Thursday, 7 October 2021

Makalah AUTANSIA, ABORSI DAN IRITASI ORGAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.LATAR BELAKANG

Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.

Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari  penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang  sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.

Masalah makin sering dibicarakan dan menarik  banyak perhatian karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.      

 

1.2.RUMUSAN MASALAH

1.2.1.      Apa pengertian dari Euthanasia?

1.2.2.      Apa saja jenis-jenis Euthanasia?

1.2.3.      Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?

1.2.4.      Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?

 

1.3.TUJUAN

1.3.1.      Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia

1.3.2.      Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia

1.3.3.      Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia

1.3.4.      Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap euthanasia

 

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Apa saja prinsip dan asas etik keperawatan?

Apa definisi aborsi?

Apa saja jenis-jenis aborsi?

Apa penyebab yang mendorong terjadinya aborsi?

Bagaimana dampak aborsi?

Apa contoh kasus aborsi yang terjadi di Indonesia?

Bagaimana menanggapi kasus yang ada berdasarkan prinsip dan asas etik keperawatan?

1.3  Tujuan

 

1.3.1    Tujuan Umum

 

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Dasar 1

 

1.3.2    Tujuan Khusus

 

Mengetahui prinsip dan asas etik keperawatan

Mengetahui definisi aborsi

Mengetahui faktor yang mendorong terjadinya aborsi

Mengetahui dampak aborsi

Mengetahui contoh kasus aborsi yang terjadi di Indonesia

Mengetahui menanggapi kasus yang ada berdasarkan prinsip dan asas etik keperawatan


 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Pengertian Dan Sejarah Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan  dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Dewasa ini orang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.

Dari perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti tertentu, kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan rasa sakit.

unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:

a.  Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

b.  Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.

c.  Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

e.  Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

 

Sejarah Euthanasia

Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

Ø  Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno

Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’.

Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana“.

 

 

 

Ø  Zaman Renaissance

Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.

 

Ø  Abad XVII-XX

David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.

Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

 

 

 

 

 

 

 

2.2. Jenis-Jenis Euthanasia

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:

1.            Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan

a.       Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan

b.       Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2.      Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3.            Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.

4.             Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.

 

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:

1.      Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2.      Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja

3.      Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

4.      Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan

 

2.3. Pandangan Etika Mengenai Euthanasia

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain.

Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.

Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.

Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.

 (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu diakui adanya pengecualian atas larangan untuk membunuh.

Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:

a.  Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).

b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).

Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.

Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

2.4. Pandangan Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan menurut pakar kesehatan mengenai pengertian kematian :

Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala.

Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah terputus.

Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh.

 Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.

Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.

2.5. Hukum Mengenai Euthanasia

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP:

 

Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

 

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.

Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:

 

Pasal 338 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

 

Pasal 340 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

 

 

 

Pasal 359 KUHP:                   

 

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

 

Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:

 

Pasal 345 KUHP:

 

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

 

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.

Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.

 Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural. Disini Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, dan hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dari dasar agama adalah di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Pernyataan terakhir adalah sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif.  Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman.

Jadi di Indonesia Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang menghukumkannya haram. Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

 

B.     Saran

Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http:/Pandangan Etika Dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia ” _ Fatmanadia.Htm

http://wimuliasih.blogspot.com/2013/05/euthanasia.html

 

http://bebenta.blogspot.com/2012/06/etika-euthanasia.html

www.Tugas-Tugas Kuliah  makalah euthanasia.htm\

 

8 Kasus Euthanasia di Dunia

May

2

Kasus “Doctor Death”

Dr. Jack Kevorkian dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe . Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California. Diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi “menolong” pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

Jakarta – Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Jakarta – Indonesia

Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan Oktober 2004 dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami koma dengan tingkat kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono 25 mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21 Februari 2005. Permohonan yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.

New Jersey – Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.

Swiss

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu. Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Segera setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak membuat BBC dijuluki ‘pemandu sorak’ euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai acara itu. Warga menganggap acara ini ‘tak pantas’. Kelompok amal, politik dan agama bergabung menyatakan acara ini ‘propaganda’ euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, “Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat”. Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru bicara BBC menambahkan, “Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898”. Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat ‘banyak’ pengaduan.

Inggris

Pada tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya dengan memberikan suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. “Ia mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya,” demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes menyetujui tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih. Tetapi apa pun bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa menjalankan profesinya sebagai dokter.

Florida – USA

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press. ISBN0-8047-3218-3.

Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN0-8135-2986-7.

Anonim.Tanpa Tahun. Kasus Euthanasia killing yang Terjadi di dunia. Diakses dari http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com pada 1 Maret 2014.

Anonym.2012. Beberapa Kasus Eutanashia Termasuk Di Indonesia. Diakses dari http://gasberacun.blogspot.com pada 1 Maret 2014.

Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.

Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.

Dworkin, R. M. Life’s Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.

Emanuel, Ezekiel J. 2004. “The history of euthanasia debates in the United States and Britain” in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.


2.1.2 Aborsi

 

1. Pengertian Aborsi

 

Pengertian aborsi menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah terpencarnya embrio yang tak mungkin lagi hidup (sebelum habis bulan keempat dari kehamilan).

 

Pengertian aborsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia adalah : 1) Pengeluaran hasil konsepsi pada stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu); 2) Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu).

 

Pada UU kesehatan, pengertian aborsi dibahas secara tersirat pada pasal 15 (1) UU Kesehatan Nomor 23/1992 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Maksud dari ‘tindakan medis tertentu, yaitu aborsi.

 

Sementara aborsi atau abortus menurut dunia kedokteran adalah kehamilan berhenti sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu,  disebut kelahiran prematur.

 

Wanita dan pasangannya yang menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan biasanya mempertimbangkan aborsi. Alasan untuk memilih aborsi berbeda-beda, termasuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan atau ketika mengetahui janin memiliki kelainan (Perry&Potter,2010).

 

2. Jenis Aborsi

 

Klasifikasi abortus atau aborsi berdasarkan dunia kedokteran, yaitu:

 

Abortus spontanea

Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan. Aborsi ini dibedakan menjadi 3 yaitu :

 

Abortus imminens, pada kehamilan kurang dari 20 minggu terjadi perdarahan dari uterus atau rahim, dimana janin masih didalam rahim, serta leher rahim belum melebar (tanpa dilatasi serviks).

Abortus insipiens, istilah ini kebalikan dari abortus imminens, yakni pada kehamilan kurang dari 20 minggu,terjadi pendarahan,dimana janin masih didalam rahim, dan ikuti dengan melebarnya leher rahim(dengan dilatasi serviks)

Abortus inkompletus, keluarnya sebagian organ janin yang berusia sebelum 20 minggu, namun organ janin masih tertinggal didalam rahim

Abortus kompletus, semua hasil konsepsi(pembuahan) sudah di keluarkan   

Abortus provokatus

Berbeda dengan abortus spontanea yang prosesnya tiba-tiba dan tidak diharapkan tapi tindakan abortus harus dilakukan. Maka pengertian aborsi atau abortus jenis provokatus adalah jenis abortus yang sengaja dibuat atau dilakukan, yakni dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup diluar tubuh ibu atau kira-kira sebelum berat janin mencapai setengah kilogram.

 

Abortus provakatus dibagi menjadi 2 jenis:

 

a)      Abortus provokatus medisinalis/artificialis/therapeuticus. Abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medis. Di indinesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Indikasi medis yang dimaksud misalnya: calon ibu yang sedang hamil tapi punya penyakit yang berbahaya seperti penyakit jantung, bila kehamilan diteruskan akan membahayakan nyawa ibu serta janin, sekali lagi keputusan menggugurkan akan sangat dipikirkan secara matang.

 

b)      Abortus provokatus kriminalis, istilah ini adalah kebalikan dari abortus provokatus medisinalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Dalam proses menggugurkan janin pun kurang mempertimbangkan srgala kemungkinan apa yang akan terjadi kepada wanita / calon ibu yang melakukan tindakan aborsi ilegal. Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan            alat-alat atau obat-obat tertentu.

 

Abortus habitualis

Abortus habitualis termasuk abortus spontan namun habit ( kebiasaan) yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih.

 

Missed abortion

Kematian janin yang berusua sebelum 20 minggu, namun janin tersebut tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih, dan terpaksa harus dikeluarkan. Missed abortion digolongkan kepada abortus imminens.

 

Abortus septik

Tindakan menghentikan kehamilan karena tindakan abortus yang disengaja (dilakukan dukun atau bukan ahli ) lalu menimbulkan infeksi. Perlu diwaspadai adalah tindakan abortus yang semacam bisa membahayakan hidup dan kehidupan

 

3. Penyebab Aborsi

 

            Setiap tindakan pasti ada yang menyebabkannya. Berikut beberapa penyebab aborsi dilakukan :

 

Umur

Umur menjadi pertimbangan seseorang wanita memilih abortus. Apalagi untuk calon ibu yang merasa masih terlalu muda secara emosional,fisik belum matang, tingkat pendidikan rendah dan masih terlalu tergantung pada orang lain masalah umur yang terlalu tua untuk mengandungpun menjadi penyebab abortus

 

Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat

Jarak kehamilan yang terlalu rapat menjadi alasan abortus, karena jika tidak dilakukan abortus akan menyebabkan pertumbuhan janin kurang baik, bahkan menimbulkan pendarahan hal itu disebabkan karena keadaan rahim yang belum pulih benar

 

Paritas ibu

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup (anak) yang dimiliki wanita. Resiko paritas tinggi , banyak wanita melakukan abortus.

 

Riwayat kehamilan yang lalu

Wanita yang sebelumnya pernah abortus, kemungkinan besar akan dilakukan abortus lagi . penyebabnya yang  lainnya masih banyak, seperti calon ibu yang memiliki penyakit berat hingga takut bila ia melahirkan anaknya, anaknya akan   tertular penyak it pula, ada juga masalah ekonomi  banyak anak banyak pengeluaran dan lain sebagainya.

 

Selain penyebab di atas, aborsi juga dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu :

 

a)      Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasa menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini ialah :

 

Kelainan kromosom, terutama trisomi autosom dan monosomi

Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna.

Pengaruh teratogen akibat radiasi, firus, obat-obatan, tembakaou dan alkohol

b)      Kelainan pada plasenta, misalnya enderteritis vili korialis karena hipotensi menahun.

 

c)      Faktor maternal, seperti pneumonia, tifus, anemia berat, keracunan, toksoplasmosis.

 

d)     Kelainan traktus genitalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri, dan kelainan bawaan uterus.

 

4. Resiko Aborsi

 

Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia “tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang”. Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap wanita, terutama mereka  yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi.

 

Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:

1.   Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik

 

2.   Resiko gangguan psikologis

 

 

 

1. Resiko kesehatan dan keselamatan fisik

 

Pada saat melakukan aborsi  dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:

 

Kematian mendadak karena pendarahan hebat

Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal

Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan

Rahim yang sobek (Uterine Perforation)

Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.

Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)

Kanker indung telur (Ovarian Cancer)

Kanker leher rahim (Cervical Cancer)

Kanker hati (Liver Cancer)

Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya.

Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)

Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)

Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)

2. Resiko kesehatan mental

 

Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.

 

Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).

 

Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini:

 

1.    Kehilangan harga diri (82%)

 

2.    Berteriak-teriak histeris (51%)

 

3.    Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)

 

4.    Ingin melakukan bunuh diri (28%)

 

5.    Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)

 

6.    Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)

 

Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya. Rasa bersalah tersebut dapat menyebabkan stres psikis atau emosional, yaitustres yang disebabkan karena gangguan situasi psikologis (Hidayat, 2007).

 

 

 

2.2 Kasus Aborsi

 

MAHASISWI ABORSI PAKAI PIL SAKIT KEPALA

 

TERNATE, KOMPAS.com — Warga Kota Ternate Utara, Kamis (3/5/2012), dibuat heboh dengan kasus aborsi yang dilakukan seorang mahasiswi di salah satu universitas ternama di Ternate berinisial IK. IK diketahui merupakan anak seorang pegawai di Kementerian Agama Kabupaten Pulau Morotai.

 

IK diketahui hamil bersama kekasihnya J yang juga sebagai salah satu mahasiswa di universitas berbeda di Ternate. Keduanya langsung dibekuk polisi ke Mapolres Ternate, Kamis. Di hadapan penyidik, J mengisahkan, awalnya dia mengajak IK untuk menikah lantaran mengetahui kekasihnya hamil dua bulan.

 

Namun, IK yang mengaku takut kepada keluarganya memilih menggugurkan kandungan dengan meminum pil sakit kepala yang dicampur dengan minuman bersoda. Namun, diduga IK tidak hanya mengaborsi sendiri dengan cara meminum obat sakit kepala dicampur minuman bersoda. “Waktu saya datang ke rumahnya, semua sudah bersih (sudah diaborsi),” ungkap J.

 

Karena takut, J lantas menguburkan ari-ari janinnya di belakang rumah IK di Akehuda, Ternate Utara. Sepulang dari kampus, J lantas mengambil janin yang masih di rumah IK, lalu dibawa ke Bula, Ternate Utara, untuk dibuang ke pantai. Warga sekitar baru mengetahuinya pada Selasa (1/5/2012), meski hanya segelintir orang.

 

Warga makin heboh saat aroma tindakan tak terpuji itu mulai terungkap. J dan IK bahkan sempat menjadi amukan beberapa anggota keluarganya. Petugas polisi baru mengetahuinya pada Kamis ini, dan langsung membekuk keduanya ke Mapolres Ternate.

 

“Kita belum bisa berikan keterangan karena masih dalam penyelidikan,” ucap seorang penyidik. Untuk kepentingan penyelidikan, sang mahasiswi ini dibawa ke rumah sakit guna menjalani visum. “Agar bisa dipastikan apakah yang digugurkan itu janin atau ari-ari,” tambah petugas penyidik tersebut.

 

Editor :

 

Aloysius Gonsaga Angi E

 

 

 

2.3 Pembahasan

 

Kasus aborsi di atas merupakan kasus aborsi illegal. Karena dilakukan atas dasar malu atau takut terhadap keluarga pelaku, bukan dari saran dokter karena janin memiliki kelainan atau membahayakan kesehatan si ibu. Selain itu, proses aborsi yang dilakukan pun tidak sesuai bidang kedokteran dengan meminum pil sakit kepala bercampur minuman bersoda.

 

Berdasarkan asas etik keperawatan, kasus aborsi yang telah disebutkan di atas diperbolehkan sesuai dengan asas etik autonomy (otonomi) yang dimiliki pelaku aborsi. Pelaku aborsi boleh memilih dan memutuskan untuk melakukan aborsi tanpa paksaan sebab keputusan itu adalah hak dia. Tetapi, melanggar asas beneficience (berbuat baik / manfaat). Karena kasus di atas bukanlah merupakan tindakan yang baik dan tidak memberikan manfaat apa pun, sekalipun alasannya karena takut atau malu atas janin yang dikandungnya pada keluarga dan orang lain.

 

Ketika seorang wanita memilih aborsi sebagai jalan untuk mengatasi kehamilan yang tidak diinginkan, maka wanita tersebut dan pasangannya akan mengalami perasaan kehilangan, kesedihan yang mendalam, dan/atau rasa bersalah (Perry&Potter, 2010).

 

 

 

          

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 3

 

PENUTUP

 

 

 

3.1 Kesimpulan

 

Aborsi dapat dikatakan sebagai pengguguran kandungan yang di sengaja dan saat ini menjadi masalah yang hangat diperdebatkan. Klasifikasi abortus atau aborsi berdasarkan dunia kedokteran, yaitu: abortus spontanea, abortus provokatus, abortus habitualis, missed abortion dan abortus septik. aborsi dapat terjadi karena beberapa sebab,yaitu: kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, kelainan pada plasenta, faktor maternal, kelainan traktus genitalia dan malu (aborsi ilegal).

 

Berdasarkan asas autonomy (otonomi), keputusan aborsi yang diambil pada kasus aborsi adalah hak klien (orang yang melakukan aborsi). Tetapi, pada kasus aborsi ilegal seperti contoh, hal tersebut melanggar asas beneficience (asas manfaat / berbuat baik) sebab, aborsi ilegal bukan perbuatan baik dan dapat membahayakan kesehatan pelaku aborsi tersebut.

 

 

 

3.2 Saran

 

Saran penulis, seorang perawat yang sedang merawat klien yang akan melakukan aborsi, hendaknya ciptakan suasana yang membuat klien dapat berdiskusi secara terbuka tentang aborsi, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap asas-asas yang ada.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

Ismani, Nila. 2000. Etika Keperawatan. Jakarta:Widya Medika.

 

Mansjoer, Arif., Kuspuji T.,dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta:Media Aesculapius.

 

Mansjoer, Arif., Kuspuji T.,dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta:Media Aesculapius.

 

Potter, Patricia A. dan Anne G. Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 2. Jakarta:Salemba Medika.

 

Hidayat, A.A. Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika.

 

 

 

Sumber Online:

 

Aborsi.org. 2004. Resiko Aborsi. Alamat : http://www.aborsi.org/resiko.htm.

 

Kompas.com.2012. Mahasiswa Aborsi Pakai Pil Sakit Kepala. Alamat : http://megapolitan.kompas.com/read/2012/05/03/15561555/Mahasiswi.Aborsi.Pakai.Pil.Sakit.Kepala.

 

4syamm. 2010. Etika Keperawatan. Alamat : http://4syamm.wordpress.com/2010/12/01/etika-keperawatan.


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Iritasi adalah suatu jenis penyakit infeksi pada organ tubuh, seperti pada kulit dan mata. Pada kulit contohnya seperti pemakaian deterjen, pemutih wajah, sabun. lebih banyak perempuan Indonesia yang memilih memutihkan kulit dengan menggunakan produk pemutih yang tersedia di pasar. Padahal, banyak hasil penelitian dan peringatan yang menyebutkan bahwa penggunaan pemutih wajah bisa memberikan dampak yang buruk pada kesehatan kulit, mulai dari iritasi, hingga yang paling berbahaya, memicu terjadinya kanker kulit.

Beberapa kandungan pemutih yang dianggap berbahaya dan telah ditolak BPOM antara lain merkuri (Hg), zat warna berbahaya (Rhodamine B pewarna tekstil), cloquinol, dan vioform. Kandungan merkuri inorganik dalam krim pemutih disebutkan Eddy bisa menimbulkan keracunan bila digunakan untuk waktu lama. Meskipun hanya dioleskan ke permukaan kulit, merkuri mudah diserap masuk ke dalam darah, masuk sistem saraf tubuh, sehingga menimbulkan keracunan kulit, serta gangguan sistem saraf, seperti tremor, insomnia, kepikunan, autis, gangguan penglihatan, gerakan tangan abnormal (ataxia), dan gangguan emosi. "Apalagi, kandungan merkuri yang masuk dalam tubuh itu sangat sulit dibuang. Merkuri hanya bisa dibuang setelah selama 27 tahun mengendap di tubuh.

beberapa kandungan tersebut dilarang, para produsen pemutih kulit mulai mengaplikasikan kandungan baru yang dianggap lebih aman seperti AHA, hydroquinone, kojic acid, fennel, willow bark dan VCPMG dan tretinoin. Ada juga pemutih yang menggunakan zat glycolic acid, dan retinol.

Namun, kandungan zat tersebut pun harus dibatasi jumlahnya. Dosis hydroquinone yang diizinkan saat ini misalnya, maksimal hanya 2%, sementara tretinoin lazimnya 0,05% untuk produk pemutih cair, dan 0,1% krim, dan 0,25% untuk gel.

 

B.     Tujuan

1.      Mengetahui bahaya dari iritasi.

2.      Mengetahui penyebab dari iritasi tersebut.

3.      Mengetahui bagaimana cara penanggulangan akibat dari adanya iritasi tersebut.

 

 

C.     Rumusan Masalah

1.      Apa itu iritasi ?

2.      Bagaimana iritasi itu bisa terjadi ?

3.      Bagaimana cara penanggulangan dari iritasi tersebut ?

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Pengertian Iritasi

Iritasi adalah Iritasi adalah suatu jenis penyakit infeksi pada organ tubuh yang disebabkan oleh suatu bahan yang dapat terjadi pada setiap orang, tidak melibatkan system imun tubuh dan ada beberapa faktor tertentu yang memegang peranan, yang  biasa ditemui pada kulit dan mata. Pada kulit contohnya seperti pemakaian deterjen, pemutih wajah, sabun. Penyebab lainnya yaitu karena lamanya bahan bersentuhan dengan kulit, keadaan permukaan kulit, usia pasien dan adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan.

Adakalanya suatu bahan kimiawi mempunyai kedua sifat ini yaitu dapat menyebabkan reaksi alergis dan suatu respon iritasi pada kulit. Sebagai contoh : sabun yang berisi zat warna atau parfum sebagai allergen jika disertai dengan mencuci berulang-ulang dapat menyebabkan iritasi kulit.

 

B.     Bahaya Iritasi

Pada symbol yaitu dibedakan dengan kode Xn dan Xi. Untuk Bahan dan formulasi yang ditandai dengan kode Xn memiliki resiko merusak kesehatan sedangkan jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui mulut (ingestion), atau kontak dengan kulit.

Suatu bahan dikategorikan berbahaya jika memenuhi kriteria berikut:

LD50 oral (tikus)                                                         200-2000 mg/kg berat badan

LD50 dermal (tikus atau kelinci)                                 400-2000 mg/kg berat badan

LC50 pulmonary (tikus) untuk aerosol /debu             1 – 5 mg/L

LC50 pulmonary (tikus) untuk gas/uap                                    2 – 20 mg/L

Frase-R untuk bahan berbahaya yaitu R20, R21 dan R22

Sedangkan Bahan dan formulasi dengan notasi ‘irritant’ atau kode Xi adalah tidak korosif tetapi dapat menyebabkan inflamasi jika kontak dengan kulit atau selaput lendir. Frase-R untuk bahan irritant yaitu R36, R37, R38 dan R41

Kode Xn (Harmful)

           Bahaya                        : menimbulkan kerusakan kecil pada tubuh,

           Contoh             : peridin

           Kemanan         : hindari kontak dengan tubuh atau hindari menghirup, segera berobat ke dokter bila kemungkinan keracunan.

Kode Xi (irritant)

           Bahaya                        : iritasi terhadap kulit, mata, dan alat pernapasan

           Contoh             : ammonia dan benzyl klorida

           Keamanan       : hindari terhirup pernapasan, kontak dengan kulit dan mata.

Seperti pada mata, terdapat efek Mulai dari risiko yang ringan seperti iritasi hingga risiko yang sangat fatal, yaitu kebutaan. Pada pemakaian lensa kontak di tahun ketiga, gangguan dan keluhan biasanya mulai muncul. Penelitian ilmuwan dari University Institute of Tropical Diseases and Public Health Canary Islands, University of La Laguna baru-baru ini terhadap 153 kasus lensa kontak, sebanyak 90 kasus di antaranya tidak mengalami gejala infeksi.

Walaupun tidak terdapat gejala infeksi, ternyata sebanyak 65,9% lensa terkontaminasi dengan pathogenic acanthamoeba dan 30% amuba ditemukan sangat patogen. Acanthamoeba merupakan tipe protozoa yang banyak ditemukan di tanah dan juga sering ditemui di air bersih. Spesies ini kebanyakan memakan bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada manusia.

Tak hanya di dunia, kasus gangguan mata akibat penggunaan lensa kontak di Indonesia juga mulai muncul. Salah satu dokter spesialis mata dari Graha Amerta RSUD dr Soetomo, dr Hendrian D. Soebagyo, Spm mengaku khusus untuk pasien yang ditanganinya, sedikitnya terdapat 50% pasien yang mengalami gangguan mata karena lensa kontaknya terkontaminasi oleh amuba. Sedang 1% pasien mengalami gangguan berat hingga menyebabkan kebutaan permanen.

Pada pemakaian deterjen atau sabun, iritasi bisa terjadi pada kulit bagian tangan, seperti gatal-gatal, kulit mengelupas, dan bahkan bisa mengeluarkan darah akibat dari iritasi dari deterjen tersebut.

 

C.     Cara Penanggulangan Iritasi

Pada bahan pemutih wajah, ada beberapa diantaranya cara untuk penanggulangannya agar tidak terjadi iritasi, yaitu :

1.      Lihat kandungan dan dosis zat kimia dalam produk tersebut, apakah cukup aman untuk kulit atau tidak.

2.      Perhatikan jenis produknya. Pada dasarnya penggunaan produk pemutih juga tergantung dari jenis kulit Anda. Jika kulit Anda kering, maka sebaiknya gunakan pemutih berbentuk krim, sedangkan jika kulit Anda berminyak, maka gunakan pemutih jenis lotion.

3.      Sebelum menggunakannya di wajah, tes dulu di belakang telinga Anda. Karena daerah inilah yang memiliki indikasi jenis kulit yang sama dengan kulit wajah. Jangan mencobanya di punggung tangan seperti yang selama ini banyak diinformasikan. Karena jenis kulit tangan berbeda dengan jenis kulit wajah.

4.      Pilihlah pemutih yang tidak menggunakan parfum atau pengharum, bagi Anda yang alergi akan sesuatu.

5.      Jangan pernah menggunakan produk pemutih yang berbahan dasar zat kimia lebih dari tiga bulan. Karena setelah melewati tahap tersebut, proses regenerasi atau perbaikan kulit akan lebih sulit.

6.      Pemakaian produk pemutih hanya untuk mengembalikan kulit yang menghitam karena terkena sinar matahari atau karena kehamilan (melasma, atau berubah warna karena kulit mengembang).

Pada mata, kasus iritasi ringan bisa disembuhkan secara total. Namun, tidak sedikit kasus infeksi karena penggunaan lensa kontak meninggalkan sikatrik atau bekas luka di kornea. Untuk sikatrik ringan berbentuk nebula, untuk sedang berbentuk makula, sedangkan sikatrik berat berbentuk lecoma dan sudah menganggu penglihatan pasien. Selain itu bentuk lecoma juga terlihat jelas oleh mata karena tebal dan sangat menganggu penglihatan pasien, bahkan bisa mengakibatkan kebutaan.

Pada Kulit di bagian tangan, apabila terjadi iritasi pada kulit maka cara penanggulanganya adalah dengan lebih teliti membeli protaduk sabun yang lebih baik,atau dengan membeli produk yang memang cocok dengan kulit kita,atau lebih baiknya dengan mendengar dari saran dokter kulit.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Iritasi adalah Iritasi adalah suatu jenis penyakit infeksi pada organ tubuh yang disebabkan oleh suatu bahan yang dapat terjadi pada setiap orang, tidak melibatkan system imun tubuh dan ada beberapa faktor tertentu yang memegang peranan, yang  biasa ditemui pada kulit dan mata. Pada kulit contohnya seperti pemakaian deterjen, pemutih wajah, sabun. Penyebab lainnya yaitu karena lamanya bahan bersentuhan dengan kulit, keadaan permukaan kulit, usia pasien dan adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan.

Pada symbol yaitu dibedakan dengan kode Xn dan Xi. Untuk Bahan dan formulasi yang ditandai dengan kode Xn memiliki resiko merusak kesehatan sedangkan jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui mulut (ingestion), atau kontak dengan kulit.

Penanggulangan agar tidak terjadi iritasi pada kulit maupun mata harus lebih teliti dalam membeli suatu produk yang tekandung berbagai zat kimia di dalamnya .

 

B.     Saran

Hendaknya kita lebih cermat dan teleti dalam memilih suatu produk yang ingin di pakai atau dikonsumsi. Dan harus lebih mengerti akan bahaya yang ada pada pemakaian zat kimia tersebut.

 

Refluks gastroesofagus

Refluks gastroesofagus (penyakit asam lambung) atau dikenal juga sebagai GERD merupakan kondisi yang terjadi ketika asam lambung naik ke atas kerongkongan akibat cincin otot esofagus tidak dapat menutup secara baik.

Esofagus atau kerongkongan merupakan saluran yang menghubungkan mulut dengan lambung. Cincin esofagus bekerja sebagai katup satu arah dimana ketika kita menelan makanan, bagian ini akan terbuka dan mempersilakan makanan lewat untuk menuju lambung. Setelah makanan lewat, cincin esofagus akan tertutup secara otomatis guna mencegah makanan dan asam lambung naik ke kerongkongan.

 

Ketika asam lambung naik ke kerongkongan, penderita GERD akan merasakan gejala seperti sensasi tidak enak di mulut, nyeri ulu hati, atau nyeri saat menelan.

 

Risiko tinggi terkena GERD biasanya terjadi pada orang-orang yang gemar mengonsumsi makanan tinggi lemak dan yang kelebihan berat badan. Selain itu, wanita hamil juga berisiko tinggi terkena GERD.

 

GERD biasanya mudah didiagnosis oleh dokter hanya dengan menanyakan gejala yang dirasakan penderitanya secara detail. Pemeriksaan lebih lanjut biasanya dilakukan jika pasien diduga menderita kondisi lain seperti sindrom iritasi usus atau tukak lambung.

 

Pemeriksaan lanjutan yang paling umum adalah melalui metode endoskopi dengan tujuan melihat adanya kerusakan pada esofagus akibat asam lambung.

 

Untuk kasus GERD ringan, penanganannya cukup sederhana. Anda hanya perlu mengubah menu makanan Anda ke makanan-makanan sehat yang rendah lemak. Jika GERD masih belum sembuh, dokter akan meresepkan obat golongan antagonis reseptor H2 (H2RA) dan obat golongan penghambat pompa proton (PPI) yang mampu menurunkan produksi asam lambung. Selain kedua obat itu, obat antasid yang mampu menetralisir asam lambung juga mungkin akan direkomendasikan dokter.

 

Pada kasus GERD dengan gejala parah dan tidak mempan terhadap obat-obatan, penanganan biasanya dilakukan melalui operasi.

 

Keracunan makanan

Keracunan makanan adalah kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami mual, nyeri perut, muntah, kehilangan nafsu makan, diare, demam, lemas, dan nyeri otot akibat mengonsumsi makanan yang terkontaminasi, misalnya oleh virus norovirus atau bakteri E. coli dan salmonella.

Penyebab makanan bisa terkontaminasi di antaranya karena tidak dimasak dengan baik, melewati batas kedaluwarsa, tersentuh tangan yang kotor atau tangan seseorang yang membawa virus dan/atau bakteri, terlalu lama disimpan dalam suhu yang hangat dan tidak dibekukan dengan suhu di bawah 5 derajat celcius. Selain itu, makanan yang dimasak kembali secara tidak sempurna atau makanan yang terkontaminasi makanan basi (karena disimpan bersamaan) juga bisa menyebabkan keracunan makanan.

 

Sebenarnya sebagian besar kasus keracunan makanan tidak serius dan penderitanya dapat pulih dalam beberapa hari tanpa obat dari dokter. Caranya adalah dengan cukup istirahat dan minum banyak cairan untuk mencegah dehidrasi. Penggunaan oralit sangat disarankan bagi orang-orang yang di saat bersamaan sedang menderita kondisi lain atau orang-orang lanjut usia karena mereka lebih rentan. Selama masa pemulihan, Anda juga disarankan untuk mengonsumsi makanan ringan seperti biskuit, pisang, atau roti hingga kondisi tubuh Anda siap untuk kembali menyantap hidangan besar.

 

Meski sebagian kasus keracunan makanan tergolong ringan, waspadailah jika gejala Anda tidak pulih dalam beberapa hari atau bahkan cenderung makin parah, misalnya dehidrasi berat yang mengakibatkan jantung berdetak kencang, produksi urine hanya sedikit, dan mata cekung. Jika ini terjadi, maka Anda disarankan segera menemui dokter.

 

Disarankan juga untuk segera menemui dokter jika keracunan makanan dialami oleh wanita hamil, bayi dan balita, orang-orang berusia di atas 60 tahun, orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah, penderita diabetes, serta penyakit ginjal.

 

Diagnosis keracunan makanan biasanya dilakukan oleh dokter lewat pemeriksaan sampel kotoran di laboratorium. Jika keracunan makanan disebabkan oleh bakteri, umumnya pasien akan diberikan antibiotik. Pada kasus berat, perawatan di rumah sakit akan diperlukan.

 

Penyakit batu empedu

Penyakit batu empedu merupakan peradangan kantong empedu atau penyumbatan saluran empedu karena adanya batu yang berasal dari pengkristalan kolesterol.Batu tersebut terbentuk akibat ketidakseimbangan kimia di dalam kandung empedu.

Batu empedu yang tidak menyumbat saluran empedu tidak akan menimbulkan gejala apa pun. Namun jika sudah menyumbat, penderitanya dapat merasakan nyeri perut hebat yang biasanya berlangsung antara satu hingga lima jam dan muncul secara tiba-tiba.

 

Selain rasa sakit, batu empedu juga dapat menyebabkan peradangan yang diikuti dengan gejala demam tinggi dan sakit kuning. Bahkan pada beberapa kasus, batu empedu dapat mengiritasi pankreas dan menyebabkan gejala nyeri yang dapat meningkat secara cepat.

 

Wanita, terutama yang sudah melahirkan, sangat rentan terhadap penyakit batu empedu. Selain wanita, pengidap obesitas dan orang-orang yang telah berusia di atas 40 tahun juga berisiko tinggi terhadap penyakit ini.

 

Batu empedu yang tidak menimbulkan gejala tidak perlu diobati. Sebaliknya diagnosis dan pengobatan harus dilakukan jika gejala sudah terasa cukup mengganggu. batu empedu dapat didiagnosis dengan pemindaian USG. Untuk pengobatannya, metode yang direkomendasikan adalah dengan operasi pengangkatan kantong empedu melalui operasi laparoskopi. Selain sederhana, prosedur ini juga terbukti minim risiko terjadinya komplikasi.

 

Penyakit usus buntu

Penyakit usus buntu adalah peradangan dan pembengkakan yang terjadi di dalam usus buntu, yaitu suatu organ berbentuk kantung dan seukuran jari, yang terhubung dengan usus besar.

Seseorang yang terkena penyakit usus buntu awalnya akan merasakan sakit yang kerap muncul dan hilang di perut bagian tengah. Rasa sakit ini dalam waktu beberapa jam akan terasa semakin konstan dan perlahan berpindah menuju sumber peradangannya, yaitu perut bawah sebelah kanan.

 

Nyeri usus buntu biasanya semakin terasa apabila penderitanya berjalan, batuk, atau mencoba menekan area yang sakit. Gejala lainnya yang bisa mengiringi adalah mual, hilang nafsu makan, dan diare.

 

Penyebab penyakit usus buntu sendiri masih belum diketahui secara pasti. Ahli berpendapat bahwa kondisi ini bisa disebabkan penyumbatan pintu masuk usus buntu oleh kotoran atau oleh pembengkakan kelenjar getah bening pada dinding usus.

 

Segeralah memeriksakan diri ke dokter jika Anda merasakan gejala penyakit usus buntu. Jika diabaikan, usus buntu dapat pecah mengenai seluruh organ rongga perut dan berujung pada kematian.

 

Beberapa jenis metode yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis penyakit usus buntu diantaranya adalah pemindaian USG dan CT scan, pemeriksaan darah dan urine untuk melihat adanya infeksi lain, serta tes kehamilan pada wanita untuk memastikan gejala yang dialami bukan tanda-tanda kehamilan.

 

Satu-satunya cara pengobatan penyakit usus buntu adalah melalui apendiktomi atau operasi pengangkatan usus buntu.

 

Wasir

Wasir merupakan pembengkakan pembuluh darah di sekitar atau di dalam anus. Penyebab pembengkakan ini belum diketahui secara pasti, namun erat kaitannya dengan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah akibat:

Kurang mengonsumsi makanan kaya serat

Sembelit berkepanjangan

Mengejan berlebihan saat buang air besar

Diduga orang yang memiliki riwayat keluarga penderita wasir, berusia di atas 45 tahun, pengidap obesitas, dan wanita hamil berisiko tinggi terkena wasir.

Seseorang yang menderita wasir biasanya mengalami gejala seperti adanya benjolan yang menggantung di luar anus, rasa gatal pada anus, dan pendarahan setiap selesai buang air besar.

 

Wasir termasuk penyakit yang mudah didiagnosis oleh dokter melalui pemeriksaan kondisi dubur. Biasanya dokter akan meresepkan obat-obatan untuk meredakan gejala sekaligus memperlancar buang air besar pasien. Obat-obatan yang diberikan bisa dalam bentuk tablet atau topikal. Jika gejala wasir semakin parah dan tidak bisa lagi ditangani dengan perubahan gaya hidup dan obat-obatan, maka biasanya dokter akan merekomendasikan operasi.

 

Wasir dapat dicegah dengan rutin berolahraga dan menurunkan berat badan bagi yang kelebihan berat badan, banyak minum cairan, mencukupi kebutuhan serat, dan tidak menahan buang air besar. Selain itu, hindarilah obat-obatan yang memiliki efek samping konstipasi. Salah satu contohnya adalah obat pereda rasa sakit dengan komposisi kodein

No comments:

Post a Comment