DAFTAR ISI
Halaman
2.1 Sejarah
singkat SKIPM Aceh
2.2 Visi,
Misi, Sasaran dan Tujuan SKIPM Aceh
2.3 Bidang
dan Skala Kerja SKIPM
2.4 Struktur
Organisasi SKIPM Aceh
2.6 Udang Vannamei(Litopenaeus Vannamei)
2.7 White
Spot Syndrome Virus (WSSV)
2.8 Polymerase Chain Reaction (PCR)
V PENUTUP
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Udang Vannamei.............................................................................................. 8
2 Struktur organisasi............................................................................................ 13
3 Hasil uji WSSV................................................................................................ 18
4 Ukuran amplikon.............................................................................................. 19
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Alat................................................................................................................... 11
2 Ektraksi............................................................................................................. 12
3 Amplifikasi....................................................................................................... 12
4 Elektroforesis.................................................................................................... 12
5 Formulasi Reaksi
First Stap PCR..................................................................... 14
6 Profil Amplifikasi
First Step PCR.................................................................... 15
7 Formulasi Nested
PCR..................................................................................... 15
8 Profil Amplifikasi
Nested PCR........................................................................ 15
1
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Udang Vannamei (Litopenaeus
Vannamei) merupakan salah
satu jenis udang yang umum dibudidayakan di Indonesia sejak pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk mengintroduksinya sebagai upaya menanggulangi penurunan
produksi (KKP, 2001). Udang tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
udang penaeid lainnya seperti tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan bisa untuk
dipelihara pada padat penebaran tinggi.
Kehadiran udang Vannamei di Indonesia pada awalnya dapat
diterima dan berkembang dengan baik oleh pembudidaya udang. Namun, produksi
udang kembali mengalami kemerosotan beberapa tahun terakhir seiring kemunculan
penyakit. Virus disinyalir menjadi patogen paling berperan memicu penyakit pada
udang. Setiap fase hidup dari udang Vannamei rentan diserang oleh infeksi virus
yang mengakibatkan perubahan bentuk tubuh, ukuran benih yang tidak seragam,
pertumbuhan yang lambat, hingga mortalitas (BBL Lampung, 2011). Salah satu
penyebab utama penurunan produksi udang Vannamei tersebut adalah penyakit.
Perkembangan terkini dibidang biologi molekuler telah
memberikan kemudahan diberbagai bidang kehidupan manusia. Deteksi penyakit yang
semula berbasis keberadaan antigen-antibodi, mulai ditingkatkan spesifikasinya
dengan menggunakan teknik molekuler yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR).
PCR dapat digunakan untuk menentukan keberadaan suatu penyebab penyakit
(patogen) dan dapat digunakan untuk menentukan kandungan materi genetik baik
DNA maupun RNA. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pengunaan teknologi PCR
telah dikembangkan menjadi teknik Real Time Polymerase Chain Reaction (Real Time PCR). Deteksi hasil dalam Real
Time-PCR langsung dikuantifikasi oleh perangkat lunak (software) pada komputer.
Keunggulan penggunaan teknik ini, diantaranya: (1) lebih cepat, (2) lebih
sensitivif, dan (3) lebih spesifik, dan (4) dapat mengetahui kuantitas
pathogen.
Pada praktik ini dilakukan deteksi penyakit bercak putih atau
White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada lobster air tawar dengan
menggunakan Real Time PCR. Di Indonesia, penyakit WSSV mewabah sejak tahun 1995
dan menyerang udang hingga 100% kematian selama 3-10 hari sejak gejala klinis
muncul. Dalam deteksi penyakit tersebut, penggunaan teknologi Real Time-PCR
memungkinkan untuk mengetahui jumlah salinan (copy) dari virus tersebut.
1.2
Tujuan
Tujuan dari pelaksanan Klinik Kompetensi Bidang (KKB) ini
adalah untuk mengetahui cara mengidentifikasi WSSV dengan menggunakan metode
PCR pada udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) di Stasiun Karantina
Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM).
1.3
Manfaat
a.
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dibidang
identifikasi virus khususnya udang Vannamei.
b.
Meningkatkan kemampuan dalam menggunakan alat laboratorium
terutama peralatan PCR.
2
II GAMBARAN UMUM LOKASI
2.1
Sejarah Singkat SKIPM Aceh
Stasiun karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (SKIPM) Aceh awalnya bernama Stasiun Karantina Ikan kelas II. St.
Iskandar Muda Banda Aceh (KEP. 32/MEN/2008). Pada tahun 2011 ditetapkan menjadi
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I
Aceh (KEP. 25/MEN/2011). Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan (SKIPM) Aceh merupakan unit pelaksana teknis dari Badan
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
2.1.1
Letak Geografis SKIPM
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan Aceh terletak di Gampong Blang, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten
Aceh Besar dengan batas-batas sebagai berikut:
1.
Sebelah Barat berbatasan dengan Gampong Cot Masam.
2.
Sebelah Timur berbatasan dengan Bandara Sultan Iskandar Muda
Aceh.
3.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Cot Meuraja.
4.
Sebelah Utara berbatasan dengan Bandara Sultan Sultan
Iskandar Muda Aceh.
2.2
Visi, Misi, Sasaran dan Tujuan
SKIPM Aceh
Stasiun karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (SKIPM) Aceh telah menetapkan visi, misi, tujuan, dan sasaran yaitu
sebagai berikut:
2.2.1
Visi
Sebagai Unit Pelaksana Teknis yang merupakan bagian integral
yang tak terpisahkan dari Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai induk 10
organisasi. Dengan demikian visi dari Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan Aceh sama dengan visi Badan Karantina Ikan
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, yaitu “Hasil Perikanan Yang
Sehat Bermutu, Aman Konsumsi dan Terpercaya”.
2.2.2
Misi
Dalam pencapaian visi seperti yang telah diuraikan, maka
SKIPM Aceh mengembangkan misi sebagai berikut:
1.
Melindungi dan menyelamatkan kelestarian sumber daya hayati
ikan dari serangan hama dan penyakit ikan melalui tindakan karantina.
2.
Mendukung pengembangan teknik dan metode perkarantinaan ikan.
3.
Mengembangkan pengembangan informasi perkarantinaan ikan.
4.
Menegakkan supremasi hukum terhadap peraturan perundang
perkarantinaan ikan.
5.
Mengembangkan sistem administrasi perkantoran.
6.
Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan
kegiatan karantina ikan.
7.
Menerapkan jaminan mutu yang handal dan terpercaya
2.2.3
Tujuan
Tujuan pembangunan SKIPM Aceh adalah:
1.
Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana
penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan mutu.
2.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas serta kesejahteraan sumber
daya manusia karantina ikan dan mutu.
3.
Memberikan jaminan kesehatan ikan dan lingkungan melalui
sertifikasi.
4.
Menerapkan dan mengembangkan teknik dan metode perlakuan yang
efektif.
5.
Menyediakan referensi identifikasi Hama dan Penyakit Ikan
(HPI) atau Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) dan media pembawa.
6.
Menginventarisir HPI atau HPIK.
7.
Meningkatkan pengawasan operasional karantina ikan.
8.
Pengembangan, penataan dan pemberdayaan organisasi yang lebih
optimal.
9.
Meningkatkan fungsi pelayanan terhadap pengguna jasa melalui
pemanfaatan sistem informasi karantina ikan.
10.
Meningkatkan kinerja secara professional dan memanfaatkan sumber
daya.
11.
Organisasi melalui perkembangan manajemen dan administrasi.
12.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pembinaan dan pelaksanaan
hukum.
13.
Meningkatkan jaringan kerja sama kemitraan dengan pemerintah
daerah, lembaga penelitian dan swasta, perguruan tinggi LSM dan mitra kerja di
lapangan.
14.
Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan perkarantinaan ikan dan jaminan mutu.
2.3
Bidang dan Skala Kerja SKIPM
Aceh Skala kerja SKIPM Aceh mencakup pelayanan laboratorium,
pemantauan, lalulintas dan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tugas SKIPM fungsi
pelayanan laboratorium adalah untuk
1.
Pemeriksaan Bakteri
2.
Pemeriksaan Jamur
3.
Pemeriksaan Parasit
4.
Pemeriksaan Virus
2.4
Struktur Organisasi SKIPM Aceh
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (SKIPM) Aceh memiliki susunan organisasi yang terdiri dari kepala UPT,
kepala urusan tata usaha, kepala subseksi tata pelayanan dan kepala subseksi
pengawasan, pengendalian dan informasi serta kelompok jabatan fungsional.
Subseksi pengawasan, pengendalian dan informasi mempunyai tugas melakukan pemantauan,
pengawasan, pengendalian dan surveilen HPIK dan keamanan hasil perikanan.
Berdasarkan hal itu dilakukan kegiatan-kegiatan yang terkait
dengan upaya untuk mewujudkan sasaran tersebut. Kegiatan mencakup pengelolaan
arsip administrasi laboratorium HPI/HPIK, pengawasan lalulintas media pembawa
HPI/HPIK, pengambilan sampel uji media pembawa HPI/HPIK, pengelolaan
laboratorium kimia, pengelolaan laboratorium basah, pelayanan prima kepada
pengguna jasa akreditasi laboratorium uji SKIPM Aceh. Adapun struktur organisasi
dapat dilihat pada gambar berikut:
2.5
Proses Kerja
Secara Umum Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Aceh adalah instansi pemerintah yang mengoordinir lalu
lintas komoditi perikanan, dengan serangkaian proses pemeriksaan bakteri,
jamur, parasit dan virus. Hal ini sesuai dengan UU Nomor: 16 Tahun 1992 tentang
karantina ikan, hewan dan tumbuhan kemudian ditindak lanjutkan dengan PP Nomor:
15 tahun 2002 tentang karantina ikan, yaitu:
1.
Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa HPIK.
2.
Pelaksanaan pemantauan HPIK, mutu dan keamanan hasil
perikanan.
3.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian HPIK, mutu dan
keamanan hasil perikanan.
4.
Pelaksanaan pengawasan dan penindakan pelanggaran peraturan
Perundang-undangan perkarantinaan ikan.
5.
Pelaksanaan inspeksi terhadap unit pengolahan ikan dalam
rangka sertifikasi penerapan program manajemen mutu terpadu.
6.
Pelaksanaan surveilen HPIK, mutu dan keamanan hasil
perikanan.
7.
Pelaksanaan sertifikasi kesehatan ikan, mutu dan keamanan
hasil perikanan.
8.
Penerapan sistem manajemen mutu pada laboratorium dan
pelayanan operasional.
9.
Pembuatan koleksi media pembawa dan HPIK.
10. Pengumpulan,
pengolahan data dan informasi perkarantinaan ikan, mutu dan keamanan hasil
perikanan.
2.6
Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei)
Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) berasal dari daerah subtropis pantai barat
Amerika, mulai dari teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai
barat Guatemala, El Savador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga
Peru di Amerika Selatan. Udang Vannamei
resmi diizinkan masuk ke Indonesia melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan
RI. No.41/2001, kemudian produksi udang windu menurun sejak 1996 akibat
serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan. Pemerintah kemudian
melakukan kajian pada komoditas udang laut jenis lain yang dapat menambah
produksi udang selain udang windu di Indonesia.
Udang Vannamei
secara ilmiah memiliki nama Litopenaeus Vannamei dan termasuk kedalam
kelompok crustaceae (udang-udangan) yang juga dikelompokkan sebagai udang
penaide dengan beberapa jenis udang lainnya (Amri dan Iskandar, 2008). Menurut
Effendie (1997) hierarki taksonomi udang vannamei (Litopenaeus Vannamei)
adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Sub filum : Crustacean
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Panaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus Vannamei
Gambar
2 Udang Vannamei
Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei)
Bagian tubuh dari Litopenaeus Vannamei terdiri dari kepala
(thorax) dan perut (abdomen). Kepala Litopenaeus
Vannamei terdiri dari
antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Selain itu, kepala Litopenaeus
Vannamei juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan yang terdiri dari 2
pasang maxillae dan 3 pasang maxilliped. Bagian perut terdiri
dari 6 ruas dan juga terdapat 5 pasang kaki renang serta sepasang uropods yang
membentuk kipas (Yuniasari, 2009). Pergantian kulit luar (eksoskeleton) pada Litopenaeus Vannamei terjadi secara periodik (Kusuma, 2009). Litopenaeus Vannamei memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari
bahan kitin yang berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki yang berwarna
putih (Amri dan Iskandar, 2008). Adanya endapan kalsium karbonat (CaCO₃) pada kutikula menyebabkan udang memiliki kulit yang
keras (Destarlina, 2004).
2.7
White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Penyakit bercak putih merupakan salah satu penyakit
virus yang disebabkan oleh White Spot
Syndrome Virus (WSSV) yang menyebabkan penyakit viral pada udang
(Destarlina, 2004). Jaringan ektodermal dan mesodermal merupakan jaringan yang
menjadi target utama serangan White Spot
Syndrome Virus (WSSV). Jaringan yang diserang berupa insang, organ limfoid
dan epitel kutikula (Azizah dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina (2004),
apabila jaringan ektodermal dan mesodermal telah terinfeksi White Spot Syndrome Virus maka akan
terjadi kerusakan jaringan pada udang.
White Spot
Syndrome Virus (WSSV) dapat
menular melalui jalur vertikal, yaitu WSSV yang menyebar melalui induk ke anak,
dan melalui jalur horizontal yaitu terjadinya kontak langsung dengan udang yang
terinfeksi WSSV. Selain itu, jalur WSSV juga dapat tertular melalui perantara
burung dari satu tambak ke tambak lain dengan cara burung memakan udang sakit
yang berenang di permukaan kolam dan jatuhnya sisa yang tidak termakan burung
ke dalam kolam lain (Arafani et.al, 2016).
2.8
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction atau reaksi berantai polimerase merupakan perbanyakan untai DNA
panjang tertentu secara in Vitro menggunakan enzim polimerase memperbanyak DNA
secara in Vitro.
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi penyakit
infeksi teknik PCR dasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik yang terjadi
penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam
waktu yang relatif singkat proses ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap
berurutan yaitu denaturasi template penempelan pasangan primer pada untai DNA
target dan extension (pemanjangan atau polimerasi) sehingga diperoleh
amplifikasi DNA antara 108-109 kali (Kordi k 2009).
Menurut buskipm 2013 secara umum uji fisika di laboratorium
dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut
a.
Ekstraksi DNA/RNA
DNA dari sel sampel destruksi dengan larutan buffer, lysis buffer
juga berfungsi untuk mengamankan hasil ekstraksi dari kerusakan akibat kerja
enzim dNase hasil ekstraksi DNA-disentrifus hingga diperoleh butiran atau pelet
DNA sementara untuk mengekstraksi RNA digunakan RNA ekstrcktion solution. RNA
ekstraction solution juga berfungsi mengamankan RNA dari kerusakan akibat kerja
enzim rNase (Pranawati, 2012).
b.
Amplifikasi
Bono 2014 menjelaskan hasil ekstraksi DNA pada tahap pertama
digandakan dengan bantuan enzim-enzim yang disebut sebagai primer. Satu jenis
primer bertanggung jawab atas penggandaan satu jenis DNA tertentu sehingga
primer satu jenis virus hanya dapat digunakan untuk deteksi virus tersebut saja
proses penggandaan ini dikenal sebagai proses amplifikasi. Proses tersebut
dilakukan dengan metode kondisi suhu dan siklus penggandaan tertentu yang dapat
diatur pada mesin PCR (thermocycle) proses ini disebut dengan reaksi
rantai polimerase karena merupakan siklus penggunaan yang berulang sehingga kegiatan
ini seolah-olah merupakan satu suatu proses reaksi berantai.
c.
Elektroforesis
Hasil uji PCR selanjutnya digunakan pada tahap ketiga, yaitu proses
elektroforesis. Dengan bantuan buffer TAE dan TBE, DNA yang telah diklon pada
tahap kedua dimasukkan kedalam lubang-lubang kecil yang terdapat pada lempeng
agarose 2% hasil proses elektroforesis akan menampilkan pita pita DNA yang
letaknya tersebar, tergantung pada berat molekulnya. Pita-pita DNA kemudian dibandingkan
dengan posisi pita-pita pada jalur penanda DNA (DNA marker). Dari hasil proses
elektroforesis ini dapat disimpulkan status sampel dan infeksi virus atau bebas
dari virus (Genereach biotecnology corp, 2013).
Keberhasilan pengujian sampel dengan metode PCR dipengaruhi oleh
beberapa hal, seperti faktor kontaminasi silang, umur reagen atau enzim yang
dipakai, jumlah enzim yang dipakai, ketelitian saat proses ekstraksi, serta
kondisi larutan buffer dan larutan etidium bromida yang dipakai agar
kontaminasi silang dapat dihindarkan, sebaiknya operator penguji PCR harus
benar-benar terlatih dan teliti.
3
III METODOLOGI PELAKSANAAN
3.1
Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Klinik Kompetensi Bidang
(KKB) Dimulai dari tanggal 27 Mei sampai dengan 27 Juni 2021.Tempat pelaksanaan
yaitu di Laboratorium Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil (SKIPM) Aceh.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
Alat alat yang digunakan pada Klinik Kompetensi Bidang ini
adalah:
Tabel 1. Alat
No. |
Alat |
Jumlah |
1.
|
Microtube
centrifuge |
1box |
2.
|
Micropipet |
5 unit |
3.
|
Falcon tube |
1 unit |
4.
|
Gunting |
1 unit |
5.
|
pinset |
1 unit |
6.
|
Pastle |
1 unit |
7.
|
Freezer |
2 unit |
8.
|
Fortex |
1 unit |
9.
|
Spin down |
1 unit |
10.
|
Laminary air Flow |
1 unit |
11.
|
Micro centrifuge |
1 unit |
12.
|
Masker |
1 box |
13.
|
Sarung tangan |
1 box |
14.
|
Thermalcycler |
1 unit |
15.
|
Hot plate |
1 unit |
16.
|
Erlenmeyer |
1 unit |
17.
|
Magnetic stirrer |
1 unit |
18.
|
UV transiluminator |
1 unit |
3.2.2
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada Klinik Kompetensi Bidang ini
adalah:
Table 2. Ekstraksi
No. |
Bahan |
Jumlah |
1. |
Sampel |
1 |
2. |
Nucleid Lysis
Solution |
600 µl |
3. |
Rnase solution |
3 µl |
4. |
Protein
precipitation solution |
200 µl |
5. |
Isopropanol |
600 µl |
6. |
Etanol 70% |
600 µl |
7. |
DNA Rehidration
solution |
100 µl |
8. |
Alcohol |
- |
Table 3. Amplifikasi
No. |
Bahan |
Jumlah |
1. |
DNA template |
3 |
2. |
First |
1 µl |
3. |
Refirst |
1 µl |
4. |
Go taq green (GT) |
12 µl |
5. |
Nuclease Free
Water (NFW) |
7 µl |
Table 4. Elektroforesis
No. |
Bahan |
Jumlah |
1. |
TAE buffer 1x |
100 ml |
2. |
Aquadest |
1000 ml |
3. |
Agarose |
1,5 gram |
4. |
Pewarna gel
Agarose |
10 µl |
5. |
Kontrol positif |
8 µl |
6. |
Kontrol Negatif |
4 µl |
7. |
Marker |
4 µl |
3.3
Prosedur Kerja PCR
3.3.1
Ekstraksi DNA
a.
Preparasi sampel jaringan
·
Ditambahkan 10-20 mg jaringan segar atau beku kedalam 600µl
larutan Nuclei Lysis Solution, campurkan hingga homogen.
b.
Lysis dan pngendapan protein
·
Ditambahkan 3 µl larutan Rnase solution kedalam lisat larutan
Nuclei Lysis sel atau jaringan dan campurkan hingga homogen. Dinkubasi selama 20
menit pada suhu 37ºC. kemudian didiamkan pada suhu ruang.
·
Ditambahkan 200 µl larutan Protein Precipitation Solution.
Votex dan dinginkan pada es selama 5 menit.
·
Disentrifuge pada 13.000 – 16.000 RPM selama 4 menit.
c.
Pengendapan dan Rehidrasi DNA
·
Dipindahkan supernatant kedalam tabung baru yang telah berisi
600 µl isipropanol pada suhu ruang.
·
Dicampurkan secara perlahan dengan membolak-balik
tabung(inversion).
·
Dicentrifugasi pada 13.000-16.000 RPM selama 1 menit.
·
Dibuang supernatant da tambahkan 600 µl larutan etanol 70 % kemudian
campurkan hingga homogen.
·
Dicentrifuge pada 13.000-16.000 RPM selama 1 menit.
·
Dikering-angin-kan etanol dan pellet selama 15 menit.
·
Direhidrasi DNA dalam 100 µ larutan DNA Rehydration Solution
selama 1 jam pada suhu 65ºc atau semalaman pada suhu 4ºc.
3.3.2
Amplifikasi
Tabel 5. Formulasi reaksi first
step PCR
No. |
Pereaksi |
Jumlah/volume pereaksi |
1. |
Forward 1 |
1µl |
2. |
Reverse 1 |
1 µl |
3. |
Nuclease Free
Water |
7 µl |
4. |
Go taq green |
12 µl |
5. |
Template DNA |
4 µl |
Total Volume |
25µl |
Pengaturan suhu dan siklus
thermalcycler
Tabel 6. Profil amplifikasi
first step PCR
No. |
Pereaksi |
Suhu (ºc) |
Waktu |
Jumlah siklus |
1. |
Pre heat |
94 55 72 |
4 menit 1 menit 2 menit |
1 |
2. |
Denaturasi |
94 |
1 menit |
39 |
Annealing |
55 |
1 menit |
||
Ekstension |
72 |
2 menit |
||
3. |
End ekstension |
72 |
5 menit |
1 |
4. |
End hold |
4 |
ꚙ |
|
a.
Formulasi nested PCR
Tabel 7. Formulasi nested PCR
No. |
Peraksi |
Jumlah atau volume pereaksi |
1. |
Forward 2 |
1 µl |
2. |
Reverse 2 |
1 µl |
3. |
Nuclease Free
Water |
9 µl |
4. |
Go taq green |
12 µl |
5. |
Tamplate DNA |
2 µl |
Total volume |
25 µl |
Pengaturan
suhu dan siklus thermalcycler
Tabel 8. Profil amplifikasi Nested PCR
No. |
Pereaksi |
Suhu (ºc) |
Waktu |
Jumlah siklus |
1. |
Pre heat |
94 55 72 |
4 menit 1 menit 2 menit |
1 |
2. |
Denaturasi |
94 |
1 menit |
39 |
Annealing |
55 |
1 menit |
||
Ekstension |
72 |
2menit |
||
3. |
End ekstension |
72 |
5 menit |
1 |
4. |
End hold |
4 |
ꚙ |
|
3.3.3
Elektroforesis
a.
Persiapan gel agarose
·
Diambil TAE 1X.
·
Dibuat gel agarose dengan cara menimbang agrose sebanyak
1,5gr dan ditambah 80ml TAE 1X dan dimasukan kedalam tabung.
·
Dipanaskan dengan meggunakan hotplate dan magnetic stirrer
pada suhu 120ºC dengan kecepatan 120-150 RPM.
·
Siapkan cetakan agarose dengan sumur telah terpasang.
·
Tunggu hingga gel mengeras.
·
Setelah gel mengeras, Diambil sisir secara perlahan dan gel
agarose siap digunakan.
b.
Eletroforesis
Elektroforesis
adalah gerakan partikel terdisfersi relatif terhadap fluida di bawah
pengaruh medan listrik yang seragam secara spasial Elektroforesis
digunakan di laboratorium untuk memisahkan makromolekul berdasarkan
ukurannya. Teknik ini menerapkan muatan negatif sehingga protein bergerak
menuju muatan positif.
·
DNA ladder di ambil sebanyak 8 ml dan dimasukan kedalan sumur
(I) pada gel agarose.
·
Kemudian dimasukan sampel secara berurutan, diikuti dengan
control negative dan positif kedalam sumur gel sebanyak 8ml.
·
Dielektroforesis dengan kekuatan listrik 100-150 V selama 30
menit.
·
Dilakukan pewarnaan gel dengan merendam gel agarose kedalam larutan
pewarna.
·
Diamati gel agarose dibawah sinar uv untuk melihat
visualisasi vita DNA.
·
Diagnosa dilakukan dengan mengamati berat molekul band dan
DNA sampel yang muncul dengan menggunakan pembanding DNA marker.
·
Band DNA control positif WSSV muncul pada 941 base pair.
Sampel dinyatakan negatif WSSV apabila pita
band tidak mencapai 941 base pair.
3.4
Dokumentasi
·
Dimasukan agarose yang telah di rendam kedalam UV
trans-iluminator, dihidupkan lampunya.
·
Diambil foto menggunakan camera.
4
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Berikut ini hasil uji WSSV (White Spot Syndrome Virus) pada udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei).
Gambar 3. Hasil uji WSSV
Keterangan:
Marker
1000 bp
1 =
sampel
2 =
control negatif
3 =
control positif
4.2
Pembahasan
Berdasarkan hasil dari Pengujian White Spot Syndrome Virus (WSSV)pada udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) secara molekular tidak ditemukan adanya udang vannamei
(Litopenaeus Vannamei) yang terserang WSSV. Pita DNA hasil pengujian WSSV
yang diperoleh tidak menunjukkan pada ukuran amplikon 941 bp. Ukuran amplikon 941
bp merupakan ukuran positif WSSV sesuai dengan protokol Office International
des Epizooties (OIE). Pada pengujian ini semua sampel udang vannamei (Litopenaeus Vannamei) dinyatakan negatif terserang White Spot Syndrome Virus
(WSSV). Daftar ukuran amplikon pada pengujian virus dapat dilihat pada lampiran
di bawah ini:
Gambar 3 ukuran amplikon
Penyakit bercak putih merupakan salah satu penyakit virus yang
disebabkan oleh WSSV yang menyebabkan penyakit viral pada udang (Destarlina,
2004). Jaringan ektodermal dan mesodermal merupakan jaringan yang menjadi
target utama serangan WSSV. Jaringan yang diserang berupa insang, organ limfoid
dan epitel kutikula (Azizah dan Kurniasih, 2005). Menurut Destarlina (2004),
apabila jaringan ektodermal dan mesodermal telah terinfeksi White Spot Syndrome Virus maka akan
terjadi kerusakan jaringan pada udang.
Secara umum, Tahapan PCR terdiri dari Ektaksi DNA,
Amplifikasi, Elektroforesis dan Visualisasi Data.Tahapan Ekstraksi DNA
merupakan Tahapan pemisah antara dari dalam organ sel. DNA pada udang udang
vannamae dapat di ambil dari beberapa organ bagian tubuh udang salah satunya
adalah Hepatopankras pada udang dan selanjutnya melakukan tahapan tahapan
ekstraksi DNA sesuai dengan prosedur kerja.
Tahapan Amplifikasi PCR terdiri dari denaturasi, annealing,
dan ekstension. Denaturasi yaitu proses pemecahan DNA double helix menjadi
single helix. Tahapan ini biasanya dilakukan pada suhu 94ºC dalam waktu 1 menit
sehingga ikatan pada DNA rusak. Selanjutnya tahapan annealing, tahapan
annealing merupakan tahapan primer oligonukleatida menempel pada sekuen
tertentu pada DNA. Agar primer dapat menempel dengan sempurna dan tepat pada
sekuen yang dituju, suhu annealing biasanya 55ºC dalam waktu 1 menit. Ketidak
sesuaian suhu akan menyebabkan kesalahan dalam penempelan primer sehingga hasil
PCR pun akan invalid(salah). Tahapan terakhir yaitu ekstensiondimana enzim
polymerase mulai bekerja untuk menerjemahkan kode asam amino untuk mendapatkan
produk akhir PCR, pada tahap ini biasanya dilakukan dengan kisaran suhu 72ºC
dalam waktu 2 menit. Keseluruhan tahapan ini dilakukan dalam satu alat yaitu
mesin Thermalcycler, alat ini memiliki prinsip kerja menaik- turunkan suhu
dalam waktu yang sangat singkat (Cole,1978).
Metode yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya DNA
pada produk PCR adalah dengan teknik Elektroforesis, dengan menggunakan hasil
dari proses Amplifikasi atau yang biasa di sebut Templet DNA dan Marker gel
agrose. Elektroforesis adalah memisahkan molekul molekul DNA berdasarkan ukuran
molekulnya menggunakan media gel agarose. Gel agarose yang digunakan dalam
proses Elektroforesis dapat memisahkan molekul DNA dalam berbagai Konsentrasi
dan memiliki spektrum pemilihan yang lebih besar, sedangkan ukuran molekul DNA
WSSV yang dipisahkan sebesar 941 base pair. Molekul DNA memiliki muatan listrik
negatif akibatnya apabila molekul DNA di tempatkan pada medan listrik maka DNA
akan bergerak kearah medan positif. Kecepatan migrasi molekul DNA tergantung
pada ukuran DNA, makin kecil ukuran DNA maka akan semakin cepat proses
migrasinya (Sunarto et.al,2003). proses berikutnya adalah Visualisasi data pada
proses ini dilakukan pada alat UV-Transiluminator sebagai pembacaan hasil hanya
dapat dilakukan di bawah cahaya sinar UV, apabila pencahayaan masih kurang
jelas dapat dilakukan pewarnaan pada gel agarose dengan menggunkan senyawa
Ethidium bromida yang berfungsi sebagai penanda DNA, karena molekul DNA yang
berikatan dengan ethidium bromida akan berpendar bila dilihat dengan lampu
ultraviolet (Sunarto et al,. 2003)
5
V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil Klinik Kompetensi Bidang yang dilakukan
dapat di simpulkan bahwa
1.
Teknik PCR untuk mengidentifikasi virus ada 3 tahap yaitu
ekstraksi, amplifikasi atau running, elektroforesis dan dokumentasi.
2.
Proses identifikasi dapat dilakukan selama 2 hari.
3.
Hasil uji sampel udang Vannamei menyatakan negatif WSSV.
5.2
Saran
Diharapkan dapat lebih menjaga keseterilan peralatan dan
bahan bahan yang digunakan, agar tidak terjadi kontaminan terhadap sampel
sampel yang akan di uji, sehingga mendapatkan hasil yang valid. Harapan
kedepanya tetap terjalin kerja sama yang baik antar pihak SKIPM dan Fakultas
Perikanan Universitas Abulyatama.
DAFTAR PUSTAKA
Amri dan Iskandar, 2008. Budidaya udang Vannamei,
PT gramedia pustaka utama, Jakarta
Amrillah, 2015, Attabik M. (2015) dkk. Dampak
Stres Salinitas Terhadap Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) Dan
Survival Rate Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) pada Kondisi
Terkontrol. Journal Of Life Science. Volume 02, Nomor 01, h.110-111.
Arafani et.al, 2016 Pelacakan Virus Bercak
Putih pada Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) di Lombok dengan
Real-Time Polymerase Chain Reaction. Jurnal Veteriner, Volume 17, Nomor 1,
h.92.
Ayu, 2013 Ayu, Akbaidar Gesty. 2013.
Penerapan Manajemen Kesehatan Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei)
Di Sentra Budidaya Udang Desa Sidodadi Dan Desa Gebang Kabupaten
Pesawaran.Skripsi. FakultasPertanian, Universitas Lampung, h. 9
Azizah dan Kurniasih, 2005Azizah, Amy A C.
Kurniasih. (2005). Deteksi Infeksi White Spot Syndrome Virus pada Udang
Putih (Penaeus Vannamei) Di Pulai Jawa dengan Metode Polimerase Chain
Reaction. Jurnal Perikanan. Vol. 7, No. 1.h.32.
BBL Lampung.2011. Pengelolaan kesehatan ikan
budidaya laut. Direktorat h
Destarlina, 2004 Destarlina, Oni M. (2004).
Sreening Test White Spot Syndrome Virus pada Udang Putih (Panaeus Vannamei)
Menggunakan Teknik Polimerase Chain Reaction di Balai Karantina Ikan
Soekrno-Hatta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Haliman dan Adijaya, 2006 Haliman RW, Adijaya
DS. (2006). Udang Vannamei. Panebar Swadaya: Jakarta
Supriatna, 2004 Supriatna, dkk. (2014). Sekuen
Asam Amino Anti White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus
Monodon). Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik, Vol. 16, No. 1, h.40 – 46.
Yuniasari, 2009 Yuniasari, D. (2009).
Pengaruh Pemberian Bakteri Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Serta Molase Dengan
C/N Rasio Berbeda Terhadap Profil Kualitas Air, Kelangsungan Hidup, Dan
Pertumbuhan UdangVannamei (Litopenaeus Vannamei). Skripsi. Departemen
Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.
No comments:
Post a Comment