Sunday, 21 November 2021

MAKALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR......................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 2

C.     Tujuan Penelitian......................................................................................... 2

 

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 3

A.    Pengertian  Tindak Pidana Pencucian Uang............................................... 3

B.     Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang...................................................... 3

1.      Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang........................................ 4

2.      Praktik Pencucian uang di Indonesia.................................................... 5

3.      Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang............................................. 7

C.     Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang.................. 8

D.    Penanggulangan TPPU................................................................................ 10

 

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 12

A.    Kesimpulan.................................................................................................. 12

B.     Saran............................................................................................................ 12

 

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Tindak Pidana Pencucian Uang

                                      

Membahas mengenai tindak pidana pencucian uang tentu tidak mungkin tanpa memahami filosofis, dan untuk tujuan apa ketentuan anti pencucian uang itu dilahirkan. Munculnya rezim pencucian uang bukan lahir dari semangat satu negara saja, tetapi muncul atas prakarsa berbagai negara melalui lahirnya suatu konvensi internasioanal. Agar kita bisa memahami terutama untuk kepentingan penegakan hukum, maka penting pula dipahami sejarah pembentukan lahirnya semangat regulasi anti pencucian uang tersebut. Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penghindaran pajak, judi, penyeludupan dan lain-lain, yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan secara aman. 

     Terdapat berbagai rumusan tindak pidana pencucian uang, selain itu dinyatakan bahwa tidak ada definisi tindak pidana pencucian uang secara universal, artinya setiap negara boleh mendefinisikan sendiri sesuai dengan kondisi negaranya, terutama dalam menentukann jenis kejahatan asalnya. Indonesia baru melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang pada April 2002, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010, ketentuan anti pencucian uang direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

     Pola yang dilakukan para penjahat dalam menikmati, menyamarkan, atau menyembunyikan hasil kejahatan bermacam-macam. Dilihat dari sudut teori sampai saat ini, terdapat dua cara pencucian uang yaitu cara moderen dan cara tradisional. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang modern terdiri dari tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration. Ketiga langkah itu dapat terjadi dalam waktu bersamaan. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menempatkan dana illegal ke dalam sistem keuangan, dengan tujuan agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak yang berwenang. 

     Seperti disampaikan di atas bahwa tindak pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes).  Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 UU TPPU yang menyebutkan 25 jenis kejahatan dan juga seluruh kejahatan yang diancam pidana 4 tahun ke atas. Dari sudut teori, 25 kejahatan tersebut dikenal dengan istilah predicate crime atau kejahatan asal, maka dari itu tidak mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak didahului terjadinya tindak pidana asal, sehingga ada sebagian yang beranggapan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik berdiri sendiri, tetapi ada pula sebagian yang branggapan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik lanjutan.

 

 

B.     Rumusan Masalah

 

1. Apa itu tindak pidana pencucian uang?

2. Apa saja yang menjadi faktof pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang?

3. Bagaimana cara menanggulangi tindak pidana pencucian uang?

 

 

C.    Tujuan Penelitian

 

1.   Untuk mengetahui apa itu tindak pidana pencucian uang

2.   Untuk mengetahui faktor terjadinya tindak pidana pencucian uang

3.   Untuk mengetahui nagaimana penanggulangan tindak pidana pencucian uang


 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

 

     Pencucian uang adalah suatu peroses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana, yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering. Istilah money laudering memang tidak ada definisi yang universal karena baik negara-negara maju maupun negara- negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda. Namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang. 

     Definisi tindak pidana pencucian uang dalam rumusan peraturan-peraturan di berbagai negara tidak sama persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu sama, yaitu bahwa tindakpidana pencucian uang adalah suatu perbutan terkait dengan menikmati atau mempergunakan hasil kejahatan (who ever enjoy his fruit of crime). Jadi yang paling penting adalah, ada hasil kejahatan dan ada perbuatan yang menikmati atau menggunakan hasil kejahatan tersebut (money laundering offence).  Perlu juga ditekankan di sini bahwa hasil kejahatan tidak harus uang, yang namanya hasil kejahatan bisa berbentuk apa saja, sepanjang ada nilai ekonomis dan oleh karenanya dalam peraturan perundangan dikatakan sebagai harta kekayaan bukan sekedar uang. Dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal (predicate crime), yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan perbuatan apapun, seperti ditransfer, dibelanjakan, dihadiahkan atau ditukarkan. Secara yuridis definisi pencucian uang dalam UU TPPU adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang ini.

 

B.     Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

 

Pada tahun 1920-an para mafia di Amerika Serikat mengakuisisi atau memberi, usaha Laundromats (mesin pencuci otomatis) dengan uang dalam jumlah besar. Uang yang digunakan untuk pembelian tersebut berasal dari hasil kegiatan pemerasan, prostitusi, perjudia, serta penjualan minuman beralkohol serta perdagangan narkotika. Selanjutnya, usaha Laundromats dimanfaatkan untuk menyamarkan hasil kejahatannya dengan memasukkan uang hasil kejahatan dimaksud ke dalam usaha Laundromats. Istilah tersebut pun masih menjadi perdebatan istilah pencucian uang (money laundering) dikenal demikian, karena dengan jelas melibatkan tindakan penempatan uang haram atau tidak sah melalui suatu rangkaian transaksi atau dicuci, sehingga uang tersebut keluar menjadi seolah-olah uang sah atau bersih. 

          Fokus dunia barat yang cukup besar terhadap praktik pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan, pada awalnya muncul akibat maraknya kejahatan perdagangan gelap obat bius (drug trafficking). Kejahatan tersebut selain memiliki dampak negatif akibat penyalahgunaan obat bius di kalangan masyarakat, tetapi juga berimplikasi secara luas terhadap perekonomian karena melibatkan dana yang sangat besar. Lebih lanjut penggunaan dana dari hasil kejahatan yang sedemikian besar tersebut, dapat mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek baik pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial. Peredaran obat terlarang di beberapa negara dan wilayah perbatasan internasional, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap internasionalisasi kejahatan. Selain menggunakan pendekatan konvensional dengan pengejaran pelaku kejahatan, begitu besarnya hasil kejahatan perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga memberikan perhatian serius untuk mengejar dan merampas harta hasil kejahatan, agar pelaku tidak dapat menikmati uang haram hasil penjualan obat-obat terlarang tersebut.  

     Perhatian negara-negara di dunia terhadap kejahatan perdagangan gelap obat bius tersebut, kemudian melahirkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substance, pada tahun 1988, yang dikenal dengan Vienna Convention atau Konvensi Wina. Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substance merupakan titik puncak keprihatinan masyarakat atas kejahatan perdagangan gelap obat bius, yang sekaligus menjadi tonggak sejarah dalam menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang, untuk memerangi hasil kejahatan (proceeds of crime). Metode baru untuk memerangi kejahatan ini dapat dimengerti, mengingat objek yang diperangi adalan organized crime yang memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat, dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Namun demikian, konvensi ini masih terbatas pada peredaran narkoba dan bahan-bahan psikotropika sebagai tindak pidana asal (predicate crimes) sementara itu, money laundering merupakan proses yang melibatkan proceeds of crime dari beberapa predicate offences yang lebih kompleks seperti korupsi, penyelundupan, perdagangan manusia, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana berat (serious offences). Atas dasar itulah nampaknya Vienna Convention 1988 belum cukup menjadi dasar hukum yang komprehensif, untuk mengatasi kejahatan money laundering yang berdimensi luas. 

     Upaya merespon kebutuhan dalam memerangi pencucian uang, pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan The International Convention Againts Transnational Organized Crimes, yang dikenal dengan Palermo Convention, yang memberikan pengaturan standar dalam upaya mencegah dan memberantas pencucian uang. Konvensi ini memperluas predicate crimes tindak pidana pencucian uang meliputi seluruh tindak pidana berat (serious crime), yang diartikan dengan tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal empat tahun. 

 

 

1.   Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

 

Tindak pidana pencucian uang  adalah kejahatan ganda yang berarti bahwa dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari predicate offence (kejahtan asal), dan pencucian uang itu sendiri yang justru menempati kedudukan sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime), maka, dalam tindak pidana ini juga dibagi dalam dua tipe pelaku, yaitu pelaku aktif dan pasif. Pelaku aktif adalah pelaku yang melakukan perbuatan secara aktif mengalirkan hasil kejahatan, sedangkan pelaku pasif yang mana mereka yang menerima hasil kejahatan. Pelaku aktif adalah barangsiapa yang mengalirkan hasil kejahatan seperti orang yang mentransfer, membelanjakan, mengirimkan, mengubah bentuk, menukarkan atau perbuatan apapun atas harta kekayaan yang berasal dari kejahatan, dan orang tersebut tahu atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.    

       Berkaitan dengan tipe pelaku aktif terbagi dalam dua kriteria, yaitu pertama yang dikenal dengan istilah principle violater (pelaku utama). Principle violater adalah pelaku yang mana dia melakukan kejahatan asal dan juga dia mengalirkan dana hasil kejahatan baik dengan cara transfer, membelanjakan atau perbuatan apapun. Untuk pelaku aktif principle violater inilah bentuk pelaku pencucian uang yang sesungguhnya, yaitu akan dikenakan dua ketentuan undang-undang, yaitu dia melakukan kejahatan asal (predicate offence) dan pencucian uang (follow up crime). Bagi principle violater harus dikenakan dakwaan yang disusun secara kumulatif, atau sebagai pelaku concrusus (perbarengan tindak pidana)  

           Pelaku aktif yang kedua dikenal dengan istilah aider, yaitu perbuatan aktif seperti mentransfer, membelanjakan dan sebagainya, tetapi pelaku ini hanya dikenakan tindak pidana pencucian uang saja, karena memang mereka tidak terlibat kejahatan asalnya, tetapi mereka tahu atau paling tidak patut menduga harta kekayaan yang dialirkan tersebut berasal dari kejahatan. Pelaku aider ini hanya dikenakan satu tuntututan yaitu ketentuan Pasal 3 atau Pasal 4 dan tidak dikenai ketentuan kejahatan asalnya. 

            Tipe pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang yang kedua adalah pelaku pasif. Dari kontruksi perbuatan tindak pidana pencucian uang, yang pada intinya adalah melarang dan memberikan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tentang menikmati hasil kejahatan, tipe pelaku pasif ini dikenal dengan istilah abettor, yaitu pelaku yang menerima pentransferan, menerima pembayaran, menerima hadiah dan lain-lain, yang mana dia tahu atau seharusnya patut menduga bahwa harta yang diterima berasal dari kejahatan. Perbuatan pelaku pasif ini diatur dalam Pasal 5, dan bagi pelaku pasif ini juga hanya dikenai satu ancaman kejahatan saja, yaitu ketentuan tindak pidana pencucian uang tanpa kejahatan asal, karena memang pelaku ini tidak terlibat kejahatan asal, tetapi yang bersangkutan tahu atau setidaknya patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan. 

 

2.   Praktik Pencucian Uang Di Indonesia

 

Tren kejahatan pencucian uang, saat ini terkait adanya korelasi yang sangat kuat antara berbagai bentuk kejahatan terutama kejahatan transnasional, dan kejahatan bermotif ekonomi dengan harta kekayaan hasil kejahatan yang seharusnya diselesaikan secara simultan dalam proses penegakan hukum. Seiring meningkatnya gelombang globalisasi, jumlah dan modus kejahatan bidang ekonomi semakin meningkat pula. Pada tahun 2012, angkanya sebanyak 923 perkara, namun meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2. 121 perkara. 

     Praktik pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.34

Sistem kerahasiaan bank dan lemahnya perangkat hukum di Indonesia juga merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Adanya pengaturan kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk menyimpan uang hasil kejahatannya tanpa harus takut dilacak oleh pihak yang berwenang. Selain itu kondisi yang membuat negara ini menjadi “surga” kegiatan pencucian uang, adalah karena Indonesia masih membutuhkan likuiditas, sehingga dunia perbankan Indonesia masih memandang pentingnya dana-dana asing untuk masuk dan diinvestasikan di Indonesia. Sementara ada pihak-pihak asing tertentu yang hanya setuju untuk melakukan investasi di Indonesia jika dijamin tidak diusut asasl-usul dananya. 

     Tindak pidana pencucian uang disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat memengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Dampak dari pencucian uang adalah sebagai berikut: 

1. Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate private sectors) 

2. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk).

3. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss revenue).

4. Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of finacial markets).

5. Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risk of privatization efforts).

6. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost).

7. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic distortion and instability).

8. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (loos of control of economic policy).

9. Menimbulkan dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang telah mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap kebijakan ekonomi yang nantinya harus memainkan peranan dalam upaya anti money laundering, misalnya seperti pengawasan lalu lintas devisa (exchange control), pengawasan bank terhadap rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan pajak (tax collection), pelaporan statistik (statistical reporting) dan perundang- undangan (legislation).

10. Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan terjadinya penipuan (fraud), serta penggelapan (embezzlement).

      Sebegitu besarnya dampak negatif pencucian uang yang ditimbulkannya, berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, hal itu yang membuat negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena money laundering baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem ekonomi, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.

3.      Tahapan-Tahapan Dan Proses Pencucian Uang

 

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu;

a) Placement 

         Placement merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan. Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam nominasi uang yang lebih besar. Lalu didepositokan ke dalam rekening bank, dan dibelikan ke instrumen-instrumen moneter seperti cheques, money orders dan lainlain. Bentuk kegiatan ini, antara lain:  

a. Menempatkan dana pada bank (lebih dari satu) diikuti dengan pengajuan kredit atau pembiayaan.

b. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail. 

c. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain. 

d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha sah berupa kredit atau pembiayaan.

e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi atau sebagai hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan keuangan lainnya.

 

  b).  Layering

     Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompl untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:

1. Transfer dari satu bank ke bank lain dan antara wilayah atau negara. 

2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah. 

3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company. 

 

        c)  Integration              

     Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke berbagai bentuk kekayaan materil atau keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati dan digunakan secara aman. 

 

C.    Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang

 

Seperti telah diuraikan di awal bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan sebuah tindakan guna menyamarkan atau menyembunyikan asalusul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, dengan tujauan seolah-olah harta tersebut diperoleh dengan cara yang legal. Faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang akibat kemajuan teknologi, misalnya di bidang informasi, yaitu dengan mudahnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. 

          Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, batas negara tidak berarti lagi, dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan teroganisir (organized crime) yang diselenggarakan organisasi-organisasi kejahatan menjadi mudah dilakukan melewati lintas batas negara. Pada saat ini, organisasi-organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainya. Selain kemajuan teknologi yang merupakan faktor  pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang, ada beberapa faktor lain misalanya:

 

a). Ketentuan Rahasia Bank yang Sangat Ketat

Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reform), negara-negara Uni Eropa misalnya Inggris melakukan pertemuan dengan Menteri keuangan, untuk menghimbau menghapuskan ketentuan rahasia bank yang ketat tersebut. Dalam memerangi tindak pidana pencucian uang, maka harus mempertimbangkan penghapusan ketentuan rahasia bank.

b). Kerahasiaan Hubungan Antara Lawyer dan Klien

Dana simpanan di bank sering mengatasnamakan kantor pengecara, sementara hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu lawyer yang menyimpan dana di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapakan identitas kliennya

c). Negara-Negara Tidak Sungguh Sungguh Melakukan Kerja Sama dalam  Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penyebab masih maraknya praktik pencucian uang karena kurangnya kerja sama antar negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal tersebut karena negara yang bersangkutan memang sengaja membiarkan praktik pencucian uang berlangsung. Karena negara tersebut mendapat keuntungan dengan ditempatkan dana haram di lembaga keuangan di negara tersebut. Keuntungan dari dana yang terkumpul di lembaga perbankan sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan atau dengan dana tersebut memungkinkan perbankan memperoleh banyak keuntungan dari penyaluran dana, lebih lanjut akan memberi kontribusi yang besar bagi negaranya.

d). Kemajuan Teknologi

Maraknya pencucian uang yang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi informasi, terutama kemunculan internet yang menghilangkan batasan-batasan Negara, dengan internet dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya kejahatan-kejahatan yang terorganisasi (organized crime) oleh organisasi kejahatan (criminal organization) mudah dilakukan dan bersifat tradisional. Sehingga kejahatan yang dilakukan sangat sulit diberantas karena otak dan dana yang dilakukan disuatu Negara dikendalikan dari Negara lain.

e). E-Money

Jenis uang baru yang disebut Electronic Money (E-Money) tidak terlepas dari maraknya electronic commerce (e-commere) melalui internet. Praktik pencucian uang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet ini disebut cyber loundring yang digunakan dengan menggunakan sistem komputer.

f). Layering

Dengan  teknik layering nasabah  deposan  bank  bukanlah  pemilik  yang sesungguhnya dari dana tersebut. Nasabah yang menyimpan dana yang tercatat di bank justru bukan pemilik yang sesungguhnya dari uang tersebut. Nasabah penyimpan dana itu mungkin sudah merupakan lapis yang kesekian apabila diurut dari pangkalnya. Yaitu pemilik yang sesungguhnya dari uang yang ditempatkan itu. Dari urutan yang dilalui oleh pemilik yang sesungguhnya dari uang itu sampai kelapisan yang terakhir yaitu nasabah yang menyimpan dana yang secara resmi tercatat di bank tersebut, maka pemakaiaan lapisan-lapisan yang demikian menyulitkan para penegak hukum dalam mendeteksi pelaku tindak kejahatan.

g). Pemerintah Yang Tidak Serius

Pencucian uang yang terjadi di banyak Negara terjadi karena pemerintah kurang serius dalam membenahi sistem perbankan yang sering digunakan dalam tindak pidana ini. Pemerintah secara sengaja membiarkan praktek pencucian uang yang berlangsung di negaranya. Uang haram tersebut selanjutnya dipergunakan pemerintah untuk membiayai pembangunan dan memperoleh keuntungan dari aliran dana tersebut.

h). Kesiapan Perangkat Hukum

Faktor lain yang turut mempengaruhi maraknya praktik pencucian uang di Indonesia ialah kurang efektifnya perangkat hukum.  UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengubah UU No. 25 tahun 2005 yang sebelumnya UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang belum mampu menanggulangi atau mereduksi kasus-kasus tindak pidana pencucian uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Teransaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk sebagai badan khusus guna upaya menangani kejahatan pencucian uang pun belum mampu bekerja efektif. PPATK semakin sulit mendeteksi serta menanganinya karena rumitnya mekanisme proses pencucian uang yang bersifat transnasional yang melintasi batas yuridiksi Negara.

i). Transaksi keuangan yang mencurigakan

Di Indonesia mengenai transaksi keuangan yang mencurigakan banyak terjadi melalui sistem perbankan.adapun jenis-jenisnya menurut UU No. 8 tahun 2010

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian adalah[4] :

1). Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;

2). Transaksi Keuangan oleh Pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;

3). Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

4). Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

j). Koordinasi yang lemah

Sekarang para para pelaku kejahatan pencucian uang menggunakan cara-cara yang semakin rumit dan canggih berkat kemajuan cyber currency dan cyber systems dan kreatifitas yang tidak terbatas mereka selalu merubah \cara dan kebiasaan dalam melakukan perbuatan tersebut. Salah satu caranya adalah menyembunyikan uang haram didalam kegiatan keuangan global sehingga tampak sebagai kegiatan yang sah dan legal. Cara ini mendapat dukungan dari berbagai p ihak yang tersebar secara global dan sulit dideteksi keterkaitannya. Maka dalam hal inilah perlu koordinasi dari perbankan, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait untuk mengatasinya.

 

 

D.    Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

 

Kelemahan-kelemahan yang disorot FATF on money laundering antara lain karena lemahnya kualitas sumber daya dalam penanganan kejahatan pencucian uang dan kurangnya kerjasama internasional. Karakteristik money laundering atau pencucian adalah bersifat organized crime, dalam arti luas dan termasuk dalam salah satu kejahatan lanjutan. Upaya penanggulangan money laundering atau pencuciab uang dilakukan dengan cara: mengeluarkan undang-undang TPPU yang mengindahkan rekomendasi FATF, membentuk pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan berdasarkan perintah UU TPPU, menjalin kerjasama internasional. Kejahatan tindak pidana pencucian uang bukan hanya merupakan masalah nasional tetapi masalah internasional tanpa kerjasama internasional penanggulangan tindak pidana pencucian uang sia-sia tidak ada gunanya. Dalam melakukan kerjasama dengan Negara-negara lain perlu dilakukan perbandingan hukum pidana, suatu hal yang perlu diperhatikan dalam kerjasama internasional sebagaimana diketahui bahwa sebelum diundangkan undang-undang No. 15 tahun 2002 Indonesia telah menjalin kerjasama dengan Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Kerjasama mengenai bantuan timbal balik dituangkan dalam undang-undang No. 1 tahun 1999, penjelasan secara umum undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah menyebabkan wilayah Negara yang satu dengan yang lain hampir tanpa batas. Dampak positif juga membawa dampak negatif, salah satu dampak negatifnya adalah semakin meningkatnya tindak pidana yang tidak hanya berskala nasional, tetapi transnasional serta secara global dengan modus operandi yang semakin canggih sehingga dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan perlu ditingkatkan kerjasama internasional tersebut. Ketentuan yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan pembuka jalan untuk mengadakan perjanjian lainnya termasuk dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencucian uang. Pentingnya membuat perjanjian dalam bidang penanggulangan tindak pidana pencucian uang, karena hal tersebut terkait dengan ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 15 tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2003 yang menentukan bahwa setiap warga Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dimaksud dalam Pasal 3. Dengan mengadakan perjanjian Internasional, maka akan membantu bekerjanya sistem peradilan. Sudah seharusnya upaya penanggulangan pencucian melakukan perjanjian Internasional atau kerjasama timbal balik dengan Negara-Negara lain karena tindak pidana pencucian uang bukan masalah nasional melainkan masalah Internasional sehingga tanpa kerjasama Internasional tidak ada gunanya dan tidak bisa diberantas.


BAB III

PENUTUP

 

 

A.                Kesimpulan

 

Dalam hukum Indonesia, sanksi pidana terdapat hukuman pokok yang meliputi hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan arana untuk mewujudkan harapan banyak pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai pola kejahatan yang mengarah pada kegiatan pencucian uang. Sasaran dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah mencegah dan memberantas system atau proses pencucian uang dalam bentuk placement, layering, dan integration. Karena sasaran utama dalam kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank maupun non bank, maka sasaran pengaturan dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang meliputi peranan-peranan aktif dari lembaga-lembaga ini untuk mebgantisipasi kejahatan pencucian uang.

 

B.                 Saran

Agar sistem penegakan hukum anti pencucian uang dapat bekerja secara efektif, diperlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.terutama pada lembaga-lembaga penting seperti kehakiman, kejaksaan, kepolisian, PPATK, dan penyedia jasa keuangan. Mengenai lembaga kepolisian dan kejaksaan khususnya, peningkatan kualitas sumber daya manusia ini merupakan suatu hal yang harus diutamakan mengingat pentingnya peranan lembaga ini untuk mencari bukti-bukti dan membuat terang tindak pidana pencucian uang. Dan juga perlu meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dengan

Meningkatkan berbagai pengetahuan tentang seluk-beluk operasi industri keuangan karena pelaku kejahatan selalu berusaha untuk memasukkan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut ke dalam sistem keuangan agar asal-usul harta kekayaan tersebut idak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum.

 

 

 

 

 


Daftar Pustaka

 

Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Grafindo, Jakarta

 

Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus diluar KUHP, Raih Asa Sukses (Penebar

Swadaya Group), Jakarta , 2014

 

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika,     Jakarta, 2014

 

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta

 

Haji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Tintamas Indonesia, Jakarta 1983

 

Ivan Yustiavandana-Arman Nevi-Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di

Pasar Modal, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010

 

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinek Cipta, Jakarta, 2008

 

Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era

Globalisasi, Total Media, Yogyakarta, 2013

 

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III,

Balai Pustaka, Jakarta, 2003

 

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2014

 

Roni Wijayanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung,

2012

 

Sultan Remy Sjahdeini, Pencucian Uang; Pengertian, Sejarah, Faktor Penyebab dan

Dampaknya Bagi Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 3, 2003

 

Sutjipto Rahardjo, Pembangunan Budaya Hukum; Makalah, Seminar Perspektif

Pembangunan dan Pengembangan Bidang Hukum pada Pelita VII Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1996

 

US Government, The National Money Laundering Strategy, Secretary of Treasury and Attorney General, 2000

No comments:

Post a Comment