Monday 26 April 2021

SASBEL KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) dan PERKOSAAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang Masalah

KDRT merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara dunia. Dalam hal ini, masyarakat internasional telah menciptakan standar hukum yang efektif dan khusus memberikan perhatian terhadap KDRT. Tindakan untuk memukul perempuan, misalnya, telah dimasukan di dalam konvensi HAM internasional maupun regional yang mempunyai sifat hukum mengikat terhadap negara yang telah meratifikasinya. Dokumen HAM Internasional tersebut meliputi, Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”), the International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (“ICESCR”) yang menjadi standar umum mengenai Hak Asasi Manusia, di mana para korban dari KDRT dapat menggugat negaranya masing-masing.

Berbagai pertistiwa kekerasan dalam rumah tangga telah menunjukkan bahwa negara telah gagal untuk memberi perhatian terhadap keluhan para korban. Maka negara dapat dikenakan sanksi jika negara tersebut merupakan anggota dari instrumen internasional sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal yang sama dapat pula dilakukan di bawah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (“CEDAW”) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (“CAT”). Demikian juga, instrumen regional dapat  memberikan  perlindungan  terhadap  perempuan  yang  menjadi  korban.  The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (“ECHR”), the American Convention on Human Rights (“ACHR”), bersama dengan the Inter-American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence Against Women (“Inter-American Convention on Violence Against Women”), dan the African Charter on Human and Peoples' Rights (“African Charter”) merupakan dokumen utama HAM regional yang dapat dijadikan landasan bagi korban KDRT.

Pemerkosaan sebagai suatu tindakan kekerasaan yang dinilai sangat merugikan dan menggangu ketentraman dan ketertiban hidup, terutama bagi korbannya. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang mendapat perhatian di kalangan masyarakat, karena tindak pidana perkosaan tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Korban pemerkosaan akan mengalami penderitaan fisik dan psikis paska pemerkosaan yang terjadi pada dirinya seperti: Penderitaan fisik yang mengalami pada korban paska perkosaan seperti sakit secara fisik, luka, cacat, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Penderitaan psikis merupakan gejala tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa kurang percaya diri, trauma, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Apabila setelah terjadinya peristiwa pemerkosaan tersebut tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban, maka korban dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara emosi yang berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan,

 

B.     Rumusan Masalah

-           Apa yang menjadi ruang lingkup KDRT ?

-           Apa yang di maksud dengan KDRT?

-           Bagaimana KDRT di pandang dari sudut Agama Kristen?

-           Bagaimana bentuk KDRT ?

-           Apa saja faktor penyebab KDRT ?

-           Apa dampak dari KDRT bagi para korban ?

-           Bagaimana pencegahan dan penanganan KDRT ?

-           Apa peran gereja dalam mencegah KDRT ?

 

 

C.        Tujuan

           Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang KDRT

           Memahami pandangan Agama Kristen tentang KDRT

           Mengetahui bentuk, factor, dan dampak KDRT

           Mengetahui peran semua pihak dalam mencegah KDRT

 


BAB II

PEMB            AHASAN

 

A.    Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

1.      Defenisi KDRT

a.       Secara Umum

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar. Kadangkala lingkungan kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya dengan alasan KDRT merupakan masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT orang lain tidak perlu campur tangan. Padahal dampak KDRT sangat besar baik bagi si korban maupun keluarganya.

KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.

b.      Berdasarkan Undang-Undang

Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang  PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.  Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);  (b)  Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

 

2.      Epidemiologi KDRT (Pengalaman KDRT)

Satu dari empat keluarga Di Amerika Serikat mengalami KDRT.Kekerasan dalam keluarga dan masyarakat merupakan permasalahan yang serius di Michigan. Dalam satu dekade terakhir terdapat peningkatan jumlah orang yang melakukan tindak kriminal dan kekerasan, yaitu sebesar 83% pada orang dewasa dan 50% untuk para pemuda. Data kepolisian mengungkap bahwa duapertiga dari kasus-kasus pembunuhan ternyata melibatkan anggota keluarga, teman-teman dan kenalan pelaku.Kekerasan merampas kesempatan orang-orang muda, menghancurkan kapasitas pengasuh mereka, dan menciptakan masyarakat yang penuh dengan kejahatan (Lerner, 1995). Banyak anak-anak dan pemuda memilih untuk menggunakan senjata dan perilaku kekerasan sebagai cara untuk memperoleh penghargaan. Kekerasan tampaknya telah diterima sebagai bagian dari kehidupan hari ini (Blume and Stovall, 2017).

Di Bali laporan kasus KDRT yang tercatat pada Biro Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan (BP3A) tampaknya masih sangat kecil, dengan kisaran angka kejadian 600 – 750 kasus per tahunnya, artinya angka prevalensi kasus KDRT tak lebih dari 0,03% (P2TP2A, 2014). Akan tetapi insiden kasus KDRT yang begitu kecil di suatu wilayah tak dapat dipakai sebagai acuan untuk menggambarkan besarnya permasalahan KDRT di sana karena adanya fenomena gunung es (Delville, et al. 2017).

 

 

 

3.      Pola Penganiayaan

Gambaran bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh penyintas menunjukkan bahwa bentuk kekerasan tidak hanya tunggal, tetapi penyintas dapat mengalami beberapa bentuk kekerasan dari perlakuan yang diterimanya. Kekerasan dalam rumah tangga memiliki implikasi yang cukup besar dalam sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat memberikan efek buruk bagi proses kehamilan, kesehatan balita dan jaminan pendidikan anak-anak. Tindak kekerasan inilah yang dianggap menjadi pemantik bagi meningkatkanya kasus gugat cerai karena adanya perlakukan pelaku terutama suami terhadap isterinya yang sudah berada di luar batas kewajaran.

Menurut pasal 5 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pola penganiayaan KDRT adalah sebagai berikut :

a.       Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

b.      Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang

c.       Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut

d.      Penelantaran rumah tangga, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketergantuangan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

 

4.      Dampak yang terjadi

a.       Dampak KDRT Terhadap Perempuan

Mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, trauma berkepanjangan.

b.      Dampak KDRT terhadap Anak

Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut:

1)      Dampak terhadap Anak berusia  bayi 

Bayi yang menjadi korban KDRT akan mengalami ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.

2)      Dampak terhadap anak kecil

Dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat.

3)      Dampak terhadap Anak usia pra sekolah

KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah.

4)      Dampak terhadap Anak usia SD

Kelompok  anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung  mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkattinggi. 

5)      DampakTerhadapRemaja

kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut.  Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif.

 

 

5.      Manifestasi Klinis

a.       Penanganan Korban KDRT

Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.

1)      Pendekatan kuratif

a)      Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.

b)      Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.

c)      Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya KDRT.

d)     Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT.

e)      Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.

f)       Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan informasi kekerasan.

g)      Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan potensinya.

h)      Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.

i)        Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

 

 

2)      Pendekatan Preventif

a)      Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti  bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.

b)      Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi,   mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.

c)      Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi.

d)     Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.

e)      Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.

f)       Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.

g)      Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat.  Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

b.      Pemulihan Korban

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

1)      Pekerja Sosial;

2)      Relawan Pendamping; dan/atau

3)      Pembimbing Rohani.  Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban. 

 

6.      Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku Kekerasan

a.       Menurut Pakar Bidang Penelaah Kekerasan

Zastrow & Browker (2015) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi- agresi, dan teori kontrol.

Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir.

1)      Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri.

2)      Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.

3)      Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif memungkinkan untuk mati satu demi satu

Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. Teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.  Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain.

b.      Secara Umum

Dalam lingkup keluarga, KDRT umumnya terjadi karena :

1)      Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan.

2)      Alasan Ekonomi.

3)      Ketidakmampuan mengendalikan emosi.

4)      Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun.

5)      Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba.

6)      Latar  budaya  patriarki  dan  ideologi  gender  yang  berpengaruh.

 

 

 

7.      Landasan Hukum KDRT

Berikut ini adalah “Dasar Hukum” untuk KDRT :

a.       Nasional

1)      Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27

2)      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.b c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk  Deskriminasi  Terhadap Wanita  (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29, Tambahan Lembaran Negara 3277)

3)      UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No 165, Tambahan Lembaran Negara No. 3886)

4)      UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak f. UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan  Kekerasan dalam Rumah Tangga g. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah h. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi  dan Korban i. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan j. Peraturan Pemerintah N o . 4 tahun  2 0 0 6  tentang  Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

5)      Peraturan Pemerintah No . 38 tahun  2007  tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota

6)      Keputusan Presiden RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

7)      Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

8)      Instruksi Pres iden R I N o . 9 tahun  2000 tentang Pengarus utama  Gender dalam Pembangunan Nasional

9)      Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan N o . 1 tahun 2007 tentang  Forum  Koordinasi Penyel enggaraan  Kerjasama  Pencegahan dan  Penanganan KDRT

10)  Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

11)  Peraturan  Menteri Pemberdayaan  Perempuan  dan  Perlindungan  Anak  N o . 6  Tahun 2011 tentang  Pencegahan dan pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.

b.      Internasional

1)      Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women  (CEDAW) yang diratifikasi dengan Undang Undang No. 7 tahun 1984

2)      Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1989 (Rekomendasi Umum 12 Bidang ke-8)

3)      Rekomendasi Umum No. 19 Sidang II tahun 1992 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimina i terhadap Perempuan

4)      Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993, yang dirapatkan oleh Sidang Umum PBB dengan Resolusi No. 45/155, Desember 1990

5)      Resolusi Mejelis Umum PBBNP 48/104 Th. 1993 yang mengutuk setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat atau oleh Negara.

 

8.      Penatalaksanaan

Tindak kekerasan terhadap perempuan ibarat gunung es. Karena yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil raja, sedangkan bagian yang lebih besar masih tenggelam atau tidak dapat diketahui. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan keluarga adalah masalah intern keluarga dan tidak sepatutnya dipublikasikan. Sebagian masyarakat masih menutupi kondisi ini karena mereka mempertahankan status sosial bagi keluarganya. Oleh karena itu, tindak kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga dianggap aib yang harus dan selalu ditutupi. Sama halnya dengan bentuk kejahatan biasa pelaku tindak kekerasan dalam lingkungan keluarga atau dalam rumah tangga (KDRT) adalah mereka yang berasal dari berbagai status sosial. Jadi, tidak dibatasi oleh strata sosial maupun pendidikan.

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah Tangga adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban.

Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani korban, yang diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga:

a.       Peran Kepolisian (Pasal 16-20)

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban.

Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah:

1)      memberikan perlindungan sementara pada korban,

2)      meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, dan melakukan penyidikan.

b.      Peran Advokat (Pasal 25)

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka advokat wajib:

1)      memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan,

2)      mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, dan

3)      melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

c.       Peran Pengadilan

Sementara itu, undang-undang juga mengatur tentang peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan. Kepolisian  harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah menerima permohonan itu, pengadilan harus:

1)      mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.

2)      atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban.

d.      Peran Tenaga Kesehatan

Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hash pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti.

e.       Peran Pekerja Sosial

Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial:

1)      melakukan konseling untuk menguatkan korban,

2)      menginformasikan mengenai hak-hak korban,

3)      mengantarkan korban ke rumah aman, dan

4)      berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban.

f.       Peran Pembimbing Rohani

Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

g.      Peran Relawan Pendamping

Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga adalah togas dari relawan pendamping, yakni:

1)      menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping,

2)      mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;

3)      mendengarkan segala penuturan korban, dan

4)      memberikan penguatan kepada korban secara psikologis maupun fisik.

 

B.     Perkosaan

1.      Defenisi Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan di dalam pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:1

"barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan".

Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi, pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan tetapi masuk dalam kategori pencabulan,2 tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP itu ternyata hanya mempunyai unsur-unsur

 

2.      Penyebab Tindak Perkosaan

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan yang sangat memilukan ini, antara lain besarnya hawa nafsu seseorang untuk melakukan pemerkosaan kepada seorang wanita yang dianggapnya menarik, pemerkosaan juga bisa dilakukan karena untuk menguasai harta korban, untuk melampiaskan amarah pelaku kepada korban nya karena perasaannya ditolak oleh si korban, adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan itu, faktor pergaulan seseorang yang sangat bebas, dan juga kurangnya ilmu agama yang diketahui si pelaku.

Selain faktor – faktor diatas ada juga faktor seseorang melakukan tindak kejahatan ini, diantaranya dari media sosial. Seseorang dengan sangat mudah mengakses situs – situs porno di media sosial dan bisa menjadikan acuan utuk melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada seseorang untuk menyalurkan nafsunya.

 

3.      Resiko Psikis dan Kesehatan Reproduksi

Pemerkosaan atau kekerasan seksual adalah salah satu hal terburuk dan terberat yang dapat dialami manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Selain luka fisik, korban pemerkosaan membawa luka batin yang membutuhkan waktu untuk sembuh.

Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama lain. Umumnya korban akan merasa takut, cemas, panik dan syok.  Para korban pemerkosaan, kerap kali kehilangan kepercayaan diri dan merasa bersalah. Tak jarang korban pemerkosaan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi.

Pada banyak kasus pemerkosaan, sebagian besar korban enggan untuk menceritakan hal yang dialaminya. Mereka enggan untuk menceritakannya karena berbagai macam alasan, mulai dari merasa malu, kurang percaya terhadap pendengar, takut akan adanya pembalasan, hingga takut tidak dipercaya akan apa yang diceritakannya.Tak jarang, akhirnya beban psikologis dan fisik harus ditanggung sendiri oleh korban.

Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Secara psikologis, berikut beberapa hal yang dialami oleh korban pemerkosaan.

a.       Menyalahkan diri sendiri

Menyalahkan diri sendiri menjadi bagian yang kerap dirasakan korban pemerkosaan. Ketidakberdayaan dan merasa bahwa pemerkosaan yang terjadi mungkin dipicu oleh tindakan atau perilakunya sendiri, kerap menyebabkan korban menyalahkan diri. Misalnya, korban wanita mungkin akan merasa gaya pakaiannyalah yang memicu terjadinya pemerkosaan.

b.      Bunuh diri

Tak jarang korban pemerkosaan memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Adapun faktor yang kerap memicu seseorang melakukan bunuh diri adalah merasa depresi dan tidak adanya harapan untuk menjalani hidup. Selain itu, perasaan malu juga kerap kali menjadi alasan untuk melakukan bunuh diri.

c.       Kriminalisisasi korban pemerkosaan

Kriminalisisasi korban pemerkosaan memang dapat terjadi. Seperti hal yang diungkapkan sebelumnya, hingga saat ini, pakaian yang dikenakan oleh wanita kerap kali dianggap memancing seorang pria untuk melakukan pemerkosaan. Adanya kriminalisasi terhadap korban pemerkosaan ini membuat wanita terkadang memilih untuk melupakan kejadian pemerkosaan yang dialaminya, atau berpura-pura tidak pernah terjadi apa apa.

 

 

d.      Depresi

Menyalahkan diri sendiri adalah salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, berfungsi sebagai keterampilan naluriah untuk mengatasi masalah dengan penghindaran yang mengambat proses penyembuhan.

e.       Sindrom Trauma Perkosaan

Sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan — muda dan dewasa — dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.

f.       Disosiasi

Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun. Di ujung bersebrangan, disosiasi kompleks dan kronis dapat membuat penderitanya sulit berfungsi dalam dunia nyata.

Disosiasi sering digambarkan sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak terikat dengan jasmaninya, merasa sekitarnya tampak tidak nyata, tidak terlibat dengan lingkungan tempat ia berada seperti sedang menonton kejadian tersebut di televisi.

g.      Gangguan makan

Kekerasan seksual dapat mempengaruhi penyintasnya dalam berbagai cara, termasuk persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan. Beberapa orang mungkin menggunakan makanan sebagai pelampiasan mengatasi trauma, untuk merasa kembali memegang kendali atas tubuhnya, atau mengimbangi perasaan dan emosi yang membuatnya kewalahan. Tindakan ini hanya memberikan suaka sementara, tetapi memiliki kemampuan untuk merusak tubuh dalam jangka panjang.

h.      Hypoactive sexual desire disorder

Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis yang menandakan hasrat seksual rendah. Kondisi ini juga umum disebut apatisme seksual atau keengganan seksual.

HSDD dapat menjadi kondisi primer atau sekunder, yang bisa memberikan perbedaan besar dalam perencanaan pengobatan. Kondisi primer adalah jika seorang individu tidak pernah mengalami atau memiliki hasrat seksual, dan jarang (jika pernah) terlibat dalam hubungan seksual — tidak memulai dan tidak merespon terhadap rangsangan seksual dari pasangannya.

HSDD menjadi kondisi sekunder saat orang tersebut memiliki gairah seksual yang normal dan sehat pada awalnya, namun kemudian menjadi tidak tertarik sama sekali dan tidak acuh akibat faktor penyebab lain, misalnya dimunculkan dalam bentuk trauma nyata akibat dari pelecehan seksual. Hubungan seks, untuk para penyintas kasus kejahatan seksual, dapat menjadi sebuah pelatuk yang mengingatkan mereka terhadap peristiwa tersebut dan memunculkan kilas balik serta mimpi buruk — maka dari itu mereka memilih untuk tidak terlibat, dan pada akhirnya kehilangan nafsu seksual seluruhnya.

i.        Dyspareunia

Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan pada wanita. Wanita yang memiliki dyspareunia mungkin mengalami rasa sakit superfisial dalam vagina, klitoris, atau labia (bibir vagina), atau rasa sakit yang lebih melumpuhkan saat penetrasi semakin dalam atau dorongan penis.

Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.

j.        Vaginismus

Ketika seorang wanita memiliki vaginismus, otot-otot vaginanya meremas atau mengejang dengan sendirinya saat sesuatu memasuki dirinya, seperti tampon atau penis — bahkan saat pemeriksaan panggul rutin oleh ginekolog. Hal ini dapat sedikit terasa tidak nyaman atau sangat menyakitkan.

Seks yang menyakitkan sering menjadi pertanda awal seorang wanita mengidap vaginismus. Rasa sakit yang dialami hanya terjadi saat penetrasi. Biasanya akan menghilang setelah penarikan, namun tidak selalu. Wanita yang memiliki kondisi ini menggambarkan rasa sakitnya sebagai sensasi robekan atau seperti pria menghantam dinding.

k.      Diabetes tipe 2

Orang dewasa yang mengalami segala bentuk pelecehan seksual saat masih kanak-kanak berada pada risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung dan diabetes.

Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive Medicine, peneliti menyelidiki hubungan antara pelecehan seksual yang dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2. Temuan melaporkan 34 persen dari 67,853 partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami kekerasan seksual.

 

Efek terhadap Fisik Korban

Selain luka psikologis, korban pemerkosaan membawa luka pada tubuhnya. Sebagian luka dapat terlihat langsung, namun sebagian lagi barangkali baru dapat dideteksi beberapa waktu kemudian. Korban pemerkosaan juga mungkin dapat terlihat mengalami perubahan pola makan atau gangguan pola makan.

Selain itu, berikut beberapa kondisi yang umum terjadi pada korban pemerkosaan:

a.       Penyakit menular seksual (PMS)

Penyakit menular seksual, seperti clamidia, herpes dan hepatitis, bisa saja dialami oleh korban pemerkosaan. Penting untuk segera mendapatkan pertolongan medis dan pemeriksaan pasca mengalami pemerkosaan, untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV.

b.      Penyakit lain

Selain penyakit menular seksual, korban pemerkosaan juga dapat mengalami berbagai gangguan kesehatan lain, seperti:

c.       Peradangan pada vagina atau vaginitis.

1)      Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus

2)      Nyeri saat berhubungan seksual, disebut juga dispareunia.

3)      Pada pemerkosaan oral, sakit tenggorokan ataupun luka pada area mulut bisa saja terjadi.

Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder/HSDD), yaitu keengganan esktrem untuk berhubungan seksual atau bahkan menghindari semua kontak seksual.

Ada pula risiko kehamilan yang tidak diinginkan pada korban pemerkosaan. Hal ini mungkin salah satu kondisi dan konsekuensi terberat yang bisa terjadi pada korban pemerkosaan. Kehamilan pada wanita korban pemerkosaan dapat terjadi bila pemerkosaan dilakukan saat korban sedang dalam masa subur dan pemerkosa mengalami ejakuasi di dalam vagina. Untuk mencegah terjadinya kehamilan pada korban pemerkosaan, dokter akan memberikan kontrasepsi darurat yang harus diminum dalam waktu beberapa hari setelah pemerkosaan terjadi.

Dampak fisik mungkin dapat sembuh dalam waktu lebih singkat. Namun dampak psikologis dapat membekas lebih lama. Peran keluarga, kerabat, dokter dan terapis, akan menjadi kunci dari kesembuhan dan ketenangan bagi mereka yang menjadi korban pemerkosaan. Jika dirasa perlu, wanita yang menjadi korban pemerkosaan bisa menjalani operasi selaput dara untuk memperbaiki bentuk vagina dan selaput daranya.

 

4.      Bentuk-bentuk perkosaan yang dikenal dan diakui

Bentuk-bentuk  perkosaan  dapat dibedakan menjadi:

a.       Perkosaan yang pelakunya sudah dikenal korban

1)      Perkosaan oleh suami atau mantan suami

Perkosaan juga dapat terjadi dalam suatu perkawinan, karena suami maerasa berhak untuk memaksa istrinya berhubungan seks  kapan saja sesuai dengan keinginannya tanpa mempedulikan  keinginan sang istri. Bahkan tidak jarang terjadi banyak mantan suami yang merasa masih berhak untuk memaksakan hubungan seks  pada mantan istrinya;

2)      Perkosaan oleh teman kencan atau pacar

Teman kencan atau pacar bisa  memaksa  korban  untuk  berhubungan seks dengan berbagai dalih karena ia sudah menghabiskan uang untuk menyenangkan korban, karena mereka pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan mengawini korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk wajar bila si perempuan masih punya  kesempatan untuk  menolak dan penolakannya itu dihormati oleh pacarnya. Bujuk rayu pun  masih bisa dianggap normal bila kegagalan membujuk tidak diikuti oleh tindakan pemaksaan tetapi kalau pacar perempuan itu sampai memaksakan kehendaknya, itu sudah berarti suatu kasus perkosaan, sekalipun oleh pacar sendiri, jika perempuan itu sudah menolak dan berkata “tidak” tapi pacarnya neka melakukann yaitu berarti perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini sangat jarang didengar orang lain karena korban malu dan takut dipersalahkan orang.

 

 

3)      Perkosaan oleh atasan/majikan

Perkosaan terjadi antara lain bila seorang perempuan dipaksa berhubungan seks oleh atasan atau majikannya dengan ancaman  akan di PHK bila menolak, atau dengan  ancaman-ancaman  lain  yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau majikan.

4)      Penganiayaan seksual terhadap anak-anak

Seorang anak perempuan atau anak laki-laki dapat diperkosa oleh lelaki dewasa dan masalah ini sangat peka dan sulit karena anak-anak yang menjadi korban tidak sepenuhnya paham akan apa yang menimpa mereka, khususnya bila anak itu mempercayai pelaku. Kalaupun si anak melapor kepada ibu, nenek atau anggota keluarga yang lain, besar kemungkinan laporannya tidak digubris, tak dipercaya, bahkan dituduh berbohong dan berkhayal, biasanya mereka menyangkal kejadian itu hanya dengan alasan “tidak” mungkin bapak/kakek/paman/dsb tega berbuat begitu”.

b.      Perkosaan oleh orang tak dikenal

Jenis perkosaan ini sangat menakutkan, namun  lebih  jarang  terjadi  dari pada perkosaan dimana pelakunya dikenal oleh korban, jenis perkosaan ini dapat dibedakan, yaitu:

1)      Perkosaan beramai-ramai

Seorang perempuan bisa disergap dan diperkosa secara bergiliran oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada kalanya terjadi perkosaan oleh satu orang  tidak  dikenal  kemudian  orang-orang  lain yang menyaksikan kejadian tersebut ikut melakukannya. Seringkali terjadi beberapa orang remaja memperkosa seorang gadis dengan tujuan agar mereka dianggap “jantan” atau untuk membuktikan “kelelakian” nya.

2)      Perkosaan di penjara

Di seluruh dunia banyak perempuan diperkosa oleh polisi atau penjaga penjara setelah mereka ditahan atau divonis kurungan. Bahkan perkosaan juga umum terjadi antar penghuni lembaga pemasyarakatan laki-laki untuk menunjukkan bahwa si pemerkosa lebih kuat dan berkuasa daripada korbannya.

3)      Perkosaan dalam perang atau kerusuhan

Para serdadu yang sedang berada di tengah kancah pertempuran sering memperkosa perempuan di wilayah yang mereka duduki, untuk menakut-nakuti musuh atau untuk mempermalukan mereka. Perkosaan beramai-ramai dan perkosaan yang sistematis (sengaja dilakukan demi memenuhi tujuan politis atau taktis tertentu), misalnya kejadian yang menimpa kaum perempuan Muslim Bosnia. Tujuan perkosaan semacam ini adalah untuk unjuk kekuatan dan kekuasaan di hadapan musuh.

 

5.      Fase reaksi Psikolog

Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.

Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan.

Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan.

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997). Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.

Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus- menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya.

Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.

Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.

Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki insting-insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.

Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.

Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenangan dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati.

Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki-laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.

Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman. Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban. Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama.

Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002). Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain.

Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).

 

6.      Landasan Hukum

 

 

7.      Penatalaksanaan

Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan  memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala.

Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka.

Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang  pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing-masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.

 

 


BAB  III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

 

Agaid, N. 2002. “Penyerangan Seksual Terhadap Anak atau Perlakuan Salah Secara Seksual Terhadap Anak” dalam Training Workshop on Protective Behavior Against Child Sexual Abuse Among Street and Sexually Exploited Children, Jakarta, ICWF-Childhope Asia Philippines, 3-7 Maret 2002. Jakarta.

Blume, L. and Bennie M.S. 2017. Attacking Violence: Prevention and Intevervention.Michigan Family Review, Vol. 2, No. 1.

Delville. 2017. Development of Agression.Biology of Agression. Edited by RandyJ. Nelson.USA: Oxford University Press. p.327-350.

Hayati, E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/trauma-akibat-kekerasan-seksual/#gref diakses pada 31 desember 2020 pukul 15.00 WIB

https://www.alodokter.com/beban-psikologis-dan-kesehatan-korban-pemerkosaan diakses pada 31 desember 2020 pukul 15.00 WIB

Kodir Faqihuddin Abdul. 2008. Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.  Jakarta : Komnas Perempuan

Nutt, David. 2000. Post Traumatic Stress Disorder : Diagnosis, Management and Treatment, London: Martin Dunitz Ltd.

Rifka Annisa Women’s Crisis Center. 2000a. Press Release : Hasil Lokakarya Nasional Menggagas Model-Model Women’s Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta: Hotel Jayakarta, 6 Juli.

Suryabrata, S. 1995. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Umar Farok Peri. 2008. Tindak Pidana Kekerasan  Dalam  Rumah Tangga. Jakarta : Literacy & Publication Solutions

Warshaw, R. 1994. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and Communication, Inc.