Saturday, 18 December 2021

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HIV/AIDS

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).

HIV (Human Immunodeficiency virus) adalah jenis virus yang dapat menurunkan kekebalan tubuh (BKKBN, 2007). Menurut Depkes RI (2008) menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retrovirus-RNA yang menerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2009).

Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain (Kemenkes, 2015). Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS masih merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer dan Bare, 2015).

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum


benar-benar bisa disembuhkan. Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua tipe yaitu tipe HIV-1 dan HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat. Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1 jauh lebih mudah ditularkan dan masa inkubasi sejak mulai infeksi sampai timbulnya penyakit lebih pendek (Martono, 2009).

HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAD, 2007) komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut : Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru, Kandidiasis esophagus, Kriptokokosis ekstra paru, Kriptosporidiosis intestinal kronis (>1 bulan), Renitis CMV (gangguan penglihatan), Herpes simplek, ulkus kronik (>1 bulan), Mycobacterium tuberculasis di paru atau ekstra paru, Ensefalitis toxoplasma.

Penyakit AIDS ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Bahkan menurut UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, dan ini membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981. (Nasronudin, 2013).

Di Indonesia menurut laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember 2014 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2015 menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian. Angka ini tidak mengherankan karena diawal tahun 2000-an kalangan ahli epidemiologi sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar antara 80.000 – 130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara peringkat ketiga, setelah Cina dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya tertinggi di Asia.(Depkes, 2011).

Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan ODHA. Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi Oportunistik atau IO. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut. Infeksi Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan kebutuhan oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan depresi (Nursalam,2011).

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana yang dimaksud dengan HIV/AIDS?

2.      Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS?

3.      Diagnosa apa saja yang sering timbul pada pasien dengan HIV/AIDS?

C.    Tujuan

1.      Agar dapat menambah wawasan apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS baik bagi penulis maupun pembaca.

2.      Agar dapat menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS baik bagi penulis maupun pembaca.

3.      Penulis dan pembaca mampu memahami dan menguasai asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS.

 


 


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A.    Definisi

HIV adalah virus penyebab Acquired Immuno Deficiensi Syndrom (AIDS). Virus ini memiliki kemampuan untuk mentransfer informasi genetic, mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut Reverse Transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi dari RNA & DNA dan transflasi dari RNA ke protein pada umumnya (Murma, et.al,1999).

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).

AIDS adalah Suatu kumpulan kondisi tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Virginia Macedolan, 2008). AIDS kependekan dari A: Acquired, Didapat, Bukan penyakit keturunan, I: Immune, Sistem kekebalan tubuh D: Deficiency, Kekurangan Syndrome, Jadi AIDS adalah berarti kumpulan gejala akibat kekurangan dan kelemahan system tubuh yang dibentuk setelah kita lahir (Depkes,2007).

B.     Anatomi dan Fisiologi HIV

1.      Imunologi Sistem

a.       Sistem imun

Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal cells).


b.      Imunitas atau respon imun

Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya. Ada 2 macam RI, yaitu:

·         RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.

·         RI non Spesifik : efektif  untuk semua mikroorganisme

Sel-sel yang  berperan dalam respon Imun

1)      Sel B

Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa.

Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu:

a)      Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.

b)      Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.

2)      Sel T

Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub tipe limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel T adalah Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.

Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang mengandung organisme intraselular.

3)      Sel T efektor

·         Sel T sitotoksik (sel T pembunuh)

Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada permukaannya

·         Sel T pembantu

Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi (hipersensitivitas).

4)      Sel T supresor

Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.

 

 

5)      Makrofag

Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan antigenic.  Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.

C.    Etiologi

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)  disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan  mengandung inti berbentuk kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu)  yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011).

Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:

1.      Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS

Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.

2.      Ibu pada bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. (Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%.

3.      Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

4.      Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV.

 

 

 

5.      Alat-alat untuk menoreh kulit

Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

6.      Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

D.    Manifestasi Klinis

Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah, 22–24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik AIDS untuk digunakan oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.

a.       Gejala mayor:

·         Penurunan berat badan lebih dari 10%

·         Diare kronik lebih dari 1 bulan

·         Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten)

b.      Gejala minor:

·         Batuk lebih dari 1 bulan

·         Dermatitis pruritik umum

·         Herpes zoster rekurens

·         Candidiasis oro-faring

·         Limfadenopati umum

·         Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif

2.      AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.

a.       Gejala mayor:

·         Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal

·         Diare kronik lebih dari 1 bulan

·         Demam lebih dari 1 bulan

b.      Gejala minor

·         Limfadenopati umum

·         Candidiasis oro-faring

·         Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).

·         Batuk persisten

·         Dermatitis umum

·         Infeksi HIV maternal

Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan mungkin tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia. Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai dengan hasil Inter-country Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.

 

E.     Patofisiologi

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembang biak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.

Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.

Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.

Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.

Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012.).

F.     Pemeriksaan Penunjang

1.      Tes Laboratorium

Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

a.       Serologis

1)      Tes antibody serum

Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasiltes positif, tapi bukan merupakan diagnose

2)      Tes blot western

Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)

3)      Sel T limfosit

Penurunan jumlah total

4)      Sel T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>)

5)      T8 (sel supresor sitopatik)

Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun

6)      P24 (Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV) Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi)

7)      Kadar Ig

Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal

8)      Reaksi rantai polymerase

Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler

9)      Tes PHS

Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif

b.      Neurologis

EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf).

c.       Tes Lainnya

1)      Sinar X dada , menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain

2)      Tes Fungsi Pulmonal, deteksi awal pneumonia interstisial

3)      Skan Gallium , ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.

4)      Biopsis, Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi

5)      Brankoskopi / pencucian trakeobronkial, dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan  kerusakan paru-paru

2.      Tes HIV

Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.

Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.

3.      USG Abdomen

4.      Rongen Thorak

G.    Penatalaksanaan

1.      Penatalaksanaan keperawatan

a.       Aspek Psikologis, meliputi:

1)      Perawatan personal dan dihargai

2)      Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya

3)      Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya

4)      Tindak lanjut medis

5)      Mengurangi penghalang untuk pengobatan

6)      Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

b.      Aspek Sosial

Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:

1)      Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan

2)      Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat

3)      Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007). Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting.

House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan sosial:

a)      Dukungan Emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan

b)      Dukungan Penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain

c)      Dukungan Instrumental

Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya

d)     Dukungan Informatif

Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

2.      Penatalaksaan Medis

1.      Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009):

a.       Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

b.      Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

c.       Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah:

1)      Didanosin

2)      Ribavirin

3)      Diedoxycytidine

4)      Recombinant CD 4 dapat larut

d.      Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

2.      Diet

Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah

a.       Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

1)      Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.

2)      Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).

3)      Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.

4)      Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.

b.      Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

1)      Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.

2)      Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.

3)      Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

4)      Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).

5)      Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.

c.       Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:

1)      Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.

2)      Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan  ginjal dan hati.

3)      Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.

4)      Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena  dapat menekan kekebalan tubuh.

5)      Serat cukup, gunakan serat yang mudah cerna

6)      Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).

7)      Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium dan klorida).

8)      Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.

9)      Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia.

d.      Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan:

1)      Infeksi HIV positif tanpa gejala.

2)      Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).

3)      Infeksi HIV dengan gangguan saraf

4)      Infeksi HIV dengan TBC.

5)      Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.

Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral, enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.

Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.

·         Diet AIDS I

Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri  atau menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).

·         Diet AIDS II

Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.

 

·         Diet AIDS III

Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energi, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi  penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan utama.

Pasien Hiv tidak boleh memakan makanan seperti:

o   Makanan yang dipanggang

o   Makanan yang mentah

o   Sayur – sayuran mentah

o   Kacang – kacangan

H.    Komplikasi

1.      Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.

2.      Neurologik

Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.

Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total/parsial. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.

Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV).

3.      Gastrointestinal

·         Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.

·         Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

·         Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.

4.      Respirasi

·         Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.

5.      Dermatologik

·         Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis

6.      Sensorik

·         Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

·         Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

 


 


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian

a.       Identitas Klien

Meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, alamat, penanggung jawab, tanggal pengkajian, dan diagnose medis.

b.      Keluhan Utama / Alasan Masuk Rumah Sakit

Mudah lelah, tidak nafsu makan, demam, diare, infermitten, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi, nyeri saat menelan, penurunan BB, infeksi jamur di mulut, pusing, sakit kepala, kelemahan otot, perubahan ketajaman penglihatan, kesemutan pada extremitas, batuk produkti / non.

c.       Riwayat Kesehatan

1)      Riwayat kesehatan sekarang

Meliputi keluhan yang dirasakan biasanya klien mengeluhkan diare,demam berkepanjangan,dan batuk berkepanjangan.

2)      Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat menjalani tranfusi darah, penyakit herper simplek, diare yang hilang timbul, penurunan daya tahan tubuh, kerusakan immunitas hormonal (antibody), riwayat kerusakan respon imun seluler (Limfosit T), batuk yang berdahak yang sudah lama tidak sembuh.

3)      Riwayat Keluarga

Human Immuno Deficiency Virus dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan penderita HIV positif, kontak langsung dengan darah penderita melalui ASI.


2.Pemeriksaan Fisik

a.       Aktifitas Istirahat

Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas berkurang, progresi, kelelahan / malaise, perubahan pola tidur.

b.      Gejala subyektif

Demam kronik, demam atau tanpa mengigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.

c.       Psikososial

Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan poa  hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.

d.      Status Mental

Marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilanginterest pada lingkungan sekiar, gangguan proses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.

e.       Neurologis

Gangguan reflex pupil, nystagmus, vertigo, ketidak seimbangan, kaku kuduk, kejang, paraf legia.

f.       Muskuloskletal

Focal motor deficit, lemah, tidak mampu melakukan ADL

g.      Kardiovaskuler

Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.

h.      Pernafasan

Nafas pendek yang progresif, batuk (sedang – parah), batuk produktif/non produktif, bendungan atau sesak pada dada.

i.        Integument

Kering, gatal, rash dan lesi, turgor jelek, petekie positif.

3.Kemngkinan diagnosa yang muncul

a.       Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

b.      Nyeri akut

c.       Intoleransi aktivitas

d.      Perubahan eliminasi BAB

e.       Kelelahan

f.       Risiko tinggi terhadap infeksi. ( Buku Nanda,NIC,NOC).

4.Intervensi

NO

DIAGNOSA

NOC

NIC

1

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Tujuan:

·         Nutritional Status

·         Nutritional Status: food and Fluid Intake

·         Nutritional Status: nutrient Intake Weight control

Kriteria hasil:

·         Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

·         Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

·         Tidak adanya tanda-tanda malnutrisi

·         Menunjukan peningkatan fungsi menelan

·         Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

 

1.      Kaji adanya alergi makanan

2.      Monitor adanya penurunan berat badan

3.      Monitor adanya mual, muntah dan diare

4.      kolaborasi dengan dokter untuk pemasangan NGT

5.      Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

6.      Monitor kadar albumin, Hb dan Ht

7.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

8.      Berikan substansi gula

9.      Berikan makanan yang sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi.

2

Nyeri akut

Tujuan:

·         Pain Level

·         Pain control

·         Comfort leve

Kriteria hasil:

·         Pasien dapat mengontrol nyerinya

·         Skala nyeri berkurang dari skala 6 menjadi skala 3

·         Klien mengatakan nyeri sudah berkurang

·         Dapat mengenali faktor penyebab nyeri

1.      Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

2.      Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri, seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

3.      Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi.

4.      Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

5.      Ajarkan teknik relaksasi.

3

Intoleransi aktivitas

Tujuan:

·         Joint Movement: Active

·         Mobility level

·         Self care: ADLs

·         Transfer performance

Kriteria hasil:

·         Klien meningkat dalam aktivitas fisik

·         Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas

·         Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

·         Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi

1.      Monitoring vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan

2.      Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan

3.      Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera

4.      Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

5.      Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

6.      Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan

7.      ADLs secara mandiri sesuai kemampuan

8.      Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan

9.      ADLs pasien. Berikan alat bantu jika klien memerlukan.

10.  Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

4

Perubahan eliminasi BAB

Tujuan:

·         Bowel elimination

·         Fluid Balance

·         Hydration

·         Electrolyte and Acid base Balance

KriteriaHasil:

·         Feses berbentuk, BAB sehari sekali- tiga hari

·         Menjaga daerah sekitar rectal dari iritasi

·         Tidak mengalami diare

·         Menjelaskan penyebab diare dan rasional tendakan

·         Mempertahankan turgor kulit

1.      Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal

2.      Ajarkan pasien untuk menggunakan obat anti diare

3.      Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna, jumlah, frekuenai dan konsistensi dari feses

4.      Evaluasi intake makanan yang masuk

5.      Identifikasi faktor penyebab dari diare

6.      Monitor tanda dan gejala diare

7.      Observasi turgor kulit secara rutin

8.      Ukur diare/keluaran BAB

9.      Hubungi dokter jika ada kenanikan bising usus

10.  Instruksikan pasien untuk makan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika memungkinkan

11.  Instruksikan untuk menghindari laksative

12.  Ajarkan tehnik menurunkan stress Monitor persiapan makanan yang aman.

5

Kelelahan

Tujuan:

·         Indurance

·         Concentration

·         Energy conservation

·         Nutritional status: energy

Kriteria hasil:

·         Memverbalisasikan peningkatan energi dan merasa lebih baik

·         Menjelaskan penggunaan energy untuk mengatasi kelelahan

Energy Management

1.      Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas

2.      Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan

3.      Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan

4.      Monitor nutrisi  dan sumber energi tangadekuat

5.      Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan

6.      Monitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas

7.      Monitor pola tidur dan lamanya tidur / istirahat pasien

6

Risiko tinggi terhadap infeksi

Tujuan:

·         western blot positif

Kriteria hasil:

·         Temperature dan SDP kembali kebatas normal

·         Keringat malam  berkurang dan tidak ada batuk

·         Meningkatnya masukan makanan, tercapai

1.      Berikan obat antibiotik dan evaluasi ke efektifannya

2.      Jamin pemasukan cairan paling sedikit 2-3 liter sehari

3.      Pelihara kenyamanan suhu kamar. Jaga kebersihan dan keringnya kulit

4.      Pantau hasil JDL dan CD4 pantau temperatur setiap 4 jam

5.      Pantau status umum (apendiks F ) setiap 8 jam

 

5.Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan: melaksanakan intervensi / aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya.

6.        Evaluasi

Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.

 


 


BAB IV

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)  disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan  mengandung inti berbentuk kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu)  yang mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011).

B.     Saran

Diharapkan bagi pembaca dan penulis agar dapat menambah  informasi dan memperluas wawasan mengenai klien dengan HIV AIDS karena dengan adanya pengetahuan dan wawasan yang luas mahasiswa akan mampu mengembangkan kemampuan dan potensial diri dalam dunia


keperawatan,dan kesehatan, dan dapat memberikan pendidikan kesehatan mengenai HIV AIDS pada masyarakat.

 


 


DAFTAR PUSTAKA

 

Iswandi, F. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan HIV/AIDS Di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Karya Tulis Ilmiah, 8-22.

Kale, E. D. (2018). Asuhan Keperawatan HIV/AIDS. 3-19.

Ngongo, R. E. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny. R Dengan HIV/AIDS Di Ruangan Cempaka RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kupang. Karya Tulis Ilmiah, 6-15.

Nursalam, N. D. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika, 282-386.

Saputra, F. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn.R Dengan HIV/AIDS Di Ruangan Rawat Inap Ambu Suri Lantai III RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukit Tinggi. Karya Tulis Ilmiah, 6-37.

 

 

No comments:

Post a Comment