Wednesday, 20 October 2021

ETIKA KEPERAWATAN

 

                                                                                                                                         

 

 

 

                                                                         BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.

 

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.

Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk dibahas.

 

B. Tujuan

1.      Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Brain Death, Euthanasia dan aspek etika dan hukum dalam kasus tersebut.

2.      Untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia. 

3.      Untuk mengetahui bagaimana peran masing-masing profesi yaitu perawat dan tenaga kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan etika dan hukum keperawatan.

4.      Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk kasus Euthanasia. 

5.      Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.

 

 

C.     Manfaat   

Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan mengenai masalah Euthanasia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                         

 

 

 

                                                                         BAB II

 TINJAUAN PUSTAKA

1.      PENGERTIAN 

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.   Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan.   Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan  konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya „hak untuk mati‟.  Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.

 

2.      EUTHANASIA DI INDONESIA

Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.

 

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1.      Berpindahnya  ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.

2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.

3.      Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri maupun keluarganya.

 

3.      JENIS- JENIS EUTHANASIA

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:

a.       Euthanasia aktif

Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.

b.      Euthanasia pasif

Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.

c.       Auto euthanasia

Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

 

Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:

a.       Voluntary euthanasia Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.

b.      Involuntary euthanasia   Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

c.       Assisted suicide  Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.

d.      Tindakan langsung menginduksi kematian  Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)

 

4.      SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA .

Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguhsungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

a.       Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker. 

b.      Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu kematian.

c.       Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.

d.      Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.  Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli: 2000).

 

 

 

 

5. ASPEK- ASPEK DALAM  EUTHANASIA

a. Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan serta kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

1)      Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

2)      Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

 

b. Aspek Hak Azazi

Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

 

c.       Aspek Ilmu Pengetahuan

Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.

 

d.      Aspek Agama

Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki

 

 

 

euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.

Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)

 

 

 

                                                    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                           BAB III

                                             PENUTUP

A.    KESIMPULAN   

Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.    Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.  -  Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor yaitu membela dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan euthanasia. Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas- jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawatan di ICU. Dan membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B. SARAN

1. Bagi keluarga Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.

 

  2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)   Tetap memberikan   perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan perlindungan kepada pasien sebagai advokat.

 

3. Bagi Pemerintah Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

-          Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J. 2010. Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line

-          Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4 Volume 1. Jakarta : EGC

-          Rifiani, Nisya & Hartanti Sulihandari. 2013. Prinsip – Prinsip Dasar Keperawatan .Jakarta Timur : Dunia Cerdas

-          Aprilins. 2010. Teori Etika. Diakses 26 Desember 2011 pukul 21.00 WIB. Diposkan 23 Februari 2010 pukul 10.02 PM. URL : http://aprillins.com/2010/1554/2-teori-etika-utilitarisme-deontologi/

-          Ismaini, N. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika

-          k_2 nurse. 2009. Etika Keperawatan. Unpad Webblog. Diakses tanggal 13 November 2011. Diposkan tanggal 16 Januari 2009. http://blogs.unpad.ac.id/k2_nurse/?tag=etika-keperawatan

-          Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC

-          PPNI. 2000. Kode Etik Keperawatan Indonesia. Keputusan Munas VI.

-          Rubenfeld, M. Gaie. K. Scheffer, B. 2006. Berpikir Kritis dalam Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EG

-          Suhaemi,M. 2002. Etika Keperawatan aplikasi pada praktek. Jakarta : EGC

 

 

 

No comments:

Post a Comment