BAB I
PENDAHULUAN
Secara
geologis dan hidrologis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana alam. Salah
satunya adalah gempa bumi dan potensi tsunami. Hal ini dikarenakan wilayah
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng
Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng
Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling
bertumbukan sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia
dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan.
Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara
dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan
rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng tersebut.
Sumber
bencana bisa berasal dari alam, seperti banjir, kebakaran, angiun topan, dan
gempa bumi, bisa juga berasal dari kecelakaan teknologi, seperti kecelakaan
pesawat, minyak tumpah, pembuanagn bahan kimia, terorisme maupun perlakuan
kekerasan. Kemunculan bencana ini bisa terjadi secara perlahan tetapi bia juga
secara tiba-tiba bahkan tidak terduga. Kesamaannya adalah bahwa bencana
berpotensi untuk mengakibatkan gangguan dalam masyrarakat secara meluas,
seperti pengungsian, kehilangan sumber nafkah, kerusakan property, kematian dan
luka fisik, dan juga penderitaan emosi.
Resiko
becana ini dalam kemunculannya secara global adalah sesuatu yang dihasilkan
secara kompleks dari gabungan factor lingkungan, demografi, teknologi, dan
kondisi sosial ekonomi. Perubahan cuaca dan degradasi lingkungan, perkembangan
populasi, meningkatnya urbanisasi, pembangunan yang tidak berkesinambungan di
daerah rawan bencana, teknologi yang berisiko, kesenjangan sosial ekonomi
mempunyai peran yang besar dalam peningkatan jumlah bencana alam secara
dramatis. (Perrow 2006; Swiss Re 2007). Jumlah bencana alam yang tercatat
secara global meningkat dari 100 pada tahunn 1975 menjadi lebih dari 400 di
tahun 2007 (UNHABITAT 2007).
Tidak
terhitung jumlah kerusakan dan kerugian materi serta korban jiwa. Lebih dari
255 juta orang pertahun terkena dampak dari bencana (Conference on Disaster
Reduction 2005). Meskipun bencana terjadi secara global tetapi dampaknya tidak
terdistribusi secara merata, dengan 98% mengenai penduduk di Negara berkembang
(UN-HABITAT 2007).
Bencana
menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk, termasuk
kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terj adi bencana
adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan
korban bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan.
Salah satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting Puskesmas dalam
penanggulangan bencana (Departemen Kesehatan RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah
Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).
Literatur
atau sumber pustaka tentang bencana menunjukkan bahwa reaksi anak dan remaja
akibat bencana alam (seperti gempa bumi, banjir atau gunung meletus) dan
bencana akibat ulah tangan manusia (seperti kecelakaan dan perang) tergantung
tingkat perkembangan mereka masing-masing. Reaksi anak-anak ini sering
memperlihatkan sebagai masalah psikologis yang luas. Anak usia pra sekolah
menunjukkan masalah psikologis yang rendah jika dibandingkan dengan anak yang
lebih tua dan remaja, tetapi mereka memiliki insiden trauma yang lebih tinggi
seperti ketakutan dan masalah perilaku (seperti ketergantungan dan tidak mampu
mandiri). Respon anak usia sekolah termasuk gangguan makan dan tidur, depresi,
kecemasan dan pandangan pesimis tentang masa depan. Masalah-masalah ini dikenal
dengan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
Meskipun
banyak korban bencana usia anak dan remaja memperlihatkan beberapa jenis reaksi
pasca bencana, penelitian klinis menunjukkan bahwa gejala-gejala tergantung
pada usia. Memang penelitian menunjukan bahwa usia adalah faktor kunci
pemahaman anak terhadap bencana. Usia sebagai indeks ketrampilan perkembangan,
merefleksikan perbedaan kemampuan anak untuk memahami apa sebenarnya bencana
atau kejadian yang dapat menyebabkan trauma dan keterlibatan mereka dalam
kejadian tersebut (Vogel & Venberg, 1993).
Terlepas
dari kesiapan kita, Ketika terjadi bencana alam, anak-anaklah yang paling
rentan terkena dampaknya. Terutama sekali jika pada saat kejadian, anak-anak
sedang belajar di sekolah. Gempabumi di Pakistan pada bulan Oktober 2005
menyebabkan lebih dari 16 ribu anak-anak meninggal akibat runtuhnya gedung
sekolah. Longsorlahan di Leyte, Philipina menewaskan lebih dari 200 anak
sekolah. Dari dua contoh kejadian tadi, seharusnya kita berupaya melindungi
anak-anak kita sebelum bencana terjadi.
Anak,
yang didefinisikan oleh Konvensi hak Anak PBB sebagai individu berusia 18 tahun
atau lebih muda, mewakili jumlah yang signifikan dalam kelompok yang terkena
dampak parah dari bencana. Pada akhir abd 20, bencana membawa dampak
pada 66.5 juta anak setiap tahun. – (Penrose and Takaki 2006). Jumlah ini
berlipat tiga kali dalam decade abad 21 dengan 175 anak setiap hari terkena
dampak bencana dari perubahan iklim. Dalam kenyataannya kurangya focus pada
anak dalam bencana dikarenakan adanya asumsi bahwa anak tidak terkena dampak
secara serius dan bereaksi sementara terhadap bencana (La Greca et al. 2002; La
Greca, Silverman, and Wasserstein 1998).
Anderson
(2005) mengemukakan bahwa penelitian sosial mengenai anak dalam
bencana juga masih kurang, dan hal ini dikarenakan status sosial anak dalam
masyarakat yang menempatkan anak sebagai individu yang belum bisa berperan alam
fungsi kemasyarakatan. Dengan keadaan demikian anak sering tidak
diperhitungkan dalam tanggap bencana maupun aktifitas di dalamnya (Anderson
2005).
Pada
kenyataannya, anak justru mewakili kelompok rentan. Bayi dan anak kecil
khususnya, secara fisik sangat rentan terhadap bencana yang tiba-tiba muncul
ataupun bencana kronis. Ini dikarenakan anak masih sangat tergantung pada orang
dewasa. Selain rentan fisik, anak yang sedikit berusia lebih dewasa rentan pada
gangguan emosi dan psikis yang mucul akibat bencana. Kita harus mengenali
berbagai macam kerentanan fisik dan emosi yang diderita anak supaya kita bisa
memeberikan perlindungan dan pertolongan yang sesuai. Selain itum tanpa ada
focus khusus pada anak, kebutuhan khusus mereka mungkin tidak terpenuhi.
Setelah bencana terjadi, kita tidak bisa berasumsi bahwa kebutuhan anak sudah
terpenuhi jika kebutuhan orangtua sudah terpenuhi. Berdasarkan umur dan tahap
perkembangan, anak membutuhkan dukungan fisik, sosial, mental, dan emosional
yang berbeda dari orang dewasa. Terlebih bila orang dewasa juga mengalami
masalah karena dampak bencana, mereka mungkin tidak bisa memberikan bantuan dan
dukungan keamanan dan keselamatan pada anak. Anak juga tidak diuntungkan dengan
ketidakmapuan mereka untuk mengartikulasikan stress dan mencari pertolongan
(Silverman and La Greca 2002).
BAB II
TINJAUN TEORI
A.
PENGERTIAN
1.
Pengertian gempa
Gempa
bumi (earthquake) adalah getaran yang terasa dari permukaan bumi, cukup kuat
untuk menghancurkan bangunan utama dan membunuh ribuan orang. Tingkat kekuatan
getaran berkisar dari tidak dirasakan hingga cukup kuat untuk melemparkan orang
di sekitar. Gempa bumi merupakan hasil dari pelepasan tibatiba energi dalam
kerak bumi yang menciptakan gelombang seismik. Kegempaan, seismism atau
aktivitas seismik pada suatu daerah mengacu pada frekuensi, jenis dan ukuran
gempa bumi yang terjadi selama periode waktu tertentu. Ketika episentrum gempa
besar terletak di lepas pantai, dasar laut akan tergerus dan cukup untuk
menimbulkan tsunami. Gempa bumi juga bisa memicu tanah longsor, dan aktivitas
vulkanik sesekali.
Gempa
bumi diukur dengan menggunakan alat dari seismometer. Moment magnitude adalah
skala yang paling umum di mana gempa bumi dengan magnitude sekitar (skala) 5
dilaporkan untuk seluruh dunia. Sedangkan banyaknya gempa bumi kecil kurang
dari 5 magnitude dilaporkan oleh observatorium seismologi nasional diukur
sebagian besar pada skala magnitude lokal, atau disebut juga sebagai Skala
Richter. Kedua ukuran itu sebenarnya sama selama rentang pengukurannya valid.
Besaran
gempa dengan skala 3 magnitude atau kurang kebanyakan sering tidak dapat
dirasakan dipermukaan atau disebut lemah. Namun jika besaran magnitude dengan
skala 7 atau lebih besar akan berpotensi menyebabkan kerusakan serius disebuah
daerah, tergantung pada kedalaman mereka. Gempa bumi terbesar yang terjadi pada
dekade ini dengan skala lebih dari 9 magnitude atau lebih adalah terjadi di
Jepang pada tahun 2011 (semenjak tulisan ini dibuat), dan itu adalah gempa
Jepang terbesar sejak pencatatan dimulai. Intensitas getaran diukur pada skala
Mercalli yang dimodifikasi. Karena merupakan gempa dangkal sehingga gempa
tersebut menyebabkan semua struktur bangunan rata dengan tanah.
2.
Penyebab Alami Gempa
Bumi
Kebanyakan
gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang
disebabkan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar
dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan
lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gempa
tektonik terjadi di mana saja di bumi di mana ada energi yang tersimpan regangan
elastis yang cukup untuk mendorong perambatan fraktur disepanjang bidang
patahan (seperti gelang karet yang ditarik kemudian dilepas tiba-tiba).
Sisi
patahan bergerak melewati satu sama lain dengan lancar dan secara seismik hanya
jika tidak ada penyimpangan atau asperities (tingkat kekasaran permukaan
lempeng di zona subduksi) sepanjang permukaan patahan yang meningkatkan
hambatan gesek. Kebanyakan permukaan patahan memiliki asperities tersebut dan
ini mengarah ke bentuk stick-slip behaviour. Kadangkala ketika patahan
terkunci, dan terus terjadi gerakan relatif antara lempeng akan menyebabkan
meningkatnya tekanan dan karenanya energi regangan tersimpan dalam sekitar
permukaan patahan. Ini terus berlanjut sampai tekanan telah meningkat cukup
untuk menerobos asperity, kemudian secara tiba-tiba memungkinkan meluncur di
atas bagian yang terkunci dari patahan, dan melepaskan energi yang tersimpan
(Ohnaka, 2013). Energi ini dilepaskan sebagai kombinasi dari radiasi gelombang
seismik regangan (elastis), panas dari gesekan permukaan patahan, dan retakan
dari batuan, sehingga menyebabkan gempa bumi (Ohnaka, 2013).
Proses
bertahap build-up dari tegangan dan tekanan yang diselingi oleh sesekali
kegagalan gempa secara tiba-tiba disebut sebagai teori elastic-rebound. Diperkirakan
bahwa hanya 10 persen atau kurang dari total energi gempa yang dipancarkan
sebagai energi seismik. Sebagian besar energi yang digunakan untuk daya gempa
perkembangan fraktur gempa atau hasil dari panas yang dihasilkan oleh gesekan.
Oleh karena itu, gempa bumi skala tersedia dari bumi yang merupkan energi
potensial bumi dan kenaikan suhu, meskipun perubahan ini diabaikan dibandingkan dengan
arus konduktif dan konvektif alur panas yang keluar dari interior yang dalam
bumi (Spence, Sipkin, & Choy, 1989).
Beberapa
gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung api.
Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung
berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya
massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia,
Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi
cairan dari/ke dalam Bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga
panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal). Terakhir, gempa juga dapat terjadi
dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes
rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan
oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi. berkekuatan 7
melepaskan 900 kali (30 × 30) lebih banyak energi daripada 5 magnitude gempa.
Sebuah gempa berkekuatan 8,6 melepaskan jumlah energi yang sama seperti 10.000
bom atom seperti yang digunakan pada Perang Dunia II (USGSb , 2015)
B.
ANAK
Pada Masa Emergency Bencana Gempa Bumi
Pengetahuan mitigasi bencana pada anak-anak
perlu dilakukan melalui pendekatan dari keluarga maupun sekolah tempat anak.
Keluarga dapat memfasilitasi anak melalui buku-buku mitigasi bencana yang dapat
diakses di media sosial maupun dari anggota keluarga yang secara langsung
mempunyai pengalaman atau riwayat kerja di lingkup BNPB. Selain dari keluarga,
sekolah yang merupakan rumah kedua dari anak juga dapat memfasilitasi dengan
menjadwalkan untuk bekerja sama dengan Badan atau Organisasi Penanggulangan
Bencana, seperti BNPB, BPBD, TAGANA, dan sebagainya. Selain itu, sekolah bisa
juga melakukan kerja sama dengan para relawan bencana yang biasa bertugas.
Pengenalan bencana pada anak-anak perlu dilakukan melalui tutur bahasa yang
sederhana dan dapat dimengerti oleh mereka. Penyampaian melalui cerita atau
media bergambar dapat memfasilitasi anak untuk tahu tentang antisipasi atau
mitigasi bencana.
Jika terjadi gempa
yang berada di sekolah, ini yang harus dilakukan
1.
Tetap tenang
Carilah tempat
untuk berlindung dari reruntuhan, contohnya meja disekitar kelas
2.
Berlindung
Lalu berlindung dengan cara menggunakan benda di
sekeliling untuk melindungi kepala dan leher
dari reruntuhan
3.
Bertahan
Jika berlindung di bawah meja, bertahanlah sampil
berpegangan sampai guncangan berhenti
Tindakan
jika gempa bumi menguncang secara tiba-tiba, berikut ini terdapat 10 petunjuk
yang dapat dijadikan pegangan dimanapun anda berada
1.
Di dalam rumah
Getaran akan terasa beberapa saat.
Selama jangka waktu itu, anda harus mengupayakan keselamatan diri anda dan
keluarga anda. Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan
benda-benda. Jika anda tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal.
Jika anda sedang menyalakan kompor maka matikan segera untuk mencegah
terjadinya kebakaran.
2.
Di sekolah
Berlindunglah di bawah kolong meja,
lindungi kepala dengan tas atau buku, jangan panik, jika gempa mereda keluarlah
berurutan mulai dari jarak yang terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan
berdiri dekat gedung, tiang dan pohon.
3.
Di luar rumah
Lindungi kepala anda dan hindari
benda-benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa
muncul dari jatuhnya kaca-kaca dan papanpapan reklame. Lindungi kepala anda
dengan menggunakan tangan, tas atau apapun yang anda bawa.
4.
Di pusat perbelanjaan
Jangan menyebabkan kepanikan atau
korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari pegawai atau satpam.
5.
Di dalam lift
Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa
bumi atau kebakaran. Jika anda merasakan getaran gempa bumi saat berada di
dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat
keamanannya dan mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer
gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia.
6.
Di kereta api
Berpeganganlah dengan erat pada
tiang sehingga anda tidak akan terjatuh seandainya kereta dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah mengikuti
penjelasan dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi petugas
kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.
7.
Di dalam mobil
Saat terjadi gempa bumi besar, anda
akan merasa seakan-akan roda mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol
terhadap mobil dan susah mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil
anda di kiri jalan dan berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika
harus mengungsi maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak terkunci.
8.
Di dalam mobil
Ada kemungkinan longsor terjadi
dari atas gunung. Menjauhlah langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai,
bahayanya datang dari tsunami. Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda
tsunami tampak, cepatlah mengungsi ke dataran yang tinggi.
9.
Beri Pertolongan
Sudah dapat diramalkan bahwa banyak
orang akan cedera saat terjadi gempa bumi besar. Karena petugas kesehatan dari
rumah-rumah sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian maka
bersiaplah memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang berada di sekitar
anda.
10. Dengarkan Informasi
Saat gempa bumi besar terjadi,
masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan, penting sekali
setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang
benar. Anda dapat memperoleh informasi yang benar dari pihak berwenang, polisi,
atau petugas lainnya. Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas
C. ANAK PADA MASA RECOVERY BENCANA GEMPA BUMI
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) pada hari Kesiapsiagaan Bencana 2019 mengemukakan bahwa tren bencana
yang terjadi di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Berdasarkan data, jumlah kejadian bencana yang telah terjadi di Indonesia
sebanyak 2.572 kasus dan telah menyebabkan puluhan ribu korban manusia, baik
yang meninggal maupun yang mengalami luka-luka. Tidak hanya orang dewasa,
anak-anakpun tak luput dari kejadian bencana tersebut. Anak-anak perlu
mendapatkan perhatian khusus ketika peristiwa bencana terjadi, alasan yang
sederhana karena anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang rentan menjadi
korban saat terjadinya bencana.
Para
pengungsi menempati tenda-tenda darurat yang mereka buat menggunakan
bahan-bahan sisa reruntuhan bangunan seperti kayu, seng, bilik bambu atau
plastik. Anak dan perempuan tidur dalam tenda yang sama; sedang laki-laki
dewasa menempati tenda yang berbeda. Tempat pengungsian ini berada di pinggir
jalan, di ujung-ujung kampung, atau di lapangan terbuka. Walau sudah
menggunakan tikar atau terpal sebagai alas lantai, akan tetapi kalau hujan
pasti menggenang. Tiga malam pertama pasca gempa turun hujan lebat, sehingga
para pengungsi berdiri sampai hujan reda dan tanah kering; sedangkan anak-anak
digendong oleh orang tua mereka.
Di
daerah Bambanglipuro anak dan lansia tinggal dalam bak belakang truk dengan
alasterpal; di mana mereka tidur di tempat itu dengan alasan untuk memudahkan
untuk evakuasi
jika ada bencana susulan. Di Seloharjo (Pundong) anak dan lansia tinggal kandang peternakan
ayam; di mana kondisi itu ditemukan juga di Ganjuran (Samas). Bantuan tenda sudah
mulai berdatangan, akan tetapi kebutuhan untuk melindungi bayi dan balita masih sangat
kurang sekali.
Anak-anak
di Pulokandang tinggal dalam tenda-tenda darurat; di mana mereka tinggal
bersama ibu mereka. Dalam 1 tenda ukuran 2×7 m2 digunakan oleh 4-6 KK atau
sekitar 8-16
orang yang terdiri atas anak-anak dan ibu-ibu. Di beberapa tempat ada tenda
ukuran 3×4 m2 yang dihuni sampai 12 orang. Tenda darurat tersebut tidak
tertutup rapat dengan alas tikar dan plastik. Di daerah Tirtonirmolo, Kasihan,
Bantul yang berdekatan dekat kota Yogyakarta; masyarakat yang berada di tepi
sungai membuat tempat perlindungan darurat di dekat rumah mereka. Anak-anak ada
yang tidur dalam tempat tidur yang bagian atas diberi plastik sebagai peneduh. Anak
yang tidur di sini sebanyak tiga orang anak beserta ibunya.
Lebih
lanjut Galante & Foa melakukan survey terhadap 300 anak sekolah (SD) 6
bulan setelah gempa bumi, mereka melaporkan variasi ketakutan yang riil dan
fantasi dan mereka merasa takut lagi pada saat ulang tahun kejadian. Anak usia
sekolah juga menunjukkan kemunduran dalam sekolah, setelah kejadian bencana.
Secara khusus masalah paska bencana dan diskontinuitas kondisi kehidupan
menyebabkan maslah-masalah sekolah. Anak tidak tertarik dengan aktifitas
sekolah dan masalah somatik seperti sakit kepala mempengaruhi kehadiran sekolah
(Gurwitch, 2004).
Contohnya
Mc.Farlan dkk (1987) menemukan bahwa anak korban bencana mengalami penurunan
penampilan dan tingkat jehadiran di sekolah. Lebih lanjut Taylor (1994)
menganalisis fungsi akademik anak sebelum dan sesudah bencana, 3 bulan setelah
angin topan, anak—anak yang mempunyai gejala paska bencana lebih besar
menunjukkan prestasi akademik yang menurun dibanding anak dengan gejala paska
bencana yang lebih sedikit atau ringan.
Ketika
terjadi bencana gempa bumi, setiap orang merasakan gunjangan dan shoc terapi
yang dahsyat dalam dirinya. Dapat kita bayangkan apabila hal tersebut
dirasakan oleh anak-anak, dan disaat itu juga mereka melihat didepan mata
kepalanya jenazah ayah, ibu atau adik dan kakaknya tewas akibat robohnya
bangunan atau air tsunami yang menghantam deras. Sungguh keadaan yang akan
selalu teringat dalam sejarah hidupnya kelak. Hal inilah yang dapat
mempengaruhi kejiwaan anak pasca bencana. Berdasarkan pengalaman dilapangan.
butuh waktu 3 – 5 bulan untuk dapat mngembalikan keceriaan anak-anak. Hal
itupun harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam membimbing
anak dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan.
Secara
keseluruhan, anak sekolah yang selamat dari bencana memperlihatkan ketakutan
pada tingkat yang tinggi, gejala somatik yang luas, masalah kognitif, perilakku
dan masalah sosial. Masalah kognitif meliputi kurang konsentrasi, permasalahan
membaca dan pemahaman dan menurunnya performance di sekolah. Masalah terkait
perilaku diantaranya seperti perilaku menolak datang ke sekolah dan
ketidakmampuan konsentrasi. Perilaku anak menjadi tidak konsisten seperti mudah
marah, tidak sopan dan secara emosional menjadi sensitif. Oleh karena itu,
teman sebayanya mungkin menjadi menderita karena perilaku ini. Mereka juga
mungkin mengalamikehilangan support sosial seperti teman. Penelitian juga
mengindikasikan bahwa perbandingan anak usia pra sekolah dengan anak usia
sekolah erhadap tingkat gejala PTSD dan mempunyai pemahaman yang lebih tinggi
pada ank usia sekolah terhadap pengalaman yang traumatic
Reaksi
Spesifik terhadap Bencana atau Kejadian traumatik berdasarkan usia
1.
Somatik (Somatic)
Kehilangan energi, keluhan fisik (sakit kepala, sakit perut), gangguan tidur
2.
Kognitif (Cognitive)
Percaya terhadap kekuatan supernatural, distorsi tentang penyebab bencana,
gangguan terhadap gambaran yang tidak diinginkan, suara, bau dan memori, kurang
konsentrasi, performance dan level yang turun, kesedihan saat mengenang ulang
tahun peristiwa.
3.
Emosional (Emotional)
Marah, menolak,ekspresi kesalahan setelah aktivitas, kurang bantuan, kurang
tertarik dengan aktifitas yang menyenangkan, moodiness, sedih, menyalahkan diri
sendiri, mudah menangis, trauma, takut dan khawatir
4.
Perilaku (Behavioral)
Respon mengejutkan, perilaku agresif (fighting), hiperaktif, hypervigilance,
masalah dengan teman sebaya, mengulang cerita tentang trauma, permainan yang
berhubungan dengan trauma, penolakan sosial dan emosional
1.
Dampak bencana
Dalam menjelaskan dampak bencana,
perlu dipertimbangkan interseksi antara indikator sosial dan indikator
lingkungan seperti kemungkinan resiko bencana, kualitas tempat tinggal lingkungan
yang terbangun, status sosial ekonomi, genderm etnik, umur status kesehatan,
pekerjaan, pendidikan, jaringan sosial, kemampuan akses, dll (Cutter, Boruff,
and Shirley 2003). Dalamhal ini yang termasuk kategori rentan adalah orang
miskin, perempuan, etnis minoritas, lansia, dan terlebih anak. Kelompok ini
dikategorikasn sebagai kelompok yang rentan pada kerusakan, kehilangan,
penderitaan, dan kematian dalam bencana (Wisner et al. 2004).
Anak mengalami kecemasan dan
ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seprti orang
dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengonrol
stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak
mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan situasi
mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety and
tension in adults around them.
Setiap anak mempunyai respon yang
berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemehaman dan pengerian mereka,
tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan
kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana
adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi.
2.
Deteksi
Dini: Kerentanan Pendidikan
Banyak akses pendidikan yang hilang
akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru
ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa
berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah
berhenti. Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali
bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk
bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat
tinggal mereka.
Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki
yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan
domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih tinggi. Angka putus
sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska
bencana.
3.
Faktor
Resiko Anak Paska Bencana
Selain dampak psikologis dan fisik,
ada beberapa factor lain yang mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana,
Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah
a. kematian
orangtua atau orang yang dicintai anak
Dalam kasus bencana tsunami Aceh,
dimana banyak orangtua dan keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat
rentan terhadap praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan
seksual. Perdagangan anak juga menjadi isue santer paska bencana ini, dimana
anak yang tidak punya orangtua disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab
untuk kepentingan lembaga tersebut.
b.
nonintegrated family –
separated children
Pada saat terjadinya bencana banyak
anak yang terpisah dari orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui
keberadaan orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko
tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri mereka,
seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini kebanyakan dipelihara oleh
orang yang menemukan mereka atau tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa
perlindungan.
c. Kehilangan
”sense” of normality secara mendadak
Kehilangan
rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh dalam lingkaran kehidupan
sehari-hari menjadikan anak hidup dalam situasi yang “tidak normal”. Kondisi
pengungsian yang sama sekali berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor
resiko bagi anak yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang
baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan yang
memberinya rasa nyaman.
4.
Apa
yang di lakukan setelah terjadi gempa bumi:
1.
Tetap waspada terhadap
gempa bumi susulan.
2.
Ketika berada di dalam
bangunan, evakuasi diri anda setelah gempa bumi berhenti. Perhatikan reruntuhan
maupun benda-benda yang membahayakan pada saat evakuasi.
3.
Jika berada di dalam
rumah, tetap berada di bawah meja yang kuat.
4.
Periksa keberadaan api dan potensi terjadinya
bencana kebakaran.
5.
Berdirilah di tempat terbuka jauh dari gedung
dan instalasi listrik dan air. Apabila di luar bangunan dengan tebing di
sekeliling, hindari daerah yang rawan longsor.
6.
Jika di dalam mobil, berhentilah di pinggir
jalan, tetapi tetap berada di dalam mobil. Hindari berhenti di bawah atau di
atas jembatan atau rambu-rambu lalu lintas.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bencana
berdampak pada perkembangan anak, tidak saja merusak kegiatan dan kebiasaan
sehari-hari anak, bencana mengakibatkan tertundanya sekolah dan akhirnya
perkembangan pendidikan anak, kesempatan sosial anak, dan meningkatnya tekanan
pada stress hidup sepeerti penyakit, kekerasan keluarga, dan
alcohol. (Silverman and La Greca 2002). Bencana juga mengakibatkan anak
terpisah dari orangtuanya, dari anggota keluarga, dan juga temannya.
Mengakibatkan kematian orang-orang yangdicintai dan akhirnya memaksa anak untuk
tinggal dengan lingkungan yang tidak familiar bahkan tidak bisa menerima
mereka. Efek negative ini jelas mempunyai pengaruh yang buruk dagi kesehatan
fisik dan emosioal anak sebagai “well being”.
Meskipun
anak mempunyai kerentanan tinggi terhadap bencana, mereka bukan korban yang
pasif. Anak dan pemuda dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan tanggap
bencana di sekolah, dirumah an di masyarakat untuk meminimalkan resiko yang
mungkin akan mereka hadapi dalam bencana. Memasukkan ”disaster risk reduaction”
di sekolah adalah cara yang bagus untuk menjangkauketerlibatan anak. Anak-anak
ini akan saling berkomunikasi mengenai informasi resiko dengan teman sebaya dan
anggota keluarga. I Untuk mendidik anak mengenai bencana dan melibatkan mereka
dalam kegiatan persiapan, materi harus disiapkan sesuai dengan umur.
Materi
ini dikembangkan dan diseminasi melalui media elektronik. Anak juga
mungkin mempunyai ide praktis dan kreatif dalam membantu keluarga
dan masyarakat sekitar untuk pulih dari bencana. Bencana menghancurkan ruang
fisik anak dalam tumbuh belajar dan bermain – rumah mereka, lingkungan sekitar,
sekolah, taman dan tempat bermain. Namun demikian orang dewasa jarang bertanya
pada anak mengenai bagaimana mereka menginginkan ruang fisik mereka
dibangun.Sistem dapat dibangun untuk melibatkan suara anak dalam pengambilan
keputusan ini. Ada perbedaan antara “mendengarkan” anak berbicara dan menyimak
apa yang mereka katakan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A.
Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors for Adolescent Alcohol Use Following a
Natural Disaster http://pdm.medicine.wisc.edu Prehospital
and Disaster Medicine Schroeder, Polusny 123
Lauten, Anne Westbrook and Kimberly
Lietz (2008). “A Look at the Standards Gap: Comparing Child
Protection Responses in the Aftermath of Hurricane Katrina and the Indian
Ocean Tsunami.” Children, Youth and Environments 18(1):
158-201. Available from: http://www.colorado.edu/journals/cye.
Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T.
Edwards (2008). “Disaster Risk Reduction and Vulnerable Populations in
Jamaica: Protecting Children within the Comprehensive Disaster Management
Framework.” Children, Youth and Environments 18(1): 389-407.
Available from: www.colorado.edu/journals/cye.
Plutchik, R 2003. Emotions and
Life: Perspective from psychology, biology, and evolution. Washington,
DC:APA
Ronan, Kevin R., Kylie Crellin, David M.
Johnston, Kirsten Finnis, Douglas Paton and Julia Becker (2008).
“Promoting Child and Family Resilience to Disasters: Effects,
Interventions and Prevention Effectiveness.” Children, Youth and v
fEnvironments 18(1): 332-353. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.
Santrock, J.W. 1999. Life Span
Development. Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill
Weissbecker, Inka, Sandra E. Sephton,
Meagan B. Martin, and David M. Simpson (2008). “Psychological and
Physiological Correlates of Stress in Children Exposed to Disaster: Review of
Current Research and Recommendations for Intervention.” Children, Youth
and Environments 18(1): 30-70. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.
No comments:
Post a Comment