Tuesday 30 November 2021

MAKALAH HUKUM PERIKATAN

 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang............................................................................................. 1

B.    Rumusan Masalah........................................................................................ 1

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2

A.    Konsep Dasar Perikatan............................................................................... 2

B.    Subjek dan Objek Perikatan......................................................................... 5

C.    Syarat Sahnya Perjanjian.............................................................................. 7

D.    Asas Asas Perjanjian.................................................................................... 8

E.     Jenis-Jenis Perjanjian.................................................................................. 10

F.     Resiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa............................................. 12

G.    Terhapusnya Perikatan............................................................................... 16

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 18

A.    Kesimpulan ................................................................................................ 18

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang, sewa menyewa, pinjam meminjam, hal tersebut termasuk suatu perikatan. Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata (BW). Dalam hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban ataas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber dari perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.

Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep perikatan dan hal-hal yang terkait di dalamnya sampai dengan berakhirnya atau terhapusnya suatu perikatan.

 

B.   Rumusan Masalah

a.       Apa definisi dari perikatan dan perjanjian ?

b.      Apa saja subjek dan objek dalam perikatan ?

c.       Apa saja syarat sahnya suatu perjanjian itu ?

d.      Apa saja asas dalam suatu perjanjian itu ?

e.       Apa saja jenis-jenis perjanjian itu ?

f.       Apa definisi dari resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa ?

g.      Bagaimana suatu perikatan itu berakhir ?

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Konsep Dasar Perikatan

1.  Istilah Perikatan dan Definisi Perikatan

Istilah Perikatan berasal dari bahasa belanda verbintenis. Namun demikian dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan Verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibjo, menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan  persetujuan untuk Overeenkomst. Dengan demikian, verbentesis ini dikenal memiliki tiga istilah di Indonesia yaitu :

a.     Perikatan.

b.    Perutangan dan

c.     Perjanjian.

Sedangkan untuk overeenkomst dipakai untuk dua  istilah yaitu perjanjian dan persetujuan. Jadi jika berhadapan  dengan  istilah  verbintenis  dan  overeenkomst,  haruslah berusaha menjawab pengertian apakah  yang tersimpul dalam istilah tersebut. Secara terminologi,  verbintenis berasal dari kata  kerja verbinden yang artinya mengikat. Dengan demikian verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan.

Hukum Perikatan diatur dalam Bab III KUH Perdata. Namun demikian dalam bab III KUH Perdata  tersebut tidak ada satu pasal pun yang merumuskan makna tentang perikatan. Menurut Subekti, perkataan “perikatan” dalam Buku III KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas dari "perjanjian", sebab dalam Buku III itu, diatur juga perihal hubungan hukum yang Sama sekali tidak  bersumber pada suatu persetutujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari  pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).  Tetapi  sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi di  antara 2 (dua) orang  atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan  di mana pihak yang satu  berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Subekti  dalam  bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata berpendapat, bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perikatan sendiri merupakan suatu pengertian yang abstrak.

Hukum Islam merniliki istilah sendiri tentang perikatan, yaitu 'aqdun atau akad. Adapun  akad sendiri mempunyai beberapa pengertian. Menurut pendapat para ulama ahli Fiqh, bahwa akad  adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik  dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya. Perkataan aqdu mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu apabila seorang mengadakan janji , kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut perikatan (‘aqd).

Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perikatan meliputi hal-hal sebagai berikut:

a.       Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam perikatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tertulis dan tertulis. Kaidah hukum perikatan tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Kaidah hukum perikatan tidak tertulis adalah kaidah hukum perikatan yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan).

b.      Adanya subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu, manusia dan badan hukum. Subjek hukum dalam hukumperikatan terdiri dari kreditor dan debitor.  Kreditor adalah orang atau badan hukum yang berhak atas prestasi, sedangkan debitor adalah orang atau badan hukum yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

c.       Adanya prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor.

d.      Dalam bidang kekayaan. Harta kekayaan adalah menyangkut hak dan kewajiban yang mempunyai nilai uang.

Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan 1864 dan masing masing bab dibagi menjadi beberapa bagian. Hal yang diatur dalam Buku III KUH Perdata, meliputi hal-hal berikut ini:

a.       Perikatan pada umumnya (pasal 1233-1312 KUH Perdara). Hal yang diatur dialamnya meliputi sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya rugi, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan dan jenis-jenis perikatan.

b.      Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (pasal 1313-1351 KUH Perdata). Hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuaan umum, syarat sahnya perjanjian, akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.

c.       Perikatan yang dilahirkan dari UU (pasal 1352-1380 KUH Perdata).

d.      Hapusnya perikatan (pasal 1381-1456 KUH Perdata).

e.       Jual beli (pasal 1457-1540 KUH Perdata). Meliputi ketentuan umum, kewajiban penjual, kewajiban pembeli, hak membeli kembali, jual beli piutang, dan lain-lain.

f.       Tukar menukar (pasal 1541-1546 KUH Perdata).

g.      Sewa menyewa (pasal 1548-1600 KUH Perdata).

h.      Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (pasal 1601-1617 KUH Perdata).

i.        Persekutuan (pasal 1618-1652 KUH Perdata).

j.        Perkumpulan (pasal 1653-1665 KUH Perdata).

k.      Hibah (pasal  1666-1693 KUH Perdata).

l.        Penitipan barang (pasal 1694-1739 KUH Perdata).

m.    Pinjam pakai (pasal 1740-1753 KUH Perdata).

n.      Pinjam-meminjam (pasal 1754-1769 KUH Perdata).

o.      Bunga tetap atau bunga abadi (pasal 1770-1773 KUH Perdata).

p.      Perjanjian untung-untungan (1774-1791 KUH Perdata).

q.      Pemberian kuasa (pasal 1792-1819 KUH Perdata).

r.        Penanggungan utang (pasal 1820-1850 KUH Perdata).

s.       Perdamaian (pasal 1851-1864 KUH Perdata).

 

2. Definisi Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) dan contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi tersebut telah tampak adanya konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh atau lenyapnya hak dan kewajiban). Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari pengertian perjanjian di atas, terdapat beberapa unsur mengenai perjanjian, antara lain:

a.       Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua pihak.

b.      Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap.

c.       Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak.

d.      Ada prestasi yang harus dilaksanakan.

e.       Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

f.       Ada syarat  sebagai isi perjanjian.

 

B.        Subjek dan Objek Perikatan

1. Objek Perikatan

Objek perikatan yaitu yang merupakan hak dari kreditur dan kewajiban debitur. Yang menjadi objek perikatan yaitu prestasi atau hal pemenuhan perikatan. Macam-macam prestasi itu antara lain adalah :

a.       Memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada kreditur seperti membayar harga dan lainnya.

b.      Melakukan perbuatan, yaitu melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan (perjanjian), misalnya memperbaiki barang yang rusak.

c.       Tidak melakukan suatu perbuatan, yaitu tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan dan lainnya.

Agar suatu prestasi dapat tercapai, artinya suatu kewajiban akan prestasi dipenuhi oleh debitur, maka prestasi harus memiliki sifat-sifat diantaranya ialah harus sudah tertentu atau dapat ditentukan, harus mungkin, harus diperbolehkan (halal), harus ada manfaatnya bagi kreditur.

2. Subjek Perikatan

Subjek perikatan adalah para pihak dalam suatu perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Apabila seorang debitur tidak memenuhi perikatan tersebut maka debitur disebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera janji, terlebih dahulu dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Ada tiga cara terjadinya somasi, antara lain:

a.       Debitur melaksanakan prestasi yang keliru.

b.      Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah ditetapkan.

c.       Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur karena kadaluarsa.

Isi yang harus dimuat dalam surat somasi diantaranya ialah:

a.       Apa yang dituntut.

b.      Dasar tuntutan.

c.       Tanggal paling lama untuk memenuhi prestasi.

Sementara itu, peristiwa yang tidak memerlukan somasi antara lain:

a.       Debitur menolak pemenuhan.

b.      Debitur mengakui kelalaian.

c.       Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

d.      Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos).

e.       Debitur tidak melakukan prestasi sebagaimana mestinya.

 

C.  Syarat Sahnya Perjanjian

Agar sesuatu perjanjian dianggap sah, harus memenuhi beberapa persyaratan. Menurut Hukum Kontrak (law of contract) USA ditentukan empat syarat syahnya perjanjian yaitu:

1.      Adanya penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance)

2.      Adanya  persesuaian  kehendak (metting of minds)

3.      Adanya konsiderasi atau prestasi

4.      Adanya kewenangan  hukum  para  pihak  (competent  legal  parties)  dan pokok persoalan yang sah (legal subject parties).

Sedangkan dalam KUH Perdata syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasa 1320 KUH Perdata yang menentukan syarat sahnya sebagai berikut:

1.      Adanya kesepakatan (toesteming / izin) kedua belah pihak. Yang dimaksud kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

2.      Kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana telah ditentukan oleh UU. Orang yang cakap  atau wewenang adalah orang yang dewasa. Ukuran kedewasaaan adalah telah berumur 21 tahun dan sudah kawin.

3.      Adanya suatu hal atau adanya objek perjanjian (onderwerp der overeentskoms). Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Misalnya, jual beli rumah yang menjadi prestasi atau pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah itu.

4.      Adanya causa yang halal (Geoorloofde oorzaak). Dalam pasal 1320 KUH Perdara tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Contohnya adalah A menjual sepeda motor kepada B, tetapi sepeda motor yang dijual oleh A adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B karena B menginginkan barang yang dibelinya itu barang sah.

 

D.  Asas Asas Perjanjian

Didalam hukum perjanjian dikenal tiga asas, yaitu asas konsensualisme, asas pacta sunt  servada, dan asas kebebasan berkontrak.

1.      Asas konsensualisme (kesepakatan).

Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan  mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat secara lisan  didasarkan  pada  asas bahwa manusia itu dapat dipegang mulutnya, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada beberapa perjanjian tertentu yang harus  dibuat secara  tertulis,  misalnya  perjanjian  perdamaian, perjanjian penghibahan, perjanjian  pertanggungan dan sebagainya. Tujuannya ialah sebagai alat bukti lengkap dari pada yang diperjanjikan.

 

 

2.      Asas pacta sunt servada

Asas Pacta Sunt Servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik  kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuanpersetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah :

a.       Pertama, istilah “semua perjanjian” berarti bahwa pembentuk Undang-Undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Seiain itu juga mengandung  suatu  asas partij autonomie.

b.      Kedua, istilah secara sah artinya bahwa pembentuk Undang-Undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan  bersifat mengikat sebagai Undang-Undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum.

c.       Ketiga, istilah itikad baik hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang. Ini merupakan realisasi  dari asas keseimbangan.

3.      Asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak (freedom of  contract), adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas pancaran hak asasi manusia. Di dalam hukum perjanjian internasional, asas kebebasan berkontrak yang  bertanggung  jawab, yang manpu memelihara keseimbangan tetap perlu dipertahankan, yaitu  pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, serta menentukan bentuknya perjanjian secara lisan atau tertulis.

Selain ketiga asas diatas, dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional yaitu asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatuhan, asas kebiasaan dan asas perlindungan.

 

E.   Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis suatu perjanjian  diantaranya adalah:

1.      Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik adalah perjanjian sewa menyewa (hurr en verburr) KUH Perdata pasal 1548 dan seterusnya, yaitu suatu perjanjian dimana pihak 1 (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak 2 (si penyewa) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak 2 membayar sejumlah uang sewanya. Sementara itu, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

 

2.      Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian percuma adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian dalam perjanjian ini hanya memberika keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubugannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain ataupun pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya X menyanggupi memberikan kepada Y sejumlah uang, jika Y menyerahkan lepaskan suatu barang tertentu kepada X.

3.      Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak bernama (non benoemd overeenkomst).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lainnya. Sementara perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dsb. Perjanjian tidak bernama tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi lahirnya di dalam masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

4.      Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator.

Perjanjian kebendaan atau zakelijk overeenkomst adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya, sejak terjadi perjanjian timbulah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang.

 

5.      Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antar kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUH Perdata). Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.

6.      Perjanjian publik.

Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dukuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Contohnya ialah perjanjian ikatan dinas.

7.      Perjanjian campuran.

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jua lbeli) dan juga memberika pelayanan.

Dalam hukum perikatan, bentuk perjanjian dapat juga dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian tertulis dan tidak tertulis. Dalam perjanjian tidak tertulis atau lisan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Sedangkan dalam perjanjian tertulis, adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan, meliputi perjanjian dibawah tangan yaitu perjanjian yang hanya ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian dengan saksi notaris (perjanjian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi oleh notaris, dan perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris.

 

F.   Resiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa

1.  Resiko

Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar salah satu pihak, yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.  Jadi pokok pangkalnya resiko adalah keadaan memaksa. Sementara titik pangkalnya dalam jika dalam wanprestasi adalah ganti rugi.

Mengenai resiko, sebenarnya dapat disimak dalam pasal 1237 KUH Perdata yang menyatakan bahwa dalam hal adanya kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang tertentu tersebut semenjak kontrak dilahirkan, adalah atas tanggungan berpiutang (tanggungan=resiko). Dengan begitu, dalam kontrak untuk memberikan suatu barang tertentu jika barang ini sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, maka kerugian harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak penerima barang.

Resiko dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni resiko dalam perjanjian sepihak dan resiko dalam perjanjian timbal balik. Lebih jelasnya adalah seperti berikut ini:

a.       Resiko dalam perjanjian sepihak yakni resiko ditanggung oleh kreditur. Resiko ini diatur dalam pasal 1237 KUH Perdata.

b.      Resiko dalam perjanjian timbal balik. Resiko dalam jenis ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu resiko jual beli yang diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata yakni resiko ini ditanggong oleh pembeli, resiko dalam tukar menukar yang diatur dalam pasal 1545 KUH Perdata yakni resiko ditanggung oleh pemilik barang, dan yang terakhir adalah resiko dalam sewa menyewa, yang diatur dalam pasal 1553 yakni resiko ditanguung oleh pemilik barang.

2.  Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie” yang berarti prestasi buruk atau cedera janji. Dalam bahasa Inggris, wanprestasi disebut breach of contract, yang berarti tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak. Secara etimologi, wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam kontrak. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah sebagai berikut:

a.       Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b.      Memenuhi prestasi tetapi tidak dapat pada waktunya.

c.       Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dala kontrak itu ditentukan trnggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggapp lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan. Akibat hukum dari wanprestasi adalah:

a.       Debitur diharuskan membayar ganti rugi (pasal 1243 KUH Perdata).

b.      Kreditur dapat meminta pembatalan kontrak melalui pengadilan (pasal 1266 KUH Perdata).

c.       Kreditur dapat meminta pemenuhan kontrak atau pemenuhan kontrak disertai ganti rugi dan pembatalan kontrak dengan ganti rugi (pasal 1267 KUH Perdata)

Apabila seorang debitur yang dituduh cidera janji dan dituntut hukuman kepadanya, ia dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya dari hukuman yang akan diberikan dengan mengajukan beberapa alasan. Pembelaan tersebut ada tiga macam yaitu:

a.       Karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).

b.      Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus).

c.        Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtvenverking).

 

3.  Keadaan Memaksa (Overmacht / Forcemajeur)

     Keadaan memaksa atau overmacht yaitu ketika dalam suatu kontrak bisnis, ketika debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, maka debitur tidak dapat dipersalahkan. Dengan perkataan lain, debitur tidak dapat memenuh kewajiban karena overmacht. Dengan demikian kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaiamana hak yang dimiliki oleh kreditur dalam wanprestasi. Adapun yang termasuk unsur-unsur overmacht adalah sebagai berikut:

a.       Ada halangan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban.

b.      Halangan itu bukan karena kesalahan debitur.

c.       Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko bagi debitur.

Overmacht mengakibatkan suatu kontrak berhenti. Overmacht tidak melenyapkan adanya kontrak akan tetapi, hanya menghentikan kontrak. Dalam suatu kontrak timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena Overmacht terhalang untuk berprestasi, maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi. Ketentuan dalam Overmacht diatur dalam KUH Perdata pasal 1244 dan pasal 1245. Pada pasal 1244 berbunyi: “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang dipertanggungjawabkan kepadanya walaupun tidak ada iktikad buruk padanya”. Selanjutnya pada pasal 1245 berpunyi: “Tidak ada penggantian biaya kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukakan suatu perbuatan yang terlarang olehnya”.

Keadaan memaksa dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

a.       Keadaan memaksa absolut

Keadaan memaksa absolut yaitu suatu keadaaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya adalah si A ingin membayar utangnya pada si B, namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak bisa membayar hutang.

b.      Keadaan memaksa relatif

Keadaan memaksa relatif yaitu suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih memungkinkan melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan mmberikan korban yang besar yang tidak seimbang, atau menggunakan kekuata jiwa yang di luar kemampuan manusia, atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat  besar. Cntohnya seorang penyanyi telah mengikatkan dirinya untuk suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima bahwa anaknya meninggal.

 

G.   Terhapusnya Perikatan

Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah:

a.       Pembayaran, yaitu jika kewajiban terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata).

b.      Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan atau penitipan.

c.       Pembaharuan utang, yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang baru.

d.      Kompensasi atau imbalan, yaitu apabila kedua belah pihak saling berhutang, maka utang mereka masing-masing diperhitungkan.

e.       Percampuran utang yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditur dan debitur ada di satu tangan seperti warisan.

f.       Pembebasan utang, yaitu apabila kreditur membebaskan segala utang-tang dan kewajiban hak debitur.

g.      Batal dan pembatalan, yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan.

h.      Hilangnya benda yang diperjanjikan, yaitu apabila benda yang diperjanjikan binasa,  hilang, atau menjadi tidak dapat diperdagangkan.

i.        Timbul syarat yang membatalkan, yaitu ketentuan si perjanjian yang disetujui kedua belah pihak.

j.        Kedaluarsa atau lewat waktu.

Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Misalnya, pada persetujuan jual beli, dengan dibayarkanya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Suatu perjanjian akan berakhir atau hapus apabila:

a.       Telah lampau waktunya (kadaluarsa).

b.      Telah mencapai tujuannya.

c.       Dinyatakan berhenti. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus.

d.      Dicabut kembali.

e.       Diputuskan oleh hakim.


BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah karena pembayaran, kompensasi, pembayaran utang dll. Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.


DAFTAR PUSTAKA

 

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia. 2012.

Salim Hs. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika. 2005. 

Santoso AZ, Lukman. Hukum Perikatan. Malang: Setara Press. 2016.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa. 2002.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:       Kencana, 2010.

Sari, Elis Kartika, et. All. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Grasindo. 2007.

KUH Perdata dan KUHA Perdata. tk: Pustaka Buana. 2015.