Sunday 6 November 2022

MAKALAH ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

 DAFTAR ISI


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan.

Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat. 

 

B. Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian hukum pidana ?

2.      Bagaimana Sejarah Hukum di Indonesia ?

3.      Bagaimana Tindak Pidana dan Jenis Pidana

4.      Bagaimana berlaku hukum pidana

5.      Bagaimana tindak pidana dan sistematika KUHP

 


BAB II

PEMBAHSAN

 

A.  Pengertian Hukum Pidana

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

  1. Simons

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:

a.       Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

b.      Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;

c.       Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-jatuhan dan penerapan pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:

  1. Dalam arti luas

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;

  1. Dalam arti sempit

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.

a.       W.F.C. van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.

b.      Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk

1.         Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2.         Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3.         Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

           Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).

           Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

           Hazewinkel-Suringa

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

           Adami Chazawi

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:

1.         Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu

2.         Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3.         Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

           Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,bahwa hukum pidana adat pun yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempe-ngaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat (setempat), masih/tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh meno-lak memberi keadilan.

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:

1.         Untuk melakukan suatu perbuatan;

2.         Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;

3.         Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);

4.         Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

 

B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia

1. ZAMAN VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)

Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia, penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :

 

    Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia

    Hukum Belanda Kuno

    Asas-asas Hukum Romawi

 

Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven Recht)

 

Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.

 

Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :

 

    Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing.

    Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.

 

2. Zaman Hindia Belanda

 

Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dari pemerintah.

 

Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:

 

    Yang dipidana kerja rantai

    Yang dipidana kerja paksa

 

Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:

 

    Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan

    Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang

    Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang

 

KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.

 

Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos, yakni:

 

    Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.

    Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.

    Penghapuaan perampasan umum.

 

Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun 1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870 duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3 maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886. Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,

 

Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil daripada materiel.

 

3. Zaman Pendudukan Jepang

 

WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.

 

Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

 

  1. Zaman Kemerdekaan

 

Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.

 

Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra Neerlandica.

 

Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.

 

 

C. Tindak Pidana dan Jenis Pidana

Tindak pidana juga bisa dikatakan sebagai delik yang merupakan tindakan yang dilarang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Jika perbuatan tersebut dilakukan, maka pelaku bisa dikenakan sanksi atau hukuman dikarenakan sudah melanggar aturan Undang-Undang yang berlaku. Dalam tindak pidana tersebut dibagi menjadi beberapa jenis jenis tindak pidana.

 

Jenis Jenis Tindak Pidana

1. Delik formil dan delik materil

    Delik formil merupakan delik atau tindak pidana yang dalam perumusannya pada perbuatan yang dilarang. Bisa dikatakan delik formil selesai dilakukan jika ada perbuatan yang mencocoki rumusan dalam Pasal Undang-Undang yang bersangkutan. Contohnya penghasutan yang bisa dikenai karena ada dalam Pasal 160 KUHP.

    Delik materiil adalah delik yang dalam perumusannya dititikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki terjadi atau dilarang. Contohnya delik pembunuhan yang ada dalam Pasal 338 KUHP.

 

2. Kejahatan dan pelanggaran

Jenis jenis tindak pidana yang selanjutnya adalah kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, hal ini terlepas mengenai apakah tindakan tersebut diancam pidana dalam Undang-Undang atau tidak. Jadi kejahatan bisa dirasakan oleh masyarakat sendiri bahwa tindakan tersebut melanggar keadilan. Contohnya pencurian dan pembunuhan.

Sedangkan untuk perbuatan pelanggaran adalah perbuatan yang baru saja disadari oleh masyarakat bahwa tindakan tersebut termasuk dalam tindak pidana. Contohnya seperti mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan kelengkapan berkendara termasuk dalam jenis pelanggaran.

 

3. Delik dolus dan delik culpa

Jenis jenis tindak pidana selanjutnya adalah mengenai delik dolus dan delik culpa. Delik dolus sendiri merupakan perbuatan yang dilakukan dengan adanya unsur kesengajaan. Salah satu contohnya seperti yang ada dalam Pasal 187, 197, 245, 338, 310, dan 263 KUHP.

Sedangkan untuk delik culpa merupakan tindak pidana yang dilakukan namun tanpa ada unsur kesengajaan atau bisa dikatakan sebagai tindak pidana yang tidak sengaja dilakukan. Contohnya seperti dalam Pasal 231 ayat 4, 195, 203, 201, 197, 360 dan 359 KUHP.

 

4. Delik tunggal dan delik berganda

Dalam jenis jenis tindak pidana, delik tunggal merupakan tindak pidana yang cukup dilakukan 1 kali saja. Namun berbeda dengan delik berganda yang dilakukan dalam beberapa kali perbuatan contohnya seperti tindakan penadahan sebagai kebiasaan yang ada dalam Pasal 481 KUHP.

Jenis Tindak Pidana Khusus

Selain beberapa jenis jenis tindak pidana diatas, juga ada jenis tindak pidana khusus yang merupakan tindak pidana  di luar hukum pidana umum.

1. Tindak pidana pencucian uang

Jenis jenis tindak pidana khusus ini bisa dikatakan tindak pidana baru dalam hukum pidana Indonesia yang selain mengancam sistem keuangan dan stabilitas ekonomi juga membahayakan kehidupan bermasyarakat. Tindakan pencucian uang ini diatur dalam UU No 8 Tahun 2010.

2. Tindak pidana korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara. Dalam hal ini diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 31 Tahun 1999.

3. Tindak pidana terorisme

Jenis tindak pidana yang merupakan aktivitas yang melibatkan unsur kekerasan atau yang lainnya yang melanggar hukum pidana hingga menyebabkan bahaya untuk penduduk sipil.

4. Tindak pidana narkotika

Tindak pidana narkotika secara legal hanya untuk kebutuhan kesehatan atau ilmu pengetahuan. Sedangkan selain itu bisa dikatakan hal yang ilegal dan bisa dikenai sanksi sesuai dalam UU No 35 Tahun 2009.

5. Tindak pidana psikotropika

Jenis jenis tindak pidana khusus selanjutnya adalah tindak pidana psikotropika yang sering disalahgunakan yang dalam hal ini sudah diatur pada UU No 5 Tahun 1997.

6. Tindak pidana pornografi

Merupakan tindakan yang bisa merusak norma kesusilaan sehingga ada aturan dalam UU No 44 Tahun 2008 yang mengatur mengenai hal tersebut.

Jenis Tindak Pidana Umum

Selain jenis jenis tindak pidana khusus, juga ada jenis tindak pidana umum yang dalam hal ini lebih sering terjadi di lingkungan sekitar seperti:

 

 

    Penganiayaan dan pengeroyokan

    Pencemaran nama baik

    Pembunuhan

    Pidana pencabulan

    Pencurian dan perampokan

    Kecelakaan

    Perjudian

    Perusakan barang atau benda

    Penadahan

    Perselingkuhan dan nikah siri

    Dan yang lainnya.

 

D. Berlakunya Hukum Pidana

Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :

1.         Asas Teritorialiteit (teritorialiteits beginsel)atauasaswilayahnegara.

2.         Asas Personaliteit (personaliteitsbeginsel) disebutjuga dengan asaskebangsaan, asasnationalitetakitifatauasassubjektif (subjektionsprinsip).

3.         Asas Perlindungan (bescbermingsbeginsel) atau disebut juga asas nasionalitas pasif (pasief nationaliteitsbeginsel).

4.         AsasUniversaliteit (universaliteitsbeginsel) atauasaspersamaan.

 

E. Penggolongan Tindak-Tindak Pidana Menurut KUHP

A.    Penggolongan Tindak-Tindak Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengadakan penggolongan kualitatif dalam titel-titel yang merupakan bagian-bagian dari Buku II dan Buku III. Ukuran-ukuran kualitatif ini sekadar dapat dilihat dalam judul-judul dari titel-titel tersebut.

·         Buku II KUHP terdiri dari. 30 titel, yang masing-masing berjudul sebagai berikut:

Titel I              Kejahatan-kejahatan terhadap Keamanan Negara

Titel II            Kejahatan-kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden

Titel III           Kejahatan-kejahatan terhadap Negara-negara Asing Ber

sahabat dan terhadap Kepala dan Wakil Negara-negara tersebut

Titel IV           Kejahatan-kejahatan tentang Melakukan Kewajiban Kenegaraan dan Hak Kenegaraan

Titel V             Kejahatan-kejahatan terhadap Ketertiban Umum

Titel VI            Perang tanding (tweegevecht, duel)

Titel VII          Kejahatan-kejahatan. yang Membahayakan Keamanan Umum Orang dan Barang

Titel VIII         Kejahatan-kejahatan terhadap Kekuasaan Umun-,

Titel IX            Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu

Titel X             Pemalsuan Uang Logam dan Uang Kertas

Titel XI            Pemalsuan Meterai dan Cap

Titel X11         Pemalsuan Surat

Titel XIII         Kejahatan-kejahatan tentang Kedudukan Perdata

Titel XIV         Kejahatan-kejahatan Melanggar Kesopanan

Titel XV          Meninggalkan Orang-orang yang Perlu Ditolong

Titel XVI         Penghinaan

Titel XVII       Membuka Rahasia

Titel XVIII      Kejahatan-kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang

Titel XIX         Kejahatan-kejahatan terhadap Nyawa Orang

Titel XX          Penganiayaan

Titel XXI         Menyebabkan Matinya atau Lukanya Orang karena Kealpaan

Titel XXII       Pencurian

Titel XXIII      Pemerasan dan Pengancaman

Titel XXIV      Penggelapan Barang

Titel XXV       Penipuan

Titel XXVI      Merugikan Orang Berpiutang atau Berhak

Titel XXVII    Penghancuran atau Perusakan Barang

Titel XXVIII   Kejahatan-kejahatan Jabatan

Titel XXIX      Kejahatan-kejahatan Pelayaran

Titel XXX       Pemudahan (begunstiging)

·         Buku III-KUHP terdiri dari 10 titel yang masing-masing berjudul sebagai berikut:

Titel I               pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Umum

Titel II             Pelanggaran-pelanggaran terhadap Ketertiban Umum

Titel III           Pelanggaran-pelanggaran terhadap Kekuasaan Umum

Titel IV           Pelanggaran-pelanggaran tentang Kedudukan Perdata

Titel V             Pela nggaran-pelangga ran mengenai Orang-orang yang Perlu Ditolong

Titel VI           Pelanggaran-pelanggaran Kesopanan

Titel VII          Pelanggaran-pelanggaran tentang Tanah-tanah Tanaman

Titel VIII        Pelanggaran-pelanggaran Jabatan

Titel IX           Pelanggaran-pelanggaran Pelayaran

Titel X             Pelanggaran-pelanggaran terhadap Keamanan Negara

 


BAB III

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting,   yaitu :

1.         Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)

2.         Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)

Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.

Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan.

\


DAFTAR PUSTAKA

 

Barış B. AŞIK, Murat A. TURAN, Hakan ÇELİK, Ali V. KATKAT, effect of Humic Substances on uptake of wheat (Tritium durum)

Dimkpa, C. O., & Bindraban, P. S. (2016). Fortification of micronutrients for efficient agronomic production : a review. Agronomy for Sustainable Development. https://doi.org/10.1007/s13593-015-0346-6

Eladia M. P.Méndez, J. Havel, 2005. Humic substances.compounds of still unknown structure: applications in agriculture, industry, environment, and biomedicine Jiří Patočka3 J. Appl. Biomed. 3: 13.24.

Foth, H.D. and B.G. Ellis. 1997. Soil Fertility. CRC Press, Boca Raton, Florida.290 p.

Freire j.M.G.M., R. A. Ekisoain, A.M.Z. Arregui, ; E.B. Lluundain, M.F.Ramirez. 2010. Heteromolecular metal – Humat (chelate ) complexes. Patent No.: US 7,947,818 B2

Prihartin.2003. Mikroorganisme Meningkatkan Efisiensi Pemupukan Fospat.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimak.Bogor

Rosliza S, O.H. Ahmed, K. Susilawati,N.M. Ab. Majid and M. B. J. Simple 2009.Rapid Method of Isolating HumicAcids fromTropical Peat Soils (Saprists) . American Journal of Applied Sciences 6 (5): 820-823, 2009.

Sihombing, 2000. total limbah ternak meliputi kotoran sisa hasil eternakan, from http:// http://www.google.com_ jurnal+ limbah ternak + ruminanasia, IHSS

No comments:

Post a Comment