BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu
penyakit mematikan di dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama
kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).
HIV (Human
Immunodeficiency virus) adalah jenis virus yang dapat menurunkan kekebalan
tubuh (BKKBN, 2007). Menurut Depkes RI (2008) menyatakan bahwa HIV adalah
sejenis retrovirus-RNA yang menerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS
adalah singkatan dari Acquired
Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV.
HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil
akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2009).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan
penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk
terinfeksi berbagai macam penyakit lain (Kemenkes, 2015). Meskipun telah ada
kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS masih merupan masalah
kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer dan Bare, 2015).
Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virusnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah
kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini
belum
benar-benar
bisa disembuhkan. Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah
diketahui dua tipe yaitu tipe HIV-1 dan HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian
besar disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat.
Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1
jauh lebih mudah ditularkan dan masa inkubasi sejak mulai infeksi sampai
timbulnya penyakit lebih pendek (Martono, 2009).
HIV umumnya ditularkan melalui kontak
langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan
cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina,
cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan
intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAD, 2007) komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah
sebagai berikut : Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru, Kandidiasis
esophagus, Kriptokokosis ekstra paru, Kriptosporidiosis intestinal kronis
(>1 bulan), Renitis CMV (gangguan penglihatan), Herpes simplek, ulkus kronik
(>1 bulan), Mycobacterium tuberculasis di paru atau ekstra paru, Ensefalitis
toxoplasma.
Penyakit AIDS ini telah menyebar ke
berbagai negara di dunia. Bahkan menurut UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa
AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun
1981, dan ini membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan
pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik
di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta
(antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta
(570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang
kini hidup dengan HIV.Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi
dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari
2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981. (Nasronudin, 2013).
Di Indonesia menurut laporan kasus
kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember 2014 yang dikeluarkan oleh Ditjen
PP & PL, Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2015 menunjukkan jumlah kasus AIDS
sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan 106.758 yang
terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kamatian. Angka ini tidak
mengherankan karena diawal tahun 2000-an kalangan ahli epidemiologi sudah
membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar antara 80.000 –
130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara peringkat ketiga, setelah Cina
dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya tertinggi di Asia.(Depkes, 2011).
Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap
AIDS biasa disebut dengan ODHA. Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami
Infeksi Oportunistik atau IO. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi
karena menurunnya kekebalan tubuh seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini
umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut. Infeksi Oportunistik yang
dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan gangguan berbagai aspek
kebutuhan dasar, diantaranya gangguan kebutuhan oksigenisasi, nutrisi, cairan,
kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial spritual. Gangguan kebutuhan
dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri kronis pada beberapa anggota
tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan
depresi (Nursalam,2011).
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
2. Bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS?
3. Diagnosa
apa saja yang sering timbul pada pasien dengan HIV/AIDS?
C.
Tujuan
1. Agar dapat menambah wawasan apa yang
dimaksud dengan HIV/AIDS baik bagi penulis maupun pembaca.
2. Agar dapat menambah wawasan tentang
asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS baik bagi penulis maupun pembaca.
3. Penulis dan pembaca mampu memahami dan
menguasai asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Definisi
HIV adalah virus penyebab Acquired
Immuno Deficiensi Syndrom (AIDS). Virus ini memiliki kemampuan untuk
mentransfer informasi genetic, mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim
yang disebut Reverse Transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses
transkripsi dari RNA & DNA dan transflasi dari RNA ke protein pada umumnya
(Murma, et.al,1999).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus
HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah
infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi
oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu
(terutama pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu
yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
AIDS adalah Suatu kumpulan kondisi
tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Virginia Macedolan,
2008). AIDS kependekan dari A: Acquired, Didapat, Bukan penyakit keturunan, I: Immune,
Sistem kekebalan tubuh D: Deficiency, Kekurangan Syndrome, Jadi AIDS adalah
berarti kumpulan gejala akibat kekurangan dan kelemahan system tubuh yang dibentuk
setelah kita lahir (Depkes,2007).
B.
Anatomi dan Fisiologi HIV
1. Imunologi
Sistem
a. Sistem
imun
Sistem
pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali dan menghancurkan bahan
yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal cells).
b. Imunitas
atau respon imun
Kemampuan
tubuh manusia untuk melawan organisme atau toksin yang berbahaya. Ada 2 macam
RI, yaitu:
·
RI Spesifik :
deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
·
RI non Spesifik :
efektif untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang
berperan dalam respon Imun
1) Sel
B
Sel
B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu.
Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang ditemukan
pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan
limfe usus, dan limpa.
Sel
B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe,
bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa molekul
immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi
oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi
melalui dua cara, yaitu:
a) Sel
plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk
menghancurkan antigen tertentu.
b) Sel
memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap merespons
antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan respons imun
sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
2) Sel
T
Sel
T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T mengenali dan
berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel
yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T memproduksi zat aktif
secara imulogis yang disebut limfokin. Sub tipe limfosit T berfungsi untuk
membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan
mengatur respons imun. Respons sel T adalah Sel T, seperti sel B berasal dari
sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin
atau segera setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus,
tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali
diri.
Setelah
mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid
seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang
mengandung organisme intraselular.
3) Sel
T efektor
·
Sel T sitotoksik (sel T
pembunuh)
Mengenali dan
menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada permukaannya
·
Sel T pembantu
Tidak berperan
langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh makrofag antigen, sel T
pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi normal, untuk pngenalan benda asing
sel T pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T
sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel T pembantu dpt
memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi
(hipersensitivitas).
4) Sel
T supresor
Setelah
diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan sel T.
5) Makrofag
Makrofag
memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna sebagian
antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada
permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.
C.
Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga
lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa
pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan
secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk
sferis dan mengandung inti berbentuk
kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal
dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein
p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim
virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen
retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama
dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan
partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011).
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011)
virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:
1. Hubungan
seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan
sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan
bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsusng, air mani, cairan
vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh
sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah
(PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk
masuk ke aliran darah pasangan seksual.
2. Ibu
pada bayinya
Penularan
HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01%
sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan
bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan
juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal
saat melahirkan. (Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007). Semakin lam proses melahirkan,
semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa
dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2000 dalam
Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI.
Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%.
3. Darah
dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat
cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke
seluruh tubuh.
4. Pemakaian
alat kesehatan yang tidak steril
Alat
pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan
untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV.
5. Alat-alat
untuk menoreh kulit
Alat
tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat
tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6. Menggunakan
jarum suntik secara bergantian
Jarum
suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para
pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan
HIV. Selain jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan
makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS,
gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.
D.
Manifestasi Klinis
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di
Bangui, Republik Afrika Tengah, 22–24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi
klinik AIDS untuk digunakan oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas
diagnostik laboratorium. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. AIDS
dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala
mayor:
·
Penurunan berat badan
lebih dari 10%
·
Diare kronik lebih dari
1 bulan
·
Demam lebih dari 1 bulan
(kontinu atau intermiten)
b. Gejala
minor:
·
Batuk lebih dari 1
bulan
·
Dermatitis pruritik
umum
·
Herpes zoster rekurens
·
Candidiasis oro-faring
·
Limfadenopati umum
·
Herpes simpleks diseminata
yang kronik progresif
2. AIDS
dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
a. Gejala
mayor:
·
Penurunan berat badan
atau pertumbuhan lambat yang abnormal
·
Diare kronik lebih dari
1 bulan
·
Demam lebih dari 1
bulan
b. Gejala
minor
·
Limfadenopati umum
·
Candidiasis oro-faring
·
Infeksi umum yang berulang
(otitis, faringitis, dsb).
·
Batuk persisten
·
Dermatitis umum
·
Infeksi HIV maternal
Kriteria
tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika yang mempunyai
prevalensi AIDS tinggi dan mungkin tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia.
Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia sebagai pedoman digunakan defmisi
WHO/CDC yang telah direvisi dalam tahun 1987. Sesuai dengan hasil Inter-country
Consultation Meeting WHO di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu
bahwa kasus-kasus pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat
konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.
E.
Patofisiologi
Penyakit
AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10
minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh
tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target
dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah
putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel
yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembang biak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus
yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus
menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4,
yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel
limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau
limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur
sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan
limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas
dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong,
sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap
infeksi dan kanker.
Seseorang
yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap
selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4
sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi
HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa
menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di
dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu
dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2
tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika
kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap
infeksi.
Infeksi
HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan
berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran
limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan
tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah
virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan sebelum titer
antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window
period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20
bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap positif
(fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran
klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan
penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan,
bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri :
2012.).
F.
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes
Laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes
diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan
laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
a. Serologis
1) Tes
antibody serum
Skrining Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan ELISA. Hasiltes positif, tapi bukan merupakan diagnose
2) Tes
blot western
Mengkonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel
T limfosit
Penurunan jumlah total
4) Sel
T4 helper Indikator system imun (jumlah <200>)
5) T8
(sel supresor sitopatik)
Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih
besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi
imun
6) P24
(Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV) Peningkatan nilai kuantitatif
protein mengidentifikasi progresi infeksi)
7) Kadar
Ig
Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig
M yang normal atau mendekati normal
8) Reaksi
rantai polymerase
Mendeteksi DNA virus dalam jumlah
sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler
9) Tes
PHS
Pembungkus hepatitis B dan
antibody, sifilis, CMV mungkin positif
b. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG
(pemeriksaan saraf).
c. Tes
Lainnya
1) Sinar
X dada , menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut
atau adanya komplikasi lain
2) Tes
Fungsi Pulmonal, deteksi awal pneumonia interstisial
3) Skan
Gallium , ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia
lainnya.
4) Biopsis,
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
5) Brankoskopi
/ pencucian trakeobronkial, dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun
dugaan kerusakan paru-paru
2. Tes
HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa
mereka terinfeksi virus HIV.Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang
aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih
sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan
yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS,
menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih
kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari
para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian
medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim
HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada
serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian,
periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat
dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa
dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes.
Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA,
dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun
perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode
tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi
telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
3. USG
Abdomen
4. Rongen
Thorak
G.
Penatalaksanaan
1.
Penatalaksanaan
keperawatan
a. Aspek
Psikologis, meliputi:
1) Perawatan
personal dan dihargai
2) Mempunyai
seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya
3) Jawaban-jawaban
yang jujur dari lingkungannya
4) Tindak
lanjut medis
5) Mengurangi
penghalang untuk pengobatan
6) Pendidikan/penyuluhan
tentang kondisi mereka
b. Aspek
Sosial
Seorang penderita HIV AIDS
setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi
dukungan sosial meliputi 3 hal:
1) Emotional
support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan
2) Cognitive
support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
3) Materials
support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi
suatu masalah. (Nursalam, 2007). Dukungan sosial terutama dalam konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan
sumber dukungan sosial yang paling penting.
House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan
sosial:
a) Dukungan
Emosional
Mencakup ungkapan empati,
kepedulian dan perhatian terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan
b) Dukungan
Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat /
penghargaan positif untuk orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang
lain
c) Dukungan
Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya
orang memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk
pengobatannya
d) Dukungan
Informatif
Mencakup pemberian nasehat,
petunjuk, sarana.
2.
Penatalaksaan Medis
1. Apabila
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009):
a. Pengendalian
Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan,
dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan
pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi
AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan
obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi
antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi
Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang
meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus /
memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah:
1) Didanosin
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine
4) Recombinant
CD 4 dapat larut
d. Vaksin
dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin
dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan
kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
2. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012)
adalah
a. Tujuan
Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
1) Memberikan
intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek dukungan
gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
2) Mencapai
dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang diharapkan, terutama
jaringan otot (Lean Body Mass).
3) Memenuhi
kebutuhan energy dan semua zat gizi.
4) Mendorong
perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
b. Tujuan
Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
1) Mengatasi
gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
2) Meningkatkan
kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien dapat
membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap
dan kesulitan menelan.
3) Mencapai
dan mempertahankan berat badan normal.
4) Mencegah
penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
5) Memberikan
kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan kemampuan
makan dan jenis terapi yang diberikan.
c. Syarat-syarat
Diet HIV/AIDS adalah:
1) Energi
tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres, aktivitas
fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap
kenaikan Suhu 1°C.
2) Protein
tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel
tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
3) Lemak
cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan
dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan
ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak
omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
4) Vitamin
dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di anjurkan
(AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan
Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena dapat menekan kekebalan
tubuh.
5) Serat
cukup, gunakan serat yang mudah cerna
6) Cairan
cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi
menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan
konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
7) Elektrolit.
Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium
dan klorida).
8) Bentuk
makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan
dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien.
Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian
makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.
9) Makanan
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Hindari makanan yang merangsang
pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia.
d. Jenis
Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien
akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan:
1) Infeksi
HIV positif tanpa gejala.
2) Infeksi
HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
3) Infeksi
HIV dengan gangguan saraf
4) Infeksi
HIV dengan TBC.
5) Infeksi
HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Makanan
untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya
dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan
enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
Ada
tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
·
Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien
infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak
nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau segera setelah pasien dapat
diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari
sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada
kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk
kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat
sendiri atau menggunakan makanan enteral
komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin
dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa
polimer (misalnya polyjoule).
·
Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai
perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut teratasi. Makanan diberikan dalam
bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini rendah nilai gizinya dan
membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan
enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
·
Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan
dari Diet AIDS II atau kepada pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk
makanan lunak atau biasa, diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini
tinggi energi, protein, vitamin dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui
mulut terbatas dan masih terjadi penurunan
berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan
atau makanan utama.
Pasien Hiv tidak boleh memakan
makanan seperti:
o Makanan
yang dipanggang
o Makanan
yang mentah
o Sayur
– sayuran mentah
o Kacang
– kacangan
H.
Komplikasi
1. Oral
Lesi
Karena kandidia, herpes simplek,
sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus
(HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan
cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena
serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
Enselophaty akut, karena reaksi
terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis.
Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total/parsial. Infark
serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
Neuropati karena imflamasi demielinasi
oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV).
3. Gastrointestinal
·
Diare karena bakteri
dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan
efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
·
Hepatitis karena
bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan
anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
·
Penyakit Anorektal
karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat
infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan
siare.
4. Respirasi
·
Infeksi karena
Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides
dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.
5. Dermatologik
·
Lesi kulit stafilokokus
: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
6. Sensorik
·
Pandangan : Sarkoma
Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
·
Pendengaran : otitis
eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Asuhan
Keperawatan
1.
Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi: Nama, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, pendidikan, alamat, penanggung jawab, tanggal pengkajian,
dan diagnose medis.
b. Keluhan Utama / Alasan Masuk Rumah Sakit
Mudah lelah, tidak nafsu makan, demam,
diare, infermitten, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi, nyeri saat
menelan, penurunan BB, infeksi jamur di mulut, pusing, sakit kepala, kelemahan
otot, perubahan ketajaman penglihatan, kesemutan pada extremitas, batuk
produkti / non.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan yang dirasakan
biasanya klien mengeluhkan diare,demam berkepanjangan,dan batuk berkepanjangan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat menjalani tranfusi darah,
penyakit herper simplek, diare yang hilang timbul, penurunan daya tahan tubuh,
kerusakan immunitas hormonal (antibody), riwayat kerusakan respon imun seluler
(Limfosit T), batuk yang berdahak yang sudah lama tidak sembuh.
3) Riwayat Keluarga
Human Immuno Deficiency Virus dapat
ditularkan melalui hubungan seksual dengan penderita HIV positif, kontak
langsung dengan darah penderita melalui ASI.
2.Pemeriksaan Fisik
a. Aktifitas
Istirahat
Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas berkurang,
progresi, kelelahan / malaise, perubahan pola tidur.
b. Gejala
subyektif
Demam kronik, demam atau tanpa mengigil, keringat
malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit
tidur.
c. Psikososial
Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan
poa hidup, ungkapkan perasaan takut,
cemas, meringis.
d. Status
Mental
Marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati,
withdrawl, hilanginterest pada lingkungan sekiar, gangguan proses piker, hilang
memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
e. Neurologis
Gangguan reflex pupil, nystagmus, vertigo, ketidak
seimbangan, kaku kuduk, kejang, paraf legia.
f. Muskuloskletal
Focal motor deficit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL
g. Kardiovaskuler
Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
h. Pernafasan
Nafas pendek yang progresif, batuk (sedang – parah),
batuk produktif/non produktif, bendungan atau sesak pada dada.
i.
Integument
Kering, gatal, rash dan lesi, turgor jelek, petekie
positif.
3.Kemngkinan
diagnosa yang muncul
a. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b. Nyeri
akut
c. Intoleransi
aktivitas
d. Perubahan
eliminasi BAB
e. Kelelahan
f. Risiko
tinggi terhadap infeksi. ( Buku Nanda,NIC,NOC).
4.Intervensi
NO |
DIAGNOSA |
NOC |
NIC |
1 |
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh |
Tujuan: ·
Nutritional Status ·
Nutritional Status: food and Fluid
Intake ·
Nutritional Status: nutrient Intake
Weight control Kriteria
hasil: ·
Adanya peningkatan berat badan sesuai
dengan tujuan ·
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi
badan ·
Tidak adanya tanda-tanda malnutrisi ·
Menunjukan peningkatan fungsi menelan ·
Mampu mengidentifikasi kebutuhan
nutrisi |
1. Kaji
adanya alergi makanan 2. Monitor
adanya penurunan berat badan 3. Monitor
adanya mual, muntah dan diare 4. kolaborasi
dengan dokter untuk pemasangan NGT 5. Monitor
jumlah nutrisi dan kandungan kalori 6. Monitor
kadar albumin, Hb dan Ht 7. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien 8. Berikan
substansi gula 9. Berikan
makanan yang sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi. |
2 |
Nyeri akut |
Tujuan: ·
Pain Level ·
Pain control ·
Comfort leve Kriteria
hasil: ·
Pasien dapat mengontrol nyerinya ·
Skala nyeri berkurang dari skala 6
menjadi skala 3 ·
Klien mengatakan nyeri sudah berkurang ·
Dapat mengenali faktor penyebab nyeri |
1. Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. 2. Control
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri, seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan. 3. Ajarkan
tentang tehnik nonfarmakologi. 4. Berikan
analgetik untuk mengurangi nyeri. 5. Ajarkan
teknik relaksasi. |
3 |
Intoleransi
aktivitas |
Tujuan: ·
Joint Movement: Active ·
Mobility level ·
Self care: ADLs ·
Transfer performance Kriteria
hasil: ·
Klien meningkat dalam aktivitas fisik ·
Mengerti tujuan dan peningkatan
mobilitas ·
Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah ·
Memperagakan penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi |
1. Monitoring
vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan 2. Konsultasikan
dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3. Bantu
klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4. Ajarkan
pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi 5. Kaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi 6. Latih
pasien dalam pemenuhan kebutuhan 7. ADLs
secara mandiri sesuai kemampuan 8. Dampingi
dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan 9. ADLs
pasien. Berikan alat bantu jika klien memerlukan. 10. Ajarkan
pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan |
4 |
Perubahan eliminasi
BAB |
Tujuan: ·
Bowel elimination ·
Fluid Balance ·
Hydration ·
Electrolyte and Acid base Balance KriteriaHasil: ·
Feses berbentuk, BAB sehari sekali-
tiga hari ·
Menjaga daerah sekitar rectal dari
iritasi ·
Tidak mengalami diare ·
Menjelaskan penyebab diare dan
rasional tendakan ·
Mempertahankan turgor kulit |
1. Evaluasi
efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal 2. Ajarkan
pasien untuk menggunakan obat anti diare 3. Instruksikan
pasien/keluarga untuk mencatat warna, jumlah, frekuenai dan konsistensi dari
feses 4. Evaluasi
intake makanan yang masuk 5. Identifikasi
faktor penyebab dari diare 6. Monitor
tanda dan gejala diare 7. Observasi
turgor kulit secara rutin 8. Ukur
diare/keluaran BAB 9. Hubungi
dokter jika ada kenanikan bising usus 10. Instruksikan
pasien untuk makan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika
memungkinkan 11. Instruksikan
untuk menghindari laksative 12. Ajarkan
tehnik menurunkan stress Monitor persiapan makanan yang aman. |
5 |
Kelelahan |
Tujuan: ·
Indurance ·
Concentration ·
Energy conservation ·
Nutritional status: energy Kriteria hasil: ·
Memverbalisasikan peningkatan energi
dan merasa lebih baik ·
Menjelaskan penggunaan energy untuk
mengatasi kelelahan |
Energy Management 1.
Observasi adanya pembatasan klien
dalam melakukan aktivitas 2.
Dorong anal untuk mengungkapkan
perasaan terhadap keterbatasan 3.
Kaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan 4.
Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat 5.
Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan 6.
Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas 7.
Monitor pola tidur dan lamanya tidur /
istirahat pasien |
6 |
Risiko tinggi
terhadap infeksi |
Tujuan: ·
western blot positif Kriteria hasil: ·
Temperature dan SDP kembali kebatas
normal ·
Keringat malam berkurang dan tidak ada batuk ·
Meningkatnya masukan makanan, tercapai |
1. Berikan
obat antibiotik dan evaluasi ke efektifannya 2. Jamin
pemasukan cairan paling sedikit 2-3 liter sehari 3. Pelihara
kenyamanan suhu kamar. Jaga kebersihan dan keringnya kulit 4. Pantau
hasil JDL dan CD4 pantau temperatur setiap 4 jam 5. Pantau
status umum (apendiks F ) setiap 8 jam |
5.Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat
dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan: melaksanakan
intervensi / aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk
melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana
perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif
terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien,
kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons
pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada
penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat
mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan
berikutnya.
6.
Evaluasi
Tahap evaluasi menentukan kemajuan
pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkan dan respons pasien terhadap
dan keefektifan intervensi keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan
jika diperlukan. Tahap akhir dari proses keperawatan perawat mengevaluasi
kemampuan pasien ke arah pencapaian hasil.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang
menjadi wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk,
2011). Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh (Kemenkes, 2015).
Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam keluarga
lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa
pada kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan
secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil
diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk
sferis dan mengandung inti berbentuk
kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal
dari membran se penjamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein
p24, nukleokapsid protein p7 atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim
virus (protease, reserve trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen
retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama
dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta perakitan
partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011).
B.
Saran
Diharapkan
bagi pembaca dan penulis agar dapat menambah
informasi dan memperluas wawasan mengenai klien dengan HIV AIDS karena
dengan adanya pengetahuan dan wawasan yang luas mahasiswa akan mampu
mengembangkan kemampuan dan potensial diri dalam dunia
keperawatan,dan kesehatan, dan
dapat memberikan pendidikan kesehatan mengenai HIV AIDS pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Iswandi, F. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan HIV/AIDS Di Irna Non Bedah Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Karya
Tulis Ilmiah, 8-22.
Kale, E. D. (2018).
Asuhan Keperawatan HIV/AIDS. 3-19.
Ngongo, R. E. (2018).
Asuhan Keperawatan Pada Ny. R Dengan HIV/AIDS Di Ruangan Cempaka RSUD Prof.
Dr. W.Z Johannes Kupang. Karya Tulis Ilmiah, 6-15.
Nursalam, N. D.
(2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika,
282-386.
Saputra, F. (2018).
Asuhan Keperawatan Pada Tn.R Dengan HIV/AIDS Di Ruangan Rawat Inap Ambu Suri
Lantai III RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukit Tinggi. Karya Tulis Ilmiah,
6-37.
No comments:
Post a Comment