DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................................... i
Daftar isi.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
3. Tujuan Masalah........................................................................................................ 3
4. Landasan Teori........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUN PUSTAKA ( ANTIBIOTIK).............................................................. 5
1. Definisi Antibiotik................................................................................................... 5
2. Penggolongan
Antibiotik......................................................................................... 5
3. Golongan
Antibiotik Profilaksi.............................................................................. 7
4. Farmakokinetik Dan
Farmakodinamik Antibiotik................................................... 8
5. Prinsip Penggunaan
Antibiotik................................................................................ 10
6. Definisi Antibiotik
Profilaksis................................................................................. 11
7. Tujuan Pemberian
Antibiotik Profilaksis................................................................. 11
8. Dasar Pemberian
Antibiotik Profilaksis Pada Operasi............................................ 14
9. Pemilihan
Antibiotik Profilaksis Pada Operasi........................................................ 14
10. Jalur Dan Waktu
Pemberian Antibiotik Profilaksis................................................. 15
11. Durasi Pemberian
Antibiotik Profilaksis................................................................. 16
12. Prinsip Penggunaan Antibiotik
Bijak...................................................................... 17
13. Resistensi
Antibiotik............................................................................................... 18
BAB III ( ANTIVIRUS )................................................................................................... 22
1. Definisi Antivirus.................................................................................................... 22
2. Seklus Hidup Virus................................................................................................. 22
3. Siklus Lirik.............................................................................................................. 22
4. Siklus Lisogenik...................................................................................................... 23
5. Tahap Infeksi Virus................................................................................................. 24
6. Perlaksanaan
Farmakologi....................................................................................... 25
7. Antinonretrovirus....................................................................................................
37
8. Gejala.......................................................................................................................
42
9. Faktor Resiko.......................................................................................................... 44
BAB IV PENUTUP............................................................................................................ 45
1. Kesimpulan.............................................................................................................. 45
2. Saran........................................................................................................................
45
Daftar Pustaka..................................................................................................................... 46
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Antibiotik merupakan
golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian
infeksi bakteri. Di negara yang sudah maju
13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan
antibiotik baik secara tunggal maupun kombinasi,
sedangkan di negara berkembang 30-80% dirawat di rumah sakit mendapat
antibiotik. Seringkali
penggunaan antibiotik dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang
tidak dikehendaki, oleh karena itu penggunaan antibiotik harus mengikuti
strategi peresepan antibiotik(Johns Hopkins Medicine et al., 2015).
Penulisan resep dan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat tersebut cenderung meluas. The
Center for Disease Control and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak
diperlukan (unnecessary prescribing) dari 150 juta peresepan setiap
tahun (Center for Disease Control and Prevention et al., 2013).
Penyakit infeksi seringkali dialami oleh pasien geriatrik karena
pada geriatrik memiliki kerentanan terhadap infeksi yang lebih
tinggi dibandingkan pasien lain (Beckett et al., 2014), penggunaan
antibiotik karena pasien geriatrik memiliki risiko yang lebih besar mengalami
ketidaktepatan penggunaan antibiotik daripada anak-anak dan orang dewasa, salah satu faktor
yang sering kali menjadi penyebab yaitu menurunnya fungsi hati dan ginjal pada
pasien geriatri, kerentanan terhadap penyakit infeksi meningkat dengan
bertambahnya usia, penurunan pH pada gastrointestinal pada proses absorpsi, penurunan
cairan tubuh pada proses distribusi, penurunan aliran darah hepatik pada proses
metabolisme, dan penurunan sekresi tubular pada klirens (Eko, 2013). Kemudian
pada penggunaan antibiotik, penyakit infeksi sering kali diderita oleh penduduk
di Negara berkembang dari pada di negara maju, berbagai studi menemukan bahwa
sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk
penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian
kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80%
tidak didasarkan pada indikasi. Intensitas penggunaan
antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman
global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain
berdampak pada mortalitas, juga memberi dampak
negatif
terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kementerian Kesehatan RI,
2011).
Perkembangan obat anti virus baik sebagai profilaksis ataupun terapi belum mencapai hasil seperti apa yang
di inginkan oleh sebagian besar
manusia. Berbeda dengan
anti mikroba lainya, antivirus yang dapat menghambat atau membunuh
virus juga
akan dapat merusak sel hospes dimana virus itu berada. Ini karena replikasi
virus RNA maupun DNA berlangsung didalam sel hospes dan membutuhkan
enzim dan bahan lain dari hospes. Tantangan bagi penelitian ialah bagaimana
menemukan suatu obat yang dapat menghambat secara spesifik salah satu proses
replikasi virus seperti peletakan,
uncoanting dan replikasi. Analisis biokimiawi dari proses sintesis virus telah membuka tabir bagi terapi
yang efektif untuk beberapa infeksi seperti : virus hespes,
beberapa virus saluran napas dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Dengan
mencuatnya masalah penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) maupun virus lainnya, maka kegiatan penelitian mencari obat
antivirus telah mendapat dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak baik swasta
maupun pemerintah, terutama di Negara maju.
Sejumlah obat anti virus dapat
dikembangkan didekade
50 dan 60, saat ini memiliki pemanfaatan terbatas. Obat ini adalah idoksuridin, vidarabin dan sitarabin. Obat tersebut bersifat tidak selektif dalam menghambat replikasi virus sehingga banyak fungsi sel
hospes juga dihambat. Toksisitas misalnya supresi sumsum tulang telah menghalangi obat di atas digunakan secara parental kecuali vidarabin. Hanya
idoksuridin dan vidarabin yang saat ini masih dapat digunakan secara topikal sebagai obat pilihan kedua dan
ketiga pada herpes simplex keratin
konjunctifitis. Obat antivirus generasi baru
pada umumnya bekerja lebih selektif terutama
asiklovir sehingga toksisitasnya lebih rendah.
2.
Tujuan
Penelitian
1.
Mengetahui
pengertian dari antibiotik dan antivirus
2.
Mengetahui
jenis-jenis dari antibiotik dan antivirus
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Konsep
Antibiotik
1).
Pengertian Antibiotik
Menurut asalnya anti bakteri dapat dibagi menjadi dua,
yaitu antibiotik dan agen kemoterapetik. Antibiotik merupakan zat kimia yang
dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk
menhambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin,
sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-lain. Antibiotik yang relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai agen
kemoterapetik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan dan
tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan
oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa
sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip, contohnya
sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon (Setiabudy,2011; Dorland, 2010).
2). Penggolongan Antibiotik
Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa
atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi
bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila
bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut
maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi.
Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembang biaknya bakteri
lebih lanjut tanpa membahayakan host (Kemenkes, 2011).
Penggolongan antibiotik
berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan sebagai
berikut (Kasper et. al 2005, Setiabudi, 2007, Katzung, et. al. 2011) :
a)
Beta
laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin,ampisilin),
sefalosporin (contohnya sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya:
azteonam) dan karbapenem (contohnya: imipenem).
b)
Tetrasiklin,
contohnya tetrasiklin dan doksisiklin.
c)
Makrolida,
contohnya eritromisin dan klaritromisin
d) Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin
e)
Kloramfenikol,
contohnya kloramfenikol dan tiamfenikol
f)
Aminoglikosida,
contohnyastreptomisn, neomisin dan gentamisin.
g) Sulfonamida (contohnya: sulfadizin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol
(kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol).
h) Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon
(contohnya: siprofloksasin dan levofloksasin)
i)
Glikopeptida,
contohnyavankomisin dan telkoplanin.
j)
Antimikrobakterium,
isoniazid, rifampisin, pirazinamid.
k) Golongan lain, contohnya polimiksin B, basitrasin,
oksazolidindion.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang
bersifat menghambat pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteri ostatik (contohnya
sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin,
linkomisin dan klindamisin) dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal
sebagai aktivitas bakterisid (contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn, neomisin,
kanamisin, gentamisin dan basitrasin). Pada
kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau
infeksi dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotik
bakterisid harus digunakan (Kemenkes, 2011; Setiabudy, 2011).
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu
(Kasper et. al., 2005, Setiabudy, 2011) :
a)
Menghambat
sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari
polipeptidoglikan yaitu
suatu komples polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat
ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang mendaur
ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik yang
termasuk dalam kelompok ini seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin,
dan vankomisin. Pada umumnya bersifat bakterisidal.
b)
Memodifikasi atau menghambat sintesis protein.
Sel bakteri mensintesisberbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan
bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan
ribosom bakteri.Yang termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid,
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin,
klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. Selain
aminoglikosida, pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.
c)
Menghambat
enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya trimetoprim dan sulfonamid. Pada
umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.
d) Mempengaruhi
sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,nitrofurantoin.
e)
Mempengaruhi permeabilitas membran sel
bakteri. Antibiotika yangtermasuk adalah polimiksin. Berdasarkan spektrum
kerjanya, antibiotik terbagi atas duakelompok besar, yaitu antibiotik dengan
aktivitas spektrum luas (broadspectrum)danaktivitas spectrum sempit(narrowspectrum).
1.
Antibiotik
spektrum luas (broad-spectrum)
Spektrum luas, bekerja
terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negative maupun gram positif serta jamur.
Contohnya: tetrasiklin dan kloramfenikol.
2.
Antibiotik
spektrum sempit (narrow spectrum)
Antbiotik spektrum
sempit bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja.Contohnya: penisilin hanya
bekerja terhadap bakteri gram positif dan gentamisin hanya bekerja terhadap
bakteri gram negatif.
3). Golongan antibiotik
yang digunakan pada Terapi Profilaksis
Antibiotik beta-laktam merupakan obat yang menghambat sintesis atau merusak
dinding sel bakteri.Terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur
cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,monobaktam, karbapenem, dan
inhibitor beta-laktamase. Obat-obatan atibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian
besar efektif terhadap organisme Gram-positif dan negatif. Antibiotik
betalaktam mengganggu
sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis
peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada
dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011).
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum
aktivitasantibiotiknya. Salah satu golongan
penisilin yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah golongan aminopenisilin,
sebagai contoh Ampisilin dan Amoksisilin.Selain mempunyai aktivitas terhadap
bakteri Grampositif, juga mencakup mikroorganisme Gram-negatif, seperti Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis.Obat-obat
ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase (asam klavulanat,
sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis oleh betalaktamase yang
semakin banyak ditemukan pada bakteri Gram-negatif.
Obat Ampisilin
diberikan secara intramuskular, intravena dan oralsedangkan obat Amoksisilin
hanya dapat diberikan secara oral denganwaktu paruh obat yaitu, 1,1-1,5 jam
untuk ampisilin dan 1,2-2,0 jam untuk amoksisilin (Kemenkes, 2011).
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa dengan
penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya, yaitu
generasi I hingga IV (Setiabudy, 2011) :
§ Generasi I, yaitu Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin dan
sefadroksil merupakan antibiotik yang efektif terhadap Gram-positifdan memiliki
aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.
§ Generasi II, yaitu Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin, sefotetan,
sefmetazol dan sefprozil memiliki aktivitas antibiotik Gramnegatif yang lebih
tinggi daripada generasi I.
§ Generasi III, yaitu Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim,
sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim dan moksalaktam. Memiliki aktivitas
kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi I, tapi lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase.
Seftazidim dan sefoperazon juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi
kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap kokus Gram-positif.
§ Generasi IV, yaitu sefepim dan sefpirom memiliki aktivitas lebih
luas dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase. Banyak rumah
sakit di negara berkembang menggunakan antibiotik sefalosporin dalam jumlah
berlebihan, terutama di bagian bedah sebagai pilihan antibiotik profilaksis.
Mikroorganisme yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah organisme
komensal, seperti stafilokokkus gram negatif, Pseudomonas aeruginosa,
enterococci
§ danCandida albicans, dan organisme yang lebih pathogen seperti
Clostridium difficile, penicillin-resistant pneumococci,
multiplyresistant coliforms dan methicillin-resistant Staphylococcusaureus
(MRSA). Beberapa organisme ini secara konstitutif resisten terhadap
sefalosporin sementara yang lain telah resisten, biasanya akibat resistensi
ganda.(Dancer, 2001).
4) Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik
Pemahaman mengenai
sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk
menetapkan jenis dan dosis antibiotic secara tepat. Agar dapat menunjukkan
aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus
memiliki beberapa sifat berikut ini (Kemenkes,
2011, Setiabudy, 2011) :
a)
Aktivitas
mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya (misalnya
ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
b)
Kadar
antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggikadar
antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c)
Antibiotik
harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup memadai agar
diperoleh efek yang adekuat.
d) Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Secara umum terdapat
dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat farmakokinetikanya, yaitu;
a.
Time
dependent killing.
Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar diatas Kadar Hambat
Minimum (KHM) sangat penting untukmemperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan.
Pada kelompok inikadar antibiotik dalam darah diatas KHM paling tidak selama50%interval
dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time dependent killingantara
lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida.
b.
Concentration
dependent.
Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darahmelampaui KHM maka
semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadapbakteri. Untuk kelompok ini
diperlukan rasio kadar/ KHM sekitar 10. Inimengandung arti bahwa rejimen dosis
yang dipilih haruslah memilikikadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih
tinggi dari KHM. Jikagagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan
akanmengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya
menjadisalah satu penyebab timbulnya resistensi.Farmakokinetik (PK) membahas
tentang perjalanan kadarantibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik
(PD) membahastentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek
antibiotiknya.Dosisantibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja.
Namun,ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih
penting.Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD
bahkanmenjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa
digunakanuntuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau
mencegahresistensi.Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih
menjadistandar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan
farmakodinamik telah semakin sering digunakan.Beberapa ukuran PK danPD lebih prediktif
terhadap efikasi klinis. (Kemenkes RI, 2011)
5). Prinsip Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibitik yang rasional didasarkan
pada pemahaman dari banyak aspekpenyakit infeksi.Faktor yang berhubungan
denganpertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi dan kepekaan
mikroorganisme,farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotic perlu
diperhatikan (Gould IM, et. al., 2005). Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotik digunakan
padakeadaan berikut (Gyssens, 2005; Kemenkes RI.,2011) :
1. Terapi empiris.
Pemberian antibiotika
untuk mengobati infeksi aktif padapendekatan buta (blind) sebelum
mikroorganisme penyebab diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif
ditentukan.Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberian antibiotik
pada terapi empiris adalahditemukan sindrom klinis yang mengarah pada
keterlibatan bakteritertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.Rute
pemberian pada antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotic parenteral.durasi
pemberian pada antibiotic empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
2. Terapi definitif.
Pemberian antibiotik untuk mikroorganisme spesifik yang
menyebabkan infeksi aktif atau laten. Penggunaan antibiotik untukm
terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yangsudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya.Tujuanpemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah
eradikasi ataupenghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,berdasarkan
hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberianantibiotik pada terapi
definitif adalah sesuai dengan hasil mikrobiologiyang menjadi penyebab infeksi.
Rute pemberian adalah antibiotik oral seharusnya menjadipilihan pertama untuk
terapi infeksi.Pada infeksi sedang sampai beratdapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral.Jika kondisipasien memungkinkan, pemberian
antibiotik parenteral harus segeradiganti dengan antibiotik peroral.Durasi
pemberian antibiotik definitiveberdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi
bakteri sesuai diagnosisawal yang telah dikonfirmasi.
3. Terapi profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi.Pemberian
antibiotic sebelum, saat dan hingga 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara
klinis tidak didapatkantanda-tandainfeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi
infeksi luka operasi.Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target
operasi sudahmencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat
pertumbuhanbakteri.
5)
Antibiotika
Profilaksis
Antibiotik profilaksis
adalah antibiotik yang digunakan pada pasien yang belum terkena infeksi, tetapi
diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi
dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis harus
diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh
pathogen (Kemenkes RI, 2011) Profilaksis
merujuk pada pencegahan infeksi dan dapat dikategorikan menjadi profilaksis
primer, sekunder, atau eradikasi.Profilaksis primer merupakan pencegahan pada
infeksi awal.Sedangkan profilaksis sekunder merupakan pencegahan dari munculnya
kembali atau re-aktivasi dari infeksi yangsudah ada.Dan eradikasi merupakan
eliminasi dari organisme kolonisasi untuk mencegah perkembangan infeksi
(Thirion, 2013; Ongom2013).
6)
Tujuan
Pemberian Antibiotik Profilaksis
Tujuan dari pemberian
antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca
bedah.Profilaksis merupakanprosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotiksebaiknya
dapat menutupi organisme yang paling mungkin akanmengkontaminasi dan akan
berada di jaringan pada saat dilakukan insisiawal. Antibiotik profilaksis
dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut(Kemenks RI, 2011):
a. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.
b.
Mencegah
endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek
septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia, misalnya ekstrasi
gigi, pembedahan dan lain-lain.
c.
Untuk kasus
bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai
infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.Idealnya
sediaan antibiotik yang digunakan untuk profilaksis pada operasi harus :
1)
Mencegah
infeksi luka pasca operasi pada luka operasi
2)
Mencegah
morbiditas dan mortalitas infeksi pascaoperasi
3)
Mengurangi
durasi dan biaya perawatan
4) Tidak menimbulkan efek yang merugikan baik bagi flora normal
pasien dan bagi rumah sakit.
Diharapkan dari pemberian antibiotik profilaksis dapat memberikan
manfaat yaitu :
a.
Penurunan
angka kejadian infeksi pasca bedah
b.
Penurunan
jumlah flora pathogen penyebab infeksi
c. Penurunan morbiditas baik jangka panjang maupun jangka pendek
d.
Pengurangan
biaya dan lamanya rawat inap di rumah sakit
e. Terhindarinya pembentukan resistensi antibiotik serta peningkatan
kondisi pasien
f. Kualitas hidup pasien pasca operasi.
g.
Penggunaan
antibiotik merupakan sejarah dalam upaya mencegah luka infeksi.Konsep
antibiotik profilaksis diperkenalkan tahun 1960an ketika data eksperimen
menetapkan bahwa antibiotik harus berada dalam sistem peredaran darah pada
dosis yang cukup tinggi pada saat insisi supaya efektif.Umumnya disepakati
bahwa antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang terkontaminasi dan
h.
terkontaminasi.Antibiotik
untuk luka kotor merupakan bagian dari terapi karena infeksi sudah terbentuk.Sedangkan
pada prosedur operasi bersih masih menjadi perdebatan.Pada penggunaan
antibiotik profilaksis dalam prosedur bersih dimana alat buatan palsu
dimasukkan. Infeksi dalam kasus ini akan menjadi bencana bagi pasien. Namun,
prosedur bersih lainnya (misalnya operasi payudara) masih menjadi perdebatan
(Singhal, 2017),
Patogen normal pada permukaan kulit dan mukosa adalah
kokkus-gram positif (terutama stafilokokus); Namun, kuman aerob gram negativedan
bakteri anaerob dapat mengkontaminasi kulit di daerah
pangkalpaha/perineum.Patogen yang terkontaminasi dalam operasi
gastrointestinaladalah banyak flora usus intrinsik, yang meliputi bakteri gram negativebasili
(misalnya Escherichia coli) dan mikroba gram positif, termasuk organisme
enterococcidan anaerob.Organisme gram positif, terutama stafilokokus dan
streptokokus, menjelaskan kebanyakan flora luar yang terlibat dalam infeksi
luka operasi.
Asalpatogen semacam
itu termasuk dari personil bedah / rumah sakit dan keadaan intraoperatif,
termasuk instrumen bedah, barang yang dibawa kelapangan operasi, dan udara
ruang operasi. (Singhal, 2017) Kelompok bakteri yang paling sering bertanggung
jawab untukterkait dengan infeksi luka.Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) terbukti menjadi masalah utama pada operasi. Seperti strain S
Aureus lainnya, MRSA dapat berkoloni di kulit dan tubuh seseorang tanpa menyebabkan penyakit, dan dengan cara ini, dapat
disebarkan ke orang lain tanpa sadar. Timbulnya masalah dalam pengobatan
infeksi MRSAkarena pilihan antibiotik
sangat terbatas. Infeksi MRSA tampak meningkat dan menunjukkan resistensi
terhadap antibiotik yang lebih luas. Yang menjadi perhatian khusus adalah vancomyc inintermediate Saureus(VISA)
bagian dari MRSA. Strain ini mulai resisten terhadap, vankomisin,yang
saat ini merupakan antibiotik yang paling efektif melawan MRSA. Resistensi ini
baru muncul karena jenis bakteri lain, yang disebut enterococci, umumnya menunjukkan
resisten terhadap vankomisin (Hsiao, 2012).
7)
Indikasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Indikasi penggunaan
antibiotik profilaksis didasarkan pada kelas operasi, yaitu operasi bersih,operasi
bersih – kontaminasi, operasi kontaminasi serta operasi
kotor (lihat tabel 2) (SIGN, 2014).Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan adalah
terjadi penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), penurunan
morbiditas dan mortalitas pascaoperasi, penghambatan muncul flora normal yang resisten
dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan
(Kemenkes RI,2011).
Antibiotik
profilaksis diberikan pada pembedahan denganklasifikasi operasi
bersih-terkontaminasi (lihat tabel 3).Profilaksis pada operasi bersih pada
umumnya tidak diperlukan, namun dapat diberikan pada operasi bersih dengan
memasang alat implan atau bahan protesis. Namun tidak menutup kemungkinan juga diberikan antibiotik
profilaksis jika diindikasikan akanterjadi infeksi yang dapat menimbulkan
dampak yang serius seperti operasi bedah syaraf, bedah jantung dan mata. Operasi
kontaminasi dan operasi kotor telah terjadi kolonisasi kuman dalam jumlah besar
atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum bermanifestasi. Untuk kasus ini
terapi empirik akan lebih tepat (David, 2010).
8)
Dasar Pemberian Antibiotik profilaksis pada
Operasi
Dasar pemilihan jenis antibiotik
untuk tujuan profilaksis yaitu sesuai dengan sensitivitas
dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan
dan spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri,
toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian
obat anestesi, bersifat bakteri sidal dan harga terjangkau
(Ongom,2013).Antibiotik profilaksis hanya bisa digunakan jika terbukti dapat memberikan
keuntungan dan harus dihentikan bila terbukti tidak memberikan manfaat. SIGN
dalam guideline-nya membagi 4 rekomendasiterhadap pemberian antibiotik
profilaksis pada operasi (SIGN, 2014).
a.
Highly
Recomendation, Profilaksis yang
dengan terbukti tegas menurunkan morbiditas, menurunkan biaya perawatan dan
menurunkankonsumsi antibiotik secara keseluruhan.
b.
Recomended; Profilaksis yang menurunkan morbilitas jangka pendek,mengurangi
biaya perawatan dan bila dimungkinkan menurunkankonsumsi antibiotik secara
keseluruhan.
c.
Should be
considered; Profilaksis yang belum
memiliki bukti yang kuat dapat memberikan keuntungan, dan kemungkinan dapat
meningkatkanbiaya perawatan dan peningkatan konsumsi antibiotk utamanya untukpasien
dengan low risk ILO.
d.
Not
recomended; profilaksis yang tidak memiliki bukti kuat efektif secara klinis
serta tidak menurunkan morbiditas jangka pendek. Dan dapat meningkatkan biaya perawatan serta meningkatkan konsumsi antibiotic sedangkan
keuntungan secara klinis sangat rendah.Rekomendasi antibiotik yang digunakan
pada profilaksis bedah pada operasi bersih secara rinci diuraikan pada tabel 4.
9)
Pemilihan
Antibiotik Profilaksis pada Operasi
Pemilihan antibiotik
profilaksis dipengaruhi oleh beberapafaktor.Oleh karena itu penting untuk
menanyakan ke pasien tentang riwayat penggunaan antibiotik dan alergi.Betalaktam
merupakan antibiotic yang banyak digunakan sebagai profilaksis.Bila terdapat
riwayat alergi penisilin yang berat (anafilaksis atau angiodema) menunjukkan
bahwa pasien tidak dapat menerima penisilin dan juga berarti sefalosporin juga dikontraindikasikan
terhadap pasien tersebut.Meski cukup sederhana, tapi dapat memberikan dampak
reaksi yang signifikan. Paling penting yang harus diperhatikan yaitu antibiotik
harus aktif terhadap bakteri yang dapat menyebabkan Infeksi Luka Operasi (ILO)
(Kemenkes,2011).
Umumnya
infeksi pascaoperasi disebabkan oleh bakteri flora pasien itu
sendiri.Profilaksis tidak harus dapat menghambat semua jenis bakteri flora
pasien tersebut.Ada beberapa bakteri yang tidak bersifat patogen atau jumlahnya
hanya sedikit atau keduanya.Sangat penting untuk memilih antibiotik dengan spektrum
sempit sesuai dengan yang dibutuhkan untuk meminimalisir multi resisten
terhadap antibiotik.Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada biaya, profil
efek yangdapat merugikan, kemudahan pemberian, profil farmakokinetik, dan aktifitas
antibakterinya.Antibiotik yang dipilih harus memiliki aktivitas terhadap
bakteri yang sering mengakibatkan infeksi pada operasi.
Meskipun
berbagai organisme dapat menyebabkan infeksi pada pasien bedah, Infeksi luka
operasi biasanya diakibatkan oleh sejumlah kecil patogen umum (kecuali dengan
adanya implantasi biomaterial).Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.Hanya
patogen tersebut yang perlu dicakup oleh antibiotik yang diresepkan. (SIGN, 2014).Berikut ini adalah antibiotik yang sering digunakan
sebagaiprofilaksis pada operasi (Munckhof,2005) :
a.
Sefalosporin
generasi pertama (cefazolin atau cefalotin)
b.
Gentamisin
c.
Metronidazol
(jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
d.
Oral
tinidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)
e.
Flucloxacillin
(jika infeksi methicillin-susceptible staphylococcal)
f. Vankomicin (jika infeksi methicillin-resistant Staphylococcal)
10) Jalur dan Waktu Pemberian Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis
biasanya diberikan sebagai bolus intravena yang disertai dengan induksi anastesi
untuk memastikan konsentrasi efektif pada jaringan tercapai sebelum pembedahan
dimulai.Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.Untuk menghindari risiko
yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip.Waktu pemberian
antibiotik ini sangat penting utamanya untuk beta-laktam yang memiliki waktu
paruh relatif singkat. Vankomisin membutuhkan waktu infus selama satu jam oleh karena itu pemberiannya harus dimulai lebih cepat
agar infus selesai tepat ketika pembedahan akan dimulai.
Pemberian antibiotik
profilaksis secara intramuskular jarang dilakukan dibandingkan intravena.
Pemberiannya biasanya dilakukan beberapa saat sebelum operasi
karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level konsentrasi antibiotik
yang efektif pada jaringan cukup lama (ASF, 2003; SIGN,2014). Cara pemberian
antibiotik bedah profilaksis agar efektif adalah dosis
pertama antibiotik profilaksis harus sedekat mungkin dengan waktu operasi.Pada
luka yang bersih, apabila operasinya kurang dari dua jam,cukup satu
dosis.Namun, jika luka bersih terkontaminasi, satu atau dua dosissebelum dan
setelah operasi.Dan pada luka yang terkontaminasi, antibioticdiberi selama dua
atau tiga hari dan diberikan melalui intravena dosis tinggi(Tjay, 2007).
Oral dan rektal juga
harus diberikan lebih awal untuk memastikan kadar efektif pada jaringan telah
tercapi pada saat pembedahan. Metronidazol suppositoria banyak digunakan pada
pembedahan usus besar dan harus diberikan 2-4 jam sebelum tindakan operasi dilakukan.Antibiotik
topikal tidak direkomendasikan kecuali untuk bedah mata atau akibat luka bakar.(ASF,
2003; SIGN, 2014).Waktu pemberian antibiotik untuk mencapai konsentrasi aktif
dalamjaringan sangat bergantung pada profil farmakokinetik dan rute administrasinya.Antibiotik
profilaksis yang diberikan terlalu cepat atau terlalu lambat dapat menurunkan
efek dari dari antibiotik tersebut dan mungkin dapat meningkatkan resiko
terjadinya ILO.
Waktu pemberian antibiotik
profilaksis diberikan =30 menit sebelum insisi kulit. Dosispemberian untuk
menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan
baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan
target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2
kali lipat kadar terapi. (SIGN, 2014).Beberapa literatur menyebutkan sebaiknya
pemberian profilaksis.secara intravena dilakukan < 30 menit sebelum tindakan
operasi dilakukan untuk semua kategori operasi kecuali operasi sesar.National
SurgicalInfection Prevention Project melaporkan tingkat kepatuhan
antibiotic profilaksis dalam kurun waktu 1 jam sebelum insisi adalah 55,7% (Bratzler, 2013).
11) . Durasi Pemberian Antibiotik
Profilaksis
Durasi pemberian
antibiotik yang efektif dengan waktu yang paling singkat untuk profilaksis infeksi
paska bedah belum diketahui.Untukbeberapa prosedur, durasi antimikroba
profilaksis seharusnya 24 jam ataukurang, kecuali untuk operasi bedah jantung
toraksyang membutuhkan durasi 72 jam.Durasi pemberian adalah dosis tunggal.Dosis ulangan
dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung
lebih dari 3 jam.Pemberian profilaksis lebih dari 3 jam setelah tindakan
operasi akan berdampak pada penurunan efektifitasnya secara signifikan.
Mempertahankan
konsentrasi antibiotik setelah operasi dan pemulihan fisiologi normal setelah
anastesi tidak meningkatkan efikasi dari antibiotik profilaksi, melainkan dapat
meningkatkan toksisitas dan meningkatkan biaya (SIGN, 2014). Jika operasi dilakukan selama empat jam atau kurang, pemberian antibiotik
dengan dosis tunggal sudah cukup. Pada operasi dengan waktu yang panjang lebih dari empat jam penambahan
dosis antibiotik mungkin dibutuhkan untuk menjaga konsentrasi efektif antibiotik dalam
jaringan, khususnya untuk antibiotik yang memiliki waktu paruh yang singkat. Pemberian
antibiotik profilaksis hingga luka bedah mengering sudah dihapuskan (tidak
digunakan lagi) dan tidak logis juga tidak terbukti dapat memberikan keuntungan
(SIGN, 2014).
12.) Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent) (Kemenkes
RI,2011)
1.
Penggunaan
antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada
indikasi yang ketat dengan dosis yang
adekuat, interval dan durasi pemberian yang tepat.
2.
Kebijakan
penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan penggunaan
antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
3.
Pembatasan
penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan
antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted),
dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
4.
Indikasi
ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit
infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak
diberikan pada penyakit infeksi yang
5.
disebabkan
oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self -limited).
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada :
i.
Informasi
tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap
antibiotik.
ii.
Hasil
pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
iii.
Profil
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
iv.
Melakukan
deeskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologidan keadaan klinis pasien
serta ketersediaan obat.
v.
Cost
effective: obat dipilih atas dasar
yang paling cost effective danaman.
6.
Penerapan
penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah sebagai
berikut:
i.
Meningkatkan
pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.
ii.
Meningkatkan
ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium
hematologi, imunologi, danmikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan
dengan penyakitinfeksi.
iii.
Menjamin
ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.
iv.
Mengembangkan
sistem penanganan penyakit infeksi secara tim(teamwork).
v.
Membentuk
tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotic secara bijak yang bersifat
multidisiplin.
vi.
Memantau
penggunaan antibiotik secara intensif danberkesinambungan.
vii.
Menetapkan
kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secaralebih rinci ditingkat
nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanankesehatan lainnya dan masyarakat.
12.)Resistensi Antibiotik
Resistensi adalah kemampuan
bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik.WHO
mendefinisikan resistensiantimikroba sebagai resistensi mikroorganisme terhadap obat
antimikrobayang pernah mampu mengobati infeksi oleh mikroorganismetersebut.Seseorang
tidak dapat menjadi resisten terhadap antibiotik.Resistensi terjadi pada
mikroba, bukan pada orang atau organisme lainyang terinfeksi oleh mikroba (WHO,
2009).
Resistensi patogen mikroba
terhadap antibiotik meningkat diseluruh dunia sangat pesat, sejalan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi yang
disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik.Setidaknya 2 juta
orang terinfeksi bakteri resisten antibiotik setiap tahun di AS saja, dan
setidaknya 23.000 orang meninggal sebagai akibat langsung dari infeksi ini. Di
Uni Eropa, diperkirakan 400.000 pasien dengan resisten strain bakteri setiap
tahun, dimana 25.000 pasien meninggal. Akibatnya, WHO telah memperingatkan bahwa
jangkauan terapeutik tidak mencukupi dalam waktu 10 tahun, menempatkan dunia
berisiko memasuki era "pasca antibiotik", di mana antibiotik tidak
akan lagi efektif melawan penyakit infeksi (WHO, 2009; CDC, 2014).
Bakteri dapat bersifat
resisten pada obat secara intrinsik (misalnyabakteri anaerob resisten terhadap
aminoglikosida) atau mendapatkan resistensi melalui mutasi terhadap gen tertentu
atau membentuk gen baru. Mekanisme utama resitensi yang dilakukan bakteri yaitu
inaktivasi obat, mempengaruhi atau overproduksi target antibiotik, akuisisi
target baru yang tidak sensitif obat, menurunkan permeabilitas obat dan efluks
aktifterhadap obat (Kasper, et.al., 2005).
Hal ini dapat terjadi
dengan beberapa cara, yaitu :
a.
Merusak
antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
b.
Mengubah
reseptor titik tangkap antibiotik.
c.
Mengubah
fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
d. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan
sifat
e.
dinding sel
bakteri.
f. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera di keluarkan
dari
g.
dalam sel
melalui mekanisme transport aktif keluar sel.
Satuan resistensi dinyatakan
dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL)
yang mampumenghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHMmenggambarkan
tahap awal menuju resisten. Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan
beta-laktam, pertama dikenal pada Tahun 1945dengan nama penisilinase yang
ditemukan pada Staphylococcus aureusdari pasien yang mendapat pengobatan
penisilin. Masalah serupa jugaditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia
coli yang mendapat terapiampisilin. Resistensi terhadap golongan
beta-laktam antara lain terjadikarena perubahan atau mutasi gen penyandi
protein (Penicillin BindingProtein, PBP). Ikatan obat golongan
beta-laktam pada PBP akanmenghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel
mengalami lisis (Kemenkes, 2011).
Infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang resistenterhadap antimikroba di rumah sakit dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan.Resistensi muncul
bahkan pada agen antimikroba yang lebih baru dan lebih poten seperti karbapenem.Seleksi
dan penyebaran mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba difasilitasi
oleh penggunaan obat yang tidak rasional, dan pengobatan sendiri yaitu
penyalahgunaan obat antibiotik.Resistensi antimikroba sangat terkait dengan penggunaan
antimikroba yang tidak tepat.Diperkirakan 50% atau lebih penggunaan antimikroba
di rumah sakit tidak tepat.Diperlukan kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran tentang resistensi antimikroba di kalangan petugas kesehatan profesional
(Desai, 2016). Multiple drug resistance (MDR), resistensi beberapa obat
ataumultiresistensi adalah resistensi antimikroba yang ditunjukkan oleh spesies
mikroorganisme terhadap beberapa antimikroba.Jenis yang paling mengancam
bagi kesehatan masyarakat adalah bakteri MDR yang melawan banyak antibiotik;
termasuk virus MDR, jamur, dan parasite (resisten terhadap banyak antijamur,
antiviral, dan antiparasit dari berbagai jenis bahan kimia).Mengetahui tingkat
MDR yang berbeda, istilah yang resistan terhadap obat
secara ekstensif drug resistant (XDR) dan pandrugresistant(PDR),
istilah tersebut telah diperkenalkan pada tahun 2011.(Singhal, 2017).
2.
Konsep Antivirus.
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang
menginfeksi sel organisme biologis. Kata virus berasal dari bahasa latin yaitu
venom yang berarti racun. Virus juga merupakan mikroorganisme yang bersifat
parasit dengan menginfeksi atau memanfaatkan sel organisme biologis makhluk
hidup lainnya seperti manusia, hewan, tanaman sebagai inangnya. Virus tumbuh
dan berkembang biak di sel organisme biologis makhluk hidup lain karena virus
hanya terdiri dari selubung protein yang terbentuk dari DNA atau RNA saja dan
tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi.
Anti virus adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan
menekan kemampuan untuk replikasi, menghambat kemampuan untuk menggandakan dan
memperbanyak diri.
1)
Siklus
Hidup Virus.
Virus hanya dapat berkembang biak pada
sel-sel yang hidup. Untuk reproduksi, virus hanya memerlukan asam nukleat. Di
dalam proses reproduksi, virus memerlukan lingkungan sel hidup sehingga virus
memerlukan organisme lain sebagai inangnya.
Siklus
hidup virus memiliki 2 jenis siklus, yaitu siklus litik dan siklus lisogenik.
a) Siklus
Litik
Siklus
litik adalah replikasi virus yang disertai dengan matinya sel inang setelah
terbentuk anakan virus yang baru. Siklus litik virus yang telah berhasil
diteliti oleh para ilmuwan adalah siklus litik virus T (Bacteriophage), yaitu
virus yang menyerang bakteri Escherichia coli (bakteri yang
terdapat di dalam colon atau usus besar manusia).
Siklus
litik terdiri atas 5 fase, yaitu:
·
Fase adsorbsi
Fase
adsorbsi merupakan fase awal dimana ujung ekor Bakteriofag menempel atau
melekat pada bagian tertentu dari dinding sel bakteri yang masih dalam keadaan
normal. Daerah itu disebut daerah reseptor (receptor site atau receptor spot).
Virus yang menempel kemudian mengeluarkan enzim lisosim/lisozim yang berfungsi
merusak atau melubangi dinding sel bakteri.
·
Fase penetrasi
Fase
penetrasi, ujung ekor virus T dan dinding sel bakteri E. coli yang telah
menyatu tersebut larut hingga terbentuk saluran dari tubuh virus T dengan
sitoplasma sel bakteri. Melalui saluran ini DNA virus masuk ke dalam sitoplasma
bakteri.
·
Fase replikasi
Pada
fase ini, DNA virus mengambil alih sintesis protein di dalam bakteri. Terjadi
replikasi DNA virus sehingga virus jumlahnya bertambah banyak karena terjadinya
sintesis protein.
·
Fase perakitan
Fase
perakitan pada siklus litik merupakan fase dimana bagian-bagian protein dan DNA
yang terbentuk dari proses sintesis protein dan replikasi DNA terjadi sehingga
dihasilkan virus-virus baru yang seutuhnya.
·
Fase lisis
Fase
lisis merupakan fase rusaknya sel bakteri karena aktifitas enzimatis dari virus
T serta jumlah virus T yang sudah tidak muat ditampung oleh sel bakteri
tersebut sehingga dinding sel bakteri menjadi pecah. Selanjutnya sejumlah virus
T yang baru tersebut akan keluar dan siap untuk menyerang sel bakteri lainnya.
b)
Siklus Lisogenik
Siklus
lisogenik hampir mirip dengan siklus litik. Perbedaannya adalah ketika
sudah mencapai fase penetrasi, DNA virus tidak mengalami replikasi dan sintesis
protein melainkan bergabung dengan DNA bakteri sehingga antara DNA virus dan
DNA bakteri menjadi satu. Ketika DNA virus sudah bergabung dengan DNA bakteri,
maka yang terjadi adalah ketika bakteri melakukan pembelahan diri, secara
otomatis DNA virus juga akan ikut mengganda.
Saat
kondisi menguntungkan bagi DNA virus
maka siklus lisogenik dapat masuk ke dalam siklus litik lagi yang ditandai
dengan fase replikasi dan sintesis protein dari virus tersebut.
|
Gambar 1 Siklus litik
dan lisogenik |
3) Tahapan
Infeksi Virus
a.
virus melekat pada dinding sel
b. DNA/RNA
masuk ke dalam sel
c. Virus
sebagai parasit menggunakan proses asimilasi sel membentuk virion baru
d. perbanyakan
virion menyebabkan timbulnya gejala penyakit
Obat
antivirus terdapat dalam empat golongan besar tapi obat antivirus yang akan
dibahas dalam dua bagian besar yaitu pembahasan mengenai antinonretrovirus dan
antiretrovirus. Klasifikasi pembahasan obat antivirus adalah sebagai berikut:
1. Antinonretrovirus
·
Antivirus untuk herpes
·
Antivirus untuk influenza
·
Antivirus untuk HBV dan HCV
2. Antiretrovirus
·
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI)
·
Nucleotide reverse transcriptase inhibitor
(NtRTI)
·
Non- Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI)
·
Protease inhibitor (PI)
·
Viralentry inhibitor
6. ANTINONRETROVIRUS
Antivirus
Untuk Influenza
Jenis
virus influenza diklasifikasikan oleh protein inti mereka (yaitu, A, B, atau
C), spesies asal (misalnya, unggas, babi), dan lokasi geografis isolasi.
Influenza A, satu-satunya strain yang menyebabkan pandemi, diklasifikasikan
menjadi 16 H (hemagglutinin) dan 9 N (neuraminidase) subtipe yang diketahui
berdasarkan protein permukaan. Meskipun virus influenza B biasanya hanya
menginfeksi orang, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai inang hewan.
Subtipe influenza A saat ini yang beredar di antara populasi di seluruh dunia
termasuk H1N1, H1N2, dan H3N2. Lima belas subtipe diketahui menginfeksi burung,
menyediakan reservoir yang luas. Meskipun subtipe avian influenza biasanya
sangat spesifik untuk spesies, mereka pada kesempatan langka melintasi penghalang
spesies untuk menginfeksi manusia dan kucing. Virus dari subtipe H5 dan H7
(misalnya, H5N1, H7N7, dan H7N3) dapat dengan cepat bermutasi dalam kawanan
unggas dari bentuk patogen rendah hingga tinggi dan baru-baru ini memperluas
jangkauan inang mereka untuk menyebabkan penyakit unggas dan manusia.
Yang
menjadi perhatian khusus adalah virus H5N1 unggas, yang pertama kali
menyebabkan infeksi manusia (termasuk penyakit parah dan kematian) pada tahun
1997 dan telah menjadi endemik pada unggas Asia Tenggara sejak 2003. Hingga
saat ini, penyebaran virus H5N1 dari orang ke orang telah langka, terbatas, dan
tidak aman. Namun, munculnya virus influenza H1N1 2009 (sebelumnya disebut
"flu babi") pada 2009-2010 menyebabkan pandemi influenza pertama (yaitu,
wabah global penyakit yang disebabkan oleh virus flu baru) dalam lebih dari 40
tahun. Meskipun obat antiviral tersedia untuk influenza memiliki aktivitas
melawan influenza
A,
banyak atau sebagian besar strain virus H5N1 yang beredar, serta strain H1 dan
H3 yang menyebabkan influenza musiman di Amerika Serikat, resisten terhadap
amantadine dan rimantadine. Resistensi terhadap oseltamivir juga meningkat
secara dramatis.
Pengobatan
untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A
& B, virus sinsitial pernapasan (RSV).
A.
Amantadin dan Rimantadin
1.
Mekanisme kerja :
Amanatadin
dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu
kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal
M2 merupakan pintu masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini
menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta proses transport DNA virus ke
nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH kompartemen intraseluler,
terutama aparatus Golgi.
2.
Resistensi :
Influenza
A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah
klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka
terjadinya resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam
amino dari matriks protein M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.
3.
Indikasi :
Pencegahan
dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk
terapi penyakit Parkinson ).
4.
Farmakokinetik :
Kedua
obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah
menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah
yang sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine
dan dapat menumpuk sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin
dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh
ginjal.
5.
Dosis :
Amantadin
dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral.
Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ).
Rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ).
Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun
rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10
ml/menit.
6.
Efek samping :
Efek
samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang
nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak
banyak melintasi sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin
meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin dan obat
antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut. Efek
samping yang lebih serius (misalnya, perubahan perilaku yang ditandai,
delirium, halusinasi, agitasi, dan kejang) mungkin disebabkan oleh perubahan
neurotransmisi dopamine; kurang sering dengan
rimantadine dibandingkan dengan amantadine; berhubungan dengan konsentrasi
plasma tinggi; dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan insufisiensi
ginjal, gangguan kejang, atau usia lanjut; dan dapat meningkat bersamaan dengan
antihistamin, obat antikolinergik, hidroklorotiazid, dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Manifestasi klinis dari aktivitas antikolinergik
cenderung hadir dalam overdosis amantadine akut. Kedua agen teratogenik dan
embriotoksik pada hewan pengerat, dan cacat lahir telah dilaporkan setelah
paparan selama kehamilan.
B.
Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )
Merupakan
obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan
B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam
N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan disain
struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Inhibitor
neuraminidase oseltamivir dan zanamivir, analog dari asam sialic, mengganggu
pelepasan virus influenza progeni dari sel inang yang terinfeksi, sehingga
menghentikan penyebaran infeksi di dalam saluran pernapasan. Agen ini secara
kompetitif dan reversibel berinteraksi dengan situs enzim aktif untuk
menghambat aktivitas neuraminidase virus pada konsentrasi nanomolar rendah.
Penghambatan hasil neuraminidase virus dalam penggumpalan virion influenza yang
baru dirilis satu sama lain dan ke membran sel yang terinfeksi. Tidak seperti
amantadine dan rimantadine, oseltamivir dan zanamivir memiliki aktivitas
melawan virus influenza A dan influenza B. Administrasi dini sangat penting
karena replikasi puncak virus influenza pada 24-72 jam setelah timbulnya
penyakit di seluruh dunia,
1.
Mekanisme kerja :
Asam
N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus
berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel
adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah
terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari
sel yang terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi.
Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan
menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.
2.
Resistensi :
Disebabkan
adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim
neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor
hemagglutinin sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada
penglepasan virus pada sel yang terinfeksi.
3.
Indikasi :
Terapi
dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.
4.
Dosis :
Zanamivir
diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari ( 2 x 5 mg, setiap 12 jam
)selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2
x 75 mg kapsul, setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir
/oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset
gejala.
5.
Efek samping :
Terapi
zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan
batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien.
Terapi oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala. Efek
samping yang potensial termasuk mual, muntah, dan nyeri perut, yang terjadi
pada 5-10% pasien di awal terapi tetapi cenderung menghilang secara spontan.
C.
Ribavirin
Ribavirin
merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.
1.
Mekanisme kerja :
Ribavirin
merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap. Setelah
mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal
transkripsi virus, seperti proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat
sintesis ribonukleoprotein.
2.
Resistensi :
Hingga
saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin, namun pada
percobaan diLaboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat
mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya.
3.
Spektrum aktivitas :
Virus
DNA dan RNA, khusunya orthomyxovirus ( influenza A dan B ), para myxovirus (
cacar air, respiratory syncytialvirus (RSV) dan arenavirus ( Lassa, Junin,dll
).
4.
Indikasi :
Terapi
infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi.Ribavirin digunakan dalam kombinasi
dengan interferon-α/ pegylated interferon – α untuk terapi infeksi hepatitis C.
5. Farmakokinetik :
Ribavirin
efektif diberikan per oral dan intravena.Terakhir digunakan sebagai aerosol
untuk kondisi infeksivirus pernapasan tertemtu, seperti pengobatan infeksi
RSV. Penelitian distribusi obat pada primate
menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan metabolitnya
dikeluarkan dalam urine.
6.Dosis :
Per oral dalam dosis
800-1200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk aerosol ( larutan
20 mg/ml ).
7.
Efek samping :
Pada
penggunaan oral / suntikan ribavirin termasuk anemia tergantung dosis pada
penderita demam Lassa. Peningkatan bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol
dapat lebih aman meskipun fungsi pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat
setelah permulaan pengobatan aerosoldan karena itu monitoring sangat perlu.
Karena terdapat efek teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin
dikontraindikasikan pada kehamilan.
·
Antivirus Untuk Herpes
A. Asiklovir
Asiklovir
merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap
virus hervers. Asiklovir adalah turunan guanosin
asiklik dengan aktivitas klinis terhadap HSV-1, HSV-2, dan VZV, tetapi
kira-kira 10 kali lebih kuat terhadap HSV-1 dan HSV-2 dibandingkan dengan VZV.
Aktivitas in vitro terhadap virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV),
dan herpesvirus-6 manusia (HHV-6) hadir tetapi lebih lemah.
Asiklovir
membutuhkan tiga langkah fosforilasi untuk aktivasi. Ini dikonversi pertama ke
derivatif monofosfat oleh kinase timidin virusspesifikasi dan kemudian ke
senyawa di dan trifosfat oleh enzim sel inang (Gambar 1). Karena
memerlukan viral kinase untuk fosforilasi awal, asiklovir secara selektif
diaktifkan dan metabolit aktif terakumulasi hanya pada sel yang terinfeksi.
Acyclovir triphosphate menghambat sintesis DNA virus dengan dua mekanisme:
kompetisi dengan deoxyGTP untuk polymerase DNA virus, menghasilkan pengikatan
pada templat DNA sebagai kompleks yang ireversibel; dan penghentian rantai
setelah penggabungan ke dalam DNA virus. Bioavailabilitas asiklovir oral rendah
(15-20%) dan tidak terpengaruh oleh makanan.
Formulasi
intravena tersedia. Formulasi topikal menghasilkan konsentrasi tinggi pada lesi
herpes, tetapi konsentrasi sistemik tidak terdeteksi oleh rute ini. Asiklovir
dibersihkan terutama oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Waktu paruh
adalah 2,5-3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan 20 jam pada pasien
dengan anuria.
|
GAMBAR 1. Struktur
kimia dari beberapa analog nukleosida dan nukleotida antivirus |
1. Mekanisme
kerja :
Asiklovir,
suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugs glukosa, mengalami
monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode hervers virus, timidin
kinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analog
monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat
asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu subsrat
untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan terminasi
rantai DNA yang premature. Ikatan yan irrevelsibel dari template primer yang
mengandung aseklopir ke DNA polymerase melumpuhkan enzim. Zat ini kurang
efektif terhadap enzim penjamu.
|
Gambar
3. Mekanisme
kerja agen antiherpes |
·
Resistensi:
Timidin
kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah ditemukan
dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir
disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA
polymerase.
·
Mekanisme kerja analog
purin dan pirimidin :
asiklovir
dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet. Senyawa
intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin, sitarabin,vidaradin,
dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi
analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.
1. Indikasi
:
Infeksi
HSV-1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic,
herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan herpes labialis.)
dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap
VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus
varisela dan zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.
2. Dosis
:
untuk
herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes zoster ialah
4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam bentuk
krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis,
HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan asiklovir intravena 30mg/kgBB
perhari.
3. Farmakokinetik
:
pemberian
obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian topical
diragukan.obat tersebar keseluruh tubuh,termaksuk cairan
serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme menjadi produk yang tidak
aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi glomerular dan sekresi
tubular.
4. Efek samping :
Efek
samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi
dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan muntah merupakan hasil
pemberian oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau
pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena.
B. Gansiklovir
Gansiklovir
berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus hidroksimetil padaposisi
3’ rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme kerjanya sama dengan
asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir terdapat karbon 3’
dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya perpanjangan primer
dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain terminator yang absolute
seperti asklovir.
Gansiklovir
adalah analog guanosin asiklik yang memerlukan aktivasi oleh trifosforilasi
sebelum menghambat polimerase DNA virus. Fosforilasi awal dikatalisis oleh
protein spesifik virus kinase phosphotransferase UL97 pada sel yang terinfeksi
CMV. Senyawa aktif secara kompetitif menghambat polimerase DNA virus dan
menyebabkan terminasi perpanjangan DNA virus. Ganciclovir memiliki aktivitas in
vitro terhadap CMV, HSV, VZV, EBV, HHV-6, dan HHV-8. Aktivitasnya terhadap CMV
mencapai hingga 100 kali lebih besar daripada asiklovir. Gansiklovir dapat
diberikan secara intravena, oral, atau melalui implan intraokular.
Bioavailabilitas gansiklovir oral buruk. Konsentrasi cairan serebrospinal
adalah sekitar 50% konsentrasi serum. Waktu paruh eliminasi adalah 4 jam, dan
waktu paruh intraseluler diperpanjang pada 16-24 jam. Pembersihan obat secara
linier terkait dengan pembersihan kreatinin. Gansiklovir siap dibersihkan
dengan hemodialisis. Gansiklovir intravena telah terbukti memperlambat
perkembangan retinitis CMV pada pasien dengan AIDS. Terapi ganda dengan
foscarnet dan gansiklovir lebih efektif dalam menunda perkembangan retinitis
daripada obat tunggal saja (lihat Foscarnet), meskipun efek sampingnya
diperparah. Gansiklovir intravena juga digunakan untuk mengobati kolitis CMV,
esophagitis, dan pneumonitis (yang terakhir sering diobati dengan
kombinasi gansiklovir dan imunoglobulin cytomegalovirus intravena) pada pasien
immunocompromised. Gansiklovir intravena, diikuti oleh gansiklovir oral atau
asiklovir oral dosis tinggi, mengurangi risiko infeksi CMV pada penerima
transplantasi. Gansiklovir oral diindikasikan untuk pencegahan penyakit CMV
end-organ pada pasien AIDS dan sebagai terapi pemeliharaan retinitis CMV
setelah induksi. Meskipun kurang efektif dibandingkan gansiklovir intravena,
bentuk oral membawa risiko berkurangnya mielosupresi dan komplikasi terkait
kateter. Risiko sarkoma Kaposi berkurang pada pasien AIDS yang menerima
gansiklovir jangka panjang, mungkin karena aktivitas melawan HHV-8. Gansiklovir
juga dapat diberikan secara intraokular untuk mengobati retinitis CMV, baik
dengan injeksi intravitreal langsung atau dengan implan intraokular. Implan
telah terbukti menunda perkembangan retinitis ke tingkat yang lebih besar
daripada terapi gansiklovir sistemik. Operasi penggantian implan diperlukan
pada interval 5-8 bulan. Terapi bersamaan dengan agen anti-CMV sistemik
direkomendasikan untuk mencegah situs lain dari penyakit CMV end-organ.
Resistensi terhadap gansiklovir meningkat seiring dengan lamanya penggunaan.
Mutasi yang lebih umum, di UL97, menghasilkan penurunan tingkat bentuk
gansiklovir yang triphosphorylated (yaitu, aktif). Mutasi UL54 yang kurang umum
dalam DNA polimerase menghasilkan tingkat resistensi yang lebih tinggi dan
potensi resistansi silang dengan cidofovir dan foscarnet. Tes kerentanan
antiviral direkomendasikan pada pasien yang resistan dicurigai secara klinis,
seperti penggantian terapi alternatif dan pengurangan bersamaan dalam terapi
imunosupresif, jika memungkinkan. Penambahan CMV hyperimmune globulin juga
dapat dipertimbangkan.
1.
Mekanisme kerja :
Gansiklovir
diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim fospotranverase yang dihasilkan
oleh sel yang terinveksi sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat
fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh
eliminasi gangsiklovir ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya
1-2 jam.perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior
dibandingkan dengan asiklovir untuk
terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus.
2.
Resistensi :
Sitomegalovirus
dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh salah satu dari dua
mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi pada fospotranverase
virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA polymerase
virus.varian virus yang sangat resisten pada gansiklovir disebabkan karena
mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan dapat terjadi
resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.
3. Indikasi
:
Infeksi CMV, terutama
CMV retinitis pada pasien immunocompromised ( misalnya : AIDS ), baik untuk
terapi atau pencegahan.
4.
Sediaan dan Dosis :
Untuk
induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama
14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance peroral 3000mg per hari ( 3
X sehari 4 kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir
sebagai terapi local CMV retinitis.
TABEL 1. Agen untuk mengobati infeksi cytomegalovirus (CMC)
|
TABEL 1. Agen untuk
mengobati infeksi cytomegalovirus (CMC) |
5.
Efek samping :
Efek
samping yang paling umum dari pengobatan gansiklovir sistemik, terutama setelah
pemberian intravena, adalah mielosupresi. Myelosupresi mungkin aditif pada
pasien yang menerima simultan zidovudine, azathioprine, atau mycophenolate
mofetil. Efek samping potensial lainnya adalah mual, diare, demam, ruam, sakit kepala,
insomnia, dan neuropati perifer. Toksisitas sistem saraf pusat (kebingungan,
kejang, gangguan psikiatri) dan hepatotoksisitas jarang dilaporkan. Gansiklovir
bersifat mutagenik pada sel mamalia dan karsinogenik dan embriotoksik pada
dosis tinggi pada hewan dan menyebabkan aspermatogenesis; signifikansi klinis
dari data praklinis ini tidak jelas. Tingkat gansiklovir dapat meningkat pada
pasien yang secara bersamaan mengambil probenesid atau trimetoprim. Penggunaan
bersama gansiklovir dengan ddI dapat menyebabkan peningkatan kadar ddI.
Zidovudin
dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas gansiklovir.
Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir. Probenesit dan
asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni
stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam
penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.
·
Antivirus untuk HBV dan HCV
A. Lamivudin
1. Mekanisme
Kerja: Merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudin
dimetabolisme di hepatosit menjadi bentuk triposfat yang aktif. Lamivudin
bekerja dengan cara menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif
menghambat polymerase virus. Lamivudin tidak hanya aktif terhadap HBV wild-type
saja, namun juga terhadap varian precorel core promoter dan dapat
mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi
kronik
2. Indikasi: Infeksi
HBV ( wild-type dan precore variants)
3. Dosis:
Per oral 100 mg per hari ( dewasa ), untuk anak-anak 1mg/kg yang bila perlu
ditingkatkan hingga 100mg/hari. Lama terapi yang dianjurkanadalah 1 tahun pada
pasien HBeAg (-) dan lebih dari 1 tahun pada pasien yang HBe(+).
4. Efek
Samping: Obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Mual, muntah, sakit
kepala, peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40% pasien.
B. Interveron
1. Mekanisme
Kerja: Virus dapat dihambat oleh interferon pada beberapa tahap, dan tahapan
hambatannya berbeda pada tiap virus. Namun, bebrapa virus dapat juga melawan
efek interveron dengan cara menghambat kerja protein tertentu yang diinduksi
oleh interferon. Salah satunya adalah resistensi hepatitis C virus terhadap
interferon yang disebabkan oleh hambatan aktifitas protein kinase oleh HCV.
2. Indikasi: Infeksi
kronik HBV, infeksi kronik HCV
3. Dosis:
Infeksi HBV. Pada dewasa : 5 MU/hari atau 10MU/hari; pada anak-anak : 6 MU/m2 tiga
kali per minggu selama 4-6 bulan. Infeksi HCV : Interferon- α 2b monoterapi
(3MU subkutan 3 kali seminggu).
4. Efek
Samping: Demam, alergi, depresi sum-sum tulang, gangguan kardiovaskular seperti
gagal jantung kongestif dan reaksi hipersensitif akut.
8. ANTIRETROVIRUS
1. Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Reverse
transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung
dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal
replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel
yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.
Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh
enzim sel hospes di sitoplasma. Karena NRTI tidak memiliki gugus 3’-hidroksil,
inkorporasi NRTI ke DNA akan menghentikan perpanjangan rantai.
A. Zidovudin
1. Mekanisme
Kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin
bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus
asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono
fosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi
reverse transcriptase.
2. Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
3. Dosis:
Per oral 600mg / hari.
4. Efek
Samping: Anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.
B. Didanosin
1. Mekanisme
Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
2. Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
3. Dosis:
Peroral 400 mg / hari dalam dosis tunggal atau terbagi.
4. Efek
Samping: Diare, pankreatitis, neuropati perifer.
2. Nucleotide
reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
Tidak
seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Diharapkan
dengan berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan
konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.
A. Tenofovir
1. Mekanisme
Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus.
2. Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
3. Dosis:
Peroral sekali sehari 300mg.
4. Efek
Samping: Mual, muntah, flatulens, diare.
3. Non-
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Non-
Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang
menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan ditempat
yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada
situs aktif ini. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami
fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif.
A. Nevirapin
1. Mekanisme
Kerja: Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.
2. Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada RT.
3. Indikasi: Infeksi
HIV-1
4. Dosis:
Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200 mg per hari ),
kemudian 400 mg / hari ( 2 x 200 mg tablet ).
5. Efek
Samping: Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim
hati.
B. Efavirenz
1. Mekanisme
Kerja: Sama dengan nevirapin.
2. Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada RT.
3. Indikasi: Infeksi
HIV-1
4. Dosis:
Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk
mengurangi efek samping SSP nya.
5. Efek
Samping: Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam.
4. Protease
Inhibitor (PI)
Semua
PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV –
protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan
poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida
prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat maturasi virus,
maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.
A. Sakuinavir
1. Mekanisme
Kerja: Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease
peptidomimetic inhibitor.
2. Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi pada enzim protease.
3. Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
4. Dosis: Per
oral 3600 mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800 mg /
hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau
sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap.
5. Efek
Samping: Diare, mual, nyeri abdomen.
B. Ritonavir
1. Mekanisme
Kerja: Sama dengan sakuinavir.
2. Resistensi:
Disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
3. Indikasi: Infeksi
HIV (tipe 1 dan 2)
4. Dosis:
Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan).
5. Efek
Samping: Mual, muntah, diare.
5. Viral
Entry Inhibitor
Obat
golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat masukkan HIV ke sel melalui reseptor CXCR4.
A. Enfuvirtid
1. Mekanisme
Kerja: Enfuvirtid menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat
fusi virus ke membran sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR-1 ( first
heptad-reat)pada sub unit gp41 envelope glikoprotein virus serta menghambat
terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk fusi virus ke membran
sel.
2. Resistensi: Perubahan genotif pada
gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid, tidak ada
resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.
3. Indikasi: Terapi
infeksi HIV-1
4. Dosis: Enfurtid 90 mg (1ml) 2
kali sehari diinjeksikan subkutan di lengan atas, bagian paha anterior atau di abdomen.
5. Efek
Samping: Adanya reaksi lokal seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan
nodul atau kista.
2.4.2.
Non Farmakologi
1. Pengaturan
pola makan
Makan
makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Ada dua hal yang
harus ada dari pola makan sehat, yaitu makanan yang sehat, dan pola
makan.Makanan yang sehat yaitu makanan yang didalamnya terkandung zat zat gizi,
zat zat gizi tersebut adalah kerbohidrat, protein, lemak vitamin, dan
mineral.Sedangkan pola makan adalah kebiasaan makan seseorang setiap harinya.
Jadi,
pola makan sehat adalah suatu cara mengatur jumlah dan jenis makanan dengan
tujuan untuk mempertahankan kesehatan, status gizi, dan mencegah timbulnya
penyakit.
2. Meningkatkan
kekebalan tubuh
Agar
penyakit tidak semakin menyebar maka tingkatkan kekebalan tubuh. Salah satu
cara meningkatkan kekebalan tubuh adalah dengan cara mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung vitamin c seperti buah jeruk dan jambu biji. Selain itu dapat
juga berolahragasecara rutin untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
3. Istirahat
yang cukup
Istirahat
merupakan cara memulihkan kondisi tubuh setelah melakukan aktivitas, atau bisa
juga dalam keadaan sakit. Selain itu istirahat juga dapat mengurangi ketegangan
otot-otot dan meringankan ketegangan pikiran. Namun, isitrahat yang paling
baik dan sangat dianjurkan adalah tidur. Tidur merupakan cara
terbaik melakukan istirahat. Tidur pada malam hari secukupnya minimal selama 6
jam. Tubuh yang dapat istirahat yang baik akan mengembalikan kebugaran.
4. Hindari
kegiatan fisik secara berlebihan
Seperti
mengangkat barang yang lebih berat yang membuat badan akan terengah engah dalam
melakukan aktifitas tesebut yang membuat badan berkeringat sehingga drop.
5. Makan
makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
Setiap
hari kita selalu mengkonsumsi berbagai macam makanan. Makan tidak hanya membyat
perut terasa kenyang dan memiliki rasa yang enak tetapi harus mengandung gizi
serta nutrisi yang bisa membuat tubuh kita menjadi sehat. Makanan yang sehat
artinyatidak mengandung bahan bahan kimia seperti pengawet, dan zat pewarna
yang dapat membahayakan tubuh kita.
8.
Gejala
2.5.1.
AIDS
Tahap
pertama:
1. Tenggorokan
sakit
2.Demam
3.Muncul ruam di tubuh,
biasanya tidak gatal
4.Pembengkakan
noda limfa
5.Penurunan
berat badan
6.Diare
7.Kelelahan
8.Nyeri
persendian
9.Nyeri otot
Tahap kedua:
Periode ini disebut sebagai
masa inkubasi, atau masa laten. Virus yang ada terus menyebar dan merusak
sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini, Anda akan merasa sehat dan tidak ada
masalah. Kita mungkin tidak menyadari sudah mengidap HIV, tapi kita sudah bisa menularkainfeksi
ini pada orang lain. Lama tahapan ini bisa berjalan sekitar 10 tahun atau
bahkan bisa lebih.
Tahap ketiga:
1. Noda limfa atau kelenjar getah bening membengkak pada bagian leher dan pangkal
paha.
2. Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
3. Merasa kelelahan hampir setiap saat.
4. Berkeringat
pada malam hari.
5. Berat
badan turun tanpa diketahui penyebabnya.
6. Bintik-bintik
ungu yang tidak hilang pada kulit.
7. Sesak
napas.
8. Diare
yang parah dan berkelanjutan.
9. Infeksi
jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina.
10. Mudah
memar atau berdarah tanpa sebab.
9. Faktor Resiko
Kegagalan
Terapi :
1. Dinilai
dari perkembangan penyakit
2. Bedakan
dengan sindrom pemulihan kekebalan tubuh (IRIS)
3.
Viral load tidak selalu ada_gunakan definisi klinis, bila mungkin gunakan
kriteria CD4
4. Tes
resistensi obat rutin tidak dibahas
5. Bila
dipakai kriteria klinis dan/atau kriteria CD4 saja telah ada mutasi yang
resisten sebelumnya, dan menutup kemungkinan penggunaan komponen NRTI dari
rejimen alternatif, karena ada resistensi silang dalam satu golongan obat (drug
class cross-resistance)
Faktor
resiko HIV/AIDS:
Perilaku
tertentu dapat meningkatkan resiko anda tertular virus HIV. Beberapa faktor
resiko yang paling sering menularkan virus HIV adalah:
§
Berhubungan seksual dengan
seorang pembawa virus HIV, baik melalui vagina, anus, maupun oral (mulut). Hal
ini juga berlaku bila anda berhubungan seksual dengan orang yang anda tidak
ketahui membawa virus HIV atau tidak.
§
Memiliki banyak pasangan
seksual.
§
Berhubungan seksual dengan
pekerja seks komersial atau menggunakan obat-obatan terlarang melalui suntikan.
§
Menggunakan jarum suntik
bersama dengan pembawa virus HIV.
§
Menggunakan jarum untuk
menindik atau membuat tato yang tidak steril (jarang).
§
Memiliki ibu yang terinfeksi
oleh virus HIV sebelum anda lahir (ibu anda telah terinfeksi oleh virus HIV
saat hamil).
§
Menerima transfusi darah
atau berbagai produk lainnya yang diperoleh sebelum tahun 1985 (sebelum tahun
1985 semua darah yang ditransfusikan belum diperiksa apakah terdapat virus HIV
atau tidak).
§
Memiliki gen pelawan infeksi
HIV yang lebih sedikit.
BAB VI
PENUTUP
A.Kesimpulan.
ANTIBIOTIK
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Obat antibiotik golongan
Beta Laktam (ß-Laktam) yaitu antibiotik
Amoksisilin dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
dengan kategori tingkat
resistensi intermediet.
2. Obat antibiotik golongan
Fluorokuinolon yaitu antibiotik Siprofloksasin dapat
menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus
aureus dengan kategori
tingkat resistensi sensitif.
3. Obat antibiotik
Siprofloksasin lebih sensitif dan lebih efektif dibandingkan
obat antibiotik Amoksisilin
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus.
7.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, maka peneliti memberikan saran bahwa :
1. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terhadap obat antibiotik Amoksisilin
dan antibiotk Siprofloksasin
terhadap bakteri lain penyebab infeksi.
2. Perlu dilakukan
penambahan pada penelitian lebih lanjut terhadap jumlah
sampel pasien biakan infeksi
Staphylococcus aureus untuk mendapatkan
kesamaan hasil rata-rata uji
resistensi terhadap sampel yang berbeda.
3. Diharapkan kepada
praktisi kesehatan agar dapat memilih antibiotik yang
efektif dalam mengobati
penyakit infeksi gigi dan mulut yang disebabkan oleh
bakteriStaphylococcus
aureus.
4. Diharapkan kepada
praktisi kesehatan untuk memilih dan memakai antibiotik
secara rasional untuk
mencegah perkembangan resistensi bakteri.
5. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih menyadari dalam memlih
keefektivitas dan potensi bahaya pengonsumsian antibiotik spektrum
luas.
6. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan
pembanding bagi
peneliti lain yang akan meneliti uji resistensi bakteri terhadap
antibiotik
tertentu.
ANTI VIRUS
Kesimpulan dari makalah ini adalah
obat-obat antivirus
dipakaiuntuk membasmi, mencegah atau menghambat penyebaran infeksi virus.Virus
bereplikasi sendiri dalam beberapa tahap.Tujuan dari obat-obat antivirusadalah
untuk mencegah replikasi virus dengan menghambat salah satu daritahap-tahap
tersebut, sehingga dengan demikian menghambat virus untukbereproduksi.Kelompok
obat-obat ini efektif untuk melawan influenza, spesienherpes, human
immunodeficiency virus (HIV).
A.
SARAN
Kami sebagai penyusun sadar bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaankarena kami memiliki
keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat kami pungkiri, untuk itu kami
harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ceylan, Okmen and Ugur,
2008, Isolaton of Soil Streptomyces as Source Antibiotics active Agains Resistant
Bacteria, Journal Biosci, 2 (73), 73–82.
2.
Choma, I., 2005, The
use of thin-layer chromatography with direct bioautography for antimicrobial
analysis, LGCG Europe, 18 (9), 1–7.
3.
Chowdhury, M., Moniruzzaman, N., Nahar and N.,
Choudhhury, 1991, Production of Cellulases and Saccharification of
Lignocellulolitic by Micromonospora, Journal Microbiology and Biotechnology
Springer, 7 (6), 1-8.
4.
Devi, T. R. and
Chhetry, G., 2012, Rhizosphere and non Rhizosphere Microbial Population
Dynamics and Their Effect on Wilt Causing Pathogen of Pigeonpea, International
Journal of Scientific and Research Publications, 2 (5), 1–4.
5.
Gupta S. K., Sharma,
A., and Bengal W., 2015, Dynamic properties of Escherichia coli, World Journal
Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences, 4 (07), 296–307.
6.
Jawetz, Melnick, and
Adelberg’ s, 2005, Mikrobiologi Kedokteran M, R, ed., Jakarta, Salemba Medika.
29 Kanti, 2005, Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit
Duabelas, Jambi, In Jambi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), 85–89.
7.
Kelecom and Alphonse, 2002,
Secondary metabolites from marine microorganisms, Analis Academic Bras science,
1 (74), 151–170.
8.
Lee, J., Y., and Hwang, B., K., 2002,
Diversity of Antifungal Actinomycetes in Various Vegetative Soils of Korea,
Canadian Journal of Microbiology, 39 , 254-264.
9.
Nedialkova, D., and
Naidenova, M., 2004, Screening The Antimicrobial Activity Of Actinomycetes
Strain Isolated from Antartica. Journal of Culture Colection, 4, 29–35.
10. Nord,
Sandrine, R., Laurent, R., Anne, H., Ian Probert, Colomban, D., Bach, S., and
Chris, B., 2004, Marine Bioprospecting - Searching for Interesting and Unque
Genes, Biomolecules and Organisms in the Marine Environment. Journal
Bioprospecting, 2 (1), 1-7.
11. Nurkanto,
A., Listyaningsih, F., Julistiono., & Agusta, A., 2008, Eksplorasi
Keanekaragaman Aktinomycetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik, Jurnal
Biologi Indonesia, 6 (3), 325-339.
No comments:
Post a Comment