Sunday 6 November 2022

Makalah Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan ASPEK BUDAYA SEBAGAI KOMPETENSI PRAKTIK KEPERAWATAN

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................

1.1 Latar Belakang………………………………………....................................... 1

1.2 Rumusan masalah............................................................................................... 1

1.3 Tujuan pembahasan............................................................................................ 1

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 6

2.1 Pengertian.......................................................................................................... 6

2.2 Kompetensi budaya dalam berbagai pengaturan............................................... 7

2.2.1 Kesadaran ………….......................................................................... 7

2.2.2 Sikap……………………………....................................................... 7

2.2.3 Pengetahuan……………………….................................................... 8

2.2.4 Keterampilan…………………………............................................... 9

2.3 Tantangan terhadap Kompetensi Budaya………….......................................... 9

2.3.1 Sistem Perawatan Kesehatan……………….................................... 10

2.3.2 Kepemimpinan dan Tenaga Kerja………………............................. 10

2.3.3 Praktek Klinis.................................................................................... 11

2.3.4 Klinik Kesehatan Masyarakat………………................................... 12

2.3.5 Pekerjaan yang Berhubungan dengan Terapi……............................ 13

2.3.6 Riset……………………………………………….......................... 14

2.3.7 Pendidikan Medis…………………………………......................... 15

2.3.8 Edukasi Pasien…………………………………….......................... 16

2.3.9 Perawatan………………………………………….......................... 17

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 19

3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 19

3.2 Saran................................................................................................................ 19

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20

                                                                                     



BAB I

PEMBAHASAN

 

1.1  Latar Belakang

Perawat perlu memiliki kompetensi kultural agar dapat memberikan asuhan keperawatan

yang peka terhadap kebutuhan pasien termasuk kebutuhan yang sesuai dengan kebudayaannya. Kompetensi kultural merupakan sekumpulan keterampilan dan perilaku yang memungkinkan perawat bekerja secara efektif di dalam konteks kebudayaan pasien (Lampley, Little, Beck-Little, & Yu Xu, 2008). Menurut Shearer dan Davidhizar (2003), bahwa kompetensi kultural merupakan suatu kemampuan untuk merawat pasien secara peka budaya dan cara yang sesuai dengan kebudayaan pasien. Kemampuan memberikan asuhan keperawatan secara peka budaya merupakan salah satu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seluruh perawat di dunia termasuk di Indonesia (PP-PPNI, 2010). Kompetensi kultural merupakan suatu proses yang terus menerus perlu dilatih dan dikembangkan kepada para perawat khsususnya dan tenaga kesehatan pada umumnya. Untuk dapat memiliki  kompetensi  kultural,  perawat  perlu  dilatih dan dipersiapkan agar memiliki pemahaman yang baik tentang konsep kebudayaan  dan kaitannya dengan kesehatan, penyakit serta konsep  keperawatan  transkultural di  samping konsep-konsep yang berkaitan dengan  asuhan keperawatan  peka  budaya.  Selama  pelatihan, para perawat menunjukkan motivasi yang tinggi  untuk  berinteraksi  dengan  pasien  dengan latar belakang  yang  beragam  bahkan perawat  yang  sebelumnya  enggan  untuk  berinteraksi dengan pasien  yang sulit  berkomunikasi, termotivasi  untuk  melakukan  interaksi  dengan pasien dan memperoleh kepuasan dari berinteraksi dengan pasien tersebut setelah pendekatan peka budaya diterapkan. 

Pelatihan  asuhan  keperawatan  peka  budaya merupakan  salah  satu  bentuk  upaya  peningkatan kompetensi kultural perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya yang diberikan pada perawat dapat meningkatkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan budaya  perawat secara  bermakna. Hal ini  sejalan dengan  model  konsep keperawatan yang dikemukakan oleh Campinha Bacote (2002) yaitu bahwa kompetensi kultural merupakan  suatu proses  dimana  pemberi  pelayanan profesional secara terus menerus berjuang dalam mencapai kemampuan untuk bekerja secara  efektif di dalam  konteks budaya klien  (baik  secara  individu,  keluarga,  atau  masyarakat). Menurutnya, kompetensi kultural merupakan suatu proses “becoming culturally competent” dan  bukanlah  “being  culturally  competent". 

Asuhan keperawatan peka budaya hanya dapat  diberikan oleh perawat yang memiliki kemampuan  praktik  lanjut karena  membutuhkan pengetahuan khusus terkait keperawatan transkultural seperti yang telah diberikan sebagai intervensi  melalui  pelatihan  asuhan keperawatan peka budaya pada pasien dengan gangguan respirasi.  Dalam penelitian  disertasi  Novieastari (2013),  bahwa  Model  Asuhan  Keperawatan  Peka Budaya (AKPB) merupakan model asuh an keperawatan dengan kompetensi kultural perawat sebagai pondasi dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien secara peka budaya. Model ini menggunakan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun perencanaan asuhan keperawatan, mengimplementasikan asuhan keperawatan dan mengevaluasi efektifitas asuhan keperawatan dengan mengintegrasikan konsep kebudayaan dan keperawatan transkultural dalam memberi asuhan keperawatan pada pasien secara lebih kompre-hensif dan holistik.

Pendekatan proses keperawatan sebagai kerangka kerja perawat digunakan untuk menggambarkan kontinuitas dari proses asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan

gangguan respirasi. Pendekatan ini menggunakan pendekatan penyelesaian masalah secara ilmiah yang telah biasa dipergunakan oleh para perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yaitu pengkajian, perumusan diagnosis, penyusunan rencana asuhan keperawatan, implementasi rencana intervensi yang telah disusun, dan evaluasi efektivitas asuhan keperawatan yang telah diberikan (Potter & Perry, 2009). Namun pada model AKPB, perawat perlu mengintegrasikan pemahaman mereka tentang konsep kultural dan keperawatan transkultural sehingga di setiap langkah proses keperawatan aspek kebudayaan pasien menjadi perhatian perawat dan diidentifikasi sejak langkah pengkajian.

 

Pelatihan menggunakan Model AKPB efektif  meningkatkan kompetensi kultural perawat dimana kelompok perawat yang telah dilatih dengan AKPB mempunyai peluang sebesar 12,8 kali untuk kompeten dibandingkan dengan kelompok perawat yang tidak mengikuti pelatihan  AKPB (Novieastari, 2013). Hal ini sejalan dengan hasil dari studi ini yang menunjukkan bahwa pelatihan asuhan keperawatan peka budaya pada pasien dengan gangguan respirasi dapat meningkatkan kompetensi kultural dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan bu daya secara bermakna. Hasil penelitian ini juga mendukung apa yang  telah dibahas oleh Maier Lorentz (2008) dalam  artikelnya yang menyatakan bahwa perawat harus memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kompetensi kultural. Asuhan keperawatan yang kompeten secara budaya membantu memastikan kepuasan pasien dan pencapaian hasil yang positif. Pelayanan kesehatan yang kongruen secara budaya menurut Jeffreys (2006) merupakan hak asasi manusia dan bukan merupakan privilege, oleh karenanya setiap pasien perlu mendapatkannya dari pemberi pelayanan kesehatan. Hal ini juga diamanahkan oleh Code of Nurses dari International Council of Nurses (ICN) dan juga Standar Kompetensi Perawat Indoneisa (PP-PPNI, 2010). Kriteria akreditasi rumah sakit secara internasional seperti yang dikeluarkan oleh Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCI, 2010) juga memasukkan pelayanan yang harus diberikan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kultural untuk meningkatkan kepuasan pasien.

Menurut Bureau of Primary Health Care (BPHC) USA dalam Seright (2007), konsekuensi dari kompetensi kultural dapat diukur melalui beberapa capaian (outcomes) pelayanan yang diberikan yaitu mencakup:

1)      adanya perbaikan dari diagnosis dan rencana terapi;

2)      perkembangan penanganan rencana tindakan yang diikuti oleh pasien dan didukung oleh keluarga;

3)      penurunan angka keterlambatan  dalam pencarian layanan;

4)      peningkatan komunikasi secara menyeluruh;

5)      peningkatan kompatibilitas antara praktik kesehatan berbasis budaya atau tradisional dengan barat.

 

Kepuasan pasien merupakan suatu konsekuensi  dari asuhan atau pelayanan yang kompeten. Kepuasan praktisi, logikanya juga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana perawatan atau tindakan. Hal ini dapat berarti bahwa berkurangnya rawat ulang atau kekambuhan pasien dan meningkatkan kesehatan yang optimal. Standar nasional pelayanan yang sesuai secara kultural dan linguistik dinyatakan Anderson, Scrimshaw, Fullilove,  Fielding, dan Normand (2003) bahwa standar pertama dari perawatan yang kompeten secara budaya adalah institusi pelayanan kesehatan harus dapat menjamin semua pasien atau konsumen menerima layanan dari  semua  tenaga  secara  efektif,  dapat  dipahami,  dan  menghormati pasien/konsumen dengan cara-cara yang sesuai dengan keyakinan dan praktik kesehatan budayanya, serta menggunakan bahasa yang disukai. Hal ini tentunya berkaitan dengan upaya meningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan kepada mereka.

                                                                  

Pelatihan  Asuhan Keperawatan  Peka  Budaya kepada perawat dapat dijadikan sebagai salah satu  upaya  peningkatan  kemampuan  keperawatan  khususnya  dalam  meningkatkan  kompetensi budaya agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang peka budaya khususnya pada pasien dengan gangguan respirasi. Namun demikian pelatihan ini dapat dikembangkan juga untuk asuhan keperawatan pada pasien lainnya. Pelatihan  asuhan  keperawatan  peka  budaya dapat diterapkan untuk mendukung pencapaian salah satu  standar akreditasi  internasional rumah sakit sesuai standar JCI, mengingat salah satu aspek yang perlu dipenuhi dalam akreditasi tersebut  adalah  perawat  perlu  memenuhi  kebutuhan pasien sesuai dengan kebudayaannya.

Oleh  karena  itu pelatihan  ini dapat  dijadikan  salah satu program rumah sakit untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien  sesuai dengan kebudayaannya melalui peningkatan kompetensi kultural. 

 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam penelitian ini yaitu fokus pada kompetensi komunikasi lintas budaya yang diduga harus dimiliki oleh Perawat dalam pelayanan medis. Perumusan masalah ini dikaitkan dengan teori komunikasi lintas budaya dalam konteks pelayanan kesehatan dengan menggunakan model kompetensi dari Flores (2000, hlm.17). Model ini digunakan untuk menganalisa bagaimana kompetensi komunikasi lintas budaya dokter dalam pelayanan medis. Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu komunikasi lintas budaya dalam penelitian ini hanya terkait pada penggunaan bahasa (komunikasi verbal dan non verbal) dalam pelayanan medis, nilai budaya normatif (norma, sistem kepercayaan kesehatan dan kebiasaan kesehatan masyarakat), penyakit rakyat, dan praktik layanan kesehatan terkait budaya. Kedua, tidak menggunakan kategori “sikap diam” karena tidak memungkin untuk diteliti khususnya dalam konteks pelayanan medis antara perawat dan pasien. Adapun pertanyaan dalam penelitian ini yaitu:

“Bagaimana analisa kompetensi komunikasi lintas budaya antara perawat kota dan desa dalam pelayanan medis?”

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Kompetensi budaya dalam perawatan kesehatan mengacu pada kemampuan profesional kesehatan untuk menunjukkan kompetensi budaya terhadap pasien dengan beragam nilai , keyakinan , dan perasaan. Proses ini mencakup pertimbangan kebutuhan sosial, budaya , dan psikologis individu pasien untuk komunikasi lintas budaya yang efektif dengan penyedia layanan kesehatan mereka. Tujuan kompetensi budaya dalam perawatan kesehatan adalah untuk mengurangi kesenjangan kesehatan dan memberikan perawatan yang optimal kepada pasien tanpa memandang ras , jenis kelamin ,latar belakang etnis , bahasa asli yang digunakan, dan keyakinan agama atau budaya. Pelatihan kompetensi budaya penting dalam bidang perawatan kesehatan di mana interaksi manusia adalah umum, termasuk kedokteran, keperawatan, kesehatan terkait , kesehatan mental, pekerjaan sosial, farmasi, kesehatan mulut, dan bidang kesehatan masyarakat. Seorang dokter mengumpulkan informasi medis dari seorang pasien dengan bantuan seorang penerjemah local. Istilah kompetensi budaya pertama kali digunakan oleh Terry L. Cross dan rekan-rekannya pada tahun 1989, tetapi tidak sampai hampir satu dekade kemudian profesional perawatan kesehatan mulai dididik dan dilatih secara formal dalam kompetensi budaya. Pada tahun 2002, kompetensi budaya dalam perawatan kesehatan muncul sebagai bidang dan telah semakin tertanam dalam kurikulum pendidikan kedokteran dan diajarkan dalam pengaturan kesehatan di seluruh dunia sejak saat itu.

 

2.2 Kompetensi budaya dalam berbagai pengaturan

2.2.1 Kesadaran

Aspek kesadaran kompetensi budaya berkaitan dengan kesadaran reaksi pribadi seseorang terhadap orang-orang yang melihat atau menunjukkan praktik yang berbeda dari norma budaya. Menurut American Sociological Association, budaya itu sendiri dipahami sebagai bahasa, adat istiadat, kepercayaan, aturan, seni, pengetahuan, identitas kolektif, dan kenangan bersama oleh anggota kelompok sosial yang membentuk dasar motif atau tindakan. Dalam mengukur kompetensi budaya dalam perawatan kesehatan, seseorang harus mengenali bias implisit mereka sendiri terhadap pasien atau karyawan. Kurangnya kesadaran menyebabkan diskriminasi budaya selama perawatan pasien. Sebuah analisis oleh para peneliti di UC San Francisco, UC Berkeley, dan Universitas Stanford menemukan bahwa hampir satu dari lima pasien dengan kondisi kronis di atas usia 54 tahun dilaporkan merasakan diskriminasi dalam perawatan kesehatan dalam survei nasional yang berlangsung antara 2008 dan 2014.

2.2.2 Sikap

Paul Pedersen, pelopor kompetensi multikultural, berteori kerangka praktek kompetensi budaya yang terdiri dari tiga faktor: kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan. Diversity Training University International (DTUI) memasukkan komponen sikap yang digambarkan dari faktor-faktor lain yang meningkatkan analisis bias dan keyakinan umum sebagai skema dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Ini berbeda dari latihan yang memaksa siswa untuk memeriksa nilai dan keyakinan mereka sendiri tentang perbedaan budaya.

2.2.3 Pengetahuan

Masalah inkompetensi budaya terletak pada kurangnya keakraban dengan pengalaman budaya dan sosial pasien. Psikolog sosial Patricia Devine dan perguruan tinggi melakukan penelitian yang menemukan bahwa skor rendah pada tes keakraban budaya cenderung mencontohkan tindakan yang lebih diskriminatif atau pidato dalam interaksi lintas budaya. Ketika kesadaran, sikap, dan pengetahuan menonjol dalam pertemuan-pertemuan ini, etnosentrisme, rasisme, dan hubungan yang tidak adil tidak lagi ada.

Pengetahuan budaya juga mencakup kesadaran akan hambatan struktural, sosial, dan lingkungan yang memberi makna pada tindakan tertentu dalam kehidupan pasien. Dalam Inventarisasi Konseling Lintas Budaya, para praktisi diperiksa oleh pemahaman mereka tentang "sistem sosial-politik saat ini dan dampaknya terhadap klien".  Pada tahun 2017, diperkirakan ada 20,5 juta orang kulit hitam, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek seperti status sosial ekonomi, status imigran, dan lingkungan, dokter sering kali menggunakan stereotip atau bias dalam perilaku mereka.

2.2.4 Keterampilan

Aspek keterampilan kompetensi budaya melibatkan penerapan praktik pengetahuan budaya, kepekaan, dan kesadaran ke dalam pengalaman sehari-hari dengan pasien. Salah satu aspek dalam mengembangkan keterampilan adalah mempelajari strategi komunikasi yang saling menghormati dan efektif baik di dalam organisasi atau antar individu. Mempelajari praktik komunikasi termasuk memeriksa komunikasi melalui bahasa tubuh dan isyarat non-verbal lainnya karena beberapa gerakan mungkin memiliki variasi dan makna yang ekstrem dari satu budaya ke budaya lainnya. Mengembangkan keterampilan adalah proses aktif yang memerlukan pemeriksaan ulang sistem kepercayaan internal seseorang.

 

2.3 Tantangan terhadap kompetensi budaya

2.3.1 Sistem perawatan kesehatan  

Sistem perawatan kesehatan, kadang-kadang disebut sebagai sistem kesehatan, adalah organisasi orang, institusi, dan sumber daya yang memberikan layanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan populasi sasaran. Sistem kesehatan yang kompeten secara budaya tidak hanya mengakui dan menerima pentingnya keragaman budaya di setiap tingkat tetapi juga menilai hubungan lintas budaya, tetap waspada terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang dihasilkan dari keragaman budaya, memperluas pengetahuan budaya, dan menyesuaikan layanan untuk memenuhi kebutuhan. yang unik secara budaya.

Karena semakin banyak imigran datang ke Amerika, profesional kesehatan dengan kompetensi budaya yang baik dapat menggunakan pengetahuan dan kepekaan yang mereka peroleh untuk memberikan perawatan holistik untuk klien dari negara lain, yang berbicara bahasa asing. Tantangan bagi sistem perawatan kesehatan Amerika untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dari meningkatnya jumlah pasien yang beragam menjadi sangat jelas. Tantangan tersebut termasuk namun tidak terbatas pada hal-hal berikut:

  • Hambatan sosial budaya
  • Komunikasi lintas budaya yang buruk
  • Hambatan bahasa
  • Sikap terhadap kesehatan
  • Keyakinan dalam diagnosis dan pengobatan
  • Kurangnya kompetensi budaya dalam desain sistem

2.3.2 Kepemimpinan dan tenaga kerja

Menanggapi pertumbuhan pesat populasi kelompok minoritas di Amerika Serikat, organisasi perawatan kesehatan telah merespons dengan menyediakan layanan baru dan menjalani reformasi kesehatan dalam hal keragaman dalam kepemimpinan dan tenaga kerja. Meskipun perbaikan dan kemajuan terlihat di beberapa bidang, minoritas masih kurang terwakili baik dalam kepemimpinan dan tenaga kerja kesehatan.

2.3.3 Praktek klinis

Untuk memberikan perawatan yang berpusat pada pasien yang peka budaya, dokter harus memperlakukan setiap pasien sebagai individu, mengakui dan menghormati keyakinan, nilai, dan perilaku pencarian perawatannya.  Namun, banyak dokter kurang kesadaran atau pelatihan kompetensi budaya. Dengan demografi yang terus berubah , pasien mereka juga semakin beragam. Sangat penting untuk mendidik dokter agar kompeten secara budaya sehingga mereka dapat secara efektif merawat pasien dari latar belakang budaya dan etnis yang berbeda.

Ketidaktahuan akan perbedaan budaya ini dapat bermanifestasi dalam ketidaknyamanan bagi pasien, layanan kesehatan di bawah standar, diagnosis yang salah, dan bahkan rasisme, yang semuanya menurunkan akses pasien ke layanan kesehatan yang berkualitas. Studi menekankan pelatihan budaya sensitif dan program pendidikan dalam pengaturan perawatan kesehatan yang akan memberikan kepada dokter bagaimana budaya dapat mempengaruhi perawatan kesehatan. Selain itu, ketika berinteraksi dengan pasien dari budaya yang berbeda, khususnya budaya Asia Timur, penting untuk “menjembatani sistem perawatan kesehatan dengan perawatan medis Timur yang lebih tradisional memerlukan pendidikan bagi profesional kesehatan sebagai bagian dari kurikulum yang lebih luas tentang memberikan perawatan yang kompeten secara budaya.” Dalam perawatan kesehatan barat, ada juga sejumlah besar ketidakakuratan dan kesalahan persepsi tentang risiko kesehatan untuk kelompok minoritas yang berbeda, yang dapat diatasi melalui pendidikan kesehatan yang sesuai dengan bahasa dan budaya lebih lanjut.

Bias implisit yang ditujukan terhadap ras atau etnis tertentu sering terjadi di bidang perawatan kesehatan, khususnya di Amerika Serikat, umumnya dengan orang kulit hitam Amerika, Amerika Hispanik, dan Indian Amerika. Diskriminasi bawah sadar terjadi terlepas dari kemajuan pencegahan penyakit di Amerika Serikat, seperti yang ditunjukkan oleh angka kematian yang sangat tinggi dari kelompok-kelompok yang disebutkan sebelumnya dalam paragraf. Diskriminasi ini dibentuk oleh sikap profesional kesehatan, yang sering berbeda dalam upaya dan jenis perawatan berdasarkan ras dan penampilan fisik pasien. Dibawa ke diagnosis dan pengobatan pasien minoritas, perbedaan kualitas layanan kesehatan meningkatkan kemungkinan mengembangkan penyakit seperti asma, HIV/AID dan penyakit yang mengancam jiwa lainnya. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang berfokus pada perbedaan pengobatan dan diagnosis antara perempuan kulit hitam dan perempuan kulit putih sehubungan dengan kanker payudara menunjukkan diskriminasi terhadap minoritas ini dan dampaknya. Lebih lanjut, penelitian tersebut menunjukkan bahwa "wanita kulit putih lebih mungkin didiagnosis menderita kanker payudara, [dan] wanita kulit hitam lebih mungkin meninggal karenanya." Perbedaan tanggapan dari profesional kesehatan terhadap pasien kulit hitam versus pasien kulit putih sangat drastis, ditunjukkan oleh persepsi negatif bawah sadar dari berbagai ras. Dalam sebuah penelitian yang mengevaluasi asumsi langsung dokter yang dibuat tentang ras yang berbeda "dua pertiga dari dokter secara tidak sadar membentuk bias terhadap orang kulit hitam (43% sedang hingga kuat) dan Latin (51% sedang hingga kuat)". Tanpa sengaja meracik stereotip tentang pasien, para klinisi ini secara tidak langsung berdampak negatif terhadap pasien yang mereka perlakukan dengan buruk. Untuk memperbaiki ini, penelitian ini mengungkapkan dukungan bagi dokter untuk membentuk hubungan yang lebih kuat dengan setiap pasien dan untuk fokus pada pasien yang dihadapi, daripada mempertimbangkan ras atau latar belakang mereka. Ini akan membantu mencegah sikap dan nada negatif saat berbicara dengan pasien, menciptakan suasana positif yang memungkinkan lingkungan dan perawatan yang sama bagi semua pasien, tanpa memandang ras atau penampilan fisik.

 Persepsi negatif bawah sadar tentang ras yang berbeda ini juga berpotensi menyebabkan ketidakpercayaan terhadap perawatan kesehatan barat oleh populasi minoritas. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau pengobatan Barat adalah alasan besar mengapa banyak populasi imigran/minoritas tidak mencari perawatan kesehatan, membuat mereka percaya bahwa perawatan kesehatan yang adil, terjangkau, dan berkualitas bukanlah sumber daya yang tersedia bagi mereka. Sebuah program yang disebut Inisiatif Jaringan Imunisasi Minnesota (MINI) dimulai “pada tahun 2006 untuk mengurangi hambatan vaksinasi pada populasi yang kurang terlayani” seperti orang Afrika-Amerika, Hispanik-Amerika, dll. MINI berhasil meningkatkan vaksinasi dan kepercayaan dalam komunitas ini. Keberhasilan mereka datang dari melibatkan masyarakat, menjalin kemitraan yang kuat dengan penyedia layanan, dan secara aktif melibatkan dan berkomunikasi dengan mitra masyarakat, dan mengadakan klinik di fasilitas komunitas yang terpercaya. Studi penelitian lain juga merekomendasikan bahwa penyedia membangun kepercayaan dengan klien dengan melakukan upaya untuk membangun hubungan dengan pasien dan "dengan mengingat profil budaya yang unik."

Menanggapi populasi yang semakin beragam, beberapa negara bagian ( WA , CA , CT , NJ , NM ) telah mengeluarkan undang-undang yang membutuhkan atau sangat merekomendasikan pelatihan kompetensi budaya untuk dokter. Pada tahun 2005, legislatif New Jersey memberlakukan undang-undang yang mewajibkan semua dokter untuk menyelesaikan setidaknya 6 jam pelatihan kompetensi budaya sebagai syarat untuk memperbarui lisensi medis New Jersey mereka , baik mereka secara aktif berlatih di New Jersey atau tidak. Tanggapan dokter terhadap persyaratan CME ini bervariasi, baik secara positif maupun negatif. Tetapi umpan balik secara keseluruhan positif terhadap hasil partisipasi dan kepuasan dengan program. Amerika Serikat juga mengesahkan undang-undang federal tentang Standar yang Sesuai Secara Budaya dan Bahasa (CLAS), yang merupakan undang-undang yang ditujukan untuk mengurangi ketidakadilan perawatan kesehatan seperti yang terjadi pada kesehatan pengungsi di Amerika Serikat melalui perawatan yang kompeten secara budaya.

Untuk memberikan perawatan yang kompeten secara budaya untuk pasien mereka yang beragam, dokter harus pada langkah pertama memahami bahwa budaya pasien dapat sangat mempengaruhi bagaimana mereka mendefinisikan kesehatan dan penyakit, bagaimana mereka mencari perawatan kesehatan, dan apa yang merupakan pengobatan yang tepat. Mereka juga harus menyadari bahwa proses perawatan klinis mereka juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan profesional mereka sendiri serta budaya biomedis. Dr. Like menunjukkan dalam salah satu artikelnya bahwa "dalam mengubah sistem, perawat transkultural, dokter, dan profesional perawatan kesehatan lainnya perlu mengingat bahwa kerendahan hati budaya dan kompetensi budaya harus berjalan beriringan."

2.3.4 Klinik Kesehatan Masyarakat

Karena asuransi, biaya, dan berbagai alasan lainnya, jenis layanan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat minoritas biasanya tidak ditawarkan di rumah sakit swasta. Pusat kesehatan yang memenuhi syarat federal (FQHCs) secara hukum diamanatkan untuk memberikan perawatan primer bagi komunitas yang kurang terlayani secara medis, dan dengan demikian merupakan pengaturan yang ideal untuk menerapkan dan memberikan layanan inklusif secara budaya dan bahasa kepada komunitas imigran.

Pusat Kesehatan Masyarakat, pada tingkat yang paling dasar, menyediakan perawatan medis dasar yang murah atau tanpa biaya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, minoritas, dan kurang terlayani. Mereka biasanya berlokasi di komunitas dan lingkungan yang kurang terlayani, dengan ide untuk meningkatkan akses, mengurangi waktu perjalanan dan menunggu, dan untuk memerangi gentrifikasi. Mereka dimaksudkan untuk menjadi dari rakyat, oleh rakyat.

Dalam Model Perawatan Terpadu yang memungkinkan klien mendapatkan pengalaman lengkap, model CHC unik karena menawarkan berbagai layanan tambahan  selain perawatan primer, seperti perawatan gigi, perilaku, sosial layanan, dll. CHC juga “bangga dengan memberikan perawatan yang bertanggung jawab dan kompeten secara budaya yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan kesehatan yang terkait dengan kemiskinan, ras, bahasa, dan budaya”, seperti yang terlihat dari terjemahan, interpretasi, transportasi, dan pelayanan sosial. Menurut penelitian, CHC telah berhasil meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan di daerah berpenghasilan rendah, serta menurunkan penerimaan dan penerimaan kembali rumah sakit (metrik positif) dibandingkan dengan penyedia layanan primer utama lainnya di daerah ini.

 

2.3.5 Pekerjaan yang berhubungan dengan terapi

Terapis okupasi adalah anggota perawatan kesehatan yang berharga di antara profesi kesehatan yang terkait dan dapat menawarkan kontribusi unik untuk peningkatan kompetensi budaya. Dalam perawatan kesehatan, terapis okupasi bekerja dengan berbagai individu di seluruh rentang hidup dengan berbagai diagnosis atau gangguan dalam pendekatan yang berpusat pada klien untuk menggunakan kegiatan atau intervensi yang bermakna untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan mempromosikan kemandirian. Karena pendekatan yang berpusat pada klien, terapis okupasi memiliki kesempatan untuk mengembangkan hubungan saling percaya dengan klien dan menggunakan faktor klien individu yang terkait dengan keyakinan dan nilai sambil secara budaya peka terhadap kebutuhan dan keinginan mereka untuk hasil mereka sendiri dalam perawatan. Terapis okupasi mengembangkan rencana intervensi efektif individual berdasarkan pemahaman klien. Hubungan terapis-pasien sangat penting dalam terapi okupasi untuk mempromosikan keterlibatan klien dalam kegiatan yang bertujuan dan pekerjaan yang bermakna dari pandangan budaya klien. Oleh karena itu, belajar tentang budaya, menerapkan pengetahuan budaya dan merefleksikan budaya sangat penting untuk mencapai tujuan akhir dari rencana perawatan yang berhasil dengan kesetaraan dan keadilan.

Sumber daya berguna yang tersedia untuk membantu meningkatkan kompetensi budaya tercantum di situs web American Occupational Therapy Association (AOTA) dan memberikan definisi yang lebih luas tentang berbagai istilah budaya dan perangkat kompetensi budaya yang menyediakan sumber daya dan informasi mengenai kelompok individu tertentu yang dapat membantu dalam meningkatkan kompetensi budaya dalam praktek sebagai terapis okupasi.

2.3.6 Riset

Kompetensi budaya dalam penelitian adalah kemampuan peneliti dan staf penelitian untuk memberikan penelitian berkualitas tinggi yang memperhitungkan budaya dan keragaman populasi ketika mengembangkan ide, desain, dan metodologi penelitian. Kompetensi budaya dapat menjadi penting untuk memastikan bahwa pengambilan sampel mewakili populasi dan oleh karena itu diterapkan pada sejumlah orang yang beragam. Adalah penting bahwa pendaftaran subjek penelitian mencerminkan sedekat mungkin populasi target dari mereka yang terpengaruh oleh masalah kesehatan yang sedang dipelajari.

Pada tahun 1994, National Institutes of Health menetapkan kebijakan (Hukum Publik 103-43) untuk memasukkan perempuan, anak-anak, dan anggota kelompok minoritas dan subpopulasi mereka dalam studi klinis biomedis dan perilaku. Mengatasi tantangan kompetensi budaya dalam penelitian juga berarti bahwa keanggotaan dewan peninjau kelembagaan harus mencakup perwakilan dari komunitas besar dan kelompok budaya sebagai perwakilan.

2.3.7 Pendidikan medis

Pentingnya pelatihan mahasiswa kedokteran untuk menjadi dokter yang kompeten secara budaya di masa depan telah diakui oleh badan akreditasi seperti Dewan Akreditasi Pendidikan Kedokteran Pascasarjana  (ACGME) dan Komite Penghubung Pendidikan Kedokteran (LCME) dan organisasi medis lainnya seperti American Medical Association (AMA) dan Institute of Medicine (IOM).

Budaya pasti melampaui suku dan ras. Profesional perawatan kesehatan perlu belajar tentang toleransi terhadap keyakinan orang lain. Perawatan profesional adalah tentang memenuhi kebutuhan pasien bahkan jika mereka tidak selaras dengan keyakinan pribadi pengasuh. Menemukan keyakinan sendiri dan asal-usulnya (dari pengasuhan atau model orang tua, misalnya) membantu memahami apa yang diyakini dan memoderasi tindakan pada saat orang lain dirawat dengan keyakinan yang berbeda. Akibatnya, penting bagi profesional kesehatan untuk mempraktikkan kompetensi budaya dan mengenali perbedaan serta kepekaan budaya untuk memberikan perawatan holistik bagi pasien.

Menurut standar LCME untuk kompetensi budaya, "dosen dan mahasiswa harus menunjukkan pemahaman tentang cara orang dari beragam budaya dan sistem kepercayaan memandang kesehatan dan penyakit dan menanggapi berbagai gejala, penyakit, dan perawatan." Menanggapi mandat, sekolah kedokteran di AS telah memasukkan kompetensi mengajar budaya dalam kurikulum mereka. Penelusuran kompetensi budaya dalam kurikulum sekolah kedokteran mengungkapkan bahwa kompetensi budaya tercakup dalam 33 peristiwa dalam 13 kursus pada musim semi 2014. Penelusuran serupa dilakukan pada disparitas kesehatan yang menghasilkan 16 peristiwa dalam 10 kursus yang mencakup topik tersebut.

Kurikulum kompetensi budaya dimaksudkan untuk meningkatkan interaksi antara pasien dan dokter dan untuk memastikan bahwa siswa akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan mereka untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi dan kompeten secara budaya kepada pasien dan keluarga mereka serta perawatan medis umum. masyarakat.

Sebuah "intervensi visual" diselesaikan untuk mendidik profesional kesehatan tentang bahaya diskriminasi bawah sadar terhadap kelompok minoritas untuk mengurangi diskriminasi umum yang dihadapi ras atau etnis tertentu dalam pengaturan perawatan kesehatan. Studi ini memungkinkan dokter untuk lebih fokus pada masalah pasien mereka, dan benar-benar mendengarkan masalah mereka. Dengan menciptakan ruang yang mendukung yang memupuk saluran komunikasi yang kuat, penelitian ini menargetkan kurangnya hubungan antara profesional kesehatan dan pasien karena hambatan bahasa atau ketidakpercayaan pasien pada profesional.

2.3.8 Edukasi pasien

Komunikasi Pasien-Dokter melibatkan dua sisi. Sementara dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya didorong atau diharuskan untuk kompeten secara budaya dalam memberikan layanan kesehatan yang berkualitas, akan masuk akal untuk mendorong pasien juga untuk peka secara budaya dan menyadari bahwa tidak semua penyedia layanan kesehatan sama-sama kompeten dalam budaya. Ketika datang ke penyakit, keyakinan budaya dan nilai-nilai sangat mempengaruhi perilaku pasien dalam mencari perawatan kesehatan. Mereka harus mencoba yang terbaik untuk mengomunikasikan kekhawatiran mereka terkait dengan keyakinan, nilai, dan faktor budaya lain yang mungkin memengaruhi perawatan dan pengobatan kepada dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya. Jika komunikasi yang efektif tidak mungkin tercapai, maka mereka harus diberikan bantuan bahasa dan layanan interpretasi. Dewan Medis Umum mengeluarkan panduan untuk pasien "Apa yang diharapkan dari dokter Anda: panduan untuk pasien" pada April 2013.

Kampanye iklan promosi kesehatan. Kampanye komunikasi adalah upaya untuk menginformasikan atau mempengaruhi perilaku dalam khalayak yang besar untuk menghasilkan manfaat nonkomersial bagi individu dan masyarakat. Komunikasi kesehatan yang dirancang untuk khalayak umum mungkin tidak menjangkau banyak orang karena hambatan budaya dan bahasa. Kompetensi budaya menganalisis, mendeteksi dan memperbaiki hambatan ini. Pendekatan satu ukuran untuk semua tidak optimal untuk kompetensi budaya. Sebaliknya, organisasi masyarakat tertentu akan tahu yang terbaik tentang keprihatinan khusus mereka sendiri. Perhatian harus diberikan untuk tidak membuat audiens yang dituju merasa ditargetkan. Iklan kesehatan masyarakat yang menampilkan model yang termasuk dalam kelompok mereka sendiri dapat menyebabkan pertanyaan "Mengapa kami?" reaksi. Iklan kesehatan masyarakat yang menampilkan minoritas tidak menghasilkan efek reaksi ini ketika iklan tersebut muncul di publikasi berbasis komunitas yang kebanyakan dibaca oleh grup unggulan. ​​Contoh: Pada bulan Maret 2022, Departemen Kesehatan Houston (HHD)  mengumumkan perusahaan media dan bisnis kreatif milik minoritas yang berbasis di Houston, 9thWonder Agency  sebagai mitranya untuk membantu mengurangi keraguan terhadap vaksin.

2.3.9 Perawatan

Fungsi inti perawat bergantung pada percakapan dan komunikasi, yang secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan berbicara atau memahami bahasa dan budaya pasien. Namun, ada intervensi terbatas bagi perawat untuk secara efektif mengelola ketidaksesuaian bahasa. Satu studi bertujuan untuk memahami komponen keperawatan yang dipengaruhi oleh ketidaksesuaian bahasa dan intervensi yang telah berhasil digunakan untuk mengatasi hambatan ini. Para penulis menganalisis 299 studi dan 24 memenuhi kriteria seleksi. Kriteria seleksi termasuk apakah studi tersebut membahas topik ketidaksesuaian bahasa dan bahasa tempat studi tersebut diterbitkan. Studi ini terutama kualitatif dan bukan eksperimen numerik yang besar. Mayoritas, 20 dari 24, studi hanya berfokus pada penggunaan layanan juru bahasa, apakah mereka profesional atau ad-hoc. Sementara risiko juru bahasa ad-hoc jelas-jelas diajukan dalam penelitian, para perawat secara teratur menggunakan juru bahasa ad-hoc ketika juru bahasa profesional tidak tersedia. Penulis merekomendasikan bahwa setiap layanan perawatan kesehatan merencanakan dan menerapkan proses dan sistem untuk memberikan perawat alat, pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya ketika berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik. perawat secara teratur menggunakan juru bahasa ad-hoc ketika juru bahasa profesional tidak tersedia. Penulis merekomendasikan bahwa setiap layanan perawatan kesehatan merencanakan dan menerapkan proses dan sistem untuk memberikan perawat alat, pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya ketika berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik. perawat secara teratur menggunakan juru bahasa ad-hoc ketika juru bahasa profesional tidak tersedia. Penulis merekomendasikan bahwa setiap layanan perawatan kesehatan merencanakan dan menerapkan proses dan sistem untuk memberikan perawat alat, pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya ketika berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik. pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya saat berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik. pelatihan, atau sumber daya yang mereka butuhkan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, khususnya saat berkomunikasi dengan pasien yang tidak berbicara bahasa pertama yang sama dengan mereka. Namun demikian, penelitian ini memberikan sudut pandang lain untuk mendukung argumen bahwa juru bahasa dan sumber daya untuk mengurangi risiko hambatan bahasa sangat mendesak tidak hanya untuk pasien yang beragam, tetapi juga untuk dokter yang ingin memberikan perawatan terbaik.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

keberadaan perawat di rumah sakit merupakan bagian yangpenting dari berbagai macam tim kesehatan yang ada, oleh karena ituterciptanya nilai-nilai dasar yangdijadikanpedomanbekerjabagisemuaanggotarumahsakitdapat diikutsertakan oleh peranperawat. Selain itu kemampuan perawat dalam pelayananBudaya yang dilakukan oleh budaya organisasiditempat perawat bekerja, karena nilai-nilai antara satu rumah sakitdengan rumah sakit lain yang berbeda.Menurut Kotter dan Heskett (1992) ada keterkaitan yang eratantara budaya organisasi dengan kinerja. Budaya yang kuat akanmenghasilkan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Budaya yangkuat akan membantu kinerja dalam menciptkan motivasi dalam diripekerja,menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbulkomitmen yang membuat karyawan lebih meningkatkan hasilkerja

 

3.2 Saran

Setelah membaca dan memahami makalah ini diharapkanagar kita semua mampu menerapkan ilmu budaya organisasidi tempat kerja untuk menciptkan motivasi dalam diri pekerja,menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbul komitmen yangmembuat karyawan lebih meningkatkan hasil kerja.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, L.M., Scrimshaw, S.C., Fullilove, M.T., Fielding, J.E., & Normand, J. (2003).

Andrews, M., & Boyle, J.S. (2003). Transcultural concepts in nursing care. Philadelphia: JB  Lippincott Company.

Campinha-Bacote, J. (2002). The process of cultural competence in the delivery health care   services: A model of care. Journal of  Transcultural Nursing, 13 (3), 181–184. doi:10.1177/104596020 13003003

Culturally competent healthcare systems: A systematic review. American Journal of  Preventive Medicine, 24 (3S), 68–79.

Jeffreys, M.R. (2006). Teaching cultural competence in nursing and health care: Inquiry, action, and innovation. New York, USA: Springer Publishing company, Inc.

Joint Commission International. (2010). Standar akreditasi rumah sakit (Edisi ke-4). (Alih bahasa: M. Tjandarasa & N. Budiman). Jakarta: PERSI.

Journal of Nursing Education, 42 (6), 273–276.

knowledge and attitude of nursing student’s cultural awareness at Universitas Indonesia. Jurnal Makara Seri Kesehatan, 16 (1), 23–28.

Lampley, T., Little, K., Beck-Little, R., & Yu Xu (2008). Cultural competence of north Carolina nurses: A journey from novice to expert. Home Health Care Management & Practice, 20 (10), 1-8. doi: 10.1177/1084822307311946.

Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002a). Culture care theory: A major contribution to advance transcultural nursing knowledge and practice. Journal of Transcultural Nursing, 13 (3), 189–192. Diperoleh dari http://tcn.sagepub.com pada 24 April, 2008.

Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002b). Transcultural nursing: Concepts, theories, research, and practice (3rd Ed.). New York: Mc Graw Hill.

Maier-Lorentz, M. (2008). Transcultural Nursing: Its importance in nursing practice. Journal

Novieastari, E. (2013). Pengaruh model asuhan keperawatan peka budaya terhadap kepuasan pasien diabetes mellitus (Laporan Disertasi, tidak dipublikasikan). Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Novieastari, N., Murtiwi, & Wiarsih, W. (2012). Modified simulation learning method on

of Cultural Diversity, 15 (1), 37–43. Diperoleh dari Proquest Nursing & Allied Health Source pada Juni 2013.

Part I. Online Journal of Rural Nursing and Health Care, 7 (1), 47–56.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice (7th Ed.). St. Louis, MI: Elsevier Mosby.

PP-PPNI.  (2010).  Standar  profesi  dan  kode  etik perawat Indonesia. Jakarta: PP-PPNI. 

Seright, T.J. (2007). Perspectives of registered nurse cultural competence in a rural state:

Shearer, R., & Davidhizar, R. (2003). Using role play to develop cultural competence.

Zander, P.E. (2007). Cultural competence: Analyzing the construct. The Journal of  Theory Construction and Testing, 11 (2), 50–54.

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment