DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
A.
Konsep Dasar Perikatan............................................................................... 2
B.
Subjek dan Objek Perikatan......................................................................... 5
C.
Syarat Sahnya Perjanjian.............................................................................. 7
D.
Asas Asas Perjanjian.................................................................................... 8
E.
Jenis-Jenis Perjanjian.................................................................................. 10
F.
Resiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa............................................. 12
G.
Terhapusnya Perikatan............................................................................... 16
BAB III PENUTUP............................................................................................. 18
A.
Kesimpulan ................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak
sadar bahwa mereka disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal-hal seperti
membeli suatu barang, sewa menyewa, pinjam meminjam, hal tersebut termasuk
suatu perikatan. Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata
(BW). Dalam hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah
perikatan. Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban ataas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat
melakukan perikatan yang bersumber dari perjanjian, perjanjian apapun atau
bagaimanapun baik itu yang diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah
yang disebut kebebasan berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa
yang dengan tegas ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau
undang-undang. Syarat-syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas
diatur didalamnya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep
perikatan dan hal-hal yang terkait di dalamnya sampai dengan berakhirnya atau
terhapusnya suatu perikatan.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa definisi dari perikatan dan
perjanjian ?
b.
Apa saja subjek dan objek dalam
perikatan ?
c.
Apa saja syarat sahnya suatu perjanjian
itu ?
d.
Apa saja asas dalam suatu perjanjian itu
?
e.
Apa saja jenis-jenis perjanjian itu ?
f.
Apa definisi dari resiko, wanprestasi
dan keadaan memaksa ?
g.
Bagaimana suatu perikatan itu berakhir ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Perikatan
1. Istilah
Perikatan dan Definisi Perikatan
Istilah Perikatan berasal dari bahasa belanda verbintenis.
Namun demikian dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah
untuk menterjemahkan Verbintenis.
Subekti dan Tjiptosudibjo, menggunakan
istilah perikatan untuk verbintenis dan
persetujuan untuk Overeenkomst. Dengan
demikian, verbentesis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia
yaitu :
a.
Perikatan.
b.
Perutangan dan
c.
Perjanjian.
Sedangkan
untuk overeenkomst dipakai untuk dua
istilah yaitu perjanjian dan persetujuan. Jadi jika berhadapan dengan
istilah verbintenis dan overeenkomst, haruslah berusaha menjawab pengertian
apakah yang tersimpul dalam istilah tersebut.
Secara terminologi, verbintenis
berasal dari kata kerja verbinden
yang artinya mengikat. Dengan demikian verbintenis menunjuk kepada
adanya ikatan atau hubungan.
Hukum Perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata.
Namun demikian dalam bab III KUH Perdata
tersebut tidak ada satu pasal pun yang merumuskan makna tentang
perikatan. Menurut Subekti, perkataan “perikatan” dalam Buku III KUH Perdata
mempunyai arti yang lebih luas dari "perjanjian", sebab dalam Buku
III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang Sama sekali tidak bersumber pada suatu persetutujuan atau
perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar
hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Tetapi sebagian besar dari Buku
III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Dalam
Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang
terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan
harta kekayaan di mana pihak yang
satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Subekti
dalam bukunya Pokok-Pokok
Hukum Perdata berpendapat, bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Perikatan sendiri merupakan suatu pengertian yang abstrak.
Hukum Islam merniliki istilah sendiri tentang
perikatan, yaitu 'aqdun atau akad. Adapun akad sendiri mempunyai beberapa pengertian.
Menurut pendapat para ulama ahli Fiqh, bahwa akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna
perpaduan antara dua macam kehendak, baik
dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul
ketentuan/kepastian pada dua sisinya. Perkataan aqdu mengacu pada
terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu apabila seorang mengadakan janji ,
kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu
janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan
dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang
lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd).
Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perikatan meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a.
Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam
perikatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tertulis dan tertulis. Kaidah
hukum perikatan tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Kaidah hukum perikatan tidak
tertulis adalah kaidah hukum perikatan yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam
praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan).
b.
Adanya subjek hukum. Pada dasarnya
subjek hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, manusia dan badan hukum.
Subjek hukum dalam hukumperikatan terdiri dari kreditor dan debitor. Kreditor adalah orang atau badan hukum yang
berhak atas prestasi, sedangkan debitor adalah orang atau badan hukum yang
berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
c.
Adanya prestasi. Prestasi adalah apa
yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor.
d.
Dalam bidang kekayaan. Harta kekayaan
adalah menyangkut hak dan kewajiban yang mempunyai nilai uang.
Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata
yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan
1864 dan masing masing bab dibagi menjadi beberapa bagian. Hal yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata, meliputi hal-hal berikut ini:
a. Perikatan
pada umumnya (pasal 1233-1312 KUH Perdara). Hal yang diatur dialamnya meliputi
sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya rugi, dan bunga karena tidak
terpenuhinya suatu perikatan dan jenis-jenis perikatan.
b. Perikatan
yang dilahirkan dari perjanjian (pasal 1313-1351 KUH Perdata). Hal yang diatur
di dalamnya adalah ketentuaan umum, syarat sahnya perjanjian, akibat
perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
c. Perikatan
yang dilahirkan dari UU (pasal 1352-1380 KUH Perdata).
d. Hapusnya
perikatan (pasal 1381-1456 KUH Perdata).
e. Jual
beli (pasal 1457-1540 KUH Perdata). Meliputi ketentuan umum, kewajiban penjual,
kewajiban pembeli, hak membeli kembali, jual beli piutang, dan lain-lain.
f. Tukar
menukar (pasal 1541-1546 KUH Perdata).
g. Sewa
menyewa (pasal 1548-1600 KUH Perdata).
h. Persetujuan
untuk melakukan pekerjaan (pasal 1601-1617 KUH Perdata).
i.
Persekutuan (pasal 1618-1652 KUH
Perdata).
j.
Perkumpulan (pasal 1653-1665 KUH
Perdata).
k. Hibah
(pasal 1666-1693 KUH Perdata).
l.
Penitipan barang (pasal 1694-1739 KUH
Perdata).
m. Pinjam
pakai (pasal 1740-1753 KUH Perdata).
n. Pinjam-meminjam
(pasal 1754-1769 KUH Perdata).
o. Bunga
tetap atau bunga abadi (pasal 1770-1773 KUH Perdata).
p. Perjanjian
untung-untungan (1774-1791 KUH Perdata).
q. Pemberian
kuasa (pasal 1792-1819 KUH Perdata).
r.
Penanggungan utang (pasal 1820-1850 KUH
Perdata).
s. Perdamaian
(pasal 1851-1864 KUH Perdata).
2.
Definisi Perjanjian
Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst
(Belanda) dan contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas
tentang pengertian perjanjian. Menurut teori lama yang disebut perjanjian
adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Dari definisi tersebut telah tampak adanya konsensualisme dan timbulnya akibat
hukum (tumbuh atau lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut teori baru yang
dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari
pengertian perjanjian di atas, terdapat beberapa unsur mengenai perjanjian,
antara lain:
a.
Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua
pihak.
b.
Ada persetujuan antara pihak-pihak yang
bersifat tetap.
c.
Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak.
d.
Ada prestasi yang harus dilaksanakan.
e.
Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
f.
Ada syarat sebagai isi perjanjian.
B. Subjek dan Objek Perikatan
1.
Objek Perikatan
Objek perikatan yaitu yang merupakan hak dari
kreditur dan kewajiban debitur.
Yang menjadi objek perikatan yaitu prestasi atau hal pemenuhan perikatan.
Macam-macam prestasi itu antara lain adalah :
a.
Memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan
kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada kreditur seperti membayar harga
dan lainnya.
b.
Melakukan perbuatan, yaitu melakukan
perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan (perjanjian), misalnya
memperbaiki barang yang rusak.
c.
Tidak melakukan suatu perbuatan, yaitu
tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, misalnya
tidak mendirikan bangunan dan lainnya.
Agar suatu prestasi dapat tercapai, artinya suatu
kewajiban akan prestasi dipenuhi oleh debitur, maka prestasi harus memiliki
sifat-sifat diantaranya ialah harus sudah tertentu atau dapat ditentukan, harus
mungkin, harus diperbolehkan (halal), harus ada manfaatnya bagi kreditur.
2.
Subjek Perikatan
Subjek perikatan adalah para pihak dalam suatu
perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas
prestasi. Apabila seorang debitur tidak memenuhi perikatan tersebut maka
debitur disebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera janji,
terlebih dahulu dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu
peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Ada tiga cara terjadinya
somasi, antara lain:
a.
Debitur melaksanakan prestasi yang
keliru.
b.
Debitur tidak memenuhi prestasi pada
hari yang telah ditetapkan.
c.
Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur
tidak lagi berguna bagi kreditur karena kadaluarsa.
Isi
yang harus dimuat dalam surat somasi diantaranya ialah:
a.
Apa yang dituntut.
b.
Dasar tuntutan.
c.
Tanggal paling lama untuk memenuhi
prestasi.
Sementara
itu, peristiwa yang tidak memerlukan somasi antara lain:
a.
Debitur menolak pemenuhan.
b.
Debitur mengakui kelalaian.
c.
Pemenuhan prestasi tidak mungkin
dilakukan.
d.
Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos).
e.
Debitur tidak melakukan prestasi
sebagaimana mestinya.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Agar sesuatu perjanjian dianggap sah, harus memenuhi
beberapa persyaratan. Menurut Hukum Kontrak (law of contract) USA
ditentukan empat syarat syahnya perjanjian yaitu:
1.
Adanya penawaran (offer) dan
penerimaan (acceptance)
2.
Adanya
persesuaian kehendak (metting
of minds)
3.
Adanya konsiderasi atau prestasi
4.
Adanya kewenangan hukum
para pihak (competent
legal parties) dan pokok persoalan yang sah (legal
subject parties).
Sedangkan
dalam KUH Perdata syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasa 1320 KUH
Perdata yang menentukan syarat sahnya sebagai berikut:
1.
Adanya kesepakatan (toesteming /
izin) kedua belah pihak. Yang dimaksud kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
2.
Kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak
adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan
hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum sebagaimana telah ditentukan oleh UU. Orang yang cakap atau wewenang adalah orang yang dewasa.
Ukuran kedewasaaan adalah telah berumur 21 tahun dan sudah kawin.
3.
Adanya suatu hal atau adanya objek
perjanjian (onderwerp der overeentskoms). Di dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang
menjadi hak kreditor. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
dan tidak berbuat sesuatu. Misalnya, jual beli rumah yang menjadi prestasi atau
pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah itu.
4.
Adanya causa yang halal (Geoorloofde
oorzaak). Dalam pasal 1320 KUH Perdara tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa
yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Contohnya adalah A menjual sepeda motor kepada
B, tetapi sepeda motor yang dijual oleh A adalah barang hasil curian. Jual beli
seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B karena B menginginkan barang
yang dibelinya itu barang sah.
D. Asas Asas Perjanjian
Didalam hukum perjanjian dikenal tiga asas, yaitu
asas konsensualisme, asas pacta sunt
servada, dan asas kebebasan berkontrak.
1.
Asas konsensualisme (kesepakatan).
Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu
perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para
pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai
kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Berdasarkan Pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya
tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para
pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan dalam
bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian
yang dibuat secara lisan didasarkan pada
asas bahwa manusia itu dapat dipegang mulutnya, artinya dapat dipercaya
dengan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada beberapa perjanjian tertentu
yang harus dibuat secara tertulis,
misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibahan,
perjanjian pertanggungan dan sebagainya.
Tujuannya ialah sebagai alat bukti lengkap dari pada yang diperjanjikan.
2.
Asas pacta sunt servada
Asas
Pacta Sunt Servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan : Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang
dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah :
a.
Pertama, istilah “semua perjanjian”
berarti bahwa pembentuk Undang-Undang menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang
tidak bernama. Seiain itu juga mengandung
suatu asas partij autonomie.
b.
Kedua, istilah “secara sah” artinya bahwa pembentuk Undang-Undang menunjukkan bahwa pembuatan
perjanjian harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai Undang-Undang
terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum.
c.
Ketiga, istilah “itikad baik” hal ini berarti memberi
perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi
seimbang. Ini merupakan realisasi dari
asas keseimbangan.
3.
Asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan
berkontrak (freedom of contract),
adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan
ini adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia. Di dalam hukum perjanjian
internasional, asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab, yang manpu
memelihara keseimbangan tetap perlu dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan
seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, serta
menentukan bentuknya perjanjian secara lisan atau tertulis.
Selain ketiga
asas diatas,
dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan
asas hukum perikatan nasional yaitu asas kepercayaan, asas
persamaan hukum,
asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatuhan, asas kebiasaan dan
asas perlindungan.
E. Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat
dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis
suatu perjanjian diantaranya adalah:
1.
Perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian
yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian
timbal balik adalah perjanjian sewa menyewa (hurr en verburr) KUH
Perdata pasal 1548 dan seterusnya, yaitu suatu perjanjian dimana pihak 1 (yang
menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak 2 (si penyewa) untuk
menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak 2 membayar sejumlah uang sewanya.
Sementara itu, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah.
Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan,
dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
2. Perjanjian
cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian
percuma adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian dalam perjanjian ini hanya memberika
keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai. Perjanjian
atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi
dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan
antara kedua prestasi itu ada hubugannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat
berupa kewajiban pihak lain ataupun pemenuhan suatu syarat potestatif
(imbalan). Misalnya X menyanggupi memberikan kepada Y sejumlah uang, jika Y
menyerahkan lepaskan suatu barang tertentu kepada X.
3. Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak bernama
(non benoemd overeenkomst).
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang diatur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak
terjadi sehari-hari. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lainnya. Sementara
perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu
dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak
yang mengadakannya seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dsb.
Perjanjian tidak bernama tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi lahirnya di
dalam masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator.
Perjanjian kebendaan atau zakelijk overeenkomst adalah
perjanjian untuk memindahkan
hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Artinya, sejak terjadi perjanjian timbulah hak dan kewajiban pihak-pihak.
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan
barang.
5. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antar
kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan
mengikat (pasal 1338 KUH Perdata). Perjanjian riil adalah perjanjian disamping
ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas
barangnya.
6. Perjanjian publik.
Perjanjian publik adalah perjanjian yang
sebagian atau seluruhnya dukuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak
yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Contohnya
ialah perjanjian ikatan dinas.
7.
Perjanjian campuran.
Perjanjian
campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya
pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi juga menyajikan
makanan (jua lbeli) dan juga memberika pelayanan.
Dalam hukum perikatan, bentuk perjanjian dapat juga
dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian tertulis dan tidak tertulis. Dalam
perjanjian tidak tertulis atau lisan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Sedangkan dalam
perjanjian tertulis, adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan,
meliputi perjanjian dibawah tangan yaitu perjanjian yang hanya ditandatangani
oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian dengan saksi notaris (perjanjian yang
ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi oleh notaris, dan
perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris.
F.
Resiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa
1.
Resiko
Resiko adalah kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar salah satu pihak, yang
menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.
Jadi pokok pangkalnya resiko adalah keadaan memaksa. Sementara titik
pangkalnya dalam jika dalam wanprestasi adalah ganti rugi.
Mengenai resiko, sebenarnya dapat disimak dalam
pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan bahwa dalam hal adanya kontrak untuk
memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu tersebut semenjak kontrak
dilahirkan, adalah atas tanggungan berpiutang (tanggungan=resiko). Dengan
begitu, dalam kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu jika barang ini
sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu
pihak, maka kerugian harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak penerima
barang.
Resiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni
resiko dalam perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbal balik. Lebih
jelasnya adalah seperti berikut ini:
a.
Resiko dalam perjanjian sepihak yakni
resiko ditanggung oleh kreditur. Resiko ini diatur dalam pasal 1237 KUH
Perdata.
b.
Resiko dalam perjanjian timbal balik.
Resiko dalam jenis ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu resiko jual beli yang
diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata yakni resiko ini ditanggong oleh pembeli,
resiko dalam tukar menukar yang diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata yakni
resiko ditanggung oleh pemilik barang, dan yang terakhir adalah resiko dalam
sewa menyewa, yang diatur dalam pasal 1553 yakni resiko ditanguung oleh pemilik
barang.
2. Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”
yang berarti prestasi buruk atau cedera janji. Dalam bahasa Inggris,
wanprestasi disebut breach of contract, yang berarti tidak
dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak. Secara
etimologi, wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian
atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam kontrak. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah
sebagai berikut:
a.
Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b.
Memenuhi prestasi tetapi tidak dapat
pada waktunya.
c.
Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan
wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dala kontrak itu ditentukan trnggang
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan perlu memperingatkan debitur
supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang
waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggapp lalai
dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan. Akibat hukum dari
wanprestasi adalah:
a.
Debitur diharuskan membayar ganti rugi
(pasal 1243 KUH Perdata).
b.
Kreditur dapat meminta pembatalan
kontrak melalui pengadilan (pasal 1266 KUH Perdata).
c.
Kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak
atau pemenuhan kontrak disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti
rugi (pasal 1267 KUH Perdata)
Apabila seorang debitur yang dituduh cidera janji
dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya
dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan. Pembelaan
tersebut ada tiga macam yaitu:
a.
Karena adanya keadaan memaksa (overmacht
atau force majeur).
b.
Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga
telah lalai (exceptio non adimpleti contractus).
c.
Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtvenverking).
3.
Keadaan Memaksa (Overmacht /
Forcemajeur)
Keadaan
memaksa atau overmacht yaitu ketika dalam suatu kontrak bisnis, ketika
debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi
prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, maka debitur tidak dapat dipersalahkan. Dengan
perkataan lain, debitur tidak dapat memenuh kewajiban karena overmacht.
Dengan demikian kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaiamana hak yang
dimiliki oleh kreditur dalam wanprestasi. Adapun yang termasuk unsur-unsur overmacht
adalah sebagai berikut:
a.
Ada halangan bagi debitur untuk memenuhi
kewajiban.
b.
Halangan itu bukan karena kesalahan
debitur.
c.
Tidak disebabkan oleh keadaan yang
menjadi resiko bagi debitur.
Overmacht mengakibatkan suatu
kontrak berhenti. Overmacht tidak melenyapkan adanya kontrak akan tetapi,
hanya menghentikan kontrak. Dalam suatu kontrak timbal balik, apabila salah
satu dari pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi, maka lawan
juga harus dibebaskan untuk berprestasi. Ketentuan dalam Overmacht
diatur dalam KUH Perdata pasal 1244 dan pasal 1245. Pada pasal 1244 berbunyi:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tidak
dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya
waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak
terduga, yang dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun tidak ada iktikad buruk
padanya”. Selanjutnya pada pasal 1245 berpunyi: “Tidak ada penggantian biaya
kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang secara kebetulan,
debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
melakukakan suatu perbuatan yang terlarang olehnya”.
Keadaan memaksa dapat
diklasifikasikan menjadi
dua
yaitu:
a.
Keadaan memaksa absolut
Keadaan memaksa absolut yaitu suatu keadaaan di mana
debitur sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditur, oleh
karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya adalah si
A ingin membayar utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin
melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak
bisa membayar hutang.
b.
Keadaan memaksa relatif
Keadaan memaksa relatif yaitu suatu keadaan yang
menyebabkan debitur masih memungkinkan melaksanakan prestasinya, tetapi
pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan mmberikan korban yang besar
yang tidak seimbang, atau menggunakan kekuata jiwa yang di luar kemampuan
manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Cntohnya seorang penyanyi telah
mengikatkan dirinya untuk suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum
pertunjukan, ia menerima bahwa anaknya meninggal.
G. Terhapusnya Perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata suatu
perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir
karena beberapa hal diantaranya adalah:
a.
Pembayaran, yaitu jika kewajiban
terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata).
b.
Penawaran bayar tunai diikuti
penyimpanan atau penitipan.
c.
Pembaharuan utang, yaitu apabila utang
yang lama digantikan oleh utang yang baru.
d.
Kompensasi atau imbalan, yaitu apabila
kedua belah pihak saling berhutang, maka utang mereka masing-masing
diperhitungkan.
e.
Percampuran utang yaitu apabila pada
suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada di satu tangan seperti
warisan.
f.
Pembebasan utang, yaitu apabila kreditur
membebaskan segala utang-tang dan kewajiban hak debitur.
g.
Batal dan pembatalan, yaitu apabila
perikatan itu batal atau dibatalkan.
h.
Hilangnya benda yang diperjanjikan,
yaitu apabila benda yang diperjanjikan binasa,
hilang, atau menjadi tidak dapat diperdagangkan.
i.
Timbul syarat yang membatalkan, yaitu
ketentuan si perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.
j.
Kedaluarsa atau lewat waktu.
Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda
dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya
yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya, pada persetujuan jual beli,
dengan dibayarkanya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus,
sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang
belum terlaksana. Suatu perjanjian akan berakhir atau hapus apabila:
a.
Telah lampau waktunya (kadaluarsa).
b.
Telah mencapai tujuannya.
c.
Dinyatakan berhenti. Para pihak atau
undang-undang dapat menentukan bahwa terjadinya peristiwa tertentu, maka
perjanjian akan hapus.
d.
Dicabut kembali.
e.
Diputuskan oleh hakim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari
pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah
suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian
maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah
karena pembayaran, kompensasi, pembayaran utang dll. Sementara itu, hapusnya
suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus,
sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi,
Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia. 2012.
Salim Hs. Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
Santoso
AZ, Lukman. Hukum Perikatan. Malang: Setara Press. 2016.
Subekti.
Pokok-Pokok Hukum
Perdata.
Jakarta: Intermassa. 2002.
Tutik,
Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2010.
Sari,
Elis Kartika, et. All. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Grasindo. 2007.
KUH
Perdata dan KUHA Perdata. tk: Pustaka Buana. 2015.
No comments:
Post a Comment