DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar
Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan........................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 4
A. Pengertian..................................................................................................... 4
B. Etiologi......................................................................................................... 4
C. Tanda
dan Gejala......................................................................................... 5
D. Komplikasi................................................................................................... 6
E. Asuhan
Keperawatan................................................................................... 6
BAB III PENUTUP............................................................................................. 16
A. Kesimpulan................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kusta (Morbus hansen) merupakan suatu
penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae yang
pertama kali menyerang syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, membran
mukosa, saluran pernafasan bagian atas, mata, dan jaringan tubuh lainnya
kecuali susunan saraf pusat (Amiruddin, 2012). Penderita kusta dapat
disembuhkan, namun bila tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat akan
beresiko menyebabkan kecacatan pada syaraf motorik, otonom atau sensorik
(Kafiluddin, 2010). Penyakit kusta termasuk dalam salah satu daftar penyakit
menular yang angka kejadiannya masih tetap tinggi di negara-negara berkembang
terutama di wilayah tropis (WHO, 2012).
Penderita kusta membawa dampak yang
cukup parah bagi penderitanya. Dampak tersebut dapat berbentuk kecacatan yang
menyebabkan perubahan bentuk tubuh. Dampak dari kecacatan tersebut sangatlah
besar yaitu umumnya penderita kusta merasa malu dengan kecacatannya, segan
berobat karena malu, merasa tekanan batin, dan merasa rendah diri (Rahariyani,
2007). Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, dan
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang di timbulkannya. Dukungan
keluarga sangat penting bagi anggota keluarganya yang sakit. Terutama bagi
anggota keluarga yang menderita penyakit kusta. Keluarga yang takut tertular
penyakit kusta, akan mempengaruhi partisipasinya dalam hal perawatan kesehatan
bagi anggota keluarga yang menderita kusta sehingga hal itu akan membuat kurang
memberikan dukungan kepada penderita dalam hal pemberian informasi maupun
pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengobati penyakit tersebut
(Amiruddin, 2012).
Angka kejadian kusta dari tahun ke tahun
sudah menunjukkan penurunan, namun angka tersebut masih tetap tergolong tinggi
(WHO, 2012). Tahun 2009 jumlah penderita kusta di dunia yang terdeteksi
sebanyak 213.036 orang, tahun 2010 sebanyak 228.474 orang, tahun 2011 sebanyak 192.246
orang dan tahun 2012 sebanyak 181.941 orang (WHO, 2012).
Hasil Riskesdas tahun 2018, Indonesia
merupakan salah satu negara yang masih
memiliki jumlah penderita kusta yang masih tinggi dengan rincian tahun
2015 sebanyak 17.202 jiwa (6,73%), 2016 sebanyak 16.826 jiwa (6,50%), dan tahun
2017 sebanyak 15.920 (6,08%), dimana total keseluruhan tiga tahun
berturut-turut 49.948 jiwa. Dengan jumlah kasus tersebut Indonesia menempati
peringkat ketiga jumlah kasus kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brazil
(Dirjen P2P Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan data kusta diatas Nusa
Tenggara Timur termasuk salah satu propinsi yang memiliki angka penyebaran
penyakit kusta masih cukup tinggi yaitu pada tahun 2017 dengan jumlah kasus
baru yang ditemuka yaitu laki 266 jiwa dan perempuan 139 jiwa dengan total
keseluruhan 405 jiwa (Dirjen P2P Kemenkes RI, 2018). Prevalensi Kusta di Kota
kupang tercatat 10 kasus positif kusta selama tahun 2017. Sehingga secara
keseluruhan jumlah penderita kusta di Kota Kupang sudah berjumlah 67 orang.
Dalam waktu tiga tahun terakhir cenderung naik turun. Pada tahun 2015,
jumlahnya yang positif 3 kasus dan di tahun 2016 menurun jadi satu kasus,
sedangkan di tahun 2017 alami peningkat menjadi 6. Sehingga total keseluruhan
pada tiga tahun terakhir menjadi 10 kasus “10 kasus ini sesuai hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Puskesmas yang ada di Kota Kupang terhadap
warga. selain ditemukan yang positif, ditemukan juga suspek (gejala) sebanyak
21 pasien.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari
kusta ?
2.
Bagaimana etiologi
kusta ?
3.
Bagaimana tanda dan
gejala kusta ?
4.
Bagaimana komplikasi
kusta ?
5.
Bagaimana asuhan
keperawatan kusta ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa
pengertian kusta
2.
Untuk mengetahui
bagaimana etiologi kusta
3.
Untuk mengetahui
bagaimana tanda dan gejala kusta
4.
Untuk mengetahui
bagaimana komplikasi kust
5.
Untuk mengetahui
nagaimana asuhan keperawatan kusta
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular,
menahun (lama) yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae). Penyakit
tersebut menyerang kulit, saraf tepi dan dapat menyerang jaringan tubuh lainnya
kecuali otak. Kusta bukan penyakit keturunan, dan bukan disebabkan oleh
kutukan, guna-guna, dosa atau makanan. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi
yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
ukosa traktus respiratirius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat (Djuanda Adhi, 2010)
B.
Etiologi
Etiologi lepra, atau juga dikenal dengan
kusta atau morbus Hansen, adalah mycobacterium leprae. Pada tahun 1873, seorang
dokter dari Norwegia Gerhard Armauer Hansen mengidentifikasi bakteri
mycobacterium leprae sebagai penyebab dari lepra.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri
dari kelas schizomycetes, ordo Actiinomycetales, family mycobacterium laprae
berbentuk batang dengan bentukan bulat dikedua ujungnya, berukuran panjang
1,5-8 mikron dan diameter 00,2-05 mikron. Mycobacterium leprae berwarna merah
dengan pewarnaan Ziehl Nielsen. Mycobacterium leprae tidak dapat dikultur
dimedia manapun.
Mycobacterium leprae utamanya
menginfeksi sel makrofag dan sel schwann. Mycobacterium leprae berproduksi
dengan cara pembelahan biner dan berlangsung sangat lambat ( setiap 12-14 hari
). Suhu yang diperlukan untuk bakteri tersebut bertahan dan proliferasi antara
27-30 c, sehingga insidensi bakteri lebih tinggi pada area permukaan seperti
kulit, saraf perifer, dan saluran nafas atas. Mycobacterium leprae dapat
bertahan selama 9 hari dilingkungan.
Macam-macam
Bentuk Kusta:
1)
Kusta bentuk kering : tidak menular, kelainan kulit
berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih besar, sering timbul di
pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, kulit kehilangan
daya rasa sama sekali.
2)
Kusta bentuk basah :
bentuk menular karena kumannya banyak terdapat di selaput lender hidung, kulit
dan organ tubuh lainnya, dapat berupa bercak kemerahan, kecil-kecil tersebar
diseluruh badan atau berupa penebalan kulit yang luas sebagai infiltrate yang
tampak mengkilap dan berminyak, dapat berupa benjolan merah sebesar biji jagung
yang tersebar di badan, muka dan daun telinga. Disertai rontoknya alis,
menebalnya daun telinga.
3)
Kusta tipe peralihan :
merupakan peralihan antara kedua tipe utama. Pengobatan tipe ini di masukkan
kedalam jenis kusta basah.
Cara Penularan Penyakit Kusta
1)
Penularan terjadi dari
penderita kusta yang tidak diobati ke orang lain dengan kontak lama melalui
pernafasan.
2)
Kontak langsung yang
lama dan erat melalui kulit.
3)
Tidak semua orang dapat
tertular penyakit kusta, hanya sebagian kecil saja (sekitar 5%) yang tertular
kusta.
4)
Jadi dapat dikatakan
bahwa penyakit kusta adalah penyakit
menular yang sulit menular.
5)
Kemungkinan anggota
keluarga dapat tertular
kalau penderita tidak berobat oleh karena itu seluruh anggota
keluarga harus diperiksa (Widoyono, 2008).
C.
Tanda
dan Gejala
Menurut Mansjoer Arif (2005) Tanda dan
gejala utama penyakit kusta anatara lain :
1)
Kelainan atau lesi
kulit yang mati rasa
2)
Penebalan saraf tepi
sertai gangguan saraf (mati rasa, kelemahan, kelumpuhan otot, kulit kering dan
retak-retak)
3)
Ditemukannya
mycobacterium leprae pada pemeriksaan hapusan kulit
Gejala lain menurut Djuanda Adhi (2010):
Wajah berbenjol benjol dan tegang, demam
dari derajat rendah sampai menggigil, napsu makan menurun, mual muntah dan
sakit kepala.
D.
Komplikasi
Neuropati dapat menginduksi terjadinya
trauma, nekrosis, infeksi sekunder, amputasi jari dan ekstremitas. Pengobatan
kortikosteroid hanya 60% memperbaiki fungsi saraf. Kontraktur dapat menyebabkan
kekakuan, yang akibatnya dapat terjadi clawing hand and feet. Terjadinya
kelemahan dari hilangnya persarafan pada otot merupakan bukti terjadinya
deformitas. Luka dapat menyebabkan
“Charcot’s joint” yang merupakan penyebab utama terjadinya deformitas.
Artritis/arthralgia dapat terjadi kira-kira 10% pada pasien dengan kusta dan
gejala persendian yang ada hubungannya dengan reaksi (Mandal, 2006).
Komplikasi pada mata yaitu keratitis
yang dapat terjadi karena berbagai faktor termasuk karena mata yang kering,
insensitifitas kornea dan lagophtalmus. Keratitis dan lesi pada bilik anterior
bola mata, umumnya terjadi iritis dan menyebabkan kebutaan. Juga dapat terjadi
ektropion dan entropion, menurut penelitian resiko kopmlikasi mata terjadi pada
pasien dengan tipe MB, setelah menyelasaikan MDT menjadi 5,6% dengan komplikasi
kerusakan mata sebanyak 3,9% (Syafrudin, dkk, 2011).
E.
Asuhan
Keperawatan
1.
Pengkajian
a.
Biodata
Merupakan data subyektif yang didapat
dari klien terhadap situasi dan kejadian, informasi tersebut tidak dapat
ditentukan oleh tenaga kesehatan secara independent tetapi melalui suatu sistem
interaksi atau komunikasi seperti:
1)
Nama untuk mengenal dan
mengetahui pasien sehingga penulisan nama harus jelas dan lengkap, bila perlu
nama panggilan sehari-hari agar tidak keliru dalam memberikan pelayanan.
2)
Umur dicatat dalam
tahun untuk mengetahui adanya resiko dalam menentukan dosis obat, sikap yang
belum matang, mental dan psikisnya belum siap.
3)
Agama untuk memberikan
motivasi dorongan moril sesuai dengan agama yang dianut;
4)
Suku untuk mengetahui
faktor bawaan atau ras serta pengaruh adat istiadat atau kebiasaan sehari-hari;
5)
Pendidikan Perlu
dinyatakan karena tingkat pendidikan berpengaruh pada tingkat pemahaman
pengetahuan, sehingga perawat dapat memberikan konseling sesuai dengan
pendidikannya;
6)
Alamat Untuk mengetahui
tempat tinggal serta mempermudah pemantauan bila diperlukan melakukan kunjungan
rumah;
7)
Pekerjaan untuk
mengetahui status ekonomi keluarga, karena dapat mempengaruhi pemenuhan gizi
pasien tersebut.
b.
Riwayat Kesehatan
1)
Kesehatan sekarang
Biasanya klien dengan penyakit kusta
datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis
(nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam
ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
2)
Kesehatan masa lalu
Pada klien dengan reaksinya mudah
terjadi jika dalam kondisi lemah, stres, sesudah mendapat imunisasi.
3)
Riwayat kesehatan
keluarga
Kusta merupakan penyakit menular yang
menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang
mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
4)
Riwayat psikologi
Klien yang menderita penyakit kusta akan
malu karena sebagian besar rmasyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini
merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi
tubuh dan komplikasi yang diderita.
5)
Pola aktivitas
sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena
adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang
tidak memungkinkan.
c.
Pemeriksaan Fisik
Di awali dengan menilai keadaan umum
klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
1)
Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,
kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.
2)
Sistem syaraf
Kerusakan fungsi sensorik. Pada kasus
kusta biasanya yang terjadi yaitu mati rasa pada telapak tangan dan kaki,
kadang disertai luka, pada kornea mata mengakibatkan kurang/hilangnya reflek
kedip. Kerusakan fungsi motorik. Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). Kerusakan fungsi otonom. Terjadi
gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah. System Musculoskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik
adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan
atropi. System Integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar
keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering,
tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika
terdapat bercak (Judith dkk, 2011).
2. Diagnosa
Keperawatan Berdasarkan NANDA 2015
Dari data tersebut diatas masalah
keperawatan yang akan muncul antara lain:
a.
Nyeri akut/kronik
berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi).
b.
Kerusakan integritas
kulit berhubungan factor mekanik (daya gesek) dan proses inflamasi
c.
Intoleransi aktifitas
berhubungan dengan kelemahan otot.
d.
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
e.
Ansietas berhubungan
dengan perubahan status kesehatan.
f.
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan informasi in adekuat.
3. Rencana
Keperawatan
Diagnosa 1: Nyeri kronik berhubungan
dengan agensi cedera biologis (infeksi).
NOC : Pain level (Level nyeri), Pain
control (Kontrol nyeri) dan Comfort level (Level kenyamanan) dengan Kriteria
hasil :
a.
Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
b.
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c.
Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d.
Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
4. Tanda
vital dalam rentang normal
NIC :Pain management (Manajemen nyeri)
a.
Lakukan pengkajian
nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
b.
Observasi reaksi
nonverbal dari ketidaknyamanan
c.
Gunakan teknik
komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
d.
Kaji kultur yang
mempengaruhi respon nyeri
e.
Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
f.
Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
g.
Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
h.
Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
i.
Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j.
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
k.
Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan intervensi
l.
Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
m.
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
n.
Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o.
Tingkatkan istirahat
p.
Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
q.
Monitor penerimaan
pasien tentang manajemen nyer
Analgesic Administration (Administrasi
analgesic)
a.
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
b.
Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
c.
Cek riwayat alergi
d.
Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
e.
Tentukan pilihan
analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
f.
Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
g.
Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
h.
Monitor vital sign
sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
i.
Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri hebat
j.
Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
Diagnosa 2: Kerusakan integritas kulit
berhubungan factor mekanik (daya gesek) dan proses inflamasi
NOC: Integritas jaringan kulit dan
membrane mukosa, yaitu: keutuhan struktur dan fungsi fisiologis kulit dan
selaput lendir secara normal.
NIC:
a.
Lakukan pemeriksaan
untuk mengidentifikasi terjadinya
kerusakan integritas kulit.
b.
Tentukan penyebab dari
terjadinya kerusakan integritas kulit.
c.
Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang longgar.
d.
Hindari kerutan pada
tempat tidur.
e.
Anjurkan pasien untuk
menjaga kebersihan kulitnya agar tetap bersih dan kering.
f.
Monitor kulit akan
adanya kemerahan.
g.
Oleskan lotion atau
minyak/baby oil pada derah yang tertekan.
h.
Anjurkan pasien untuk
mandi dengan menggunakan sabun dan air hangat.
i.
Gunting kuku dan
bersihkan kuku yang kotor.
Diagnosa 3: Intoleransi aktifitas
berhubungan dengan kelemahan otot.
NOC
: Energy conservation
(Konservasi energi), Self Care: ADLs
(Perawatan diri: Kegiatan sehari-hari) dengan Kriteria Hasil :
a.
Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
b.
Mampu melakukan
aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
NIC : Energy Management (Manajemen
energy)
a.
Observasi adanya
pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
b.
Anjurkan pasien untuk
mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
c.
Kaji adanya factor yang
menyebabkan kelelahan
d.
Monitor nutrisi dan
sumber energi tangadekuat
e.
Monitor pasien akan
adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
f.
Monitor respon
kardivaskuler terhadap aktivitas
g.
Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat pasien
Activity Therapy (Terapi aktivitas)
a.
Kolaborasikan dengan
Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
b.
Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c.
Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
d.
Bantu untuk
mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
e.
Bantu untuk mendpatkan
alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek
f.
Bantu untu
mengidentifikasi aktivitas yang disukai
g.
Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan diwaktu luang
h.
Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
i.
Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif beraktivitas
j.
Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan penguatan
k.
Monitor respon fisik,
emoi, social dan spiritual
Diagnosa 4: Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.Setelah dilakukan
intervensi keperawatan selama 1x24 jam diharapkan citra tubuh (body image)
klien meningkat.
NOC: Bodyimage (Citra tubuh), Self
esteem Outcome/ dengan klriteria hasil:
a.
Body image (citra
tubuh) positif
b.
Mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
c.
Mendiskripsikan secara
faktual perubahan fungsi tubuh
d.
Mempertahankan
interaksi social
NIC: Body image enhancement (Peningkatan
Citra Tubuh) :
a.
Kaji secara verbal dan
non verbal respon klien terhadap tubuhnya
b.
Monitor frekuensi
mengkritik dirinya
c.
Jelaskan tentang
pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
d.
Dorong klien
mengungkapkan perasaannya
e.
Identifikasi arti
pengurangan melalui pemakaian alat bantu
f.
Fasilitasi kontak
dengan individu lain dalam kelompok kecil
Diagnosa 5: Ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan.
NOC : Anxiety control (Kontrol cemas),
Coping (Koping), Impulse control (Kontrol kemauan/dorongan hati) dengan
Kriteria Hasil :
a.
Klien mampu
mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
b.
Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
c.
Vital sign dalam batas
normal
d.
Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
NIC : Anxiety Reduction (penurunan
kecemasan)
a.
Gunakan pendekatan yang
menenangkan
b.
Nyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku pasien
c.
Jelaskan semua prosedur
dan apa yang dirasakan selama prosedur
d.
Pahami prespektif
pasien terhdap situasi stress
e.
Temani pasien untuk
memberikan keamanan dan mengurangi takut
f.
Berikan informasi
faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
g.
Dorong keluarga untuk
menemani anak
h.
Lakukan back / neck rub
i.
Dengarkan dengan penuh
perhatian
j.
Identifikasi tingkat
kecemasan
k.
Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan kecemasan
l.
Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
m.
Instruksikan pasien
menggunakan teknik relaksasi
n.
Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan
Diagnosa
6: Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi in adekuat.
NOC : Knowledge : disease process
(Pengetahuan proses penyakit) dan Knowledge : health Behavior (Pengetahuan :
tingkah laku kesehatan) dengan Kriteria Hasil :
a.
Pasien dan keluarga
menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program
pengobatan.
b.
Pasien dan keluarga
mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
c.
Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
NIC : Teaching : disease Process
(Pengajaran : proses penyakit)
a.
Berikan penilaian
tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik.
b.
Jelaskan patofisiologi
dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi,
dengan cara yang tepat.
c.
Gambarkan tanda dan
gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat.
d.
Gambarkan proses
penyakit, dengan cara yang tepat.
e.
Identifikasi
kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat.
f.
Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat.
g.
Diskusikan pilihan
terapi atau penanganan.
h.
Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan,
dengan cara yang tepat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyakit kusta adalah penyakit menular,
menahun (lama) yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae).
Penyakit tersebut menyerang kulit, saraf tepi dan dapat menyerang jaringan
tubuh lainnya kecuali otak. Kusta bukan penyakit keturunan, dan bukan
disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa atau makanan. Penyakit kusta adalah
penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan ukosa traktus respiratirius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat (Djuanda Adhi, 2010)
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin,
M.D.(2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Brililian
Internasional.
Bulechek,
M. G., Butcher, K. H., Dochterman, M. J., & Wagner, M. C. (2016).
Nursing Interventions
Classification (NIC), Edisi
Keenam. Singapore: Elsevier.
Depkes RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2005.
Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVII. Jakarta
Departemen Kesehatan
RI. (2007). Buku
Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit
Kusta. Jakarta, Tidak Dipublikasikan
Herdman, T.
H., & Kamitsuru,
S. (2017). NANDA
Internasional Diagnosis
Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
No comments:
Post a Comment