KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirad Allah
SWT, karena berkat, rahmat dan karunia-nya sehingga kami dapat menyusun tugas
makalah ini yang berjudul “ETIKA KEPERAWATAN” tepat pada waktunya.
Makalah ini berisikan informasi mengenai
ringkasan materi etika keperawatan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyususnan makalah ini. semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amiin.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
............................................................................................................1
Daftar
Isi......................................................................................................................2
Bab 1
Pendahuluan......................................................................................................3
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Bab ll Tinjauan Pustaka
1. Pengertian
2. Euthanasia
Di indonesia
3. Jenis-jenis
Euthanasia
4. Syarat
Dilakukan Euthanasia
5. Aspek-aspek
Dalam Euthanasia
Bab III Penutup
Kesimpulan
Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Setiap makhluk hidup, termasuk
manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan,
kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri
dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan
salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum
berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu
diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari
rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana
dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang
masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang
seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para
ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika
terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario
pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk dibahas.
B. Tujuan
1. Untuk
mengetahui konsep dasar mengenai Brain Death, Euthanasia dan aspek etika dan
hukum dalam kasus tersebut.
2. Untuk
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga kesehatan
baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk
mengetahui bagaimana peran masing-masing profesi yaitu perawat dan tenaga
kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan dengan
etika dan hukum keperawatan.
4. Untuk
mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan
untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk
mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.
C. Manfaat
Mampu menerapkan dan melaksanakan
peran sebagai perawat dan apa saja yang seharusnya dilakukan oleh seorang
perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan mengenai
masalah Euthanasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa
Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with
dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia
tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa
seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM),
euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis
Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati
cepat tanpa derita”. Masalah euthanasia
biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh
diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau
membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena
dianggap telah melakukan kejahatan. Di
beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh
diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Pernah ada amandemen agar larangan
ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai
tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya „hak untuk
mati‟. Dilihat dari segi agama Samawi,
euthanasia dan bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah
kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan.
Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal
dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh
karenanya tidak dibenarkan.
2. EUTHANASIA
DI INDONESIA
Indonesia melalui pasal 344 KUHP
jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang
berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir
dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS)
sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran
terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan
menuntut penghargaan serta pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan
euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu
hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
3. Mengakhiri
penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri maupun keluarganya.
3. JENIS-
JENIS EUTHANASIA
Dari penggolongan Euthanasia, yang
paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
a.
Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan
oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah
membolehkannya lewat peraturan perundangan.
b.
Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain
secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat
bantu nafas, atau menunda operasi.
c.
Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi
euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
a.
Voluntary euthanasia Permohonan diajukan
pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan
kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang
tidak menunjang.
b.
Involuntary euthanasia Keinginan yang diajukan pasien untuk mati
tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay
Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau
yang bertanggung jawab.
c.
Assisted suicide Tindakan ini bersifat individual dalam
keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh
diri.
d.
Tindakan langsung menginduksi
kematian Alasan tindakan ini adalah
untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak
yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak
berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)
4.
SYARAT
DILAKUKANNYA EUTHANASIA .
Sampai saat ini, kaidah non hukum
yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan menentukan bahwa membantu orang
lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan
nyata dan sungguhsungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat,
euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara
yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di
negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu, antara lain:
a. Orang
yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan
tidak dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien
berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu
kematian.
c. Pasien
harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat
dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang
boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga
yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis
yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu
harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara
berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak
mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena
memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai
perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia
karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
(Fadli: 2000).
5. ASPEK- ASPEK DALAM EUTHANASIA
a. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam
KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut
atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup,
& tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok,
antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88
mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di
sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan
medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien
itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki
pandangan serta kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut,
pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk
membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur
“dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal
pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia
dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal
ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:
1) Jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang dikenakan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika
suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis derogat legi generalis‟,
yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
b. Aspek Hak Azazi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak
hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran
HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya
hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
c. Aspek
Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam habisnya keuangan.
d. Aspek
Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan
dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata
lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai
dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada
aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan
Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki
euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat
dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan
Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar
dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi
sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur,
sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain.
Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang
umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati.
Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses
kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan
kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat
dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi
etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap
kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat
prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi.
Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa
manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Euthanasia
merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri. Aturan
mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali berubah
seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena
tidak ada dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338,
pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Ny. T
euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral
dan legal dan juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat
disalahgunakan. - Sebagai perawat berperan dalam memberikan
advokasi. serta sebagai counselor yaitu membela dan melindungi pasien tersebut
untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian. Perawat diharapkan
mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien
berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan
euthanasia. Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar
dalam hal mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara
dokter, tenaga kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan
informasi yang sejelas- jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar
kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan
dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga
dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau
dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien,
pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawatan di ICU. Dan membantu keluarga
dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.
B. SARAN
1. Bagi keluarga Keluarga sebaiknya memikirkan
kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan permasalahan biaya agar
mencari alternatif keringanan biaya melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya) Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama
dirawat, memberikan perlindungan kepada pasien sebagai advokat.
3.
Bagi Pemerintah Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Kozier B., Erb G., Berman A., &
Snyder S.J. 2010. Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th
Ed., New Jersey: Pearson Education Line
-
Potter & Perry. 2005. Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Ed. 4 Volume 1. Jakarta : EGC
-
Rifiani, Nisya & Hartanti
Sulihandari. 2013. Prinsip – Prinsip Dasar Keperawatan .Jakarta Timur : Dunia
Cerdas
-
Aprilins. 2010. Teori Etika. Diakses 26
Desember 2011 pukul 21.00 WIB. Diposkan 23 Februari 2010 pukul 10.02 PM. URL : http://aprillins.com/2010/1554/2-teori-etika-utilitarisme-deontologi/
-
Ismaini, N. 2001. Etika Keperawatan.
Jakarta : Widya Medika
-
k_2 nurse. 2009. Etika Keperawatan.
Unpad Webblog. Diakses tanggal 13 November 2011. Diposkan tanggal 16 Januari
2009. http://blogs.unpad.ac.id/k2_nurse/?tag=etika-keperawatan
-
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan
Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
-
PPNI. 2000. Kode Etik Keperawatan
Indonesia. Keputusan Munas VI.
-
Rubenfeld, M. Gaie. K. Scheffer, B.
2006. Berpikir Kritis dalam Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EG
-
Suhaemi,M. 2002. Etika Keperawatan
aplikasi pada praktek. Jakarta : EGC
No comments:
Post a Comment