BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Seiring
dengan kemajuan zaman yang semakin melesat dan arus globalisasi yang sudah
merasuk ke segala penjuru dunia bahkan sudah sampai ke desa-desa. Hal itu
ditandai dengan menjamurnya alat teknologi dan gaya yang dibawa oleh
pengaruhnya. Ada semacam peralihan sikap dan moral dalam kehidupan masyarakat.
Begitu juga dalam hal muamalah yang disebabkan oleh kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas memunculkan masalah-masalah
baru yang harus diketahui hukumnya menurut ajaran Islam.
kajian
fiqih muamalah dewasa ini sudah mengalami perkembangan. Masalah tersebut belum
dikenal pada masa mujtahid-mujtahid fiqih, sehingga hukumnya juga belum
diketahui. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian yang mendalam terhadap
masalah tersebut. Salah satu masalah yang baru tersebut adalah masalah
asuransi.
Masalah
asuransi ini banyak sekali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian para ulama berpendapat ada yang membolehkan, membolehkan sebagian dan
mengharamkan praktek yang lain, syubhat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
asuransi itu haram dalam segala bentuknya. Hal itu membuat umat dihadapkan
dalam keadaan yang bimbang. Indonesia merupakan masyarakat mayoritas Islam.
Mereka semua membutuhkan kepastian hukum asuransi menurut Islam.
Asuransi
juga terbagi dalam dua kategori. Ada asuransi kovensional dan ada juga asuransi
syari’ah. Keduanya mempunyai asal usul dan sistem yang berbeda. Mana diantara
keduanya yang harus dipilih oleh umat supaya mereka tidak terjebak dan
terhindar dari kesalahfahaman pendapat. Mereka menginginkan hidup bermuamalah
susuai ajaran Islam.
- Masalah Pokok
Berdasarkan pada uraian di atas maka masalah pokok yang
dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana hukum asuransi menurut Islam?
Sebagai mahasiswa itu merupakan tugas kita semua sebagai generasi bangsa dan
calon pemimpin umat. Sedangkan masalah yang lainnya adalah bagaimana perbedaan
antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah? Kedua masalah tersebut
menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.
- Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1) Mengkaji
masalah sebagai bahan kajian untuk dipikirkan oleh kita sebagai calon
cendekiawan;
2) Bahan
renungan untuk dikaji lebih dalam dan dicarikan solusi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah tersebut;
3) Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih.
D. Sumber
Utama dalam Penulisan
Sumber utama penulisan makalah ini adalah buku-buku yang
membahas masalah asuransi. Selain dari buku-buku masalah asuransi ada juga buku
yang lain sebagai penunjang dan lebih mengarahkan kearah sana. Media internet
juga menjadi sarana yang membantu untuk mengetahui lebih jauh lagi. Semua yang
memuat masalah asuransi kami mencoba untuk mencarinya sebagai pembanding.
- Pendekatan dan Metode Penulisan
1) Pencarian
data metode yang digunakan adalah meode perpustakaan. Buku yang memuat masalah
asuransi dikumpulkan untuk masuk ke tahap selanjutnya.
2) Analisis
data, data yang terkumpul dianalisi mana yang sesuai mana yang tidak.
3) Pengungkapan
data, data yang telah selesai dianalisis diketik untuk selanjutnya dibuat dalam
bentuk makalah.
BAB II
ASURANSI
A.
Pengertian Asuransi
Menurut
pasal 246 Welboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa yang
dimaksud dengan auransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam
berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (nasabah)
sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena
akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]
Dalam
Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan
yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang
tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat
perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kerusakan dan sebagainya ataupun
mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya dengan yang
tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap
bulan.[2]
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa asuransi memiliki tiga unsur, yaitu (1)
pihak tertanggung yang membayar uang premi kepada pihak penanggung, (2) pihak
penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak yang
tertanggung, dan (3) suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan
pengertian asuransi sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian asuransi
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Perjanjian
asuransi atau pertanggungan pada dasarnya adalah suatu perjanjian kerugian.
Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak
tertanggung menderita kerugian.
b. Perjanjian
asuransi atau pertanggungan adalah pertanggungan bersyarat. Kewajiban mengganti
rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu
atas nama diadakan pertanggungan itu terjadi.
c. Perjanjian
asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi
yang diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.
d. Kerugian
yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas
mana diadakan pertangungan.[3]
B.
Macam-macam Asuransi
Asuransi
yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi
karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini macam-macam asuransi itu.
a.
Asuransi Timbal Balik
Maksud
dengan asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu
yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari
mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah
habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah
selanjutnya.
b.
Asuransi Dagang
Asuransi
dagang ialah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan
pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang
anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam
perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma
(iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman
semasyarakat.
c.
Asuransi Pemerintah
Asuransi
pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang
menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang
ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada
harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu
kerugian itu terjadi.
d.
Asuransi atas Bahaya yang Menimpa
Badan
Adalah
asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas
kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga,
asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini
banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam
kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.[4]
e.
Asuransi Jiwa
Asuransi
jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian
finansial yang tidak terduga yang disebabkan seseorang meninggal terlalu cepat
atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa
ini, yaitu menjamin biaya hidup anak atau keluarga yang ditinggalkan bila
pemegang polis meninggal dunia atau untuk memenuhi keperluan hidupnya dan
keluarganya, bila ditakdirkan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir.
f. Asuransi Kebakaran
Asuransi
kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran.
Dalam hal ini pihak perusahaan asuransi menjamin risiko yang terjadi karena
kebakaran. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara
pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan asuransi. [5]
C.
Pendapat Ulama tentang Asuransi
Masalah
asuransi dalam pandangan islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya
perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah
secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, imam
Syafi’i, imam Ahmad dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa
mengenai asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi
baru dikenal di dunia timur pada abad XIX M. Dunia barat sudah mengenal system
asuransi sejak abad XIV M, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada
sekitar abad II s.d. IX M.
Di
kalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum
asuransi, yaitua:
a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya
seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid
Sabiq yang diungkap dalam kitabnya fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Yusuf
al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya antara lain:
· Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;
· Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;
· Mengandung unsur riba;
· Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis
tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang
premi yang telah dibayarkan;
· Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis
diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);
· Asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau
tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;
· Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis yang
berarti mendahului takdir Tuhan.
b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini.
Pendapat
ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf
Musa dan alasan-alasan yang dikemukakannya sebagai berikut:
·
Tidak ada nash al-Qur’an maupun
hadis yang melarang asuransi
·
Kedua pihak yang berjanji dengan
penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggungjawab
masing-masing;
·
Asuransi tidak merugikan salah satu
atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;
·
Asuransi mengandung kepentingan
umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali
untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk
pembangunan;
·
Asuransi termasuk akad mudharabah,
maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis
(pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar
bagi hasil;
·
Asuransi termasuk syirkah
ta’awuniyah;
·
Dianalogikan atau diqiyaskan dengan
sistem pensiun, seperti taspen;
·
Operasi asuransi dilakukan untuk
kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
·
Asuransi menjaga banyak manusia dari
kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan
asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat
ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk
membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua,
sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis
besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.
d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada
dali-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas
menghalalkannya. Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya
adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi . umat
Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila
dalam keadaan darurat.[6]
Bahkan menurut
Yusuf al-Qardhawi sendiri bahwa dalam bentuk asuransi jiwa jauh sekali dari
watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya
asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah
pihak saling mengetahui, namun kemanfaatannya itu tidak berbobot. Kerelaan
dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan
tersebut karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan
tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh
satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan
adalah pokok.
Yusuf
al-Qardhawi memberikan alternatif asuransi, yaitu dengan kemungkinan terbukanya
asuransi digolongkan sebagai yayasan dana bantuan dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Setiap anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang
telah ditentukan, harus disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah.
Kemudian dari uang terkumpul diambil sejumlah uang guna membantu orang yang
sangat memerlukan.
2. Bila uang itu diputar harus dijalankan menurut aturan
syara’.
3. Tidak dibenarkan orang menyetorkan sejumlah kecil uang
dengan harapan mendapatkan imbalan yang berlipat apabila terkena musibah. Akan
tetapi, ia diberi uang jariyah sebagai ganti atas kerugian itu atau sebagiannya
menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.
D.
Perbedaan Asuransi Syari’ah dan
Konvensional
no
|
Prinsip
|
Asuransi
Konvensional
|
Asuransi
Syariah
|
1.
|
Konsep
|
Perjanjian
antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. |
Sekumpulan
orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. |
2.
|
Asal
Usul
|
Dari
masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional. |
Dari
Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan
oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah. |
3.
|
Sumber
Hukum
|
Bersumber
dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya. |
Bersumber
dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah. |
4.
|
“Maghrib”
(Maysir, Gharar, dan Riba’)
|
Tidak
sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah. |
Bersih
dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’. |
5.
|
DPS
(Dewan Pengawas Syariah)
|
Tidak
ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah. |
Ada,
yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah |
Ada tujuh
perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
Perbedaan tersebut adalah:
- Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
- Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
- Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
- Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
- Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
- Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
- Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum daripada asuransi ialah
masih dalam perbincangan para ulama, karena permasalahan halal haram asuransi
sebelumnya tidak ada dalil ayat ataupun hadis yang menyebutkannya secara
detail. Namun, walaupun demikian kita bisa melihat beberapa hasil ijtihad
pendapat ulama yang menurut akal atau logika mendekati kebenaran, misalnya,
seperti pendapat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa “asuransi
dibolehkan/halalkan apabila bersifat sosial dan dilarang/haramkan apabila
pelaksanaannya bersifat komersial”. Hal ini dikarenakan bahwa jika asuransi
dilaksanakan secara sosial maka tidak pihak yang merasa dirugikan melainkan
saling menguntungkan antara lain sebagai salah satu tempat untuk berinvestasi. Sedangkan,
jika asuransi dilaksanakan secara komersial maka banyak pihak yang akan
dirugikan dan hal ini dapat dikategorikan ke dalam perjudian yang dapat
merugikan sebelah pihak.
Dan
juga kita sebagai umat islam yang berpegang teguh dan patuh terhadap al-Qur’an,
Hadis dan juga para pemimpin (ulama) yang taat kepada Allah SWT. Maka
sepantasnyalah kita menghargai dan mengikuti pendapat Ulama agar supaya kita
tidak terombang-ambing oleh pendapat-pendapat selain mereka yang dapat
menjerumuskan kita kearah yang tidak benar (sesat). Dan disamping itu, kita
sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran, dengan akal tersebut kita
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka hendaklah kita selalu
menggunakannya dalam setiap kali menghadapi masalah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Projodikoro,
Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.
2. Hasan,
M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
3. Aibak,
Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.
4. Hendi,
Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
5. Ajat,
Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam
Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.
6. Program
internet. www. Halal dan haram asuransi. Com.
7. Program
internet. www. Perbedaan asuransi syari’ah dan asuransi konvensional. Com.
No comments:
Post a Comment