ 13

3   Hasil uji WSSV................................................................................................ 18

4   Ukuran amplikon.............................................................................................. 19


 

DAFTAR TABEL

Halaman

1   Alat................................................................................................................... 11

2   Ektraksi............................................................................................................. 12

3   Amplifikasi....................................................................................................... 12

4   Elektroforesis.................................................................................................... 12

5   Formulasi Reaksi First Stap PCR..................................................................... 14

6   Profil Amplifikasi First Step PCR.................................................................... 15

7   Formulasi Nested PCR..................................................................................... 15

8   Profil Amplifikasi Nested PCR........................................................................ 15


1          I PENDAHULUAN

 

1.1         Latar Belakang

Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang umum dibudidayakan di Indonesia sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengintroduksinya sebagai upaya menanggulangi penurunan produksi (KKP, 2001). Udang tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan udang penaeid lainnya seperti tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan bisa untuk dipelihara pada padat penebaran tinggi.

Kehadiran udang Vannamei di Indonesia pada awalnya dapat diterima dan berkembang dengan baik oleh pembudidaya udang. Namun, produksi udang kembali mengalami kemerosotan beberapa tahun terakhir seiring kemunculan penyakit. Virus disinyalir menjadi patogen paling berperan memicu penyakit pada udang. Setiap fase hidup dari udang Vannamei rentan diserang oleh infeksi virus yang mengakibatkan perubahan bentuk tubuh, ukuran benih yang tidak seragam, pertumbuhan yang lambat, hingga mortalitas (BBL Lampung, 2011). Salah satu penyebab utama penurunan produksi udang Vannamei tersebut adalah penyakit.

Perkembangan terkini dibidang biologi molekuler telah memberikan kemudahan diberbagai bidang kehidupan manusia. Deteksi penyakit yang semula berbasis keberadaan antigen-antibodi, mulai ditingkatkan spesifikasinya dengan menggunakan teknik molekuler yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR). PCR dapat digunakan untuk menentukan keberadaan suatu penyebab penyakit (patogen) dan dapat digunakan untuk menentukan kandungan materi genetik baik DNA maupun RNA. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pengunaan teknologi PCR telah dikembangkan menjadi teknik Real Time Polymerase Chain Reaction   (Real Time PCR). Deteksi hasil dalam Real Time-PCR langsung dikuantifikasi oleh perangkat lunak (software) pada komputer. Keunggulan penggunaan teknik ini, diantaranya: (1) lebih cepat, (2) lebih sensitivif, dan (3) lebih spesifik, dan (4) dapat mengetahui kuantitas pathogen.

Pada praktik ini dilakukan deteksi penyakit bercak putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada lobster air tawar dengan menggunakan Real Time PCR. Di Indonesia, penyakit WSSV mewabah sejak tahun 1995 dan menyerang udang hingga 100% kematian selama 3-10 hari sejak gejala klinis muncul. Dalam deteksi penyakit tersebut, penggunaan teknologi Real Time-PCR memungkinkan untuk mengetahui jumlah salinan (copy) dari virus tersebut.

 

1.2         Tujuan

Tujuan dari pelaksanan Klinik Kompetensi Bidang (KKB) ini adalah untuk mengetahui cara mengidentifikasi WSSV dengan menggunakan metode PCR pada udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) di Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM).

 

1.3         Manfaat

a.       Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dibidang identifikasi virus khususnya udang Vannamei.

b.      Meningkatkan kemampuan dalam menggunakan alat laboratorium terutama peralatan PCR.

 

 


2          II GAMBARAN UMUM LOKASI

 

2.1         Sejarah Singkat SKIPM Aceh

Stasiun karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh awalnya bernama Stasiun Karantina Ikan kelas II. St. Iskandar Muda Banda Aceh (KEP. 32/MEN/2008). Pada tahun 2011 ditetapkan menjadi Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Aceh (KEP. 25/MEN/2011). Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh merupakan unit pelaksana teknis dari Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

2.1.1        Letak Geografis SKIPM

Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh terletak di Gampong Blang, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar dengan batas-batas sebagai berikut:

1.      Sebelah Barat berbatasan dengan Gampong Cot Masam.

2.      Sebelah Timur berbatasan dengan Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh.

3.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Cot Meuraja.            

4.      Sebelah Utara berbatasan dengan Bandara Sultan Sultan Iskandar Muda Aceh.

 

2.2         Visi, Misi, Sasaran dan Tujuan SKIPM Aceh

Stasiun karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh telah menetapkan visi, misi, tujuan, dan sasaran yaitu sebagai berikut:

2.2.1   Visi

Sebagai Unit Pelaksana Teknis yang merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai induk 10 organisasi. Dengan demikian visi dari Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh sama dengan visi Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, yaitu “Hasil Perikanan Yang Sehat Bermutu, Aman Konsumsi dan Terpercaya”.

2.2.2   Misi

Dalam pencapaian visi seperti yang telah diuraikan, maka SKIPM Aceh mengembangkan misi sebagai berikut:

1.      Melindungi dan menyelamatkan kelestarian sumber daya hayati ikan dari serangan hama dan penyakit ikan melalui tindakan karantina.

2.      Mendukung pengembangan teknik dan metode perkarantinaan ikan.

3.      Mengembangkan pengembangan informasi perkarantinaan ikan.

4.      Menegakkan supremasi hukum terhadap peraturan perundang perkarantinaan ikan.

5.      Mengembangkan sistem administrasi perkantoran.

6.      Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan karantina ikan.

7.      Menerapkan jaminan mutu yang handal dan terpercaya

2.2.3   Tujuan

Tujuan pembangunan SKIPM Aceh adalah:

1.           Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan mutu.

2.           Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kesejahteraan sumber daya manusia karantina ikan dan mutu.

3.           Memberikan jaminan kesehatan ikan dan lingkungan melalui sertifikasi.

4.           Menerapkan dan mengembangkan teknik dan metode perlakuan yang efektif.

5.           Menyediakan referensi identifikasi Hama dan Penyakit Ikan (HPI) atau Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) dan media pembawa.

6.           Menginventarisir HPI atau HPIK.

7.           Meningkatkan pengawasan operasional karantina ikan.

8.           Pengembangan, penataan dan pemberdayaan organisasi yang lebih optimal.

9.           Meningkatkan fungsi pelayanan terhadap pengguna jasa melalui pemanfaatan sistem informasi karantina ikan.

10.       Meningkatkan kinerja secara professional dan memanfaatkan sumber daya.

11.       Organisasi melalui perkembangan manajemen dan administrasi.

12.       Meningkatkan kualitas dan kuantitas pembinaan dan pelaksanaan hukum.

13.       Meningkatkan jaringan kerja sama kemitraan dengan pemerintah daerah, lembaga penelitian dan swasta, perguruan tinggi LSM dan mitra kerja di lapangan.

14.       Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan jaminan mutu.

 

2.3         Bidang dan Skala Kerja SKIPM

Aceh Skala kerja SKIPM Aceh mencakup pelayanan laboratorium, pemantauan, lalulintas dan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tugas SKIPM fungsi pelayanan laboratorium adalah untuk

1.      Pemeriksaan Bakteri

2.      Pemeriksaan Jamur

3.      Pemeriksaan Parasit

4.      Pemeriksaan Virus

 

2.4         Struktur Organisasi SKIPM Aceh

Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh memiliki susunan organisasi yang terdiri dari kepala UPT, kepala urusan tata usaha, kepala subseksi tata pelayanan dan kepala subseksi pengawasan, pengendalian dan informasi serta kelompok jabatan fungsional. Subseksi pengawasan, pengendalian dan informasi mempunyai tugas melakukan pemantauan, pengawasan, pengendalian dan surveilen HPIK dan keamanan hasil perikanan.

Berdasarkan hal itu dilakukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan sasaran tersebut. Kegiatan mencakup pengelolaan arsip administrasi laboratorium HPI/HPIK, pengawasan lalulintas media pembawa HPI/HPIK, pengambilan sampel uji media pembawa HPI/HPIK, pengelolaan laboratorium kimia, pengelolaan laboratorium basah, pelayanan prima kepada pengguna jasa akreditasi laboratorium uji SKIPM Aceh. Adapun struktur organisasi dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Struktur organisasi

 

2.5         Proses Kerja

Secara Umum Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh adalah instansi pemerintah yang mengoordinir lalu lintas komoditi perikanan, dengan serangkaian proses pemeriksaan bakteri, jamur, parasit dan virus. Hal ini sesuai dengan UU Nomor: 16 Tahun 1992 tentang karantina ikan, hewan dan tumbuhan kemudian ditindak lanjutkan dengan PP Nomor: 15 tahun 2002 tentang karantina ikan, yaitu:

1.      Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa HPIK.

2.      Pelaksanaan pemantauan HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.

3.      Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.

4.      Pelaksanaan pengawasan dan penindakan pelanggaran peraturan Perundang-undangan perkarantinaan ikan.

5.      Pelaksanaan inspeksi terhadap unit pengolahan ikan dalam rangka sertifikasi penerapan program manajemen mutu terpadu.

6.      Pelaksanaan surveilen HPIK, mutu dan keamanan hasil perikanan.

7.      Pelaksanaan sertifikasi kesehatan ikan, mutu dan keamanan hasil perikanan.

8.      Penerapan sistem manajemen mutu pada laboratorium dan pelayanan operasional.

9.      Pembuatan koleksi media pembawa dan HPIK.

10.  Pengumpulan, pengolahan data dan informasi perkarantinaan ikan, mutu dan keamanan hasil perikanan.

2.6         Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei)

Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Savador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga Peru di Amerika Selatan. Udang Vannamei resmi diizinkan masuk ke Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI. No.41/2001, kemudian produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan. Pemerintah kemudian melakukan kajian pada komoditas udang laut jenis lain yang dapat menambah produksi udang selain udang windu di Indonesia.

Udang Vannamei secara ilmiah memiliki nama Litopenaeus Vannamei dan termasuk kedalam kelompok crustaceae (udang-udangan) yang juga dikelompokkan sebagai udang penaide dengan beberapa jenis udang lainnya (Amri dan Iskandar, 2008). Menurut Effendie (1997) hierarki taksonomi udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) adalah sebagai berikut:

Filum               : Arthropoda

Sub filum        : Crustacean

Sub Kelas        : Malacostraca

Ordo                : Decapoda

Famili              : Panaeidae

Genus              : Litopenaeus

Spesies            : Litopenaeus Vannamei



Gambar 2 Udang Vannamei

Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Bagian tubuh dari Litopenaeus Vannamei terdiri dari kepala (thorax) dan perut (abdomen). Kepala Litopenaeus Vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Selain itu, kepala Litopenaeus Vannamei juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxilliped. Bagian perut terdiri dari 6 ruas dan juga terdapat 5 pasang kaki renang serta sepasang uropods yang membentuk kipas (Yuniasari, 2009). Pergantian kulit luar (eksoskeleton) pada Litopenaeus Vannamei terjadi secara periodik (Kusuma, 2009). Litopenaeus Vannamei memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan kitin yang berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki yang berwarna putih (Amri dan Iskandar, 2008). Adanya endapan kalsium karbonat (CaCO) pada kutikula menyebabkan udang memiliki kulit yang keras (Destarlina, 2004).

2.7         White Spot Syndrome Virus (WSSV)

Penyakit bercak putih merupakan salah satu penyakit virus yang disebabkan oleh White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang menyebabkan penyakit viral pada udang (Destarlina, 2004). Jaringan ektodermal dan mesodermal merupakan jaringan yang menjadi target utama serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Jaringan yang diserang berupa insang, organ limfoid dan epitel kutikula (Azizah dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina (2004), apabila jaringan ektodermal dan mesodermal telah terinfeksi White Spot Syndrome Virus maka akan terjadi kerusakan jaringan pada udang.

White Spot Syndrome Virus (WSSV) dapat menular melalui jalur vertikal, yaitu WSSV yang menyebar melalui induk ke anak, dan melalui jalur horizontal yaitu terjadinya kontak langsung dengan udang yang terinfeksi WSSV. Selain itu, jalur WSSV juga dapat tertular melalui perantara burung dari satu tambak ke tambak lain dengan cara burung memakan udang sakit yang berenang di permukaan kolam dan jatuhnya sisa yang tidak termakan burung ke dalam kolam lain (Arafani et.al, 2016).

2.8         Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction atau reaksi berantai polimerase merupakan perbanyakan untai DNA panjang tertentu secara in Vitro menggunakan enzim polimerase memperbanyak DNA secara in Vitro.

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi penyakit infeksi teknik PCR dasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik yang terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat proses ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap berurutan yaitu denaturasi template penempelan pasangan primer pada untai DNA target dan extension (pemanjangan atau polimerasi) sehingga diperoleh amplifikasi DNA antara 108-109 kali (Kordi k 2009).

Menurut buskipm 2013 secara umum uji fisika di laboratorium dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut

a.              Ekstraksi DNA/RNA

DNA dari sel sampel destruksi dengan larutan buffer, lysis buffer juga berfungsi untuk mengamankan hasil ekstraksi dari kerusakan akibat kerja enzim dNase hasil ekstraksi DNA-disentrifus hingga diperoleh butiran atau pelet DNA sementara untuk mengekstraksi RNA digunakan RNA ekstrcktion solution. RNA ekstraction solution juga berfungsi mengamankan RNA dari kerusakan akibat kerja enzim rNase (Pranawati, 2012).

b.             Amplifikasi

Bono 2014 menjelaskan hasil ekstraksi DNA pada tahap pertama digandakan dengan bantuan enzim-enzim yang disebut sebagai primer. Satu jenis primer bertanggung jawab atas penggandaan satu jenis DNA tertentu sehingga primer satu jenis virus hanya dapat digunakan untuk deteksi virus tersebut saja proses penggandaan ini dikenal sebagai proses amplifikasi. Proses tersebut dilakukan dengan metode kondisi suhu dan siklus penggandaan tertentu yang dapat diatur pada mesin PCR (thermocycle) proses ini disebut dengan reaksi rantai polimerase karena merupakan siklus penggunaan yang berulang sehingga kegiatan ini seolah-olah merupakan satu suatu proses reaksi berantai.

c.              Elektroforesis

Hasil uji PCR selanjutnya digunakan pada tahap ketiga, yaitu proses elektroforesis. Dengan bantuan buffer TAE dan TBE, DNA yang telah diklon pada tahap kedua dimasukkan kedalam lubang-lubang kecil yang terdapat pada lempeng agarose 2% hasil proses elektroforesis akan menampilkan pita pita DNA yang letaknya tersebar, tergantung pada berat molekulnya. Pita-pita DNA kemudian dibandingkan dengan posisi pita-pita pada jalur penanda DNA (DNA marker). Dari hasil proses elektroforesis ini dapat disimpulkan status sampel dan infeksi virus atau bebas dari virus (Genereach biotecnology corp, 2013).

Keberhasilan pengujian sampel dengan metode PCR dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti faktor kontaminasi silang, umur reagen atau enzim yang dipakai, jumlah enzim yang dipakai, ketelitian saat proses ekstraksi, serta kondisi larutan buffer dan larutan etidium bromida yang dipakai agar kontaminasi silang dapat dihindarkan, sebaiknya operator penguji PCR harus benar-benar terlatih dan teliti.


3          III METODOLOGI PELAKSANAAN

 

3.1         Waktu dan Tempat

            Pelaksanaan Klinik Kompetensi Bidang (KKB) Dimulai dari tanggal 27 Mei sampai dengan 27 Juni 2021.Tempat pelaksanaan yaitu di Laboratorium Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil (SKIPM) Aceh.

 

3.2         Alat dan Bahan

3.2.1        Alat

Alat alat yang digunakan pada Klinik Kompetensi Bidang ini adalah:

Tabel 1. Alat

No.

Alat

Jumlah

1.       

Microtube centrifuge

1box

2.       

Micropipet

5 unit

3.       

Falcon tube

1 unit

4.       

Gunting

1 unit

5.       

pinset

1 unit

6.       

Pastle

1 unit

7.       

Freezer

2 unit

8.       

Fortex

1 unit

9.       

Spin down

1 unit

10.   

Laminary air Flow

1 unit

11.   

Micro centrifuge

1 unit

12.   

Masker

1 box

13.   

Sarung tangan

1 box

14.   

Thermalcycler

1 unit

15.   

Hot plate

1 unit

16.   

Erlenmeyer

1 unit

17.   

Magnetic stirrer

1 unit

18.   

UV transiluminator

1 unit

 

3.2.2        Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada Klinik Kompetensi Bidang ini adalah:

Table 2. Ekstraksi

No.

Bahan

Jumlah

1.       

Sampel

1

2.       

Nucleid Lysis Solution

600 µl

3.       

Rnase solution

3 µl

4.       

Protein precipitation solution

200 µl

5.       

Isopropanol

600 µl

6.       

Etanol 70%

600 µl

7.       

DNA Rehidration solution

100 µl

8.       

Alcohol

-

 

Table 3. Amplifikasi

No.

Bahan

Jumlah

1.       

DNA template

3

2.       

First

1 µl

3.       

Refirst

1 µl

4.       

Go taq green (GT)

12 µl

5.       

Nuclease Free Water (NFW)

7 µl

 

Table 4. Elektroforesis

No.

Bahan

Jumlah

1.       

TAE buffer 1x

100 ml

2.       

Aquadest

1000 ml

3.       

Agarose

1,5 gram

4.       

Pewarna gel Agarose

10 µl

5.       

Kontrol positif

8 µl

6.       

Kontrol Negatif

4 µl

7.       

Marker

4 µl

 

 

3.3         Prosedur Kerja PCR


 

 

3.3.1   Ekstraksi DNA

a.              Preparasi sampel jaringan

·           Ditambahkan 10-20 mg jaringan segar atau beku kedalam 600µl larutan Nuclei Lysis Solution, campurkan hingga homogen.

b.             Lysis dan pngendapan protein

·           Ditambahkan 3 µl larutan Rnase solution kedalam lisat larutan Nuclei Lysis sel atau jaringan dan campurkan hingga homogen. Dinkubasi selama 20 menit pada suhu 37ºC. kemudian didiamkan pada suhu ruang.

·           Ditambahkan 200 µl larutan Protein Precipitation Solution. Votex dan dinginkan pada es selama 5 menit.

·           Disentrifuge pada 13.000 – 16.000 RPM selama 4 menit.

c.              Pengendapan dan Rehidrasi DNA

·           Dipindahkan supernatant kedalam tabung baru yang telah berisi 600 µl isipropanol pada suhu ruang.

·           Dicampurkan secara perlahan dengan membolak-balik tabung(inversion).

·           Dicentrifugasi pada 13.000-16.000 RPM selama 1 menit.

·           Dibuang supernatant da tambahkan 600 µl larutan etanol 70 % kemudian campurkan hingga homogen.

·           Dicentrifuge pada 13.000-16.000 RPM selama 1 menit.

·           Dikering-angin-kan etanol dan pellet selama 15 menit.

·           Direhidrasi DNA dalam 100 µ larutan DNA Rehydration Solution selama 1 jam pada suhu 65ºc atau semalaman pada suhu 4ºc.

3.3.2        Amplifikasi

Tabel 5. Formulasi reaksi first step PCR

No.

Pereaksi

Jumlah/volume pereaksi

1.       

Forward 1

1µl

2.       

Reverse 1

1 µl

3.       

Nuclease Free Water

7 µl

4.       

Go taq green

12 µl

5.       

Template DNA

4 µl

Total Volume

25µl

 

Pengaturan suhu dan siklus thermalcycler

Tabel 6. Profil amplifikasi first step PCR

No.

Pereaksi

Suhu (ºc)

Waktu

Jumlah siklus

1.       

Pre heat

 

94

55

72

4 menit

1 menit

2 menit

1

2.       

Denaturasi

94

1 menit

 

39

Annealing

 

55

1 menit

Ekstension

72

2 menit

3.       

End ekstension

 

72

5 menit

1

4.       

End hold

 

4

 

 

a.              Formulasi nested PCR

Tabel 7. Formulasi nested PCR

No.

Peraksi

Jumlah atau volume pereaksi

1.       

Forward 2

1 µl

2.       

Reverse 2

1 µl

3.       

Nuclease Free Water

9 µl

4.       

Go taq green

12 µl

5.       

Tamplate DNA

2 µl

Total volume

25 µl

Pengaturan suhu dan siklus thermalcycler

Tabel 8. Profil amplifikasi Nested PCR

No.

Pereaksi

Suhu (ºc)

Waktu

Jumlah siklus

1.       

Pre heat

 

94

55

72

4 menit

1 menit

2 menit

1

2.       

Denaturasi

94

1 menit

 

39

Annealing

 

55

1 menit

Ekstension

72

2menit

3.       

End ekstension

 

72

5 menit

1

4.       

End hold

 

4

  

 

 


 

3.3.3        Elektroforesis

a.              Persiapan gel agarose

·           Diambil TAE 1X.

·           Dibuat gel agarose dengan cara menimbang agrose sebanyak 1,5gr dan ditambah 80ml TAE 1X dan dimasukan kedalam tabung.

·           Dipanaskan dengan meggunakan hotplate dan magnetic stirrer pada suhu 120ºC dengan kecepatan 120-150 RPM.

·           Siapkan cetakan agarose dengan sumur telah terpasang.

·           Tunggu hingga gel mengeras.

·           Setelah gel mengeras, Diambil sisir secara perlahan dan gel agarose siap digunakan.

b.             Eletroforesis

Elektroforesis adalah gerakan partikel terdisfersi relatif terhadap fluida di bawah pengaruh medan listrik yang seragam secara spasial Elektroforesis digunakan di laboratorium untuk memisahkan makromolekul berdasarkan ukurannya. Teknik ini menerapkan muatan negatif sehingga protein bergerak menuju muatan positif.

·                DNA ladder di ambil sebanyak 8 ml dan dimasukan kedalan sumur (I) pada gel agarose.

·                Kemudian dimasukan sampel secara berurutan, diikuti dengan control negative dan positif kedalam sumur gel sebanyak 8ml.

·                Dielektroforesis dengan kekuatan listrik 100-150 V selama 30 menit.

·                Dilakukan pewarnaan gel dengan merendam gel agarose kedalam larutan pewarna.

·                Diamati gel agarose dibawah sinar uv untuk melihat visualisasi vita DNA.

·                Diagnosa dilakukan dengan mengamati berat molekul band dan DNA sampel yang muncul dengan menggunakan pembanding DNA marker.

·                Band DNA control positif WSSV muncul pada 941 base pair. Sampel dinyatakan negatif  WSSV apabila pita band tidak mencapai 941 base pair.

 

3.4         Dokumentasi

·           Dimasukan agarose yang telah di rendam kedalam UV trans-iluminator, dihidupkan lampunya.

·           Diambil foto menggunakan camera.

 


4          IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1         Hasil

Berikut ini hasil uji WSSV (White Spot Syndrome Virus) pada udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei).



Gambar 3. Hasil uji WSSV

Keterangan:

Marker 1000 bp

1 = sampel

2 = control negatif

3 = control positif

 

4.2         Pembahasan

Berdasarkan hasil dari Pengujian White Spot Syndrome Virus (WSSV)pada udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) secara molekular tidak ditemukan adanya udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) yang terserang WSSV. Pita DNA hasil pengujian WSSV yang diperoleh tidak menunjukkan pada ukuran amplikon 941 bp. Ukuran amplikon 941 bp merupakan ukuran positif WSSV sesuai dengan protokol Office International des Epizooties (OIE). Pada pengujian ini semua sampel udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) dinyatakan negatif terserang White   Spot Syndrome Virus (WSSV). Daftar ukuran amplikon pada pengujian virus dapat dilihat pada lampiran di bawah ini:

Gambar 3 ukuran amplikon

Penyakit bercak putih merupakan salah satu penyakit virus yang disebabkan oleh WSSV yang menyebabkan penyakit viral pada udang (Destarlina, 2004). Jaringan ektodermal dan mesodermal merupakan jaringan yang menjadi target utama serangan WSSV. Jaringan yang diserang berupa insang, organ limfoid dan epitel kutikula (Azizah dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina (2004), apabila jaringan ektodermal dan mesodermal telah terinfeksi White Spot Syndrome Virus maka akan terjadi kerusakan jaringan pada udang.

Secara umum, Tahapan PCR terdiri dari Ektaksi DNA, Amplifikasi, Elektroforesis dan Visualisasi Data.Tahapan Ekstraksi DNA merupakan Tahapan pemisah antara dari dalam organ sel. DNA pada udang udang vannamae dapat di ambil dari beberapa organ bagian tubuh udang salah satunya adalah Hepatopankras pada udang dan selanjutnya melakukan tahapan tahapan ekstraksi DNA sesuai dengan prosedur kerja.

Tahapan Amplifikasi PCR terdiri dari denaturasi, annealing, dan ekstension. Denaturasi yaitu proses pemecahan DNA double helix menjadi single helix. Tahapan ini biasanya dilakukan pada suhu 94ºC dalam waktu 1 menit sehingga ikatan pada DNA rusak. Selanjutnya tahapan annealing, tahapan annealing merupakan tahapan primer oligonukleatida menempel pada sekuen tertentu pada DNA. Agar primer dapat menempel dengan sempurna dan tepat pada sekuen yang dituju, suhu annealing biasanya 55ºC dalam waktu 1 menit. Ketidak sesuaian suhu akan menyebabkan kesalahan dalam penempelan primer sehingga hasil PCR pun akan invalid(salah). Tahapan terakhir yaitu ekstensiondimana enzim polymerase mulai bekerja untuk menerjemahkan kode asam amino untuk mendapatkan produk akhir PCR, pada tahap ini biasanya dilakukan dengan kisaran suhu 72ºC dalam waktu 2 menit. Keseluruhan tahapan ini dilakukan dalam satu alat yaitu mesin Thermalcycler, alat ini memiliki prinsip kerja menaik- turunkan suhu dalam waktu yang sangat singkat (Cole,1978).

Metode yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya DNA pada produk PCR adalah dengan teknik Elektroforesis, dengan menggunakan hasil dari proses Amplifikasi atau yang biasa di sebut Templet DNA dan Marker gel agrose. Elektroforesis adalah memisahkan molekul molekul DNA berdasarkan ukuran molekulnya menggunakan media gel agarose. Gel agarose yang digunakan dalam proses Elektroforesis dapat memisahkan molekul DNA dalam berbagai Konsentrasi dan memiliki spektrum pemilihan yang lebih besar, sedangkan ukuran molekul DNA WSSV yang dipisahkan sebesar 941 base pair. Molekul DNA memiliki muatan listrik negatif akibatnya apabila molekul DNA di tempatkan pada medan listrik maka DNA akan bergerak kearah medan positif. Kecepatan migrasi molekul DNA tergantung pada ukuran DNA, makin kecil ukuran DNA maka akan semakin cepat proses migrasinya (Sunarto et.al,2003). proses berikutnya adalah Visualisasi data pada proses ini dilakukan pada alat UV-Transiluminator sebagai pembacaan hasil hanya dapat dilakukan di bawah cahaya sinar UV, apabila pencahayaan masih kurang jelas dapat dilakukan pewarnaan pada gel agarose dengan menggunkan senyawa Ethidium bromida yang berfungsi sebagai penanda DNA, karena molekul DNA yang berikatan dengan ethidium bromida akan berpendar bila dilihat dengan lampu ultraviolet (Sunarto et al,. 2003)

 


5          V PENUTUP

 

5.1         Kesimpulan

Berdasarkan hasil Klinik Kompetensi Bidang yang dilakukan dapat di simpulkan bahwa

1.             Teknik PCR untuk mengidentifikasi virus ada 3 tahap yaitu ekstraksi, amplifikasi atau running, elektroforesis dan dokumentasi.

2.             Proses identifikasi dapat dilakukan selama 2 hari.

3.             Hasil uji sampel udang Vannamei menyatakan negatif WSSV.

 

5.2         Saran

Diharapkan dapat lebih menjaga keseterilan peralatan dan bahan bahan yang digunakan, agar tidak terjadi kontaminan terhadap sampel sampel yang akan di uji, sehingga mendapatkan hasil yang valid. Harapan kedepanya tetap terjalin kerja sama yang baik antar pihak SKIPM dan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama.


DAFTAR PUSTAKA

 

Amri dan Iskandar, 2008. Budidaya udang Vannamei, PT gramedia pustaka utama, Jakarta

Amrillah, 2015, Attabik M. (2015) dkk. Dampak Stres Salinitas Terhadap Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) Dan Survival Rate Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Journal Of Life Science. Volume 02, Nomor 01, h.110-111.

Arafani et.al, 2016 Pelacakan Virus Bercak Putih pada Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) di Lombok dengan Real-Time Polymerase Chain Reaction. Jurnal Veteriner, Volume 17, Nomor 1, h.92.

Ayu, 2013 Ayu, Akbaidar Gesty. 2013. Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan Desa Gebang Kabupaten Pesawaran.Skripsi. FakultasPertanian, Universitas Lampung, h. 9

Azizah dan Kurniasih, 2005Azizah, Amy A C. Kurniasih. (2005). Deteksi Infeksi White Spot Syndrome Virus pada Udang Putih (Penaeus Vannamei) Di Pulai Jawa dengan Metode Polimerase Chain Reaction. Jurnal Perikanan. Vol. 7, No. 1.h.32.

BBL Lampung.2011. Pengelolaan kesehatan ikan budidaya laut. Direktorat h

Destarlina, 2004 Destarlina, Oni M. (2004). Sreening Test White Spot Syndrome Virus pada Udang Putih (Panaeus Vannamei) Menggunakan Teknik Polimerase Chain Reaction di Balai Karantina Ikan Soekrno-Hatta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Haliman dan Adijaya, 2006 Haliman RW, Adijaya DS. (2006). Udang Vannamei. Panebar Swadaya: Jakarta

Supriatna, 2004 Supriatna, dkk. (2014). Sekuen Asam Amino Anti White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik, Vol. 16, No. 1, h.40 – 46.

Yuniasari, 2009 Yuniasari, D. (2009). Pengaruh Pemberian Bakteri Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Serta Molase Dengan C/N Rasio Berbeda Terhadap Profil Kualitas Air, Kelangsungan Hidup, Dan Pertumbuhan UdangVannamei (Litopenaeus Vannamei). Skripsi. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

No comments:

Post a Comment