DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
2. Tujuan Masalah........................................................................................................ 2
BAB II
TINJAUN PUSTAKA (ANTIBIOTIK)............................................................ 3
1. Konsep Antibiotik ……………………………………………………………….3
2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Antibiotik ................................................. 3
3.
Resistensi Antibiotik …………………………………………………………..15
4. Antinonretro Virus………………………………………………………………...20
5.
Antiretro Virus………………………………………………………………….25
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 27
1. Kesimpulan.............................................................................................................. 27
2. Saran........................................................................................................................
27
Daftar
Pustaka................................................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Antibiotik merupakan
golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya
kejadian infeksi bakteri. Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh
penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan
antibiotik baik secara tunggal maupun kombinasi,
sedangkan di negara berkembang 30-80% dirawat di rumah sakit mendapat
antibiotik. Seringkali
penggunaan antibiotik dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang tidak
dikehendaki, oleh karena itu penggunaan antibiotik harus mengikuti strategi
peresepan antibiotik.
Penulisan resep dan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat tersebut cenderung meluas. The
Center for Disease Control and Prevention in USA pada tahun 2013 menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak
diperlukan (unnecessary prescribing), dari 150 juta peresepan setiap
tahun. Penyakit infeksi seringkali dialami oleh pasien geriatrik, karena pada geriatrik memiliki kerentanan
terhadap infeksi yang lebih tinggi dibandingkan pasien lain. Beckett (2014:56) mengatakan bahwa,
“Penggunaan antibiotik pada pasien geriatrik memiliki risiko yang lebih
besar dari pasian pada ummny. Pemberian antibiotik yang tidak
tepat ke pada anak-anak dan orang dewasa, salah satu faktor yang sering kali
menjadi penyebab yaitu menurunnya fungsi hati dan ginjal pada pasien geriatri,
kerentanan terhadap penyakit infeksi meningkat dengan bertambahnya usia,
penurunan pH pada gastrointestinal pada proses absorpsi, penurunan cairan tubuh
pada proses distribusi, penurunan aliran darah hepatik pada proses metabolisme,
dan penurunan sekresi tubular pada klirens.
Eko(2013:89) mengatakan
bahwa, “Penggunaan antibiotik pada
pasien yang menderita infeksi sering kali diderita oleh penduduk di Negara
berkembang dari pada di negara maju, berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62%
antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit
yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik”. Pada penelitian kualitas
penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80%
tidak didasarkan pada indikasi. Intensitas penggunaan
antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman
global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain
berdampak pada mortalitas, juga memberi dampak
negatif
terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kementerian Kesehatan RI,
2011).
Perkembangan obat anti virus baik sebagai profilaksis ataupun terapi belum mencapai hasil seperti apa yang
di inginkan oleh sebagian besar
manusia. Berbeda dengan
anti mikroba lainya, antivirus yang dapat menghambat atau membunuh
virus juga
akan dapat merusak sel hospes dimana virus itu berada. Ini karena replikasi
virus RNA maupun DNA berlangsung didalam sel hospes dan membutuhkan
enzim dan bahan lain dari hospes. Tantangan bagi penelitian ialah bagaimana
menemukan suatu obat yang dapat menghambat secara spesifik salah satu proses
replikasi virus seperti peletakan,
uncoanting dan replikasi. Analisis biokimiawi dari proses sintesis virus telah membuka tabir bagi terapi
yang efektif untuk beberapa infeksi seperti : virus hespes,
beberapa virus saluran napas dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Dengan
mencuatnya masalah penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) maupun virus lainnya, maka kegiatan penelitian mencari obat
antivirus telah mendapat dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak baik swasta
maupun pemerintah, terutama di Negara maju.
Sejumlah obat anti virus dapat dikembangkan didekade 50 dan 60, saat ini
memiliki pemanfaatan terbatas. Obat ini adalah idoksuridin, vidarabin dan sitarabin. Obat tersebut bersifat tidak selektif dalam menghambat replikasi virus sehingga banyak fungsi sel
hospes juga dihambat. Toksisitas misalnya supresi sumsum
tulang telah menghalangi obat di atas
digunakan secara parental kecuali vidarabin.
Hanya idoksuridin dan vidarabin yang saat ini masih dapat digunakan secara topikal sebagai obat pilihan kedua dan
ketiga pada herpes simplex keratin
konjunctifitis. Obat antivirus generasi baru
pada umumnya bekerja lebih selektif terutama
asiklovir sehingga toksisitasnya lebih rendah.
2.
Tujuan
Penelitian
1.
Mengetahui pengertian
dari antibiotik dan antivirus
2. Mengetahui jenis-jenis dari antibiotik dan antivirus
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Konsep Antibiotik
1.1 Pengertian
Antibiotik
Menurut
asalnya anti bakteri dapat dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik dan agen
kemoterapetik. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menhambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin, sefalosporin,
kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-lain. Antibiotik yang
relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapetik dalam
pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Istilah ini sebelumnya
digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, tetapi
penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan
aktivitas kimia yang mirip, contohnya sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon
(Setiabudy,2011; Dorland, 2010).
1.2 Penggolongan Antibiotik
Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa
atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi
bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila
bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut
maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi.
Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembang biaknya bakteri
lebih lanjut tanpa membahayakan host (Kemenkes, 2011).
Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan sebagai
berikut (Kasper et. al 2005, Setiabudi, 2007, Katzung, et. al. 2011) .
(a) Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil
penisilin,ampisilin), sefalosporin (contohnya sefadroksil, sefaklor),
monobaktam (contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya: imipenem).
(b) Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin.
(c) Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin
(d) Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin
(e) Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol dan tiamfenikol
(f) Aminoglikosida, contohnyastreptomisn, neomisin dan gentamisin.
(g) Sulfonamida (contohnya: sulfadizin, sulfisoksazol) dan
kotrimoksazol (kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol).
(h) Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon
(contohnya: siprofloksasin dan levofloksasin).Glikopeptida, contohnyavankomisin
dan telkoplanin.
(i) Antimikrobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid.
(j) Golongan lain, contohnya polimiksin B, basitrasin,
oksazolidindion.
Berdasarkan sifat
toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteri ostatik (contohnya
sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin,
linkomisin dan klindamisin) dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal
sebagai aktivitas bakterisid (contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn, neomisin,
kanamisin, gentamisin dan basitrasin). Pada
kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau
infeksi dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka
antibiotik bakterisid harus digunakan (Kemenkes, 2011; Setiabudy, 2011).
Antibiotik bisa
diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu (Kasper et. al.,
2011:78.
(a) Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel
bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu komples polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat
ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang mendaur
ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik yang
termasuk dalam kelompok ini seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin,
dan vankomisin. Pada umumnya bersifat bakterisidal.
(b) Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Sel bakteri
mensintesisberbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi
dengan ribosom bakteri.Yang termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid,
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin,
klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. Selain
aminoglikosida, pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.
(c) Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid. Pada umumnya antibiotik ini
bersifat bakteriostatik.
(d) Mempengaruhi
sistem sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,nitrofurantoin.
(e) Mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika
yangtermasuk adalah polimiksin. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik
terbagi atas duakelompok besar, yaitu antibiotik dengan aktivitas spektrum luas
(broadspectrum)danaktivitas spectrum sempit(narrowspectrum).
1.3
Golongan antibiotik yang digunakan pada Terapi Profilaksis
Antibiotik
beta-laktam merupakan obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel
bakteri.Terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur cincin
beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,monobaktam, karbapenem, dan inhibitor
beta-laktamase. Obat-obatan atibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian
besar efektif terhadap organisme Gram-positif dan negatif. Antibiotik
betalaktam mengganggu
sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis
peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada
dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011).
Golongan penisilin
diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitasantibiotiknya. Salah
satu golongan penisilin yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah
golongan aminopenisilin, sebagai contoh Ampisilin dan Amoksisilin.Selain
mempunyai aktivitas terhadap bakteri Grampositif, juga mencakup mikroorganisme
Gram-negatif, seperti Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
dan Proteus mirabilis. Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitor
beta-laktamase (asam klavulanat, sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah
hidrolisis oleh betalaktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri
Gram-negatif.
Obat Ampisilin
diberikan secara intramuskular, intravena dan oralsedangkan obat Amoksisilin
hanya dapat diberikan secara oral denganwaktu paruh obat yaitu, 1,1-1,5 jam
untuk ampisilin dan 1,2-2,0 jam untuk amoksisilin (Kemenkes, 2011).
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa
dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya, yaitu
generasi I hingga IV (Setiabudy, 2011) :
(a) Generasi I, yaitu Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin dan
sefadroksil merupakan antibiotik yang efektif terhadap Gram-positifdan memiliki
aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.
(b) Generasi II, yaitu Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin,
sefotetan, sefmetazol dan sefprozil memiliki aktivitas antibiotik Gramnegatif
yang lebih tinggi daripada generasi I.
(c) Generasi III, yaitu Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim,
sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim dan moksalaktam. Memiliki aktivitas
kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi I, tapi lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase.
Seftazidim dan sefoperazon juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi
kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap kokus Gram-positif.
(d) Generasi IV, yaitu sefepim dan sefpirom memiliki aktivitas lebih
luas dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase. Banyak rumah
sakit di negara berkembang menggunakan antibiotik sefalosporin dalam jumlah
berlebihan, terutama di bagian bedah sebagai pilihan antibiotik profilaksis.
Mikroorganisme yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah organisme
komensal, seperti stafilokokkus gram negatif, Pseudomonas aeruginosa,
enterococci
(e) danCandida albicans, dan organisme yang lebih pathogen
seperti Clostridium difficile, penicillin-resistant pneumococci,
multiplyresistant coliforms dan methicillin-resistant Staphylococcusaureus
(MRSA). Beberapa organisme ini secara konstitutif resisten terhadap
sefalosporin sementara yang lain telah resisten, biasanya akibat resistensi
ganda.(Dancer, 2001).
2.
Farmakokinetik
dan Farmakodinamik Antibiotik
Pemahaman mengenai sifat
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk
menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat. Agar dapat menunjukkan
aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus
memiliki beberapa sifat berikut ini (Kemenkes,
2011, Setiabudy, 2011) :
(1) Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat
ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
(2) Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin
tinggikadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
(3) Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu
yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
(4) Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat
yang diperlukan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Secara umum terdapat
dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat farmakokinetikanya, yaitu;
(a) Time dependent killing.
Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar diatas Kadar
Hambat Minimum (KHM) sangat penting untukmemperkirakan outcome klinik
ataupun kesembuhan. Pada kelompok inikadar antibiotik dalam darah diatas KHM
paling tidak selama50%interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time
dependent killingantara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida.
(b)
Concentration
dependent.
Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darahmelampaui KHM maka
semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadapbakteri. Untuk kelompok ini
diperlukan rasio kadar/ KHM sekitar 10. Inimengandung arti bahwa rejimen dosis
yang dipilih haruslah memilikikadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih
tinggi dari KHM. Jikagagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan
akanmengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadisalah
satu penyebab timbulnya resistensi.Farmakokinetik (PK) membahas tentang
perjalanan kadarantibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (PD)
membahastentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek
antibiotiknya.Dosisantibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja.
Namun,ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih
penting.Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD
bahkanmenjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa
digunakanuntuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau
mencegahresistensi.Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih
menjadistandar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan
farmakodinamik telah semakin sering digunakan.Beberapa ukuran PK danPD lebih
prediktif terhadap efikasi klinis. (Kemenkes RI, 2011)
2.1 Prinsip Penggunaan Antibiotik
Penggunaan
antibitik yang rasional didasarkan pada pemahaman dari banyak aspekpenyakit
infeksi.Faktor yang berhubungan denganpertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi
dan kepekaan mikroorganisme,farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik
perlu diperhatikan (Gould IM, et. al.,
2005). Pada fasilitas pelayanan
kesehatan, antibiotik digunakan padakeadaan berikut (Gyssens, 2005; Kemenkes
RI.,2011) :
(a) Terapi empiris.
Pemberian antibiotika
untuk mengobati infeksi aktif padapendekatan buta (blind) sebelum
mikroorganisme penyebab diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif
ditentukan.Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberian antibiotik
pada terapi empiris adalahditemukan sindrom klinis yang mengarah pada
keterlibatan bakteritertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.Rute
pemberian pada antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi.Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik
parenteral.durasi pemberian pada antibiotik empiris diberikan untuk jangka
waktu 48-72 jam.
(b) Terapi definitif.
Pemberian antibiotik untuk mikroorganisme spesifik yang
menyebabkan infeksi aktif atau laten. Penggunaan antibiotik untukm
terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yangsudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya.Tujuanpemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah
eradikasi ataupenghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab
infeksi,berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberianantibiotik
pada terapi definitif adalah sesuai dengan hasil mikrobiologiyang menjadi
penyebab infeksi. Rute pemberian adalah antibiotik oral seharusnya
menjadipilihan pertama untuk terapi infeksi.Pada infeksi sedang sampai
beratdapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.Jika kondisipasien
memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segeradiganti dengan
antibiotik peroral.Durasi pemberian antibiotik definitiveberdasarkan pada
efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosisawal yang telah
dikonfirmasi.
(c)
Terapi
profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya
infeksi.Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pascaoperasi pada
kasus yang secara klinis tidak didapatkantanda-tandainfeksi dengan tujuan untuk
mencegah terjadi infeksi luka operasi.Diharapkan pada saat operasi antibiotik
di jaringan target operasi sudahmencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhanbakteri.
2.2 Antibiotika Profilaksis
Antibiotik profilaksis
adalah antibiotik yang digunakan pada pasien yang belum terkena infeksi, tetapi
diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi
dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis harus
diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh
pathogen (Kemenkes RI, 2011) Profilaksis
merujuk pada pencegahan infeksi dan dapat dikategorikan menjadi profilaksis primer,
sekunder, atau eradikasi.Profilaksis primer merupakan pencegahan pada infeksi
awal.Sedangkan profilaksis sekunder merupakan pencegahan dari munculnya kembali
atau re-aktivasi dari infeksi yangsudah ada.Dan eradikasi merupakan eliminasi
dari organisme kolonisasi untuk mencegah perkembangan infeksi
(Thirion,2013:78).
2.3 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis
Tujuan dari pemberian
antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca
bedah. Profilaksis merupakanprosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang
tinggi. Antibiotik sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin
akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan
insisiawal. Kemenks RI, 2011:34) Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam
keadaan-keadaan berikut.
(a) Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.
(b) Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain-lain.
(c) Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah
tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat
bila terjadi infeksi pasca bedah.Idealnya sediaan antibiotik yang digunakan
untuk profilaksis pada operasi harus :
1.
Mencegah
infeksi luka pasca operasi pada luka operasi
2.
Mencegah
morbiditas dan mortalitas infeksi pascaoperasi
3.
Mengurangi
durasi dan biaya perawatan
4. Tidak menimbulkan efek yang merugikan baik bagi flora normal
pasien dan bagi rumah sakit.
Diharapkan dari pemberian antibiotik profilaksis dapat memberikan
manfaat yaitu :
(a) Penurunan angka kejadian infeksi pasca bedah
(b) Penurunan jumlah flora pathogen penyebab infeksi
(c) Penurunan morbiditas baik jangka panjang maupun jangka pendek
(d) Pengurangan biaya dan lamanya rawat inap di rumah sakit
(e) Terhindarinya pembentukan resistensi antibiotik serta peningkatan
kondisi pasien
(f) Kualitas hidup pasien pasca operasi.
(g)
Penggunaan
antibiotik merupakan sejarah dalam upaya mencegah luka infeksi.Konsep
antibiotik profilaksis diperkenalkan tahun 1960an ketika data eksperimen
menetapkan bahwa antibiotik harus berada dalam sistem peredaran darah pada
dosis yang cukup tinggi pada saat insisi supaya efektif.Umumnya disepakati
bahwa antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang terkontaminasi dan
(h)
terkontaminasi.Antibiotik
untuk luka kotor merupakan bagian dari terapi karena infeksi sudah
terbentuk.Sedangkan pada prosedur operasi bersih masih menjadi perdebatan.Pada
penggunaan antibiotik profilaksis dalam prosedur bersih dimana alat buatan
palsu dimasukkan. Infeksi dalam kasus ini akan menjadi bencana bagi pasien.
Namun, prosedur bersih lainnya (misalnya operasi payudara) masih menjadi
perdebatan (Singhal, 2017),
Patogen normal pada
permukaan kulit dan mukosa adalah kokkus-gram positif (terutama stafilokokus);
Namun, kuman aerob gram negativedan bakteri anaerob dapat mengkontaminasi kulit
di daerah pangkalpaha/perineum.Patogen yang terkontaminasi dalam operasi
gastrointestinaladalah banyak flora usus intrinsik, yang meliputi bakteri gram
negativebasili (misalnya Escherichia coli) dan mikroba gram positif,
termasuk organisme enterococcidan anaerob.Organisme gram positif,
terutama stafilokokus dan streptokokus, menjelaskan kebanyakan flora luar yang
terlibat dalam infeksi luka operasi.
Asalpatogen semacam itu
termasuk dari personil bedah / rumah sakit dan keadaan intraoperatif, termasuk
instrumen bedah, barang yang dibawa kelapangan operasi, dan udara ruang
operasi. (Singhal, 2017) Kelompok bakteri yang paling sering bertanggung jawab
untukterkait dengan infeksi luka. Methicillin-resistant Staphylococcus
Aureus (MRSA) terbukti menjadi masalah utama pada operasi. Seperti strain S
Aureus lainnya, MRSA dapat berkoloni di kulit dan tubuh seseorang tanpa menyebabkan penyakit, dan dengan cara ini, dapat disebarkan
ke orang lain tanpa sadar. Timbulnya masalah dalam pengobatan
infeksi MRSA karena pilihan antibiotik
sangat terbatas. Infeksi MRSA tampak meningkat dan menunjukkan resistensi
terhadap antibiotik yang lebih luas. Yang menjadi perhatian khusus adalah vancomyc inintermediate Saureus(VISA)
bagian dari MRSA. Strain ini mulai resisten terhadap, vankomisin,yang
saat ini merupakan antibiotik yang paling efektif melawan MRSA. Resistensi ini
baru muncul karena jenis bakteri lain, yang disebut enterococci, umumnya menunjukkan
resisten terhadap vankomisin (Hsiao, 2012).
2.4 Indikasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Indikasi penggunaan
antibiotik profilaksis didasarkan pada kelas operasi, yaitu operasi
bersih,operasi bersih kontaminasi, operasi kontaminasi
serta operasi koto (SIGN, 2014). Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan adalah
terjadi penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), penurunan
morbiditas dan mortalitas pascaoperasi, penghambatan muncul flora normal yang
resisten dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan
(Kemenkes RI,2011).
Antibiotik
profilaksis diberikan pada pembedahan denganklasifikasi operasi
bersih-terkontaminasi. Profilaksis pada operasi bersih pada umumnya
tidak diperlukan, namun dapat diberikan pada operasi bersih dengan memasang
alat implan atau bahan protesis. Namun tidak
menutup kemungkinan juga diberikan antibiotik profilaksis jika diindikasikan
akanterjadi infeksi yang dapat menimbulkan dampak yang serius seperti operasi
bedah syaraf, bedah jantung dan mata. Operasi kontaminasi dan operasi kotor
telah terjadi kolonisasi kuman dalam jumlah besar atau sudah ada infeksi yang
secara klinis belum bermanifestasi. Untuk kasus ini terapi empirik akan lebih
tepat (David, 2010).
2.5 Dasar Pemberian Antibiotik profilaksis pada Operasi
Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis yaitu sesuai
dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan
dan spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri,
toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian
obat anestesi, bersifat bakteri sidal dan harga terjangkau
(Ongom, 2013:90). Antibiotik profilaksis hanya bisa digunakan jika terbukti
dapat memberikan keuntungan dan harus dihentikan bila
terbukti tidak memberikan manfaat. SIGN dalam guideline-nya membagi 4
rekomendasiterhadap pemberian antibiotik profilaksis pada operasi (SIGN, 2014).
(a) Highly Recomendation,
Profilaksis yang dengan terbukti tegas menurunkan morbiditas, menurunkan biaya
perawatan dan menurunkankonsumsi antibiotik secara keseluruhan.
(b) Recomended;
Profilaksis yang menurunkan morbilitas jangka pendek,mengurangi biaya perawatan
dan bila dimungkinkan menurunkankonsumsi antibiotik secara keseluruhan.
(c) Should be considered;
Profilaksis yang belum memiliki bukti yang kuat dapat memberikan keuntungan,
dan kemungkinan dapat meningkatkanbiaya perawatan dan peningkatan konsumsi
antibiotk utamanya untukpasien dengan low risk ILO.
(d) Not recomended;
profilaksis yang tidak
memiliki bukti kuat efektif secara klinis
serta tidak menurunkan morbiditas jangka pendek. Dan dapat meningkatkan biaya perawatan serta meningkatkan konsumsi antibiotik sedangkan
keuntungan secara klinis sangat rendah.Rekomendasi antibiotik yang digunakan
pada profilaksis bedah pada operasi bersih secara rinci diuraikan pada tabel 4.
2.6 Pemilihan Antibiotik Profilaksis pada Operasi
Pemilihan antibiotik
profilaksis dipengaruhi oleh beberapafaktor.Oleh karena itu penting untuk
menanyakan ke pasien tentang riwayat penggunaan antibiotik dan alergi.
Betalaktam merupakan antibiotik yang banyak digunakan sebagai profilaksis. Bila
terdapat riwayat alergi penisilin yang berat (anafilaksis atau angiodema)
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menerima penisilin dan juga berarti
sefalosporin juga dikontraindikasikan terhadap pasien tersebut.Meski cukup
sederhana, tapi dapat memberikan dampak reaksi yang signifikan. Paling penting
yang harus diperhatikan yaitu antibiotik harus aktif terhadap bakteri yang
dapat menyebabkan Infeksi Luka Operasi (ILO) (Kemenkes,2011).
Umumnya infeksi
pascaoperasi disebabkan oleh bakteri flora pasien itu sendiri.Profilaksis tidak
harus dapat menghambat semua jenis bakteri flora pasien tersebut.Ada beberapa
bakteri yang tidak bersifat patogen atau jumlahnya hanya sedikit atau
keduanya.Sangat penting untuk memilih antibiotik dengan spektrum sempit sesuai
dengan yang dibutuhkan untuk meminimalisir multi resisten terhadap
antibiotik.Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada biaya, profil efek
yangdapat merugikan, kemudahan pemberian, profil farmakokinetik, dan aktifitas
antibakterinya.Antibiotik yang dipilih harus memiliki aktivitas terhadap
bakteri yang sering mengakibatkan infeksi pada operasi.
Meskipun berbagai
organisme dapat menyebabkan infeksi pada pasien bedah, Infeksi luka operasi
biasanya diakibatkan oleh sejumlah kecil patogen umum (kecuali dengan adanya
implantasi biomaterial). Berikut
ini adalah antibiotik yang sering digunakan sebagaiprofilaksis pada operasi
(Munckhof,2005) :
(a) Sefalosporin generasi pertama (cefazolin atau cefalotin)
(b) Gentamisin
(c) Metronidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
(d) Oral tinidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
(e) Flucloxacillin (jika infeksi methicillin-susceptible
staphylococcal)
(f) Vankomicin (jika infeksi methicillin-resistant Staphylococcal)
2.7 Jalur dan Waktu
Pemberian Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis
biasanya diberikan sebagai bolus intravena yang disertai dengan induksi
anastesi untuk memastikan konsentrasi efektif pada jaringan tercapai sebelum
pembedahan dimulai.Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.Untuk
menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan
pemberian antibiotik intravena drip.Waktu pemberian antibiotik ini sangat
penting utamanya untuk beta-laktam yang memiliki waktu paruh relatif singkat.
Vankomisin membutuhkan waktu infus selama satu jam oleh karena itu pemberiannya harus dimulai lebih cepat
agar infus selesai tepat ketika pembedahan akan dimulai.
Pemberian antibiotik
profilaksis secara intramuskular jarang dilakukan dibandingkan intravena.
Pemberiannya biasanya dilakukan beberapa saat sebelum operasi
karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level konsentrasi antibiotik
yang efektif pada jaringan cukup lama (ASF, 2003; SIGN,2014). Cara pemberian
antibiotik bedah profilaksis agar efektif adalah dosis
pertama antibiotik profilaksis harus sedekat mungkin dengan waktu operasi.Pada
luka yang bersih, apabila operasinya kurang dari dua jam,cukup satu
dosis.Namun, jika luka bersih terkontaminasi, satu atau dua dosissebelum dan
setelah operasi.Dan pada luka yang terkontaminasi, antibiotikdiberi selama dua
atau tiga hari dan diberikan melalui intravena dosis tinggi (Tjay, 2007).
Oral dan rektal juga harus
diberikan lebih awal untuk memastikan kadar efektif pada jaringan telah tercapi
pada saat pembedahan. Metronidazol suppositoria banyak digunakan pada
pembedahan usus besar dan harus diberikan 2-4 jam sebelum tindakan operasi
dilakukan.Antibiotik topikal tidak direkomendasikan kecuali untuk bedah mata
atau akibat luka bakar.(ASF, 2003; SIGN, 2014).Waktu pemberian antibiotik untuk
mencapai konsentrasi aktif dalamjaringan sangat bergantung pada profil
farmakokinetik dan rute administrasinya.Antibiotik profilaksis yang diberikan
terlalu cepat atau terlalu lambat dapat menurunkan efek dari dari antibiotik
tersebut dan mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya ILO.
\Waktu pemberian antibiotik
profilaksis diberikan =30 menit sebelum insisi kulit. Dosispemberian untuk
menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan
baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan
target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2
kali lipat kadar terapi. (SIGN, 2014).Beberapa literatur menyebutkan sebaiknya
pemberian profilaksis.secara intravena dilakukan < 30 menit sebelum tindakan
operasi dilakukan untuk semua kategori operasi kecuali operasi sesar.National
SurgicalInfection Prevention Project melaporkan tingkat kepatuhan antibiotik
profilaksis dalam kurun waktu 1 jam sebelum insisi adalah 55,7% (Bratzler, 2013).
2.7 Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent) (Kemenkes
RI,2011)
(1) Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan
spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan durasi
pemberian yang tepat.
(2) Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotik policy)
ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan
antibiotik lini pertama.
(3) Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas
(restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik
tertentu (reserved antibiotiks).
(4) Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik
tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit
yang dapat sembuh sendiri (self -limited).
Pemilihan jenis antibiotik
harus berdasar pada :
(1)
Informasi
tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap
antibiotik.
(2)
Hasil
pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
(3)
Profil
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
(4)
Melakukan
deeskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologidan keadaan klinis pasien
serta ketersediaan obat.
(5)
Cost
effective: obat dipilih atas dasar
yang paling cost effective danaman.
Penerapan penggunaan
antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:
(1)
Meningkatkan
pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.
(2)
Meningkatkan
ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium
hematologi, imunologi, danmikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan
dengan penyakitinfeksi.
(3)
Menjamin
ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.
(4)
Mengembangkan
sistem penanganan penyakit infeksi secara tim(teamwork).
(5)
Membentuk
tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat
multidisiplin.
(6)
Memantau
penggunaan antibiotik secara intensif danberkesinambungan.
(7)
Menetapkan
kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secaralebih rinci ditingkat
nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanankesehatan lainnya dan masyarakat.
3.
Resistensi
Antibiotik
3.1 Resistensi
Resistensi adalah kemampuan
bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik.WHO
mendefinisikan resisten siantimikroba sebagai resistensi mikroorganisme
terhadap obat antimikroba yang pernah mampu mengobati infeksi oleh
mikroorganis meter sebut. Seseorang tidak dapat menjadi resisten terhadap
antibiotik. Resistensi terjadi pada mikroba, bukan pada orang atau organisme
lainyang terinfeksi oleh mikroba (WHO, 2009).
Resistensi patogen mikroba
terhadap antibiotik meningkat diseluruh dunia sangat pesat, sejalan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi yang
disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik.Setidaknya 2 juta
orang terinfeksi bakteri resisten antibiotik setiap tahun di AS saja, dan
setidaknya 23.000 orang meninggal sebagai akibat langsung dari infeksi ini. Di
Uni Eropa, diperkirakan 400.000 pasien dengan resisten strain bakteri setiap
tahun, dimana 25.000 pasien meninggal. Akibatnya, WHO telah memperingatkan
bahwa jangkauan terapeutik tidak mencukupi dalam waktu 10 tahun, menempatkan
dunia berisiko memasuki era "pasca antibiotik", di mana antibiotik
tidak akan lagi efektif melawan penyakit infeksi (WHO, 2009; CDC, 2014).
Bakteri dapat bersifat resisten
pada obat secara intrinsik (misalnyabakteri anaerob resisten terhadap
aminoglikosida) atau mendapatkan resistensi melalui mutasi terhadap gen
tertentu atau membentuk gen baru. Mekanisme utama resitensi yang dilakukan
bakteri yaitu inaktivasi obat, mempengaruhi atau overproduksi target
antibiotik, akuisisi target baru yang tidak sensitif obat, menurunkan
permeabilitas obat dan efluks aktifterhadap obat (Kasper, 2005:34) hal ini
dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu :
(a) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
(b) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
(c) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel
bakteri.
(d) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan
sifat dinding sel bakteri.
(e) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera di keluarkan
dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel.
Satuan resistensi dinyatakan
dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL)
yang mampumenghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai
KHMmenggambarkan tahap awal menuju resisten. Enzim perusak antibiotik khusus
terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada Tahun 1945dengan nama
penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang
mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa jugaditemukan pada pasien
terinfeksi Escherichia Coli yang mendapat terapiampisilin. Resistensi
terhadap golongan beta-laktam antara lain terjadikarena perubahan atau mutasi
gen penyandi protein (Penicillin BindingProtein, PBP). Ikatan obat
golongan beta-laktam pada PBP akanmenghambat sintesis dinding sel bakteri
sehingga sel mengalami lisis (Kemenkes, 2011).
Infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang resistenterhadap antimikroba di rumah sakit dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Resistensi
muncul bahkan pada agen antimikroba yang lebih baru dan lebih poten seperti
karbapenem.Seleksi dan penyebaran mikroorganisme yang resisten terhadap
antimikroba difasilitasi oleh penggunaan obat yang tidak rasional, dan
pengobatan sendiri yaitu penyalahgunaan obat antibioti. Resistensi antimikroba
sangat terkait dengan penggunaan antimikroba yang tidak tepat. Diperkirakan 50%
atau lebih penggunaan antimikroba di rumah sakit tidak tepat. Diperlukan kebutuhan
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang resistensi antimikroba di
kalangan petugas kesehatan profesional (Desai, 2016). Multiple Drug Resistance (MDR), resistensi beberapa obat
ataumultiresistensi adalah resistensi antimikroba yang ditunjukkan oleh spesies
mikroorganisme terhadap beberapa antimikroba. Jenis yang paling mengancam
bagi kesehatan masyarakat adalah bakteri MDR yang melawan banyak antibiotik;
termasuk virus MDR, jamur, dan parasite (resisten terhadap banyak antijamur,
antiviral, dan antiparasit dari berbagai jenis bahan kimia).Mengetahui tingkat
MDR yang berbeda, istilah yang resistan terhadap obat
secara Ekstensif Drug Resistant (XDR) dan Pandrugresistant (PDR),
istilah tersebut telah diperkenalkan pada tahun 2011.(Singhal, 2017).
(c) Konsep Antivirus.
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang
menginfeksi sel organisme biologis. Kata virus berasal dari bahasa latin yaitu
venom yang berarti racun. Virus juga merupakan mikroorganisme yang bersifat
parasit dengan menginfeksi atau memanfaatkan sel organisme biologis makhluk
hidup lainnya seperti manusia, hewan, tanaman sebagai inangnya. Virus tumbuh
dan berkembang biak di sel organisme biologis makhluk hidup lain karena virus
hanya terdiri dari selubung protein yang terbentuk dari DNA atau RNA saja dan
tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi.
Anti virus adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan
menekan kemampuan untuk replikasi, menghambat kemampuan untuk menggandakan dan
memperbanyak diri.
3.2 Siklus Hidup Virus.
Virus hanya dapat berkembang biak pada sel-sel yang
hidup. Untuk reproduksi, virus hanya memerlukan asam nukleat. Di dalam proses
reproduksi, virus memerlukan lingkungan sel hidup sehingga virus memerlukan
organisme lain sebagai inangnya.Siklus hidup virus memiliki 2 jenis siklus,
yaitu siklus litik dan siklus lisogenik.
(a) Siklus litik
Siklus
litik adalah replikasi virus yang disertai dengan matinya sel inang setelah
terbentuk anakan virus yang baru. Siklus litik virus yang telah berhasil
diteliti oleh para ilmuwan adalah siklus litik virus T (Bacteriophage), yaitu
virus yang menyerang bakteri Escherichia coli (bakteri yang
terdapat di dalam colon atau usus besar manusia).
Siklus
litik terdiri atas 5 fase, yaitu:
(b) Fase
adsorbsi
Fase
adsorbsi merupakan fase awal dimana ujung ekor Bakteriofag menempel atau
melekat pada bagian tertentu dari dinding sel bakteri yang masih dalam keadaan
normal. Daerah itu disebut daerah reseptor (receptor site atau receptor spot).
Virus yang menempel kemudian mengeluarkan enzim lisosim/lisozim yang berfungsi
merusak atau melubangi dinding sel bakteri.
(c) Fase
penetrasi
Fase
penetrasi, ujung ekor virus T dan dinding sel bakteri E. coli yang telah
menyatu tersebut larut hingga terbentuk saluran dari tubuh virus T dengan
sitoplasma sel bakteri. Melalui saluran ini DNA virus masuk ke dalam sitoplasma
bakteri.
(d) Fase
replikasi
Pada
fase ini, DNA virus mengambil alih sintesis protein di dalam bakteri. Terjadi
replikasi DNA virus sehingga virus jumlahnya bertambah banyak karena terjadinya
sintesis protein.
(e) Fase
perakitan
Fase
perakitan pada siklus litik merupakan fase dimana bagian-bagian protein dan DNA
yang terbentuk dari proses sintesis protein dan replikasi DNA terjadi sehingga
dihasilkan virus-virus baru yang seutuhnya.
(f) Fase
lisis
Fase
lisis merupakan fase rusaknya sel bakteri karena aktifitas enzimatis dari virus
T serta jumlah virus T yang sudah tidak muat ditampung oleh sel bakteri
tersebut sehingga dinding sel bakteri menjadi pecah. Selanjutnya sejumlah virus
T yang baru tersebut akan keluar dan siap untuk menyerang sel bakteri lainnya.
3.3 Siklus
Lisogenik
Siklus
lisogenik hampir mirip dengan siklus litik. Perbedaannya adalah ketika
sudah mencapai fase penetrasi, DNA virus tidak mengalami replikasi dan sintesis
protein melainkan bergabung dengan DNA bakteri sehingga antara DNA virus dan
DNA bakteri menjadi satu. Ketika DNA virus sudah bergabung dengan DNA bakteri,
maka yang terjadi adalah ketika bakteri melakukan pembelahan diri, secara
otomatis DNA virus juga akan ikut
mengganda.
Saat
kondisi menguntungkan bagi DNA virus
maka siklus lisogenik dapat masuk ke dalam siklus litik lagi yang ditandai
dengan fase replikasi dan sintesis protein dari virus tersebut.
|
Gambar 1 Siklus litik
dan lisogenik |
4.
ANTINONRETRO VIRUS
4.1 Antivirus
Untuk Influenza
Jenis
virus influenza diklasifikasikan oleh protein inti mereka (yaitu, A, B, atau
C), spesies asal (misalnya, unggas, babi), dan lokasi geografis isolasi.
Influenza A, satu-satunya strain yang menyebabkan pandemi, diklasifikasikan
menjadi 16 H (hemagglutinin) dan 9 N (neuraminidase) subtipe yang diketahui
berdasarkan protein permukaan. Meskipun virus influenza B biasanya hanya
menginfeksi orang, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai inang hewan.
Subtipe influenza A saat ini yang beredar di antara populasi di seluruh dunia
termasuk H1N1, H1N2, dan H3N2. 15 subtipe diketahui
menginfeksi burung, menyediakan reservoir yang luas. Meskipun subtipe avian
influenza biasanya sangat spesifik untuk spesies, mereka pada kesempatan langka
melintasi penghalang spesies untuk menginfeksi manusia dan kucing. Virus dari
subtipe H5 dan H7 (misalnya, H5N1, H7N7, dan H7N3) dapat dengan cepat bermutasi
dalam kawanan unggas dari bentuk patogen rendah hingga tinggi dan baru-baru ini
memperluas jangkauan inang mereka untuk menyebabkan penyakit unggas dan
manusia.
Yang
menjadi perhatian khusus adalah virus H5N1 unggas, yang pertama kali
menyebabkan infeksi manusia (termasuk penyakit parah dan kematian) pada tahun
1997 dan telah menjadi endemik pada unggas Asia Tenggara sejak 2003. Hingga
saat ini, penyebaran virus H5N1 dari orang ke orang telah langka, terbatas, dan
tidak aman. Namun, munculnya virus influenza H1N1 2009 (sebelumnya disebut
"flu babi") pada 2009-2010 menyebabkan pandemi influenza pertama
(yaitu, wabah global penyakit yang disebabkan oleh virus flu baru) dalam lebih
dari 40 tahun. Meskipun obat antiviral tersedia untuk influenza memiliki
aktivitas melawan influenza
A,
banyak atau sebagian besar strain virus H5N1 yang beredar, serta strain H1 dan
H3 yang menyebabkan influenza musiman di Amerika Serikat, resisten terhadap
amantadine dan rimantadine. Resistensi terhadap oseltamivir juga meningkat
secara dramatis.
Pengobatan
untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A
& B, virus sinsitial pernapasan (RSV).
A.
Amantadin dan Rimantadin
(1)
Mekanisme kerja :
Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein
M2 virus, suatu kanal ion transmembran
yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu
masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi
ikatan protein serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks
kanal ion M2 mengatur pH kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.
(2)
Resistensi
Influenza
A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah
klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka
terjadinya resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam
amino dari matriks protein M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.
(3)
Indikasi
Pencegahan
dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk
terapi penyakit Parkinson.
(4)
Farmakokinetik :
Kedua
obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah
menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah
yang sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine
dan dapat menumpuk sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin
dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh
ginjal.
(5)
Dosis :
Amantadin
dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral.
Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ).
Rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ).
Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun
rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10
ml/menit.
(6)
Efek samping :
Efek
samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang
nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak
banyak melintasi sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin
meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin dan obat
antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut. Efek
samping yang lebih serius (misalnya, perubahan perilaku yang ditandai,
delirium, halusinasi, agitasi, dan kejang) mungkin disebabkan oleh perubahan
neurotransmisi dopamine; kurang sering dengan
rimantadine dibandingkan dengan amantadine; berhubungan dengan konsentrasi
plasma tinggi; dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan insufisiensi
ginjal, gangguan kejang, atau usia lanjut; dan dapat meningkat bersamaan dengan
antihistamin, obat antikolinergik, hidroklorotiazid, dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Manifestasi klinis dari aktivitas antikolinergik
cenderung hadir dalam overdosis amantadine akut. Kedua agen teratogenik dan
embriotoksik pada hewan pengerat, dan cacat lahir telah dilaporkan setelah
paparan selama kehamilan.
B.
Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )
Merupakan
obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan
B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam
N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan disain
struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Inhibitor
neuraminidase oseltamivir dan zanamivir, analog dari asam sialic, mengganggu
pelepasan virus influenza progeni dari sel inang yang terinfeksi, sehingga menghentikan
penyebaran infeksi di dalam saluran pernapasan. Agen ini secara kompetitif dan
reversibel berinteraksi dengan situs enzim aktif untuk menghambat aktivitas
neuraminidase virus pada konsentrasi nanomolar rendah. Penghambatan hasil
neuraminidase virus dalam penggumpalan virion influenza yang baru dirilis satu
sama lain dan ke membran sel yang terinfeksi. Tidak seperti amantadine dan
rimantadine, oseltamivir dan zanamivir memiliki aktivitas melawan virus
influenza A dan influenza B. Administrasi dini sangat penting karena replikasi
puncak virus influenza pada 24-72 jam setelah timbulnya penyakit di seluruh
dunia,
(1) Mekanisme kerja
Asam
N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus
berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel
adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah
terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari
sel yang terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi.
Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan
menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.
(2) Resistensi
Disebabkan
adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim neuraminidase.
Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin
sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus
pada sel yang terinfeksi.
(3) Indikasi
Terapi
dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.
(4) Dosis
:
Zanamivir
diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari (2 x 5 mg, setiap 12 jam
)selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2
x 75 mg kapsul, setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir
/oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset
gejala.
(5) Efek
samping :
Terapi
zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan
batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien.
Terapi oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala. Efek
samping yang potensial termasuk mual, muntah, dan nyeri perut, yang terjadi
pada 5-10% pasien di awal terapi tetapi cenderung menghilang secara spontan.
5. ANTIRETRO VIRUS
5.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NRTI)
Reverse
transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung
dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal
replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel
yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.
Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh
enzim sel hospes di sitoplasma. Karena NRTI tidak memiliki gugus 3’-hidroksil,
inkorporasi NRTI ke DNA akan menghentikan perpanjangan rantai.
A. Zidovudin
(1)
Mekanisme Kerja: Target zidovudin adalah
enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin bekerja dengan cara menghambat
enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada
zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan bergabung pada
ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.
(2) Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
(3) Dosis:
Per oral 600mg / hari.
(4) Efek
Samping: Anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.
B. Didanosin
(1) Mekanisme
Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
(2) Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
(3) Dosis:
Peroral 400 mg / hari dalam dosis tunggal atau terbagi.
(4) Efek
Samping: Diare, pankreatitis, neuropati perifer.
5.2
Nucleotide
reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tidak
seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Diharapkan
dengan berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan
konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna. Tenofovir
(1) Mekanisme
Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
(2) Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
(3) Dosis:
Peroral sekali sehari 300mg.
(4) Efek
Samping: Mual, muntah, flatulens, diare.
5.3
Non-
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Non-
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang
menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan ditempat
yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada
situs aktif ini. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami
fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif.
A. Nevirapin
(1) Mekanisme
Kerja: Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.
(2) Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada RT.
(3) Indikasi: Infeksi
HIV-1
(4) Dosis:
Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200 mg per hari ),
kemudian 400 mg / hari ( 2 x 200 mg tablet ).
(5) Efek
Samping: Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim
hati.
B. Efavirenz
(1) Mekanisme
Kerja: Sama dengan nevirapin.
(2) Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada RT.
(3) Indikasi: Infeksi
HIV-1
(4) Dosis:
Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk
mengurangi efek samping SSP nya.
(5) Efek
Samping: Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam.
5.4
Protease
Inhibitor (PI)
Semua
PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV –
protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan
poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida
prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat maturasi virus,
maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.
A. Sakuinavir
(1) Mekanisme
Kerja: Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease
peptidomimetic inhibitor.
(2) Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada enzim protease.
(3) Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
(4) Dosis: Per
oral 3600 mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800 mg /
hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau
sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap.
(5) Efek
Samping: Diare, mual, nyeri abdomen.
B. Ritonavir
(1) Mekanisme
Kerja: Sama dengan sakuinavir.
(2) Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
(3) Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
(4) Dosis:
Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan).
(5) Efek
Samping: Mual, muntah, diare.
5.5
Viral Entry Inhibitor
Obat
golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat masukkan HIV ke sel melalui reseptor CXCR4.
A. Enfuvirtid
(1) Mekanisme
Kerja: Enfuvirtid menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat
fusi virus ke membran sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR-1 ( first
heptad-reat)pada sub unit gp41 envelope glikoprotein virus serta menghambat
terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.
(2) Resistensi: Perubahan genotif pada
gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid, tidak ada
resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.
(3) Indikasi: Terapi
infeksi HIV-1
(4) Dosis: Enfurtid 90 mg (1ml) 2
kali sehari diinjeksikan subkutan di lengan atas, bagian paha anterior atau di abdomen.
(5) Efek
Samping: Adanya reaksi lokal seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan
nodul atau kista.
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan.
3.1 ANTIBIOTIK
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
(1) Obat antibiotik golongan Beta Laktam (ß-Laktam) yaitu antibiotik.
Amoksisilin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan
kategori tingkat resistensi intermediet.
(2) Obat antibiotik golongan Fluorokuinolon yaitu antibiotik
Siprofloksasin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan kategori tingkat resistensi
sensitif.
(3) Obat antibiotik Siprofloksasin lebih sensitif dan lebih efektif
dibandingkan obat antibiotik Amoksisilin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus.
3.2 Saran
Dari hasil penelitian ini,
maka peneliti memberikan saran bahwa :
(1) Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut terhadap obat antibiotik Amoksisilin dan antibiotk Siprofloksasin
terhadap bakteri lain penyebab infeksi.
(2) Perlu dilakukan penambahan pada penelitian lebih lanjut terhadap
jumlah sampel pasien biakan infeksi Staphylococcus aureus untuk
mendapatkan kesamaan hasil rata-rata uji resistensi terhadap sampel yang
berbeda.
(3) Diharapkan kepada praktisi kesehatan agar dapat memilih antibiotik
yang efektif dalam mengobati penyakit infeksi gigi dan mulut yang disebabkan
oleh bakteriStaphylococcus aureus
(4) Diharapkan kepada praktisi kesehatan untuk memilih dan memakai antibiotik
secara rasional untuk mencegah perkembangan resistensi bakteri.
(5) Diharapkan kepada masyarakat agar lebih menyadari dalam memlih keefektivitas
dan potensi bahaya pengonsumsian antibiotik spektrum luas
(6) Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan
pembanding bagi peneliti lain yang akan
meneliti uji resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Ceylan,
Okmen and Ugur, 2008, Isolaton of Soil Streptomyces as Source Antibiotiks
active Agains Resistant
Bacteria, Journal Biosci, 2 (73), 73–82.
Choma,
I., 2005, The use of thin-layer chromatography with direct bioautography for
antimicrobial analysis, LGCG Europe, 18 (9), 1–7.
Chowdhury,
M., Moniruzzaman, N., Nahar and N., Choudhhury, 1991, Production o
Cellulases
and Saccharification of Lignocellulolitic by Micromonospora, Journal
Microbiology and Biotechnology Springer, 7 (6), 1-8.
Devi,
T. R. and Chhetry, G., 2012, Rhizosphere and non Rhizosphere Microbial
Population
Dynamics
and Their Effect on Wilt Causing Pathogen of Pigeonpea, International Journal
of Scientific and Research Publications, 2 (5), 1–4.
Gupta
S. K., Sharma, A., and Bengal W., 2015, Dynamic properties of Escherichia coli,
World Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences, 4 (07), 296–307.
Jawetz,
Melnick, and Adelberg’ s, 2005, Mikrobiologi Kedokteran M, R, ed., Jakarta,
Salemba Medika. 29
Kanti,
2005, Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas,
Jambi, In Jambi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), 85–89.
Kelecom
and Alphonse, 2002, Secondary metabolites from marine microorganisms, Analis
Academic Bras science, 1 (74), 151–170.
Lee,
J., Y., and Hwang, B., K., 2002, Diversity of Antifungal Actinomycetes in Various
Vegetative Soils of Korea, Canadian Journal of Microbiology, 39 , 254-264.
Nedialkova,
D., and Naidenova, M., 2004, Screening The Antimicrobial Activity Of
Actinomycetes Strain Isolated from Antartica. Journal of Culture Colection, 4,
29–35.
Nord,
Sandrine, R., Laurent, R., Anne, H., Ian Probert, Colomban, D., Bach, S., and
Chris, B., 2004, Marine Bioprospecting - Searching for Interesting and Unque
Genes,
Biomolecules
and Organisms in the Marine Environment. Journal Bioprospecting, 2 (1), 1-7.
Nurkanto,
A., Listyaningsih, F., Julistiono., & Agusta, A., 2008, Eksplorasi
Keanekaragaman Aktinomycetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik, Jurnal
Biologi Indonesia, 6 (3), 325-339.
No comments:
Post a Comment