DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
2.1 Pengertian.............................................................................................. 2
2.2 Rukun dan Syarat Nikah........................................................................ 3
2.3 Tujuan Pernikahan.................................................................................. 4
2.4 Hak dan Kewajiban Suami Istri............................................................. 5
2.5 Pernikahan Menurut Hukum Positif...................................................... 6
2.6 Syarat dan Rukun Pernikahan................................................................ 6
2.7 Tujuan Pernikahan.................................................................................. 7
2.8 Macam-macam Pernikahan Terlarang.................................................... 8
BAB III PENUTUP............................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 10
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu hal yang membahagiakan.
Karena dua insan yang saling mencintai dapat berdampingan untuk
membangun keluarga yang Sakinah, melalui Mawaddah dan Warahmah. Bahkan tidak sedikit
yang berjuang keras agar bisa menikah dengan orang yangdicintainya.
Selain itu, pernikahan juga dapa tmenyambung tali silaturrahim antara kedua pasangan tersebut.
Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan tujuan
untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal,
dan harmonis. Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yang berebunyi bahwa
“tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah”. Tujuan menurut hukum adat
berbeda dengan menurut perundangan. Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan
keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat
budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang
berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak,
dan melestarikan hidupnya setelah masingmasing pasangansiap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia
seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan
perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai.
Pernikahan
dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang telah memiliki kemampuan untuk
berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial, serta sulit baginya untuk
menghindari zina. Orang tersebut diwajibkan menikah karena dikhawatirkan jika tidak,
maka ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam Islam. Dalam pensyariatan nikah adalah
al-Quran, al-Sunnah dan Ijma. Namun sebagian ulama berpendapat Hukum asal
melakukan perkawinan adalah mubah (boleh). Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunah, wajib, makruh dan
haram tergantung kepada illat hukum,
yaitu :
1)
Hukum nikah menjadi sunah apabila seseorang
dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya wajar
dan cenderung ia mempunyai keinginan untuk nikah dan sudah mempunyai penghasilan yang tetap.
2)
Hukum menjadi wajib apabila seseorang dipandang dari
segi jasmaninya telah dewas dan dia telah
mempunyai penghasilan yang tetap serta ia sudah sangat berkeinginan untuk menikahi sehingga apabila ia tidak menikah dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan zinah.
3)
Hukum nikah menjadi makruh apabila seseorang secara
jasmani atau umur telah cukup walau belum terlalu
mendesak.
Perbedaan dalam perumusan itu disebabkan karena perkawinan sebagai suatu lembaga mempunyai banyak segi dan dapat
dilihat dari berbagai sudut pandangan,
misalnya dari sudut pandang agama, hukum masyarakat, dan sebagainya. Jika dipandang dari segi ajaran agama dan
hukum Islam perkawinan adalah suatu
lembaga yang suci.
2.2
Rukun dan Syarat Nikah
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu yang
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu
itu tidak termasuk dalam rangkai pekerjaan itu. Sah yaitu sesuatu pekerjaan
(ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Pernikahan yang didalamnya terdapat
akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah
pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:
1)
Mempelai laki-laki;
2)
Mempelai perempuan;
3)
Wali;
4)
Dua orang saksi;
5)
Shigat ijab kabul.
Pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi
rukun nikah yang disebutkan di atas,
begitu pula sebaliknya apabila salah satu rukun tidak dipenuhi dalam
melangsungkan pernikahan, maka pernikahan itu tidak sah. Dari kelima rukun nikah di atas, yang paling penting adalah
Ijab dan Qabul. Adapun syarat nikah ialah syarat yang bertalian dengan
rukun-rukun pernikahan, yaitu
syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Syarat-syarat
pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan dalam Islam. Apabila
syarat-syaratnya itu terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri.
1)
Syarat-syarat mempelai laki-laki (calon suami)
a)
Bukan mahram dari calon isteri;
b)
Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;
c)
Orangnya tertentu, jelas orangnya;
d)
Tidak sedang ihram.
2)
Syarat-syarat mempelai perempuan (calon istri):
a)
Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,tidak
sedang masa iddah;
b)
Merdeka, atas kemauan sendiri;
c)
Jelas orangnya;
2.3 Tujuan
Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah
untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam rangka menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga sejahtera artimya terciptanya ketenangan lahir batin, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar keluarga. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyanya menyatakan
bahwa tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a)
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b)
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya.
c)
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d)
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e)
Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Tentang tujuan pernikahan ini, Islam juga
memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbegai aspek masyarakat yang
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap umat Islam.
2.4
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Akad
tersebut menimbulkan juga hak serta kewajibannya Apabila akad nikah telah
berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya, maka menimbulkan selaku suami istri
dalam keluarga. Undang-Undang perkawinan
menyatakan secara tegas bahwa kedudukan suami istri itu seimbang, dalam
melakukan perbuatan hukum. Sedangkan dalam hukum perdata apabila izin suami
tidak diperoleh karena ketidak hadiran suami atau sebab lainnya, pengadilan
dapat memberikan izin kepada istri untuk menghadap hakim dan melakukan
perbuatan hukum. Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa suami
adalah kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum adat dan hukum Islam Jika suami sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati
sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan
hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
1) Hak Bersama Suami Isteri
a)
Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini
merupakan kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Suam istri
halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian pula bagi istri terhadap
suaminya.
b)
Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak boleh
melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
c)
Adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah
seorang di antara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh.
d)
Anak mempunyai nasab yang jelas.
e)
Kedua pihak wajiib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan
dalam kedamaian hidup.
2) Kewajiban Suami Istri
a)
Suami istri wajib saling mencintai, menghormati dan menyayangi satu sama
lain.
b)
Suami istri berkewajiban saling memikul rumah tangga, baik dalam tingkah
laku di masyarakat dan memelihara anak-anaknya.
Kehidupan rumah tangga menjadi
keluarga yang harmonis akan tercapai apabila suami isteri melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing dengan baik. Karena keluarga adalah hubungan antar
dua orang (suami isteri), jadi satu sama lainnya harus saling mejalani
kewajibannya masing-masing.
2.5
Pernikahan Menurut Hukum Positif
Pengertian
dan Dasar HukumMenurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal
1 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Sedangkan
pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Undang-undang memandang perkawinan hanya
dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Dalam
pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan
yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Perkawinan perupakan institusi yang sangat penting
dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai
suami-isteri. Perkawinan adalah suatu
perbuatan yang menimbulkan suatu akibat hukum antar dua pihak yaitu antara
suami dan isteri, maka dari itu perlu adanya aturan dan undang-undang untuk
mengaturnya, baik dari proses perkawinan sampai dengan perceraian. Akibat hukum
tersebut diantaranya adalah hak dan kewajiban suami isteri, hak asuh anak,
waris dan lain sebagainya.
2.6
Syarat
dan Rukun Pernikahan
Pada dasarnya tidak semua laki-laki dan wanita
dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan pernikahan
adalah mereka-mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh peraturan perundangundangan. Dalam KUHPerdata, syarat untuk melangsungkan
perkawinan dibagi menjadi dua macam adalah : (1) syarat materiil dan (2) syarat
formil. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok
dalam melangsungkan pernikahan.
Syarat ini dibagi dua macam, yaitu :
1)
Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan
pribadi seseorang yang harus di indahkan
untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syaratnya meliputi:
a)
Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 27 BW);
b)
Persetujuan antara suami isteri (pasal 28 KUH Perdata);
c)
Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki berumur 19 tahun dan
wanita berumur 16 tahun (pasal 29 KUH
Perdata);
d)
Harus ada izin sementara dari orang tua atau walinya bagi anak-anak yang
belum dewasa dan belum pernah kawin (pasal 35 sampai dengan pasal 49 KUH
Perdata)
Untuk anak-anak yag lahir di luar perkawinan, tetapi diakui oleh orang
tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jikalau
tidak terdapat kata sepakat anatara kedua orang tua, hakim dapat diminta untuk
ikut campur tangan, dan kakek nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal
memberikan izin. Ketentuan dari syarat-syarat
di atas yang dituangkan dalam perundangundangan merupakan hal pokok yang harus
dipenuhi
2.7
Tujuan Pernikahan
Tujuan yang hendak dicapai dalam perkawinan
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Kebahagiaan dan kekekalan yang
dijadikan cita-cita ini juga menunjukkan adanya aspek humanisme di dalam
perkawinan. Artinya, prinsipprinsip kemanusiaan harus menjadi jiwa dan semangat
di dalam pembentukan dan kelangsungan hidup berumah tangga, keinginan mendapat
rasa bahagia haruslah menyadari juga bahwa orang lain juga menginginkan rasa bahagia
tersebut.13 Oleh karena itu, perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia
tidak lepas dari kondisi lingkungan dan budaya dalam membina dan mempertahankan
jalinan antar keluarga suami-istri. Tanpa adanya kesatuan tujuan tersebut akan
mengakibatkan hambatan dalam membangun keluarga yang bahagia
2.8
Macam-macam Pernikahan Terlarang
1. Menurut Hukum Islam
Selain larangan nikah karena pertalian nasab
dan hubungan persusuan, dalam Islam ada bentuk pernikahan yang dilarang untuk
dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
a.
Nikah Syighar
Nikah syighar adalah seorang laki-laki
menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus
dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar.
b.
Nikah Tahlil
Yaitu
menikahnya seorang laki-laki dengan wanita yang sudah ditalak tiga
oleh suami
sebelumnya. Lalu laki-laki itu mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita
tersebut
dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga
kali).
Bentuk pernikahan ini yang menjadi maharnya adalah perbuatan yang
menikahkan anaknya yang dirasakan oleh orang menikahinya itu.
Anak perempuan yang dinikahi oleh walinya itu sama sekali tidak menerima dan merasakan
mahar dari pernikahan tersebut.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan
adalah suatu hal yang membahagiakan. Karena dua insan yang saling mencintai
dapat berdampingan untuk membangun keluarga yang Sakinah, melalui Mawaddah dan
Warahmah. Bahkan tidak sedikit yang berjuang keras agar bisa menikah dengan
orang yangdicintainya. Selain itu, pernikahan juga dapa tmenyambung tali
silaturrahim antara kedua pasangan tersebut.
Pernikahan
dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang telah memiliki kemampuan untuk
berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial, serta sulit baginya untuk
menghindari zina. Orang tersebut diwajibkan menikah karena dikhawatirkan jika
tidak, maka ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam Islam. Dalam
pensyariatan nikah adalah al-Quran, al-Sunnah dan Ijma. Namun sebagian ulama
berpendapat Hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah (boleh).
Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah
untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam rangka menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga sejahtera artimya terciptanya ketenangan lahir batin, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar keluarga. Menurut
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyanya menyatakan bahwa tujuan perkawinan
yaitu sebagai berikut:
a)
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b)
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya.
c)
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d)
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang halal.
e)
Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
DAFTAR
PUSTAKA
1)
Ahmad Azhar,
Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1 977,
2)
Alhamdani,
Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Pustaka Imani, 1980
3)
Amir
Martosedono, Apa dan Bagaimana Undang-undang No.1.1974, PT Grafindo
4)
Persada,
Jakarta, 2001
5)
Arifin
Nurdin, Hukum Perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan, (UU No. 1/
6)
1974) Pustaka
Jaya Bandung, 1981
No comments:
Post a Comment