Tuesday, 21 September 2021

LAPORAN KASUS KEJANG DEMAM

 

Laporan Kasus

 

KEJANG DEMAM

 


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................................... iii

 

BAB I KASUS.......................................................................................................... 1

1.1     Identitas Pasien...................................................................................... 1

1.2     Anamnesis............................................................................................. 1

1.3     Pemeriksaan Fisik.................................................................................. 2

1.4     Diagnosis Banding................................................................................. 5

1.5     Diagnosis Kerja...................................................................................... 5

1.6     Tatalaksana............................................................................................ 5

1.7     Follow Up.............................................................................................. 5

 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 7

2.1     Definisi Kejang Demam......................................................................... 7

2.2     Epidemiologi Kejang Demam................................................................ 8

2.3     Etiologi Kejang Demam......................................................................... 9

2.4     Patofisiologi Kejang Demam................................................................ 12

2.5     Manifestasi Klinis Kejang Demam....................................................... 16

2.6     Diagnosis............................................................................................. 18

2.7     Pemeriksaan Fisik Kejang Demam....................................................... 19

2.8     Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam.............................................. 19

2.9     Komplikasi Kejang Demam................................................................. 20

2.10   Diagnosis Banding Kejang Demam...................................................... 21

2.11   Tatalaksana Kejang Demam................................................................. 23

2.12   Prognosis Kejang Demam.................................................................... 28

 

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 30

 


BAB I

KASUS

1.1  Identitas Pasien

Nama                          : Zahara

No. RM                      : 148989

Alamat                        : Lampaya Ro, Aceh Besar

Jenis Kelamin             : Perempuan

Tanggal Lahir             : 12/10/2020

Tanggal MRS             : 30 Agustus 2021 (22.05 WIB)

 

1.2  Anamnesis

Anamnesis diperoleh melalui alloanamnesis terhadap ibu pasien  pada  tanggal 31 Agustus 2021 (pukul 14.30 WIB)

A.     Keluhan Utama

Kejang

B.      Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kejang SMRS yang berlangsung dalam waktu ± 5 menit, kejang terjadi 1 kali dalam 24 jam. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri kemudian pada saat kejang berhenti pasien menangis. Kejang yang dialami pasien merupakan kejang kedua kali setelah satu bulan yang lalu juga mengalami kejang. Sebelum kejang pasien mengalami demam yang berlangsung ± 4 hari SMRS yang memberat pada saat malam hari. Demam yang dialami oleh pasien naik turun dan demam tinggi SMRS. Suhu sebelum dan saat anak kejang tidak diketahui. Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien juga terdapat keluhan batuk yang sudah berlangsung ± 4 hari SMRS. Mual muntah disangkal, nafsu makan pasien menurun. Pasien belum BAB maupun BAK sejak pagi.

C.     Riwayat Penyakit Dahulu

Satu bulan lalu pasien mengalami Kejang

 

D.     Riwayat Pengobatan

Ibuprofen

E.      Riwayat Alergi

Disangkal

F.      Riwayat Penyakit Keluarga

Disangkal

G.     Riwayat Kelahiran

Pasien lahir secara spontan dengan usia kehamilan cukup bulan di RSIA, tidak ada kelainan pasca lahir. Anak lahir dengan berat lahir 4000 gram dan panjang lahir (ibu tidak mengingatnya),

Kesan: Persalinan dalam batas normal

H.     Riwayat Imunisasi

Kesan: Imunisasi lengkap

I.        Riwayat Tumbuh Kembang

·         Motorik kasar : Sudah mencapai kemampuan motorik kasar sesuai usianya

·         Motorik halus : Sudah mencapai kemampuan motorik halus sesuai usianya

·         Bahasa               : Sudah mencapai kemampuan bahasa sesuai usianya

·         Sosial                 : Sudah mencapai kemampuan sosial sesuai usianya

Kesan      : Perkembangan sesuai usia

J.       Riwayat Nutrisi

ASI ekslusif hingga usia 6 bulan dilanjutkan dengan MPASI hingga sekarang.

Kesan: kuantitas dan kualitas makan anak baik

 

1.3     Pemeriksaan Fisik Tanda vital

-          Nadi                : 90x/menit, irregular, isi tegangan cukup

-          Pernafasan      : 22x/menit, tipe abdominothoracal

-          Suhu                : 37, 6°C

BB                 : 10 kg             PB       : 76 cm

 

Status gizi:

Klinis (Baik) Antropometri (WHO)

BB/U               : 93,45% (normal)

TB/U               : 93,82 % (normal)

BB/TB             : 105,2% (gizi cukup)

 

Kesan : gizi baik

 

Kepala                      : normocephali (LK=  cm) , rambut hitam, distribusi merata, UUB sudah menutup

Mata                         : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, reflex cahaya (+/+)

Telinga                      : Bentuk normal, secret (-)

Hidung                      : Bentuk normal, napas cuping hidung (-/-), secret (-/-) Tenggorok   : Uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1/T1, faring hiperemis(-) Thorax           : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kiri kanan

Jantung                      :

Inspeksi                     : Iktus cordis tidak tampak Palpasi     : Iktus cordis tidak kuat angkat Perkusi            : Batas jantung tidak membesar

Auskultasi                  : BJ I-II intesitas normal, regular, bising (-)

 

Pulmo

Inspeksi        : Pengembangan dada kiri=kanan Palpasi        : Fremitus raba kanan=kiri


Perkusi            : Sonor/ Sonor di semua lapangan paru Auskultasi   : vesicular (+/+), Ronkhi (-/-)

Abdomen

 

Inspeksi           : dinding dada setinggi dinding perut

 

Palpasi             : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor  kembali cepat

Perkusi            : tymphani Auskultasi           : peristaltic (+)

 

Ekstremitas              :

 

    Akral dingin                       Sianosis

-     -

-     -

-     -

-     -


-     -

-     -

-     -

-     -


        Oedem                             Wasting

 

CRT < 2 detik

 

Pemeriksaan neurologis: -

 

 

 

 

 

1.4  Diagnosis Banding

Kejang Demam Sederhana

Kejang Demam Kompleks

Epilepsy

Meningitis

 

1.5  Diagnosis Kerja

Kejang Demam Sederhana

 

1.6  Tatalaksana

-    IVFD 4:1 500 cc/24 jam

-        Inj. Ampicilin 250 mg/8 jam

-        Inj. Dexamethason 2 mg/8j

-        Drip Paracetamol 80 mg/8j

-        Nebule Ventolin 1/2 + Nacl 2 cc/ 8 jam

-        Cetirizin 1 × 1/3 cth

-        Liprolac 1×1

-        Cek DR, GDS, elektrolit, foto thorax

 

1.7  Follow Up

Tanggal

S

O

A

P

31/08/2021

 

 

Kejang (-)

demam (-) batuk  (+) Mual (-),

muntah (-), minum (baik), nafsu makan menurun, belum bab & bak sejak pagi

KU: lemah HR: 90 x/i

RR: 22 x/i T: 37°C

Kejang demam Sederhana

·         IVFD 4:1 500

cc/24 jam

·         Inj. Ampicilin 250 mg/8 jam

·         Inj. Dexamethasone 2 mg/8 jam

·         Drip Paracetamol 80 mg/8 jam

·         Nebule Ventolin 1/2 + Nacl 2 cc/ 8 jam

·         Cetirizin 1 × 1/3 cth

·         Liprolac 1×1

01/09/2021

 

 

Kejang (-)

 

Demam (-) Batuk  (+) Mual (-)

Muntah (-) Minum (baik)

Nafsu makan (baik)

BAB & BAK (+)

KU: lemah

RR: 32 x/i

HR: 83 x/i T: 36,8°C

Kejang demam Sederhana

·         IVFD 4:1 500

cc/24 jam

 

·         Inj. Ampicilin 250 mg/8 jam

 

·         Inj. Dexamethasone 2mg/8 jam

 

·         Drip Paracetamol 80 mg/8 jam

 

·         Nebule Ventolin 1/2 + Nacl 2 cc/ 8 jam

 

·         Cetirizin 1 × 1/3 cth

 

·         Liprolac 1×1

 


BAB II

 TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.

1.      Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya.

2.      Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.

3.      Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.

4.      Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1

Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu:

1.      Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

2.      Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

 

1.      Kejang demam sederhana

§   Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), , bentuk kejang umum (tonik dan/atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Keterangan :

1.      Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam

2.      Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri

2. Kejang demam Kompleks

§   Kejang demam kompleks, dengan salah satu ciri berikut:

-          Kejang lama (> 15 menit)

-          Kejang fokal atau parsial satu sis, atau kejang umum yang didahului kejang parsial

-          Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.1

                                    Keterangan :

1)      Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

2)      Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial.

3)      Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2 bangkitan kejang amnak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % anak yang mengalami kejang demam.

 

2.2  Epidemiologi Kejang Demam

Epidemiologi kejang demam di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, di dunia diperkirakan kejang demam terjadi lebih sering pada anak usia 6 bulan 5 tahun. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun.1 Kejang demam sederhana memiliki rentang usia yang secara klasik digambarkan sebagai 6 hingga 60 bulan. Insiden puncak biasanya pada tahun kedua kehidupan. Kejang demam lazim terjadi pada 5% anak-anak, dengan lebih dari semua insiden diperkirakan sekitar 360 / 100.000 dalam kelompok 0-4 tahun. Kebanyakan kejang demam sederhana; namun, hingga 30% mungkin memiliki beberapa fitur kompleks. Risiko kekambuhan kejang demam tidak terkait dengan faktor-faktor yang berbeda, termasuk kelompok muda, durasi kejang yang berkepanjangan, derajat demam, dan riwayat kejang demam pribadi dan keluarga yang positif. Faktanya, riwayat keluarga positif kejang demam pada kerabat tingkat pertama diamati pada hingga 40% pasien. Distribusi gender telah dipelajari dalam literatur. Satu studi sebelumnya menemukan dominasi laki-laki ringan, tetapi ini belum didukung oleh tinjauan literatur lain. Variasi musiman berkaitan dengan kejadian kejang belum sepenuhnya dipahami. Penelitian telah menunjukkan bahwa FS cenderung terjadi lebih banyak pada bulan-bulan musim dingin dan lebih sering terjadi pada malam hari.2

Global

Kejang demam terjadi pada 2 5% anak usia 6 bulan 5 tahun pada negara maju. 70 75% dari kejang demam adalah kejang demam sederhana. Rasio laki-laki- perempuan adalah sekitar 1,6:1.3

 

2.3  Etiologi Kejang Demam

Etiologi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi sel saraf otak sehingga menimbulkan kejang.

Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui, akan tetapi dianggap multifaktorial. Kejang demam adalah respons terkait usia anak dari otak yang sedang berkembang terhadap penyakit demam, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang demam.4 faktor lingkungan dan genetik juga memiliki peran yaitu pada sekitar sepertiga anak memiliki riwayat keluarga dan kemungkinan kejang demam pada anak adalah sekitar 20% dan 33% dengan saudara kandung yang terkena dan orang tua yang terkena dampak masing-masing.5

     Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas akut terutama faringitis, otitis media akut (cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), roseola infantum, influenza A, human coronavirus, dan disentri karena spesies Shigella.

     Infeksi virus, terutama yang berhubungan dengan demam tinggi, meningkatkan risiko kejang demam karena demam tinggi telah terbukti meningkatkan rangsangan saraf dan menurunkan ambang kejang. Virus yang paling sering berkorelasi dengan kejang demam termasuk pada manusia
herpes
virus 6, influenza, adenovirus, dan parainfluenza.6 Ada juga risiko demam pasca-vaksinasi dan kejang demam setelah vaksinasi dengan vaksin pertusis sel utuh (DPT) difteri-tetanus gabungan, tetapi risiko absolutnya sangat kecil.4

Penyakit virus, vaksinasi tertentu, dan kecenderungan genetik adalah faktor risiko umum yang dapat memengaruhi sistem saraf yang rentan dan berkembang di bawah tekanan demam. Faktor risiko lain termasuk pajanan dalam rahim, seperti ibu yang merokok dan stres ibu; berada di unit perawatan intensif neonatal selama lebih dari 28 hari, keterlambatan perkembangan, memiliki kerabat tingkat pertama dengan riwayat kejang demam, memiliki kerabat derajat dua dengan riwayat kejang demam, dan kehadiran penitipan anak.6 Selain itu, pengenalan prenatal terhadap nikotin dan alkohol, prematuritas, retardasi pertumbuhan intrauterin dan pengobatan postnatal dengan kortikosteroid dikaitkan dengan kemungkinan tinggi mengalami kejang demam dibandingkan dengan orang lain yang tidak memiliki faktor risiko tersebut. Baik paparan stres perinatal atau prenatal dapat mempengaruhi kejang demam karena menurunkan ambang kejang.4 Kekurangan zat besi, seng, selenium, kalsium, magnesium, asam folat, dan vitamin B12 juga diketahui terkait dengan risiko kejang demam yang lebih tinggi. Faktor lain yang berkontribusi untuk kejang demam termasuk riwayat kejang demam di masa lalu, kejang pada kerabat tingkat pertama, tinggal di unit neonatal selama lebih dari 4 minggu, keterlambatan perkembangan saraf, dan menghadiri penitipan anak.4

Kejang disertai demam dapat juga disebabkan oleh infeksi susunan saraf (meningitis, ensefalitis, atau abses otak), epilepsi yang belum terdiagnosis yang dicetuskan oleh demam, atau kejang demam sederhana. Yang disebutkan terakhir merupakan predisposisi genetik terhadap kejang dicetuskan oleh demam yang sering didapatkan pada anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun. Keadaan ini terjadi pada 2% sampai 4% anak; sebagian besar antara usia 1 sampai 2 tahun (usia rerata 22 bulan). Kejang demam sederhana adalah kejang demam motorik umum mayor yang berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi satu kali dalam kurun waktu 24 jam pada anak yang normal secara neurologis maupun perkembangan. Jika terdapat tanda-tanda fokal, lamanya kejang lebih dari 15 menit, anak memiliki gangguan neurologis sebelumnya, atau kejang terjadi lebih dari satu kali dalam satu kejadian demam, maka kejang disebut sebagai kejang demam kompleks atau atipik.7

Semua kenaikan suhu tubuh bisa menyebabkan kejang demam. Kenaikan suhu ini paling sering disebabkan oleh:

Infeksi

Infeksi virus lebih sering menyebabkan demam yang berujung pada kejang demam bila dibandingkan dengan infeksi bakteri. Infeksi virus menyebabkan kenaikan suhu tubuh yang tinggi, seperti contohnya adalah campak, cacar air dan rubella.

 

Demam Pasca-Imunisasi

Pasca-imunisasi, demam dapat terjadi sebagai bagian dari kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Imunisasi yang sering menyebabkan demam adalah imunisasi yang memiliki kuman hidup yang dilemahkan, yaitu difteri-tetanus-pertussis (DTP) dan mumps-measles-rubella (MMR). Perlu diinformasikan kepada orang tua bahwa kejang disebabkan karena demam-nya bukan karena imunisasi.

Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam adalah:

§   Usia: 6 bulan 5 tahun. Kejang demam jarang terjadi di luar usia ini. Bila terjadi demam dan kejang pada usia di luar rentang ini, maka perlu dipikirkan penyebab lain, terutama penyebab intrakranial.

§   Riwayat keluarga. Anak yang memiliki riwayat keluarga yang memiliki kejang demam akan lebih berisiko terkena kejang demam

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:

§   Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)

§   Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1 jam

§   Usia < 18 bulan

§   Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan kejang.

 

2.4  Patofisiologi Kejang Demam

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natriun (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (CI-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :

a.  Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraselular

b.  Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya

c.  Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan  

Pada keadaan demam kenaikkan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikkan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa hanya 15%. Oleh karena itu kenaikkan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel disekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatkanya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang.

Mekanisme primer yang tepat yang mendasari kejang demam masih belum diketahui tetapi dianggap multifaktorial. Diyakini bahwa kejang demam terjadi karena kerentanan otak yang sedang berkembang atau belum matang terhadap efek demam dalam hubungannya dengan faktor lingkungan dan genetik.4

Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh:

 

·         Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular

·         Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran aliran listrik dari sekitarnya

·         Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel  tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penaggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.  Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasa disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadinya hiposekmia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan  meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. 

 Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor­alpha (TNF-α), IL-6, interleukin­1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase­2 (COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABA ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan kejang.8 

Kejang demam adalah respons terkait usia dari otak yang sedang berkembang terhadap penyakit demam. Karena ada dorongan saraf yang meningkat terhadap demam selama proses pematangan otak, hal itu menurunkan ambang kejang dan menyebabkan kejang demam. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa kejang demam lebih sering terjadi di bawah usia 3 tahun ketika ambang kejang paling rendah . Lebih lanjut, telah diketahui bahwa demam tinggi merupakan faktor risiko yang paling signifikan daripada peningkatan demam yang tiba-tiba untuk pengembangan kejang demam pertama.4

Studi jalur sinyal hanya menyampaikan pendapat tentang mengapa dan bagaimana anak-anak tertentu mengembangkan FS. Di masa lalu, teori yang paling umum mengaitkan efek langsung hipertermia pada hiperventilasi kompensasi. Hal ini diasumsikan menyebabkan alkalosis otak kecil, mengakibatkan peningkatan rangsangan saraf dan perkembangan selanjutnya dari kejang klinis. Teori, bagaimanapun, tidak menjelaskan mengapa beberapa anak lebih rentan untuk mengembangkan fenomena tersebut daripada yang lain. Saat ini kita tahu bahwa ada peran besar kerentanan genetik berdasarkan sekelompok besar varian gen. Susunan genetik ini kemungkinan mengakibatkan kerentanan perkembangan saraf, dengan perubahan ekspresi saluran natrium, disregulasi hipotalamus, dan rangsangan kortikal dan hipokampus. Pemicu lingkungan, termasuk penyebab bukan demam, kemudian mungkin terlibat melalui neurotropisitas dan jalur disregulasi metabolik .7

 

2.5  Manifestasi Klinis Kejang Demam

Dalam beberapa kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama terjadinya demam. Kejang terjadi ≥3 hari setelah onset demam dicurigai. Pada saat kejang, mayoritas anak memiliki suhu tubuh 39°C. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks berdasaran durasi, karakterisik fisik, dan pola pengulangan. Kejang demam sederhana terjadi antara 80-85% dari keseluruhan kasus kejang demam. Penurunan kesaradan pada saat kejang merupakan ciri tetap. Busa di mulut, sulit bernapas, pallor atau sianosis bisa juga terjadi.

Khasnya, kejang demam sederhana berdifat umum dan berhubungan dengan gerakan tonik-klonik pada ektremitas dan bola mata yang memutar. Kejang biasanya berlangsung dalam beberapa detik dan paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5 menit), diikuti oleh periode mengantuk poastiktal singkat serta tidak kambuh dalam 24 jam. Terkadang otot-otot wajah dan respirasi mengalami kejang atonik dan tonik. Berbeda dengan kejang demam sederhana, kejang demam kompleks biasanya berlangsung lebih dari 15 menit, kejang fokal (gerakan terbatas pada satu sisi tubuh atau satu ektremitas. Kejang berulang pada hari yang sama serta periode postikal mengantuk yang berkepanjangan atau hemiparese transient postikal (Todd’s palsy). Umumnya, anak dengan kejang demam kompleks lebih muda dan lebih mungkin mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan mereka yang mengalami kejang demam sederhana. Mayoritas anak dengan kejang demam kompleks DO SO dengan kejang pertama, tetapi anak dengan kejang demam sederhana awal mungkin mengalami kejang demam kompleks kemudian.

Kejang demam biasanya terjadi ketika suhu tubuh anak lebih dari 38◦C, meskipun anak-anak dapat mengembangkan kejang kapan saja selama penyakit demam dan mungkin hanya mengalami demam setelah kejang berlangsung. Tanda dan gejala khas kejang demam termasuk kehilangan kesadaran, kesulitan bernapas, pucat atau membiru, mulut berbusa, mata berputar ke belakang kepala, tatapan tajam, kedutan umum atau fokal, dan sentakan pada lengan dan kaki. Setelah kejang, anak-anak mungkin mudah tersinggung, bingung atau mengantuk tetapi akan pulih sepenuhnya setelah sekitar 30 menit. Ada dua tipe utama kejang demam: kejang demam sederhana, yang membentuk 70% dari semua kejang demam dan umumnya tidak memiliki konsekuensi perkembangan saraf jangka panjang, dan kejang demam kompleks. Karakteristik FS sederhana dan kompleks dijelaskan pada Tabel 1.9

Status epileptikus, tipe kejang demam kompleks yang paling berat. Mengacu pada kejang demam terus menerus atau intermitten tanpa kesadaran yang berlangsung lebih dari 30 menit. Mata yang terus-menerus terbuka atau deviasi adalah ciri adanya aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Anak-anak dengan status epilepticus lebih memungkinkan untuk memiliki kelainan hipokampus dan juga pada peningkatan risiko untuk status epileptikus berikutnya.

 

 

2.6 Diagnosis

Ketika seorang anak dengan FS datang ke Unit Gawat Darurat (ED), penting terutama untuk mengumpulkan riwayat yang rinci dan akurat dan untuk melakukan evaluasi klinis lengkap, termasuk pemeriksaan neurologis, untuk menyingkirkan penyebab sekunder dari kejang.10 Selain itu, perlu untuk membedakan antara FS pertama dan episode pertama kejang afebrile atau epilepsi, dan riwayat yang jelas, baik sebelum atau segera setelah FS, harus diidentifikasi.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis harus diarahkan untuk mencari fokus infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan sebelumnya. Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan fungsi neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam pada keluarga. Pada kejang demam, ditemukan perkembangan dan neurologis yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis (misalnya kaku kuduk atau penurunan kesadaran).10

Umumnya, riwayat dikumpulkan dari orang tua atau pemberi perawatan dan harus mencakup sifat dan durasi kejang, keberadaan dan durasi fase pasca iktal, penyakit atau demam baru-baru ini, penggunaan terapi antibiotik baru-baru ini, gejala terkait lainnya, riwayat imunisasi dan vaksinasi, riwayat episode FS sebelumnya atau riwayat vaksinasi. diagnosis epilepsi, kondisi dan penyakit neurologis lainnya, riwayat keluarga FS, epilepsi, atau penyakit neurologis, penggunaan antipiretik, dan kebutuhan akan antikonvulsan penyelamat untuk menghentikan kejang, seperti diazepam atau midazolam. Evaluasi klinis harus fokus pada identifikasi infeksi yang menyebabkan demam.9 Pengujian harus dilakukan pada anak-anak yang datang dengan tanda dan gejala penyakit serius atau infeksi intrakranial (pneumonia atau meningitis / ensefalitis), tetapi tidak perlu dilakukan pada anak-anak berusia lebih tua yang pernah mengalami fokus infeksi, diimunisasi lengkap, dan hadir dengan FS sederhana. Pada anak-anak berusia kurang dari satu tahun yang datang dengan episode pertama FS kompleks atau memiliki gejala yang menunjukkan infeksi intrakranial, penyelidikan lebih lanjut harus dipertimbangkan, termasuk laboratorium seperti hitung darah lengkap, protein C-reaktif, urea, kadar kalsium, magnesium, glukosa, dan elektrolit, dan kultur darah jika dicurigai adanya sepsis bakteri; tes dipstik urin dan kultur; rontgen dada; tes kultur feses; dan pungsi lumbal (tes ini tidak boleh dilakukan segera setelahnya.9

 

2.7    Pemeriksaan Fisik Kejang Demam

Temuan dari pemeriksaan fisik mengungkapkan anak yang sehat secara neurologis dan perkembangan. Sangat penting bahwa anak tidak memiliki tanda-tanda meningitis atau ensefalitis (misalnya, leher kaku atau perubahan status mental yang persisten).

 

2.8  Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam

a.      Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

b.      Punksi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia

<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.

Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):

1.   Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal

2.   Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis

3.   Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejalameningitis.

c.       EEG

Indikasi pemeriksaan EEG:

Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal.

Keterangan:

EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

d.      Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.(1)

 

2.9  Komplikasi Kejang Demam

Kejang demam berhubungan dengan peningkatan risiko epilepsy, serta masalah lainnya. Penelitian terbaru menemukan indikasi hubungan antara kejang demam dengan Sudden Unexplained Death In Childhood (SUDC), mungkin karena hubungan antara kejang demam dan epilepsi.

Namun, penelitian ini belum terbukti dan SUDC sangat langka, berefek sekitar 1 dari 100.000 anak. Selain itu, penelitian terbesar dari jenisnya menunjukkan lebih dari 1,5 juta anak dengan riwayat kejang demam dan tidak ada menemukan bukti meningkatkan risiko kematian di masa kanak-kanak atau dewasa nantinya.

Kejang demam dapat menyebabkan ketakutan dan kepanikan yang tidak perlu bagi orang tua karena mereka mengira anak mereka mungkin mengalami kerusakan otak dan epilepsi di masa depan atau mungkin meninggal setelah kejang demam.

Risiko epilepsi di kemudian hari telah menjadi 1% pada kejang demam sederhana sementara kejang demam kompleks memiliki hampir 4 - 6%. Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi epilepsi pada pasien dengan kejang demam dan termasuk kejang yang terjadi dalam waktu satu jam setelah onset demam, timbulnya kejang demam sebelum usia 1 tahun atau setelah usia 3 tahun, beberapa episode demam. kejang, riwayat keluarga yang positif, defek neurologis yang mendasari, dan keluarnya epileptiform pada EEG.

Ensefalopati jarang terjadi. Bukti saat ini mengungkapkan bahwa mutasi missense pada saluran natrium SCN1A dan gen SCN2A mungkin menjadi faktor risiko yang mendasari kejang demam yang parah. Sklerosis temporal mesial juga merupakan komplikasi setelah kejang demam berulang dan berkepanjangan dan bertindak sebagai faktor pemicu untuk epilepsi di masa depan.4

 

2.10     Diagnosis Banding Kejang Demam

Beberapa diagnosis banding dari kejang demam adalah:

Meningitis Bakterial Akut

Pasien tampak lebih letargis dan gelisah, terdapat gangguan kesadaran setelah kejang, ruam kulit, fontanel membonjol, dan kaku kuduk. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal dan kultur liquor cerebrospinalis (LCS) tumbuh bakteri.

 

 

Meningitis Viral

          Kaku kuduk positif. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal, kultur bakteri LCS negatif, tetapi polymerase chain reaction (PCR) kemungkinan positif.

Ensefalitis Viral

Gejala prodromal meliputi gejala infeksi saluran napas atas akut, diikuti nyeri kepala, kaku kuduk dan kejang. Ruam kulit mungkin timbul. Pemeriksaan pungsi lumbal dan kultur bakteri LCS tidak spesifik karena dapat menunjukkan hasil yang normal.

Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: herpes simpleks)

 

Ensefalopati Akut

Gejala prodromal seperti gejala pada infeksi virus, diikuti dengan gangguan kesadaran dan kejang dan dapat disebabkan oleh zat beracun (pada Sindroma Reye) Pemeriksaan pungsi lumbal dapat menunjukkan:

§   Peningkatan tekanan LCS, hitung sel dan protein meningkat, dengan penurunan glukosa

§   Peningkatan rasio albumin LCS / serum mengindikasikan adanya gangguan sawar otak dan menjadi tanda awal dari ensefalopati akibat virus yang akut.

§   Peningkatan enzim liver dan kadar amonia di dalam darah.

§   Gula darah dapat menurun.

Dapat ditemukan gangguan pada hasil elektroensefalografi (EEG). Dapat ditemukan hasil MRI yang normal dan tidak normal (contoh: nekrosis talamus bilateral dan edema otak). Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: influenza A).

 

Epilepsi

Pada epilepsi kejang tidak disertai dengan demam. Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan adanya gelombang epileptiform (contoh: gelombang spike and slow). Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+), adalah sebuah penyakit akibat gangguan genetik autosomal dominan. Ditemukan riwayat kejang demam yang terjadi lebih dari 5 tahun dan riwayat bangkitan kejang tanpa demam.

Hot water epilepsy (HWE), dimana kejang biasanya kompleks-parsial yang didahului dengan tersiram air panas (40 – 50oC) di kepala. Sering terjadi di India dan Turki. 7% dari penderita HWE memiliki EEG di antara kejang menunjukkan temporal spikes.

Sindroma Drevet atau severe myocloninc epilepsy of infancy (SMEI), merupakan penyakit mutasi genetik. Ditandai dengan epilepsi yang tidak kunjung membaik, tampak seperti kejang demam pada tahun pertama. Kejang onset dini, berulang dan tipe kejang yang sering terjadi adalah kejang fokal dan klonik.

 

Breath-holding spells

Bayi afebris yang apneu, sianosis dan terdapat gerakan menghentak-hentak pada ekstremitas setelah menangis, atau setelah stimulasi vagal yang tidak disengaja. Onset usia 6 – 18 bulan.

 

2.11               Tatalaksana Kejang Demam

Penatalaksanaan pasien kejang demam dibagi menjadi tatalaksana yang dilakukan saat anak sedang dalam keadaan kejang, tatalaksana rumatan, dan tatalaksana pencegahan terjadinya kejadian kejang demam berulang.

Tatalaksana Saat Kejang

 Tatalaksana yang dilakukan saat anak datang dalam keadaan kejang adalah:

§   Diazepam intravena 0.2 – 0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 10 mg

§   Bila belum terpasang akses intravena atau dilakukan di Rumah, bisa diberikan diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan bb kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk bb lebih dari 12 kg

§   Bila diazepam rektal diberikan oleh orang tua di Rumah, dengan 2 kali pemberian diazepam rektal berselang 5 menit, kejang masih belum berhenti, anjurkan ke Rumah Sakit dan diberikan diazepam intravena

§   Bila kejang belum berhenti setelah tatalaksana awal, dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rectal masih tetap kejang, dianjurkan ke RS.

§   Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvolsun profilaksis.

 

 

Pemberian obat pada saat demam

Antipiretik

Tidak ditemukan bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Meskipun demikian dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.

Paracetamol: 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam Ibuprofen: 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari

 

 

Antikonvulsan

Pemberian antikonvulsan intermitten

Obat antikonvulsan intermitten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.

Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko dibawah ini:

-          Kelainan neurolpgi berat, misalnya palsi serebral

-          Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

-          Usia <6 bulan

-          Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celcius

-          Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat

Obat yang digunakan adalah Diazepam oral: 0,3 mg/kg/kali per oral atau diazepam rectal: 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan ≥12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermitten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.

Indikasi pengobatan rumat:

1.      Kejang fokal

2.      Kejang lama >15 menit

3.      Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

 

 

 

Keterangan :

·     Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan, BUKAN  merupakan indikasi pengobatan rumat.

·     Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.

 

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2  tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

 

            Lama  Pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

           

Edukasi pada orang tua

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya :

·         Menyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

·         Memberitahukan cara penanganan kejang

·         Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

·         Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memamng efektif, tetapi harus diingat adanya efefk samping obat.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang

1)      Tetap tenang tidak panik

2)      Longgarkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.

3)      Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4)      Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5)      Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6)      Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang

7)      Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.

8)      Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celcius, kejang tidak berhenti denagn diazepam rektal, kejang fokal, setelah anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cara pemberian diazepam lewat anus

 

 

2.12               Prognosis Kejang Demam

Kecacatan atau kelainan neurologis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan . Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama  atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi meaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang menaglami kejang lama. Hal ini tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotenis menjadi kejang lama.

 


Faktor resiko terjadinya epilepsi

 

Faktor resiko menjadi epilepsi dikemudian hari adalah :

·         Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama

·         Kejang demam kompleks

·         Riwayat epilepsi pada orangtua atua saudara kandung

·         Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.

Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut akan meningkatkan emungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah denagn pemberian obat rumatan pada kejang demam.

 

Kematian

 

Kematian langsung karena demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana denagn perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.


 

DAFTAR PUSTAKA

1.        Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.

2.        M.Khair A, Elmagrabi D. Febrile Seizures and Febrile Seizure Syndromes : An Updated Overview of Old and Current Knowledge. Neurol Res Int. 2015:7. doi:10.1155/2015/849341

3.        Leung AK, Hon K lun, Leung TN. Febrile seizures : An overview. Drugs Context. 2018;7:12. doi:10.7573/dic.212536

4.        Thadchanamoorthy V, Dayasari K. Review on Febrile Seizure in Children. Int Neuropsychiatr Dis J. 2020:11. doi:10.9734/INDJ/2020/v 14i230126

5.        Leung AK, Hon KL, Leung TN. Febrile seizures : an overview. Drugs Context. 2018;7:12.

6.        Dustin K. Smith D, Sadler KP, Benedum M. Febrile seizures : Risks, Evaluation, and Prognosis. Am Fam Physician. 2019;99:6.

7.        Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Esensial. 6th ed.; 2014.

8.        Wendorff J, Zeman K. Immunology of febrile seizure. Pr Pogl Pap. 2011;20:6.

9.        Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile Seizures. Int J Environ Res Public Health. 2018:8.

10.      Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta; 2014.

 

No comments:

Post a Comment