DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................
i
DAFTAR ISI.........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. Latar
Belakang Masalah..............................................................................
1
B. Rumusan
Masalah.......................................................................................
2
C. Tujuan
Penelitian.........................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
3
A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang...............................................
3
B. Sejarah
Tindak Pidana Pencucian Uang......................................................
3
1. Jenis
Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang........................................
4
2. Praktik
Pencucian uang di Indonesia....................................................
5
3. Tahap-Tahap
dan Proses Pencucian Uang.............................................
7
C. Faktor
Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang.................. 8
D. Penanggulangan
TPPU................................................................................
10
BAB III PENUTUP..............................................................................................
12
A. Kesimpulan..................................................................................................
12
B. Saran............................................................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Tindak Pidana Pencucian Uang
Membahas
mengenai tindak pidana pencucian uang tentu tidak mungkin tanpa memahami
filosofis, dan untuk tujuan apa ketentuan anti pencucian uang itu dilahirkan.
Munculnya rezim pencucian uang bukan lahir dari semangat satu negara saja,
tetapi muncul atas prakarsa berbagai negara melalui lahirnya suatu konvensi
internasioanal. Agar kita bisa memahami terutama untuk kepentingan penegakan
hukum, maka penting pula dipahami sejarah pembentukan lahirnya semangat
regulasi anti pencucian uang tersebut. Pencucian uang atau money laundering
secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan
(proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya
hasil dari obat bius, korupsi, penghindaran pajak, judi, penyeludupan dan
lain-lain, yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar
dapat digunakan secara aman.
Terdapat berbagai rumusan tindak pidana
pencucian uang, selain itu dinyatakan bahwa tidak ada definisi tindak pidana
pencucian uang secara universal, artinya setiap negara boleh mendefinisikan
sendiri sesuai dengan kondisi negaranya, terutama dalam menentukann jenis
kejahatan asalnya. Indonesia baru melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan
pencucian uang pada April 2002, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010, ketentuan anti
pencucian uang direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Pola yang dilakukan para penjahat dalam
menikmati, menyamarkan, atau menyembunyikan hasil kejahatan bermacam-macam.
Dilihat dari sudut teori sampai saat ini, terdapat dua cara pencucian uang
yaitu cara moderen dan cara tradisional. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua
sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang
modern terdiri dari tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration.
Ketiga langkah itu dapat terjadi dalam waktu bersamaan. Langkah-langkah
tersebut dimaksudkan untuk menempatkan dana illegal ke dalam sistem keuangan,
dengan tujuan agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak yang berwenang.
Seperti disampaikan di atas bahwa tindak
pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis
kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan
tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes).
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 UU TPPU yang menyebutkan 25
jenis kejahatan dan juga seluruh kejahatan yang diancam pidana 4 tahun ke atas.
Dari sudut teori, 25 kejahatan tersebut dikenal dengan istilah predicate crime
atau kejahatan asal, maka dari itu tidak mungkin ada tindak pidana pencucian
uang kalau tidak didahului terjadinya tindak pidana asal, sehingga ada sebagian
yang beranggapan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik berdiri
sendiri, tetapi ada pula sebagian yang branggapan bahwa tindak pidana pencucian
uang merupakan delik lanjutan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu tindak pidana pencucian uang?
2.
Apa saja yang menjadi faktof pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang?
3.
Bagaimana cara menanggulangi tindak pidana pencucian uang?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui apa itu tindak pidana pencucian uang
2. Untuk
mengetahui faktor terjadinya tindak pidana pencucian uang
3. Untuk
mengetahui nagaimana penanggulangan tindak pidana pencucian uang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu peroses atau
perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang
atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana, yang kemudian
diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering.
Istilah money laudering memang tidak ada definisi yang universal karena baik
negara-negara maju maupun negara- negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai
definisi sendiri berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda. Namun para
ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan
pencucian uang.
Definisi tindak pidana pencucian uang dalam rumusan peraturan-peraturan
di berbagai negara tidak sama persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu
sama, yaitu bahwa tindakpidana pencucian uang adalah suatu perbutan terkait
dengan menikmati atau mempergunakan hasil kejahatan (who ever enjoy his fruit
of crime). Jadi yang paling penting adalah, ada hasil kejahatan dan ada
perbuatan yang menikmati atau menggunakan hasil kejahatan tersebut (money
laundering offence). Perlu juga
ditekankan di sini bahwa hasil kejahatan tidak harus uang, yang namanya hasil
kejahatan bisa berbentuk apa saja, sepanjang ada nilai ekonomis dan oleh
karenanya dalam peraturan perundangan dikatakan sebagai harta kekayaan bukan
sekedar uang. Dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal
(predicate crime), yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan
perbuatan apapun, seperti ditransfer, dibelanjakan, dihadiahkan atau
ditukarkan. Secara yuridis definisi pencucian uang dalam UU TPPU adalah suatu
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang ini.
B.
Sejarah
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pada tahun
1920-an para mafia di Amerika Serikat mengakuisisi atau memberi, usaha
Laundromats (mesin pencuci otomatis) dengan uang dalam jumlah besar. Uang yang
digunakan untuk pembelian tersebut berasal dari hasil kegiatan pemerasan,
prostitusi, perjudia, serta penjualan minuman beralkohol serta perdagangan
narkotika. Selanjutnya, usaha Laundromats dimanfaatkan untuk menyamarkan hasil
kejahatannya dengan memasukkan uang hasil kejahatan dimaksud ke dalam usaha
Laundromats. Istilah tersebut pun masih menjadi perdebatan istilah pencucian
uang (money laundering) dikenal demikian, karena dengan jelas melibatkan
tindakan penempatan uang haram atau tidak sah melalui suatu rangkaian transaksi
atau dicuci, sehingga uang tersebut keluar menjadi seolah-olah uang sah atau
bersih.
Fokus dunia barat yang cukup besar
terhadap praktik pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan, pada awalnya
muncul akibat maraknya kejahatan perdagangan gelap obat bius (drug
trafficking). Kejahatan tersebut selain memiliki dampak negatif akibat
penyalahgunaan obat bius di kalangan masyarakat, tetapi juga berimplikasi
secara luas terhadap perekonomian karena melibatkan dana yang sangat besar.
Lebih lanjut penggunaan dana dari hasil kejahatan yang sedemikian besar
tersebut, dapat mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek baik
pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial. Peredaran obat terlarang di beberapa
negara dan wilayah perbatasan internasional, telah memberikan kontribusi yang
besar terhadap internasionalisasi kejahatan. Selain menggunakan pendekatan
konvensional dengan pengejaran pelaku kejahatan, begitu besarnya hasil
kejahatan perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga memberikan perhatian
serius untuk mengejar dan merampas harta hasil kejahatan, agar pelaku tidak
dapat menikmati uang haram hasil penjualan obat-obat terlarang tersebut.
Perhatian negara-negara di dunia terhadap
kejahatan perdagangan gelap obat bius tersebut, kemudian melahirkan United
Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic
Substance, pada tahun 1988, yang dikenal dengan Vienna Convention atau Konvensi
Wina. Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug
and Psychotropic Substance merupakan titik puncak keprihatinan masyarakat atas
kejahatan perdagangan gelap obat bius, yang sekaligus menjadi tonggak sejarah
dalam menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang, untuk memerangi
hasil kejahatan (proceeds of crime). Metode baru untuk memerangi kejahatan ini
dapat dimengerti, mengingat objek yang diperangi adalan organized crime yang
memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas,
sumber pendanaan yang sangat kuat, dan memiliki jaringan kerja yang melintasi
batas negara. Namun demikian, konvensi ini masih terbatas pada peredaran
narkoba dan bahan-bahan psikotropika sebagai tindak pidana asal (predicate
crimes) sementara itu, money laundering merupakan proses yang melibatkan
proceeds of crime dari beberapa predicate offences yang lebih kompleks seperti
korupsi, penyelundupan, perdagangan manusia, tindak pidana di bidang
perpajakan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana yang digolongkan sebagai
tindak pidana berat (serious offences). Atas dasar itulah nampaknya Vienna
Convention 1988 belum cukup menjadi dasar hukum yang komprehensif, untuk
mengatasi kejahatan money laundering yang berdimensi luas.
Upaya merespon kebutuhan dalam memerangi
pencucian uang, pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan
The International Convention Againts Transnational Organized Crimes, yang
dikenal dengan Palermo Convention, yang memberikan pengaturan standar dalam
upaya mencegah dan memberantas pencucian uang. Konvensi ini memperluas
predicate crimes tindak pidana pencucian uang meliputi seluruh tindak pidana
berat (serious crime), yang diartikan dengan tindak pidana yang diancam dengan
hukuman minimal empat tahun.
1.
Jenis
Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak
pidana pencucian uang adalah kejahatan
ganda yang berarti bahwa dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari
predicate offence (kejahtan asal), dan pencucian uang itu sendiri yang justru
menempati kedudukan sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime), maka, dalam
tindak pidana ini juga dibagi dalam dua tipe pelaku, yaitu pelaku aktif dan
pasif. Pelaku aktif adalah pelaku yang melakukan perbuatan secara aktif
mengalirkan hasil kejahatan, sedangkan pelaku pasif yang mana mereka yang
menerima hasil kejahatan. Pelaku aktif adalah barangsiapa yang mengalirkan
hasil kejahatan seperti orang yang mentransfer, membelanjakan, mengirimkan,
mengubah bentuk, menukarkan atau perbuatan apapun atas harta kekayaan yang
berasal dari kejahatan, dan orang tersebut tahu atau paling tidak patut menduga
bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, hal ini sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
Berkaitan dengan tipe pelaku aktif
terbagi dalam dua kriteria, yaitu pertama yang dikenal dengan istilah principle
violater (pelaku utama). Principle violater adalah pelaku yang mana dia
melakukan kejahatan asal dan juga dia mengalirkan dana hasil kejahatan baik
dengan cara transfer, membelanjakan atau perbuatan apapun. Untuk pelaku aktif
principle violater inilah bentuk pelaku pencucian uang yang sesungguhnya, yaitu
akan dikenakan dua ketentuan undang-undang, yaitu dia melakukan kejahatan asal
(predicate offence) dan pencucian uang (follow up crime). Bagi principle
violater harus dikenakan dakwaan yang disusun secara kumulatif, atau sebagai
pelaku concrusus (perbarengan tindak pidana)
Pelaku aktif yang kedua dikenal
dengan istilah aider, yaitu perbuatan aktif seperti mentransfer, membelanjakan
dan sebagainya, tetapi pelaku ini hanya dikenakan tindak pidana pencucian uang
saja, karena memang mereka tidak terlibat kejahatan asalnya, tetapi mereka tahu
atau paling tidak patut menduga harta kekayaan yang dialirkan tersebut berasal
dari kejahatan. Pelaku aider ini hanya dikenakan satu tuntututan yaitu
ketentuan Pasal 3 atau Pasal 4 dan tidak dikenai ketentuan kejahatan
asalnya.
Tipe pelaku kejahatan tindak pidana
pencucian uang yang kedua adalah pelaku pasif. Dari kontruksi perbuatan tindak
pidana pencucian uang, yang pada intinya adalah melarang dan memberikan pidana
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tentang menikmati hasil kejahatan,
tipe pelaku pasif ini dikenal dengan istilah abettor, yaitu pelaku yang
menerima pentransferan, menerima pembayaran, menerima hadiah dan lain-lain,
yang mana dia tahu atau seharusnya patut menduga bahwa harta yang diterima
berasal dari kejahatan. Perbuatan pelaku pasif ini diatur dalam Pasal 5, dan
bagi pelaku pasif ini juga hanya dikenai satu ancaman kejahatan saja, yaitu
ketentuan tindak pidana pencucian uang tanpa kejahatan asal, karena memang
pelaku ini tidak terlibat kejahatan asal, tetapi yang bersangkutan tahu atau
setidaknya patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari
kejahatan.
2.
Praktik
Pencucian Uang Di Indonesia
Tren
kejahatan pencucian uang, saat ini terkait adanya korelasi yang sangat kuat
antara berbagai bentuk kejahatan terutama kejahatan transnasional, dan
kejahatan bermotif ekonomi dengan harta kekayaan hasil kejahatan yang
seharusnya diselesaikan secara simultan dalam proses penegakan hukum. Seiring
meningkatnya gelombang globalisasi, jumlah dan modus kejahatan bidang ekonomi
semakin meningkat pula. Pada tahun 2012, angkanya sebanyak 923 perkara, namun
meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2. 121 perkara.
Praktik pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga
keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.34
Sistem
kerahasiaan bank dan lemahnya perangkat hukum di Indonesia juga merupakan
sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Adanya pengaturan
kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk menyimpan uang hasil
kejahatannya tanpa harus takut dilacak oleh pihak yang berwenang. Selain itu
kondisi yang membuat negara ini menjadi “surga” kegiatan pencucian uang, adalah
karena Indonesia masih membutuhkan likuiditas, sehingga dunia perbankan
Indonesia masih memandang pentingnya dana-dana asing untuk masuk dan
diinvestasikan di Indonesia. Sementara ada pihak-pihak asing tertentu yang
hanya setuju untuk melakukan investasi di Indonesia jika dijamin tidak diusut
asasl-usul dananya.
Tindak pidana pencucian uang disamping
sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat
memengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara
dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Dampak dari pencucian uang adalah
sebagai berikut:
1.
Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate private
sectors)
2.
Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk).
3.
Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss revenue).
4.
Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of finacial
markets).
5. Membahayakan
upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risk of
privatization efforts).
6.
Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost).
7.
Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic distortion and
instability).
8. Mengakibatkan
hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (loos of control of
economic policy).
9. Menimbulkan
dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang telah mendistorsi data ekonomi
dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap
kebijakan ekonomi yang nantinya harus memainkan peranan dalam upaya anti money
laundering, misalnya seperti pengawasan lalu lintas devisa (exchange control),
pengawasan bank terhadap rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan
pajak (tax collection), pelaporan statistik (statistical reporting) dan
perundang- undangan (legislation).
10.
Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan terjadinya penipuan
(fraud), serta penggelapan (embezzlement).
Sebegitu besarnya dampak negatif
pencucian uang yang ditimbulkannya, berpengaruh terhadap perekonomian suatu
negara, hal itu yang membuat negara-negara di dunia dan organisasi
internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih
serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini
tidak lain karena money laundering baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi sistem ekonomi, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak
negatif bagi perekonomian itu sendiri.
3.
Tahapan-Tahapan
Dan Proses Pencucian Uang
Secara
umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu;
a)
Placement
Placement merupakan tahap pertama,
yaitu pemilik uang tersebut menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke
dalam sistem keuangan. Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil
kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari
uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang
kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke
dalam nominasi uang yang lebih besar. Lalu didepositokan ke dalam rekening
bank, dan dibelikan ke instrumen-instrumen moneter seperti cheques, money
orders dan lainlain. Bentuk kegiatan ini, antara lain:
a.
Menempatkan dana pada bank (lebih dari satu) diikuti dengan pengajuan kredit
atau pembiayaan.
b. Menyetorkan
uang pada bank atau perusahaan keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail.
c.
Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
d. Membiayai
suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha sah berupa kredit
atau pembiayaan.
e.
Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi
atau sebagai hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank
atau perusahaan keuangan lainnya.
b).
Layering
Layering adalah memisahkan hasil tindak
pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi
keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana dari beberapa
rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui
serangkaian transaksi yang kompl untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak dana
tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:
1.
Transfer dari satu bank ke bank lain dan antara wilayah atau negara.
2.
Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang
sah.
3.
Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan kegiatan
usaha yang sah maupun shell company.
c)
Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta
kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan
ke berbagai bentuk kekayaan materil atau keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali tindak pidana. Dalam
melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang
diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya
adalah untuk menyamarkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati
dan digunakan secara aman.
C.
Faktor
Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang
Seperti
telah diuraikan di awal bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan sebuah
tindakan guna menyamarkan atau menyembunyikan asalusul harta kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana, dengan tujauan seolah-olah harta tersebut
diperoleh dengan cara yang legal. Faktor pendorong terjadinya tindak pidana
pencucian uang akibat kemajuan teknologi, misalnya di bidang informasi, yaitu
dengan mudahnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa.
Dengan kemajuan teknologi informasi
tersebut, batas negara tidak berarti lagi, dunia menjadi satu kesatuan tanpa
batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan teroganisir (organized crime) yang
diselenggarakan organisasi-organisasi kejahatan menjadi mudah dilakukan
melewati lintas batas negara. Pada saat ini, organisasi-organisasi kejahatan
dapat secara mudah dan cepat memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari
satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainya. Selain kemajuan teknologi yang merupakan
faktor pendorong terjadinya tindak
pidana pencucian uang, ada beberapa faktor lain misalanya:
a).
Ketentuan Rahasia Bank yang Sangat Ketat
Berkaitan
dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reform), negara-negara Uni Eropa
misalnya Inggris melakukan pertemuan dengan Menteri keuangan, untuk menghimbau
menghapuskan ketentuan rahasia bank yang ketat tersebut. Dalam memerangi tindak
pidana pencucian uang, maka harus mempertimbangkan penghapusan ketentuan
rahasia bank.
b).
Kerahasiaan Hubungan Antara Lawyer dan Klien
Dana
simpanan di bank sering mengatasnamakan kantor pengecara, sementara hubungan
antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu lawyer
yang menyimpan dana di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh
otoritas yang berwenang untuk mengungkapakan identitas kliennya
c).
Negara-Negara Tidak Sungguh Sungguh Melakukan Kerja Sama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penyebab
masih maraknya praktik pencucian uang karena kurangnya kerja sama antar negara
dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal tersebut karena negara
yang bersangkutan memang sengaja membiarkan praktik pencucian uang berlangsung.
Karena negara tersebut mendapat keuntungan dengan ditempatkan dana haram di
lembaga keuangan di negara tersebut. Keuntungan dari dana yang terkumpul di
lembaga perbankan sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan atau dengan
dana tersebut memungkinkan perbankan memperoleh banyak keuntungan dari
penyaluran dana, lebih lanjut akan memberi kontribusi yang besar bagi
negaranya.
d).
Kemajuan Teknologi
Maraknya
pencucian uang yang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi informasi,
terutama kemunculan internet yang menghilangkan batasan-batasan Negara, dengan
internet dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya kejahatan-kejahatan
yang terorganisasi (organized crime)
oleh organisasi kejahatan (criminal
organization) mudah dilakukan dan bersifat tradisional. Sehingga kejahatan
yang dilakukan sangat sulit diberantas karena otak dan dana yang dilakukan
disuatu Negara dikendalikan dari Negara lain.
e).
E-Money
Jenis
uang baru yang disebut Electronic Money
(E-Money) tidak terlepas dari maraknya electronic
commerce (e-commere) melalui internet. Praktik pencucian uang dilakukan
dengan menggunakan jaringan internet ini disebut cyber loundring yang digunakan dengan menggunakan sistem komputer.
f).
Layering
Dengan teknik layering nasabah deposan
bank bukanlah pemilik
yang sesungguhnya dari dana tersebut. Nasabah yang menyimpan dana yang
tercatat di bank justru bukan pemilik yang sesungguhnya dari uang tersebut.
Nasabah penyimpan dana itu mungkin sudah merupakan lapis yang kesekian apabila
diurut dari pangkalnya. Yaitu pemilik yang sesungguhnya dari uang yang
ditempatkan itu. Dari urutan yang dilalui oleh pemilik yang sesungguhnya dari
uang itu sampai kelapisan yang terakhir yaitu nasabah yang menyimpan dana yang
secara resmi tercatat di bank tersebut, maka pemakaiaan lapisan-lapisan yang
demikian menyulitkan para penegak hukum dalam mendeteksi pelaku tindak
kejahatan.
g).
Pemerintah Yang Tidak Serius
Pencucian
uang yang terjadi di banyak Negara terjadi karena pemerintah kurang serius
dalam membenahi sistem perbankan yang sering digunakan dalam tindak pidana ini.
Pemerintah secara sengaja membiarkan praktek pencucian uang yang berlangsung di
negaranya. Uang haram tersebut selanjutnya dipergunakan pemerintah untuk
membiayai pembangunan dan memperoleh keuntungan dari aliran dana tersebut.
h).
Kesiapan Perangkat Hukum
Faktor
lain yang turut mempengaruhi maraknya praktik pencucian uang di Indonesia ialah
kurang efektifnya perangkat hukum. UU
No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang yang mengubah UU No. 25 tahun 2005 yang sebelumnya UU No. 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang belum mampu menanggulangi atau mereduksi
kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Pusat Pelaporan dan Analisis
Teransaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk sebagai badan khusus guna upaya
menangani kejahatan pencucian uang pun belum mampu bekerja efektif. PPATK
semakin sulit mendeteksi serta menanganinya karena rumitnya mekanisme proses
pencucian uang yang bersifat transnasional yang melintasi batas yuridiksi
Negara.
i).
Transaksi keuangan yang mencurigakan
Di
Indonesia mengenai transaksi keuangan yang mencurigakan banyak terjadi melalui
sistem perbankan.adapun jenis-jenisnya menurut UU No. 8 tahun 2010
tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian adalah[4] :
1).
Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
2).
Transaksi Keuangan oleh Pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan
oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
3).
Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta
kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
4).
Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor
karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
j).
Koordinasi yang lemah
Sekarang
para para pelaku kejahatan pencucian uang menggunakan cara-cara yang semakin
rumit dan canggih berkat kemajuan cyber currency dan cyber systems dan
kreatifitas yang tidak terbatas mereka selalu merubah \cara dan kebiasaan dalam
melakukan perbuatan tersebut. Salah satu caranya adalah menyembunyikan uang
haram didalam kegiatan keuangan global sehingga tampak sebagai kegiatan yang
sah dan legal. Cara ini mendapat dukungan dari berbagai p ihak yang tersebar
secara global dan sulit dideteksi keterkaitannya. Maka dalam hal inilah perlu
koordinasi dari perbankan, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait untuk
mengatasinya.
D.
Penanggulangan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Kelemahan-kelemahan
yang disorot FATF on money laundering antara lain karena lemahnya kualitas
sumber daya dalam penanganan kejahatan pencucian uang dan kurangnya kerjasama
internasional. Karakteristik money laundering atau pencucian adalah bersifat
organized crime, dalam arti luas dan termasuk dalam salah satu kejahatan
lanjutan. Upaya penanggulangan money laundering atau pencuciab uang dilakukan
dengan cara: mengeluarkan undang-undang TPPU yang mengindahkan rekomendasi FATF,
membentuk pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan berdasarkan perintah
UU TPPU, menjalin kerjasama internasional. Kejahatan tindak pidana pencucian
uang bukan hanya merupakan masalah nasional tetapi masalah internasional tanpa
kerjasama internasional penanggulangan tindak pidana pencucian uang sia-sia
tidak ada gunanya. Dalam melakukan kerjasama dengan Negara-negara lain perlu
dilakukan perbandingan hukum pidana, suatu hal yang perlu diperhatikan dalam
kerjasama internasional sebagaimana diketahui bahwa sebelum diundangkan
undang-undang No. 15 tahun 2002 Indonesia telah menjalin kerjasama dengan
Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Kerjasama
mengenai bantuan timbal balik dituangkan dalam undang-undang No. 1 tahun 1999,
penjelasan secara umum undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi yang melanda
dunia dewasa ini telah menyebabkan wilayah Negara yang satu dengan yang lain
hampir tanpa batas. Dampak positif juga membawa dampak negatif, salah satu
dampak negatifnya adalah semakin meningkatnya tindak pidana yang tidak hanya
berskala nasional, tetapi transnasional serta secara global dengan modus
operandi yang semakin canggih sehingga dalam upaya penanggulangan dan
pemberantasan perlu ditingkatkan kerjasama internasional tersebut. Ketentuan
yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan pembuka
jalan untuk mengadakan perjanjian lainnya termasuk dalam upaya penanggulangan
tindak pidana pencucian uang. Pentingnya membuat perjanjian dalam bidang
penanggulangan tindak pidana pencucian uang, karena hal tersebut terkait dengan
ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2003 yang menentukan bahwa setiap warga
Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dimaksud dalam
Pasal 3. Dengan mengadakan perjanjian Internasional, maka akan membantu
bekerjanya sistem peradilan. Sudah seharusnya upaya penanggulangan pencucian
melakukan perjanjian Internasional atau kerjasama timbal balik dengan
Negara-Negara lain karena tindak pidana pencucian uang bukan masalah nasional
melainkan masalah Internasional sehingga tanpa kerjasama Internasional tidak
ada gunanya dan tidak bisa diberantas.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
hukum Indonesia, sanksi pidana terdapat hukuman pokok yang meliputi hukuman
mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan arana untuk
mewujudkan harapan banyak pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai
pola kejahatan yang mengarah pada kegiatan pencucian uang. Sasaran dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mencegah dan memberantas system atau proses
pencucian uang dalam bentuk placement, layering, dan integration. Karena
sasaran utama dalam kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank maupun
non bank, maka sasaran pengaturan dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang meliputi peranan-peranan aktif dari lembaga-lembaga ini untuk
mebgantisipasi kejahatan pencucian uang.
B.
Saran
Agar sistem penegakan hukum anti pencucian uang
dapat bekerja secara efektif, diperlukan adanya peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.terutama pada lembaga-lembaga penting seperti kehakiman,
kejaksaan, kepolisian, PPATK, dan penyedia jasa keuangan. Mengenai lembaga
kepolisian dan kejaksaan khususnya, peningkatan kualitas sumber daya manusia
ini merupakan suatu hal yang harus diutamakan mengingat pentingnya peranan
lembaga ini untuk mencari bukti-bukti dan membuat terang tindak pidana
pencucian uang. Dan juga perlu meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum
dengan
Meningkatkan
berbagai pengetahuan tentang seluk-beluk operasi industri keuangan karena
pelaku kejahatan selalu berusaha untuk memasukkan harta kekayaan yang diperoleh
dari kejahatan tersebut ke dalam sistem keuangan agar asal-usul harta kekayaan
tersebut idak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum.
Daftar Pustaka
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Grafindo, Jakarta
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, Raih Asa Sukses (Penebar
Swadaya Group), Jakarta
, 2014
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta
Haji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Tintamas
Indonesia, Jakarta 1983
Ivan Yustiavandana-Arman Nevi-Adiwarman,
Tindak Pidana Pencucian Uang di
Pasar
Modal, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinek Cipta, Jakarta, 2008
Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era
Globalisasi,
Total Media, Yogyakarta, 2013
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi III,
Balai Pustaka, Jakarta,
2003
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak
Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika,
Jakarta Timur, 2014
Roni Wijayanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung,
2012
Sultan Remy Sjahdeini, Pencucian Uang; Pengertian, Sejarah, Faktor
Penyebab dan
Dampaknya
Bagi Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22
Nomor 3, 2003
Sutjipto Rahardjo, Pembangunan Budaya Hukum; Makalah, Seminar Perspektif
Pembangunan
dan Pengembangan Bidang Hukum pada Pelita VII Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Jakarta, 1996
US
Government, The National Money Laundering Strategy, Secretary of Treasury and
Attorney General, 2000
No comments:
Post a Comment