Tuesday 12 March 2019

Asuhan Keperawatan Pada Nn. R dengan Head Injury Grade III

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri atas otak dan korda spinalis. Sistem saraf tepi (SST) terdiri atas saraf sensorik dan motorik. Saraf sensorik terdiri dari serabut aferen. Saraf motorik terdiri atas serabut eferen, yang bersifat somatic (volunter, dikendalikan kehendak) dan otonom (involunter, tidak dipengaruhi kehendak). Pusat bawah terletak dalam korda spinalis, pusat atas berada diotak.
Secara anatomis otak dibagi atas otak besar (bagian besar) dan batang otak (di bawah otak besar). Otak besar berfungsi melayani kebutuhan saraf tinggi seperti persepsi, kendali motorik, emosi, kognisi dan bahasa. Otak besar terdiri atas 4 lobi : lobis fronkalis, oksipikalis, parietalis dan temporalis (Ratna, 1996).
Pada orang dewasa tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intrakronial. Tulang terdiri dari dua dinding atau tabula eksterna dan bagian dalam disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea arterial, media dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial yang diakibatnya yang tertimbun dalam tulang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal (Price & Wilson, 2005).
Otak dibungkus oleh selaput yang disebut dengan selaput meningen, meningen terdiri dari tiga lapisan yaitu yaitu dura meter, pia meter dan selaput arakhnold. Dura meter merupakan selaput yang keras, terdiri dari jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dan kronium. Karena tidak melekat erat pada permukaan dalam dan kronium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara dura meter dan arakhnoid. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang barjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural-arteria-arteri meningea terletak antara dura meter dan permukaan dalam dari kronium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri dan menyebabkan perdarahan epidural. Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, selaput ini terletak antara pia meter sebelah dalam dan dura meter sebelah luar, perdarahan subarakhoid umumnya disebabkan oleh cedera (State of Victoria, 2008).
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS dibagi menjadi tiga, yaitu : pertama cederakepala ringan, dengan GCS bernilai 14-15, tidak ada kehilangan kesadaran, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala, tidak ada kriteria cedera sedang atau berat. Kedua cedera kepala sedang dengan GCS 9 -13, amnesia pasca trauma muntah, tanda kemungkinan fraktur kronium, kejang. Ketiga, Head Injury Grade III, dengan GCS bernilai 3 – 8, penurunan derajat kesadaran secara progresif, tanda Geulima I (Saraf)s fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kronium (Mansjoer, 2000).
Head Injury Grade III merupakan cedera kepala dimana otak mengalami, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas, pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat (Smeitzer & Bare, 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami Head Injury Grade III adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakronial (TIK). Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) ditandai dengan perubahan kesadaran, kelainan Geulima I (Saraf)s sebagai akibat dari kecelakaan (Smeltzer, 2001).
Perawatan awal pada pasien Head Injury Grade III ditujukan pada pengamanan jalan nafas dan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai. CT Scan kepala merupakan metode pemeriksaan radioologi terpilih untuk mengevaluasi pasien cedera kepala kriteria untuk melakukan intervensi bedah adalah memburuknya status Geulima I (Saraf) secara cepat (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan Head Injury Grade III seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun  sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi dan tekanan intra kronial meningkat (Mansjoer, 2000).
Pada Head Injury Grade III setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi bedah saraf segera (Hematoma intrakronial yang besar). Hematoma intrakronial adalah pengumpulan darah 25 ml atau lebih dalam parenkim otak. Untuk mengevaluasi bekuan darah tersebut maka dilakukan tindakan kraniotami (Smeltzer, 2001).
Berdasarkan data yang diperoleh dari buku Register Ruang Rawat Inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mulai Oktober 2008 – September 2009 jumlah total pasien yang dirawat inap di ruang Geulima I (Saraf) adalah 1.427 orang, yang mengalami Head Injury Grade III 55 orang (4%).
Berdasarkan uraian diatas dan jumlah angka kecelakaan yang terjadi serta komplikasi yang mungkin timbul, maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Nn. R dengan Head Injury Grade III di Ruang Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif pada pasien dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
2.      Tujuan Khusus
a.       Melakukan pengkajian keperawatan secara komprehensif pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
b.      Menegakkan diagnosa keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
c.       Menyusun rencana tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sesuai dengan masalah keperawatan.
d.      Melaksanakan tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
e.       Mengevaluasi dan memodifikasi tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
f.       Mendokumentasikan tindakan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

C.           Metode Penulisan Karya Tulis Ilmiah
Metode yang dilaksanakan adalah menggunakan metode studi kasus yaitu rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara tunggal dan intensif. Studi kasus tergantung dari keadaan kasus tetapi tetap mempertimbangkan waktu. Riwayat dan pola perilaku pasien sebelumnya biasanya dikaji rinci (Nursalam, 2003). Hal ini dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut :
1.      Studi Kepustakaan
Mempelajari konsep teoritis melalui berbagai referensi dan literatur yang ada hubungan dengan Head Injury Grade III
2.      Studi kasus
Melalui studi kasus ini penulis langsung melaksanakan asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a.         Wawancara
Berupa proses tanya jawab yang penulis lakukan dengan pasien atau keluarga, perawat dan dokter yang berhubungan dengan masalah kesehatan pasien.
b.         Observasi
Berupa pengamatan langsung terhadap perkembangan pasien dari asuhan keperawatan yang diberikan.
c.         Pemeriksaan fisik dan penunjang
Untuk kasus ini secara khusus dilakukan inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi serta menilai hasil pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan radiologi.
d.        Dokumentasi
Memperlajari data yang sudah didokumentasikan pada status pasien, Head Injury Grade III seperti data penunjang, hasil konsultasi dan catatan perkembangan.
D.    Manfaat Penulisan
1.      Bagi Mahasiswa
a.       Menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang perawatan pasien Head Injury Grade III.
b.      Sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan Diploma III Keperawatan.
2.   Bagi Institusi Pendidikan
a.       Menambah bahan bacaan di perpustakaan
b.      Untuk bahan bacaan atau pedoman khususnya bagi mahasiswa/i keperawatan.
3.   Bagi Instansi Kesehatan, memberi gambaran umum tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Head Injury Grade III.


E.     Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini terdiri dari :
BAB I       :     Pendahuluan, dimana dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat dan sistematika penulisan.
BAB II      :     Tinjauan Kepustakaan, yang membahas tentang konsep dasar teoritis medis tentang gagal ginjal kronik yang menjelaskan tentang pengertian, gejala klinis, patofisiologi, etiologi, dan penatalaksanaan serta konsep dasar teoritis keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Head Injury Grade III.
BAB III    :     Pembahasan, menjelaskan perbandingan antara tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus.
BAB IV    :     Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien Head Injury Grade III.
Daftar Pustaka
Lampiran :
Laporan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik
Riwayat hidup.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A.    Konsep Dasar Teoritis Medis
1.      Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi, 2000).
Cedera kepala merupakan suatu peristiwa yang terjadi mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak serta mengakibatkan kelainan Geulima I (Saraf)s yang serius sebagai akibat dari kecelakaan kenderaan.
Head Injury Grade III adalah gangguan fungsi otak normal akibat trauma tumpul atau tusuk, defisit Geulima I (Saraf)s dapat terjadi karena robeknya substansi  alba, iskhemia dan pengaruh massa karena haemoragik serta edema serebral disekitar jaringan otak (Nettina, 2002).

2.      Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan jatuh, kecelakaan kenderaan bermotor, sepeda, mobil dan kecelakaan pada saat olah raga (Suriadi, 2001).
Penyebab cedera kepala antara lain karena :
a.       Cedera langsung pada tempat terpukul
b.      Cedera tak langsung. Otak disangga secara longgar oleh dura meter dan gerakan kepala yang sangat keras akibat pukulan (cedera akselerasi) atau kepala yang membentur suatu benda (cedera deselerasi) menyebabkan distorsi dan pergerakan otak secara tiba-tiba (Henderson, 1992).

3.      Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan dan morfologi cedera.
1.      Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi aurameter
a.       Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
                             kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b.      Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2.      Keparahan cedera
a.       Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow coma scale, GCS) 14-15
b.      Sedang : GCS 9 – 13
c.       Berat : GCS 3 – 8
3.      Morfologi
a.       Fraktur tengkorak ; kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi
                               Basis : dengan / tanpa kebocoran
Cairan serebrospinal, dengan / tanpa kelumpuhan nervus VII.
b.      Lest intrakranial : Fokal : epideral, subdural, intraserebral.
                              Difus : konkusi ringan, konkusi klasik
Cedera aksonal difus (Mansjoer, 2000).

4.      Patofisiologi
Kerusakan otak cedera hebat terjadi karena otak membengkak akibat perdarahan dan edema yang terjadi. Pembengkakan yang dibatasi oleh tulang tengkorak ini dapat menimbulkan kenaikan tekanan intracranial yang meningkat secara prograrif mempengaruhi cortex cerebri, nervi cranialis khususnya nervus 111 dan akhirnya pusat kardiovaskuler serta respirasi. Kedua pusat ini mengalami kelumpulan yang membawa kematian (Henderson, 1992).

5.      Gejala klinis
Menurut Henderson (1992) gejala klinis dari cedera kepala terdiri dari:
a.       Komosio (commotio cerebri, gegar otak)
Suatu gangguan ringan pada saraf yang menyebabkan penurunan kesadaran yang seketika tetapi untuk sementara waktu. Kepulihan total terjadi kemudian tanpa terlihat adanya gejala kerusakan otak, namun selalu terdapat kehilangan daya ingat akan peristiwa yang baru saja dialami (amnesia retrograde).
b.      Kontusio dan laserasi (memar dan laserasi otak)
Penurunan kesadaran berlangsung dalam dan lama, kecuali bila cedera nya amat terbatas, yakni cedera langsung. Kepulihannya lambat dan acap kali tidak lengkap.
Sedangkan menurut Syamsuhidajat (1997) gejala klinis dari cedera kepala antara lain :
Nyeri kepala merupakan keluhan yang tidak khas yang dapat terjadi baik pada peningkatan tekanan intrakronial maupun akibat peradangan otak dan selaputnya. Penurunan kesadaran merupakan tanda penting dari kenaikan tekanan intrakronial yang mendadak. Tanda kelainan Geulima I (Saraf)k seperti pupil mata an isokor, gangguan sensorik maupun motorik merupakan gejala yang sering ditemukan. Kaku kuduk timbul akibat rangsangan selaput otak. Udema pupila nervus optikus merupakan tanda yang paling meyakinkan.

6.      Pengobatan dan Prognosa
a.       Pengobatan
Diet MB tinggi kalori, tinggi protein, tinggi vitamin, mineral dan tinggi serat dengan kalori 2500 – 3000 kal/hari, vitamin B Komplek, vitamin C untuk pembentukan kalori dan penyembuhan, vitamin D dan multivitamin penting untuk pembentukan kolagen dan penyembuhan luka. Selain itu diberikan obat sesuai instruksi seperti Alinamin, Mertigo, Mefentan, Ensephal pada jam-jam yang telah ditentukan (Carpenito, 1995).
b.      Prognosa
Cedera kepala sering mendapat perhatian besar terutama pada pasien dengan cedera berat dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) sewaktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar, skor pasien 3 – 4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetative, sedangkan pada pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetative hanya 5 – 10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala sering bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, 2000).

7.      Perawatan dan Pencegahan
a.       Perawatan
Menurut Mansjoer (2000) perawatan yang dilakukan yaitu :
Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher dilakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero posterior, lateral dan adontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat dilakukan prosedur sebagai berikut :
1.      Pasang jalur intravena dengan larutan normal salin, NaCl 0,9% atau ringer laktat, cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
2.      Lakukan pemeriksaan hematokrit, periksa darah prefer lengkap, trombosit, kimia darah, glukosa, ureum dan kreatinin, masa protombin, masa tromboplastin parseal dan kadar alkohol bila perlu.
b.      Pencegahan
Lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis, tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis, sebagian cedera medulla spinalis diperburuk oleh penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hipoksia pada jaringan saraf sudah terganggu (Mansjoer. A, 2000).

B.     Konsep Dasar Teoritis Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Identitas pasien
Meliputi umur (sering terjadi pada umur 15-44 tahun), jenis kelamin (sering terjadi pada laki-laki), agama, pekerjaan, tempat tinggal, suku, nomor register dan tanggal masuk (Suriyadi, 2001).
b.      Riwayat Penyakit
1).    Riwayat penyakit sekarang
Hilang kesadaran, kebingungan, iritabel, pucat, mual dan muntah, pusing, nyeri kepala, terdapat hematoma, dan sukar dibangunkan (Suriadi, 2001).
2).    Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada pengaruh riwayat penyakit dahulu dengan timbulnya penyakit sekarang karena trauma kapitis adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kecelakaan (Doenges, 1999).
3).    Riwayat penyakit keluarga
Pasien dengan cedera keppala tidak ada hubungannya dengan penyakit keluarga atau penyakit keturunan (Doenges, 1999).
c.       Pola Fungsional Kesehatan
1).    Pola nutrisi
Head Injury Grade III akan mengalami perubahan pola makan dan pola minum jika terjadi mual, muntah dan gangguan menelan (Doenges, 1999).
2).    Pola istirahat
Pola istirahat pada pasien mengalami gangguan karena nyeri pada kepala, merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, masalah dalam keseimbangan, cedera ortopedi dan kehilangan tonus otot (Doenges, 1999).
3).    Pola eliminasi
            Inkontinensia kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Doenges, 1999).
4).    Pola aktivitas
Pasien tidak dapat melakukan aktivitas karena terganggunnya fungsi motorik (Doenges, 1999).
d.      Data psikologis
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis), cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsive (Doenges, 1999).
e.       Data sosial
Afasia sensorik dan motorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang (Doenges, 1999).
Pasien yang telah mengalami trauma kepala disertai dengan gangguan kemampuan komunikasi, kerusakan ini akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses pikir dan gangguan khusus. Pasien yang telah mengalami trauma dapat menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa (Hudak dan Gallo, 1997).
f.       Data spiritual
Keyakinan yang kuat dan rasa kepercayaan yang tinggi serta motivasi yang kuat merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan program pengobatan dan perawatan yang dilaksanakan (Carpenito, 2000).
g.      Pemeriksaan umum
1.      Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan Head Injury Grade III didapatkan aspek nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu antara 3-8 (Mansjoer. A 2000).
2.      Pemeriksaan Nervus
Pemeriksaan saraf kranial menurut Bates, B (2000) pada Head Injury Grade III
a.       Nervus optikus : didapatkan bahwa reflek pupil terhadap cahaya anisokor.
b.      Nervus fasialis : wajah pasien simetris
c.       Nervus Glossofaringeus dan vagus didapatkan bahwa pasien sukar untuk menelan.
d.      Nervus assesorius didapatkan bahwa pasien dapat memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri dengan baik.
3.      Pemeriksaan Penunjang
                                    Pemeriksaan Laboratorium
Biasanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, hematokrit, ureum pH >7,6 radiologi, biasanya dilakukan pemeriksaan computer comografi otak (ct scan), karena scan memiliki keandalan yang tinggi dalam hal ini dapat ditampilkan secara jelas lokasi dan adanya pendarahan intracranial, edema kontusi udara, serta pergeseran (Listiona, 2000).

2.      Pengelompokan Data dan Diagnosa Keperawatan
Pengelompokan data yang muncul pada pasien Head Injury Grade III menurut Doenges (1999) :
a.       Aktivitas / istirahat
-          Gejala : merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
-          Tanda : perubahan kesadaran, lerargi, hemiparese, quadriplegia, ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot, otot plastik.
b.      Sirkulasi
-          Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c.      Integritas ego
-          Gejala : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
-          Tanda : cemas, mudah tersinggung, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d.     Eliminasi
-          Gejala : inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami gangguan fungsi.
e.      Makanan / cairan
-          Gejala : mual, muntah dan mengalami gangguan selera
-          Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
f.       Neurosensori
-          Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan  sebagian lapang pandang, foto fobia, gangguan pengecapan dan juga penciuman.
-          Tanda   :  perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi / tingkah laku dan memori). Perubahan pupil ( respons terhadap cahaya, simetri ), deviasa pada mata, ketidak mampuan mengikuti. Kehilangan pengindraan, seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetri. Genggaman lemah, tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. Apraksia, hemiparese, quadeplegia. Postur    ( dekortikasi, deserebrasi ). Kejang sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g.      Nyeri / kenyamanan
-          Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, biasanya lama.
-          Tanda : wajah menyeringai respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa istirahat, merintih.
h.      Pernafasan
-          Tanda : perubahan pada nafas ( apnea yang diselingi oleh hiperventilasi ), nafas berbunyi, stidor, tersedak. Ronki, mengi positif ( kemungkinan karena aspirasi ).
i.        Keamanan
-          Gejala : trauma baru / trauma karena kecelakaan
-          Tanda : fraktur / dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccon eye”, tanda battle disekitar telinga ( merupakan tanda adanya trauma ). Adanya aliran cairan ( drainase ) dan telinga / hidung (CSS). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demama, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j.        Interaksi sosial
-          Tanda : afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang – ulang, disartria anomia                                     
k.      Penyuluhan / pembelajaran
-          Gejala : pengguna alkohol / obat lain.

3.      Diagnosa Keperawatan Dan Perencanaan
Adapun rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan menurut Doenges, 1999 terhadap masalah yang muncul :
a.       Perubahan perpusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah otak.
Tujuan :
Perubahan perpusi jaringan serebral dapat diatasi.
Kriteria hasil :  
Mempertahankan tingkat kesadaran normal, mempertahankan kognisi dan fungsi motorik / sensorik.
Intervensi  :
1).   Pantau status  secara teratur
Rasionalisasi : mengkaji  kesadaran dan potensial peningkatan TIK  bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
2).   Pantau tanda – tanda vital
Rasionalisasi : kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan
Vaskularisasi serebral local menyebabkan peningkatan tekanan darah sistemik  dan diikuti penularan tekanan darah diastolik, merupakan tanda peningkatan TIK.
3). Evaluasi keadaan pupil, cacat ukuran, ketajaman dan kesamaan.
Rasionalisasi : menentukan adanya kerusakan batang otak.
4).   Catat adanya reflek-reflek tertentu (seperti menelan, batuk, babinski, dan lain-lain).
5).   Pertahankan kepala dan leher dalam posisi anatomis.
Rasionalisasi : kepala yang miring dapat menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena.
6).   Berikan cairan melalui jalur intravena
Rasionalisasi : dapat mengganti kehilangan cairan melalui pendarahan.
7).   Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasionalisasi : dapat menurunkan hipokservia
8).   Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan.
Rasionalisasi : dapat mempercepat proses penyembuhan
9).   Pantau GDA/ tekanan oksimetri.
Rasionalisasi : menentukan terjadinya acidosis metabolic.
b.      Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera pada pusat pernafasan otak ).
Tujuan : mempertahankan pola pernafasan normal.
Kriteria hasil : bebas sionasis dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
1).    Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
2).    Angkat kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
        Rasionalisasi : untuk memudahkan ekspansi paru / ventilasi paru.
3).    Lakukan penghisapan dengan hati-hati.
        Rasionalisasi : penghisapan dapat membersihkan jalan nafas.
4).    Auskultasi  suara nafas
        Rasionalisasi : untuk mengidentifikasi adanya masalah paru.
5).    Kolaborasi dalam melakukan ronsen toraks
        Rasionalisasi : foto ronsen  melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda – tanda komplikasi yang berkembang.
6).    Berikan oksigen
        Rasionalisasi : memaksimalkan oksigen pada  darah arteri dan membantu pencegahan hipoksia.
c.       Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan defisit Geulima I (Saraf)s
Tujuan :
 Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
Kriteria hasil :
Mendomentrasikan perubahan prilaku /gaya hidup untuk mengkompensasi / defisit hasil.
Intervensi :
1).    Pantau secara teratur perubahan orientasi
        Rasionalisasi : kerusakan serebral bagian atas biasanya mempengaruhi fungsi kognitif.
2).    Observasi  respon prilaku
        Rasionalisasi : selama proses penyembuhan trauma muncul tingkah laku emosi yang labil, prustasi dan apatis.
3).    Berikan kesempatan lebih banyak berkomunikasi
        Rasionalisasi : komunikasi dapat menurunkan frustasi
4).    Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi okupasi, wicara, dan terapi kognitif.
        Rasionalisasi : mempercepat proses penyembuhan dalam berbicara dan kognitif.
d.      Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis dan konflik psikologis
Tujuan :
Mempertahankan orientasi mental dan realita biasanya.
Kriteria hasil :
Mengerti perubahan prilaku, berpatisipasi dalam aturan teurapelitik.
Interverisi :
1).    Cacat tingkat ansietas pasien
            Rasionalisasi : kemampuan berkonsentrasi mungkin memendek menyebabkan potensi terjadinya ansiebas yang mempengaruhi proses pikir pasien.
2).    Berikan penjelasan mengenai prosedur – prosedur tindakan dan berikan informasi tentang proses penyakit.
        Rasionalisasi : kurang pengetahuan dapat menimbulkan ketakutan.
3). Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan konfrontasi.
        Rasionalasasi : menurunkan resiko terjadinya  respon pertengkaran / penolakan.
4).    Anjurkan untuk melakukan teknik relaksi, berikan aktifitas yang beragam.
        Rasionalisasi : dapat membantu untuk memfokuskan kembali perhatian pasien.
5).    Anjurkan pada orang terdekat untuk memberikan berita baru / keadaan keluarga.
        Rasionalasasi : meningkatkan terpeliharanya kontak dengan keadaan yang biasa terjadi yang akan meningkatkan orientasi realitas dan berfikir normal.
e.       Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Tujuan :
Mempertahankan posisi fungsi optimal
Kriteria hasil :
Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit. Mampu beraktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
 Intervensi :
1).    Kaji derajat mobilisasi dengan menggunakan skala ketergantungan (0 – 4).
2).    Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional
        Rasionalisasi : dapat menghindari terjadinya cedera lanjut.
3).    Bantu pasien dalam penggunaan alat mobilisasi.
        Rasionalisasi : dapat mempercepat proses kemampuan mobilisasi.
4).    Berikan matias udara/air.
        Rasionalisasi : menghindari terjadinya dekubitus.
f.       Resiko tinggi berhubungan dengan adanya jaringan trauma.
Tujuan :
Tidak adanya tanda infeksi
Kriteria hasil :
Mencapai penyembuhan tepat waktu.
Intervensi :
1).   Berikan perawatan aseptic dan antiseptic dan pertahankan teknik cuci tangan yang baik
      Rasionaslisasi : dapat menghindari terjadinya infeksi nasokomial
2).   Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan
      Rasionalisasi : deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

3).   Pantau suhu tubuh secara teratur
      Rasionalisasi : dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis
4).   Berikan antibiotik sesuai indikasi
      Rasionalisasi : dapat mempercepat proses penyembuhan, mencegah terjadinya infeksi.
g.      Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan kekuatan otot untuk mengunyah
Tujuan :
Pemenuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi, dan nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi :
1).   Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
      Rasionalisasi : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2).   Timbang berat badan sesuai indikasi
      Rasionalisasi : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
3).   Konsultasi dengan ahli gizi
      Rasionalisasi : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi.
4).   Berikan makanan melalui oral atau NGT
      Rasionalisasi : fungsi saluran cerna biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala
5).   Akultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya/suara yang hiperaktif
      Rasionalisasi : fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala, jadi bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi, seperti paralitik ileus.
h.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional.
Tujuan :
Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan cepat.
Kriteria hasil :
Perubahan proses keluarga tidak terjadi.
Intervensi :
1).   Anjurkan keluarga untuk mengemukakan hal-hal yang menjadi perhatian tentang keseriusan kondisi.
      Rasionalisasi : pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas.
2).  Dengarkan keluhan pasien
      Rasionalisasi : mendengarkan keluhan dapat meningkatkan rasa kepercayaan.
3).   Libatkan keluarga dalam perencanaan keperawatan.
      Rasionalisasi : memungkinkan keluarga untuk menjadi bagian integral dan rehabilitasi dan memberikan rasa kontra.
4).   Berikan dukungan terhadap keluarga yang merasa kehilangan anggotanya.
      Rasionalisasi : dukungan dapat meningkatkan rasa kepercayaan.
i.        Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi.
Tujuan :
Mengerti tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi.
Kriteria hasil :
Mampu melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar, pengungkapan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan potensial komplikasi.
Intervensi :
1).   Evaluasi kemampuan pasien
      Rasionalisasi : memungkinkan kemampuan tentang pemahaman pasien tentang penyakit yang dialami sekarang.
2).   Berikan informasi yang berhubungan dengan trauma.
      Rasionalisasi : meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
3). Berikan intruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya.
      Rasionalisasi : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
4).   Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan dini.
      Rasionalisasi : berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual.
  1. Implementasi
Menurut Doenges (1999) sasaran untuk pasien meliputi tetap siap mendapat beberapa bentuk mobilitas, pemeliharaan kesehatan, kulit utuh, tetap siap untuk perubahan keadaan pasien terutama perubahan berupa indikasi peningkatan tekanan intrakranial, mempertahankan tanda-tanda vital mengarah pemulihan, mencegah komplikasi, dan meningkatkan pemulihan yang menyeluruh. Biopsika-sosial dan spiritual semaksimal mungkin dengan mengajak keluarga bekerja sama dalam tahap rehabilitasi, kolaborasi yang erat antara perawat, dokter, tenaga analisi dan ahli gizi.
Prioritas keperawatan
a.       Memaksimalkan perfusi atau fungsi cerebral
b.      Mencegah atau meminimalkan komplikasi
c.       Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.
d.      Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga.
e.       Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyeakit rencana tindakan dan sumber daya yang ada.

  1. Evaluasi
Menurut Doenges (1999), hasil yang diharapkan adalah :
a.       Perubahan perfusi jaringan serebrial tidak terjadi
b.      Perubahan pola pernafasan tidak terjadi
c.       Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi bersepsi
d.      Mempertahankan orientasi mental dan realita biasanya
e.       Mempertahankan fungsi optimal
f.       Tidak adanya tanda infeksi
g.      Pemenuhan nutrisi terpenuhi
h.      Mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat
i.        Mengerti tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi.











BAB III
PEMBAHASAN

            Pada bab ini penulis akan membahas kasus tentang asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus Head Injury Grade III di ruang rawat inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, mulai 14 Oktober sampai dengan tanggal 17 Oktober 2009 yang dihubungkan dengan teori-teori terkait. Data penulis peroleh dari sumber sekunder (keluarga, keperawatan atau kesehatan, disamping dan catatan medis lainnya), sedangkan data sumber primer yaitu data dan keluhan pasien sendiri. Agar lebih terarah pembahasan ini penulis lakukan secara sistematis sesuai dengan tahap-tahap proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

A.    Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data, dan berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Berdasarkan pengkajian yang penulis lakukan pada tanggal 14 Oktober 2009 didapatkan data sebagai berikut : pasien bernama Nn. R berumur 19 tahun jenis kelamin perempuan, agama Islam belum menikah, suku Aceh, pendidikan kuliah, pekerjaan swasta, alamat Geumpang, Sigli, di rawat di Ruang Rawat Inap Geulima I (Saraf) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin tanggal 10 Oktober 2009 dengan diagnosa medis Head Injury Grade III.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada manusia dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (tabrakan otomobil), akibat trauma tumpul seperti terjatuh atau terpukul dan cedera tembus seperti luka tembus peluru (Mansjoer, 2000).
Keluhan utama yang dirasakan oleh Nn. R menurut keterangan dari keluarga adalah pasien gelisah, sering mengeluh pusing kepala dan terdapat hematoma kepala.
Keluhan utama yang dirasakan oleh Nn. R dengan trauma kepala seperti tersebut diatas sesuai dengan teoritis yang dikemukakan oleh Pahria (1996) dimana umumnya pasien dengan trauma kepala datang ke rumah sakit dengan keluhan penurunan kesadaran, bingung muntah, sakit kepala dan lemah.
Pada riwayat penyakit sekarang menurut keterangan keluarga pasien pada tanggal 7 Oktober 2009 pulang dari kuliah mengalami kecelakaan lalu lintas pasien mengalami penurunan kesadaran, gelisah dan meraung-raung.
Penurunan kesadaran yang dialami oleh Nn. R di atas disebabkan oleh terjadinya gangguan aliran darah ke otak akibat trauma kepala yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Smeltzer (2001), bahwa pasien cedera kepala mengalami penurunan tingkat kesadaran disebabkan karena tersumbatnya aliran darah ke otak yang menyebabkan kurangnya oksigen dan glukosa sehingga perfusi jaringan otak terganggu.
Pada riwayat penyakit dahulu keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien belum pernah mengalami kecelakaan seperti ini, hanya sakit biasa saja. Menurut Doenges (1999), tidak ada hubungannya riwayat penyakit dahulu, penyakit keluarga/keturunan dengan kasus cedera kepala.
Pada pengkajian pola kebiasaan sehari-hari, sebelum dirawat pasien makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur-sayuran, lauk-pauk dan terkadang ditambah dengan buah-buahan. Selama dirawat keluarga pasien mengatakan pasien hanya sanggup makan nasi 2 sendok tipa porsi yang disediakan ditambah dengan snack lainnya. Menurut Doenges (1999), pada pasien dengan trauma kepala, gangguan pola makan salah satunya diakibatkan oleh kesulitan menelan dan otot mengunyah lambat, karena ada gangguan pada glossfaringeal, jadi tidak ada perbedaan kasus dengan teoritis.
Pola minum, sebelum dirawat keluarga mengatakan pasien minum 8 – 9 gelas sehari, selama dirawat pasien hanya 5 – 6 gelas air putih sehari. Menurut teoritis kebutuhan cairan bagi tubuh orang dewasa perhari adalah 1500 – 3500 cc/hari (Elizabeth, 2000).
Pada pengkajian pola aktivitas, menurut keterangan keluarga pasien sebelum sakit beraktivitas dengan baik, namun selama dalam rawatan pasien bedrest total dan semua kebutuhan pasien seperti makan, minum berpakaian dan lain-lain sangat tergantung pada keluarga dan perawat, tingkat ketergantungan adalah : 4.  Menurut Doenges (1999),    keterbatasan aktivitas
  disebabkan oleh kelemahan fisik penurunan kesadaran. Untuk mengukur tingkat aktivitas seseorang digunakan skala tingkat ketergantungan 0–4 dengan kategori :
-                 0 : pasien mampu mandiri
-                 1 : memerlukan bantuan atau peralatan minimal
-                 2 : memerlukan bantuan dengan pengawasan atau diajarkan
-                 3 : memerlukan bantuan dengan peralatan terus-menerus dan alat khusus
-                 4 : tergantung secara total pada pemberian pelayanan keperawatan.
Berdasarkan tinjauan kasus ketergantungan Nn. R kepada orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan proses perawatannya maka dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungan Nn. R berada pada skala 4 karena segala kebutuhan Nn. R harus dibantu oleh orang lain baik keluarganya maupun perawat.
Pada pengkajian pola istirahat/tidur, menurut keterangan keluarga bahwa sebelum dirawat pasien tidur 8 – 9 jam sehari dan kadang-kadang juga tidur siang. Selama dirawat kelurga mengatakan pasien tidak mengalami gangguan pola tidur, yaitu pasien tidur 7 – 8 jam sehari.
Secara teoritis kebutuhan istirahat atau tidur pada orang dewasa ada 7 – 9 jam sehari, pada tinjauan kasus ditemukan tidak adanya gangguan dimana Nn. R istirahat atau tidur 7 – 8 jam per hari.
Pada pola eliminasi, menurut keterangan keluarga pasien belum dirawat BAB 1 – 2 x sehari dengan konsistensi lunak, berwarna kuning dan berbau khas, dan BAK 3 – 4 x sehari dengan warna yang kuning dan berbau khas. Namun selama dirawat keluarga pasien mengatakan bahwa pasien BAB 2 hari 1 x dengan konsistensi keras, berwarna kuning dan berbau khas, BAK pasien selama dirawat melalui kateter karena tidak bisa ke kamar mandi, dan haluaran urin dalam satu hari sebanyak 1500 cc dengan warna kuning dan berbau khas.
Secara teoritis warna normal feses adalah coklat dan frekuensinya bervariasi dari 1 – 3 kali per hari dan warna normal urine kuning atau jernih, haluaran urine dalam 24 jam adalah 1200 – 1500 ml, feses berkisar antara 100-400 gram setiap harinya atau bervariasi sesuai dengan diit (Hidayat, 2005).
Pada tinjauan kasus ditemukan ada dan tidak sesuai dengan tinjauan teoritis dimana Nn. R buang air besar atau BAB 2 hari 1 x dan buang air kecil normal yaitu 1500 cc/hari.
Pada personal hygiene pasien, sebelum dirawat keluarga mengatakan pasien mandi dan menyikat gigi 2 kali sehari dengan memakai sabun dan odol keramas 3 kali dalam seminggu dengan menggunakan shampoo. Selama dirawat keluarga mengatakan pasien jarang dimandikan hanya diseka sesekali oleh kelurga dan perawat dengan kain basah dan tanpa menggosok gigi.
Menurut teoritis personal hygiene adalah tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Carpenito, 2000).
Pada tinjauan kasus ditemukan personal hygiene yang kurang baik pada Nn. R disebabkan karena ketidak mampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri akibat kelemahan dan penurunan kesadaran yang dialaminya.
Data psikologis pada saat pengkajian, keluarga mengatakan pasien gelisah dan meraung-raung dengan berkata bahwa yang dapat menyembuhkannya hanya Allah SWT.
Data sosial, menurut keterangan keluarga bahwa pasien adalah salah seorang anak dari 4 bersaudara, pasien orang yang ramah dan baik dalam keluarga maupun dalam berhubungan dengan masyarakat sekitar tempatnya. Pasien menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari dirumah, selama dirawat pasien bersikap acuh tak acuh, kurang perhatian dan tampak gelisah.
Sedangkan data spiritual, menurut keterangan keluarga, sebelum dirawat pasien rajin melaksanakan ibadah shalat 5 waktu dan mengaji bersama adik-adiknya. Selama dirawat pasien tidak dapat melaksanakan ibadah seperti biasanya berhubung dengan kondisi pasien yang lemah.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan baik melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan aukultasi ditemukan data sebagai berikut : keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 78 x/i , respirasi 22 x/i dan suhu 36,3 oC. Pemeriksaan fisik meliputi : kepala : rambut hitam, bentuk simetris, adanya memar di kepala. Wajah : simetris, mata; konjungtiva pucat, skleura tidak ikterik, reaksi pupil terhadap cahaya normal. Hidung ; bentuk simetris, tidak ada serumen. Telinga; bentuk simetris, serumen tidak ada dan tidak ada kelainan. Mulut; bentuk simetris, mukosa mulut kering, gigi lengkap dan kebersihan gigi kurang. Leher bentuk simetris, pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, dan dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan. Thorak bentuk simetris, pergerakan dada normal, BJ I > BJ II (dalam batas normal). Abdomen bentuk simetris, tidak ada distensi dan tidak ada nyeri tekan. Ekstremitas atas dan bawah, kanan dan kiri sama panjang, tidak ada cacat, terdapat luka lecet yang telah mengering tidak ada udema dan sianosis. Genitalia tidak ada kelainan, kateter terpasang, kebersihan bersih.
Dan hasil pemeriksaan Geulima I (Saraf)s data yang penulis dapatkan yaitu Glasgow Coma Scale (GCS) E = 3 membuka mata bila ada rangsangan suara/dipanggil, M = 2 timbul ekstensi abnormal bila dirangsang nyeri, V = 3 dengan rangsangan hanya ada kata-kata tapi tidak berbentuk kalimat. Secara teoritis GCS normal 15, dimana (E = Eye) membuka mata spontan = 4 membuka mata terhadap bicara = 3, membuka mata terhadap rangsangan nyeri = 2, tidak ada reaksi = 1, (M = Motorik), menuruti perintah = 6, menunjuk lokasi nyeri = 5, reaksi menghindar = 4, reaksi fleksi = 3, reaksi ekstensi = 2, tidak ada reaksi = 1, dan (V = verbal) bicara baik = 5, disorientasi waktu, tempat dan orang = 4, bicara kacau = 3, hanya suara mengerang = 2, tidak ada jawaban = 1 (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan kekuatan otot atas dan bawah (kiri dan kanan) didapat hasil 5. Secara teoritis score tertinggi derajat kekuatan otot 5 dan terendah 0, dengan menggunakan range derajat kekuatan obat 0 – 5, O paralisis sempurna, 1 tidak ada kontraksi dengan sedikit topangan, 3 dapat melawan gravitasi tanpa tahanan, 4 dapat melawan gravitasi bumi dengan sedikit tahanan, 5 dapat melawan gravitasi bumi dengan tahanan penuh (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan reflek fisiologis didapat hasil : (++) normal. Secara teoritis, simbol yang digunakan dalam pemeriksaan reflek yaitu : (0) arefleksi (tidak ada kontraksi), ( + ) hynorefleksi (ada kontraksi tidak ada pergerakan sendi), (++) reflek normal, (+++) hyperrefleksi (kontraksi otot dan pergerakan sendi yang berlebihan) (Smeltzer, 2001).
Pada pemeriksaan nervus kronial yang penulis dapatkan dari Nn. R dimulai dari Nervus I  sampai Nervus XII adalah Nervus I. Pasien berespon terhadap benda yang diciumkan ke hidungnya, Nervus II pasien dapat melihat dengan baik, Nervus III pergerakan mata secara bersamaan terkoordinir, Nervus IV pergerakan mata ke bawah dan ke atas baik, Nervus V pergerakan otot mengunyah lambat, Nervus VI pergerakan mata kearah samping kiri dan kanan baik, Nervus VII pasien mampu memperlihatkan giginya, Nervus VIII pasien dapat mendengar dengan baik, Nervus IX pasien dapat menelan dengan baik, Nervus X ucapan pasien kurang jelas, Nervus XI pasien mampu mengangkat tangan dan bahu dan Nervus XII pasien mampu menjulurkan lidah.
Secara teoritis saraf kronial, terbagi atas 12 yaitu Nervus Afaktorius merupakan syaraf pada hidung yang berfungsi sebagai alat penciuman, nervus optikus untuk bola mata yang berfungsi untuk penglihatan, nervus okulomotorius berfungsi sebagai penggerak bola mata dan mengangkat bola mata, nervus troklearis berfungsi untuk memutar mata, nervus trigeminus berfungsi unuk kelopak mata atas, nervus trigeminus berfungsi untuk rahang atas, nervus mandibularis berfungsi untuk rahang bawah dan lidah, nervus abdusen untuk mata yang berfungsi sebagai penggoyang sisi mata, nervus fasialis untuk menggerakkan lidah, nervus vestibularis untuk rangsangan pendengaran, nervus glossofaringeus untuk faring, laring, paru-paru dan esofagus, nervus fagus untuk tonsil dan lidah / berbicara dengan baik, nervus asesorius untuk leher dan bahu dan nervus hipoglassus untuk gerakan lidah dan cita rasa (Syaifuddin, 2006).
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Nn. R diperoelh hasil Hb : 9,7 gr/dl, leukosit : 11,4 103/ui, LED : 47, hematokrit : 30 %, creatin darah : 0,7, trombosit : 396 103/ui.
Menurut tinjauan teoritis pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui kemungkinan Hb meningkat menunjukkan adanya hemokonsentrasi akibat dehidrasi atau penurunan menunjukkan adanya anemia, leukosit meningkat merupakan adanya infeksi. Hematokrit menurun menunjukkan adanya trauma, glukosa meningkat menunjukkan adanya penyakit diabetes mellitus, peningkatan trombosit mengidentifikasikan adanya perdarahan akut (Hidayat, 2005).
Pada penatalaksanaan medis yang dilakukan pada Nn.R dengan Head Injury Grade III adalah pemberian infus RI dengan kecepatan 20 tetes per menit, yang bertujuan untuk memberikan kebutuhan cairan tubuh dan zat-zat makanan, ranitidine 1 Amp/12 jam untuk mencegah terjadinya peningkatan asam lambung, novalgin 1 Amp/12 jam, Nicholin 1 Amp/12 jam dan cefriaxone 1 gr / 12 jam.
Berdasarkan pengkajian diatas, didapatkan analisa data sebagai berikut : data subjektif keluarga mengatakan pasien sering merintih, memegang kepala dan selalu mengeluh pusing, data objektif adanya memar di kepala, pasien tampak gelisah, kesadaran apatis.
Data subjektif keluarga mengatakan pasien hanya tidur berbaring di tempat tidur, aktivitas dibantu keluarga, data objektif bedrest, tangan kanan dan kaki kanan diikat, kurang perawatan diri, k/u : lemah, skala ketergantungan 4, masalah keperawatan yang timbul adalah gangguan ADL dengan etiologi penurunan tingkat kesadaran.
Data subjektif keluarga mengatakan pasien nafsu makannya kurang, tidak mampu mengunyah, data objektif hanya menghabiskan ¼ dari porsi yang disediakan, sehingga masalah keperawatan yang timbul adalah perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan etiologi otot mengunyah lambat dan anoreksia.

B.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status individu dan perubahan pola) dan individu atau kelompok dimana keperawatan secara akuntabilitas dapat mengidentifikasikan dan memberi intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan manurun, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito, 1999).
Berdasarkan analisa data maka diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus Nn. R sesuai prioritas masalah adalah perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan terhambatnya aliran darah ke otak, gangguan ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
Menurut teoritis, diagnosa yang mungkin timbul pada pasien dengan cedera kepala antara lain adalah sebagai berikut : gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan terhambatnya aliran darah ke otak, edema otak, hipoksia, gangguan metabolik, tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, perubahan perfusi sensori, penglihatan, pendarahan pada mata, kerusakan saraf berhubungan dengan kerusakan defisit trauma Geulima I (Saraf), gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi saraf motorik, gangguan proses fikir berhubungan dengan kerusakan psikologis, konflik psikologis, perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan kesadaran atau kesukaran menelan, defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi, kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, ganguan rasa nyaman, nyeri vertigo dan pusing berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan pendarahan otak atau peningkatan intrakranial (Doenges, 1999).
Apabila dibandingkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa yang dikemukakan oleh Doenges, jelaslah bahwa tidak semua diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala data ditemukan di lahan praktek seperti kurang pengetahuan. Hal ini disebabkan tidak terdapat data yang mendukung untuk penegakan diagnosa keperawatan.

C.    Tahap Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap selanjutnya setelah pengkajian dan penentuan diagnosa keperawatan. Perencanaan yang ditujukan perawat untuk mengatasi, mencegah, mengurangi dan memantau masalah kolaboratif (Carpenito, 1999).
Perencanaan yang diberikan pada Nn. R berdasarkan masalah yang timbul dan disesuaikan dengan tinjauan teoritis dari Doenges (1999) yaitu perubahan perfusi jaringan cerebral dengan terhambatnya aliran darah ke otak, tujuan yang diharapkan adalah fungsi serebral meningkat dengan kriteria hasil GCS normal, intervensi keperawatan yang dapat diberikan adalah lihat pucat, sianosis, kulit dingin, catat kekuatan nadi.
Untuk diagnosa gangguan ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran, tujuan yang diharapkan adalah tercapainya peningkatan kebutuhan ADL terpenuhi dengan kriteria hasil pasien mampu beraktivitas secara mandiri. Rencana tindakan keperawatan yang dapat diberikan antara lain adalah kaji kemampuan dan tingkat ketergantungan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari  dengan menggunakan skala ketergantungan, rasionalnya mengidentifikasi kekuatan/kelemahan, dapat memberikan informasi mengenai pemulihan, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, bantu melakukan latihan rentang gerak sendi aktif/pasif, rasionalisasinya arah baring yang terlalu lama dapat menurunkan kemampuan aktivitas pasien, ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang menganggu periode istirahat, ubah posisi tidur dengan sering, rasionalnya menurunkan resiko terjadinya trauma/iskemik jaringan dan kaji respon pasien terhadap aktivitas, rasionalnya menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.
Untuk diagnosa perubahan pada nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan dan anoreksia, tujuan yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan nutrisi dengan kriteria hasil nafsu makan pasien dan adanya perubahan dalam pemilihan cara pemberian makanan menjadi makanan lunak atau makanan biasa.
Rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah kaji kemampuan pasien dalam mengunyah dan menelan, rasionalnya untuk menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi, aukultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif, rasionalnya untuk membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus, dan anjurkan pada keluarga untuk memberikan makanan sonde sesuai jadwal, rasionalnya meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan.

D.    Implementasi Keperawatan

Menurut Doenges (1999) yaitu :
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. R untuk diagnosa perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan terhambatnya aliran darah ke otak, adalah melihat kondisi pasien sianosis, kulit dingin/lembab, mencatat kekuatan nadi dengan memantau keadaan pasien setiap 1 jam sekali.
Pada diagnosa gangguan ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran, tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. R adalah mengkaji kemampuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan skala ketergantungan 0 – 4, dimana didapatkan bahwa tingkat ketergantungan pasien berada pada skala 4, yaitu pasien mengalami ketergantungan total kepada orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhannya sehari-hari, meningkatkan aktivitas pasien secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pasien seperti melakukan gerakan sendi aktif/pasif  pada anggota tubuh yang tidak sakit seperti menggerak-gerakkan tangan, leher, bahu dan pergelangan tangan 3 – 4 kali sehari. Menjelaskan kepada keluarga tentang manfaat latihan aktif/pasif yang dilakukan pada pasien dan memberikan contoh pergerakan aktif/pasif yang mungkin dilakukan pada pasien untuk dapat dipraktekkan kembali oleh keluarga, mengubah posisi tidur pasien dengan sering, seperti mengubah posisi dalam posisi sim kanan dan sim kiri serta mengkaji respon pasien terhadap aktivitas yang diberikan kepadanya.
Untuk diagnosa perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan otot mengunyah lambat dan anoreksia adalah mengkaji kemampuan pasien untuk membuka mulut dan mengunyah, menganjurkan pasien untuk makan makanan yang tinggi kalori dan mudah dicerna, dan memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering kepada pasien serta memberikan penjelasan kepada pasien tentang; pentingnya nutrisi bagi tubuh dan dampak dari kekurangan zat gizi bagi kesehatan tubuh.

E.     Evaluasi
Menurut Doenges (1999) pada tahap evaluasi yang diharapkan adalah pada tinjauan teoritis dengan tinjauan kasus tidak berbeda jauh, terutama dalam tuntutan rencana keperawatan yang dibuat. Adapun evaluasi yang diharapkan pada tinjauan teoritis yaitu :
  1. Perubahan perfusi jaringan serebral, evaluasi yang diharapkan adalah keadaan pasien dengan faktor-faktor yang muncul tidak terjadi dengan kriteria hasil GCS pasien normal.
  2. Gangguan ADL, evaluasi yang diharapkan adalah pasien mengalami peningkatan kebutuhan secara mandiri dengan kriteria hasil; pasien mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara mandiri.
  3. Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil status nutrisi pasien meningkat dan adanya perubahan dalam pemilihan cara pemberian makanan dari cair menjadi makanan lunak atau makanan biasa.
Pada tinjauan kasus evaluasi  atau hasil yang didapat secara langsung dari pasien yaitu :
  1. Perubahan perfusi jaringan serebral evaluasi yang didapatkan yaitu pasien tampak sedikit rileks, GCS = 9, kesadaran apatis, sehingga disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian dan tindakan keperawatan dilanjutkan.
  2. Gangguan ADL, hasil yang didapatkan yaitu pasien belum mampu berkativitas secara mandiri, aktivitas pasien dibantu oleh keluarganya, perawat, keadaan umum pasien sedang dan skala ketergantungan pasien masih berada pada skala 3, masalah belum teratasi sebagian dan tindakan keperawatan dilanjutkan.
  3. Perubahan pemenuhan nutrisi, hasil yang didapatkan yaitu keadaan umum pasien sedang, infus masih terpasang, sudah sanggup menghabiskan ½ dari porsi yang disediakan ditambah lagi dengan snack, meskipun masih tidak bisa mengunyah dengan baik. Masalah teratasi sebagian, rencana tindakan dilanjutkan.





    
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian yang telah ditemukan dalam laporan studi kasus pada Nn. R maka dengan ini penulis mengambil beberapa kesimpulan dan saran dengan harapan adanya suatu peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan pada pasien dimasa yang akan datang.
A.    Kesimpulan
1.      Dari hasil pengkajian diperoleh data-data pada Nn. R yaitu antara lain sebagai berikut; keadaan umum sedang kesadaran apatis tidak dapat berbicara, nilai GCS 8, bedrest total, kebutuhan sehari-hari dibantu sepenuhnya oleh orang lain, tingkat ketergantungan kepada orang lain berada pada skala 4.
2.      Masalah keperawatan yang timbul pada Nn. R adalah perubahan perpusi jaringan selebral berhubungan dengan terhambatnya aliran darah ke otak gangguan ADL berhubungan dengan kelemahan penurunan kesadaran, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
3.      Intervensi keperawatan pada Nn. R dilakukan berdasarkan masalah yang didapat dan tujuan yang diinginkan, yang mencakup antara lain memberikan tindakan untuk memenuhi kebutuhan pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, melakuakan tindakan untuk meningkatkan derajat kebersihan dan perawatan diri pasien.
4.      Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada Nn. R yaitu sesuai dengan diagnosa yang muncul. Pada diagnosa perubahan perfusi jaringan selebral berhubungan dengan terhambatnya aliran darah ke otak tindakan keperawatan yang dilakukan antara lain adalah adalah melihat kondisi pasien, sianosis, kulit dingin mencatat kekuatan nadi dengan memantau keadaan pasien 1 jam sekali. Pada diagnosa ADL berhubungan dengan penurunan kesadaran, tindakan yang dilakukan antara lain adalah mengkaji kemampuan dan tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya, meningkatkan aktifitas pasien secara bertahap sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pasien, menjelaskan kepada keluarga tentang mamfaat latihan aktif dan pasif yang dilakukan kepada pasien, mengubah posisi tidur dengan sering dan mengkaji respon pasien terhadap aktifitas yang diberikan kepadanya pada diagnosa perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh, tindakan yang dilakukan antara lain adalah mengkaji kemampuan pasien untuk menelan dan mengunyah, mengatur posisi kepala pasien pada saat memberikan makanan. Mengkaji kemampuan pasien untuk membuka mulut dan mengunyah, memberikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering kepada pasien dan melakukan kolaborasi dengan tim gizi.
5.      Hasil evaluasi yang didapat berdasarkan asuhan keperawatan pada Nn. R dengan kasus cedera kepala sedang selama tiga hari adalah : perubahan perfusi jaringan cerebral teratasi sebagian sehingga tindakan tetap dilanjutkan, gangguan ADL belum teratasi sehingga rencana tindakan keperawatan dilanjutkan. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh masalah teratasi sebagian tindakan keperawatan tetap dilanjutkan.
B.    Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang mungkin bermanfaat dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus cedera kepala sedang sebagai berikut :
1.      Diharapkan kepada mahasiswa agar lebih meningkatkan ilmu keperawatan dengan kasus cedera kepala khususnya dan Head Injury Grade III agar lebih mudah dalam hal memberikan asuhan keperawatan.
2.      Kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh diharapkan kepada pemegang kebijakan agar lebih memperhatikan lagi tentang kebutuhan tenaga perawat dan kebutuhan-kebutuhan alat serta barang-barang yang dibutuhkan untuk kelancaran proses pelayanan keperawatan.
3.      Diharapkan kepada seluruh tim kesehatan, khususnya perawat agar dapat mengembangkan diri memperluas wawasan melalui buku-buku media agar dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya dalam merawat pasien dengan Head Injury Grade III.
4.      Diharapkan kepada Akademi agar dapat menambah sarana dan prasarana seperti penambahan buku-buku keperawatan yang menyangkut dengan medikal bedah khususnya kasus Head Injury Grade III.


DAFTAR PUSTAKA


Bater. B 2000, Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Edisi 2,  EGC.

Carpenito LJ. 1999, Diagnosa : Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi 6,  Jakarta EGC.

Doenges, E. M. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, Jakarta. EGC.

Elizabet, J. Corwin, 2000. Patofisiologi, Jakarta EGC.

Henderson, 1992, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Penerbit Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

Hudak dan Gallo, 1997, Keperawatan Kritis, edisi VI Jakarta. EGC.

Listiono Djoko, 1998, Ilmu Bedah Saraf, Edisi III, Jakarta. EGC.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3 Jakarta : Medica Aesculapius.

Nursalam. 2001, Proses Dokumentasi Keperawatan (Konsep dan Praktik). Salemba Medika, Jakarta.

Price, Sylvia dan Wilson M. 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.

Ratna, 1996, Susunan Saraf Otak Manusia, Jakarta.

Smeltzer, S dan Bare. 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 2 Jakarta: EGC.

Suriadi, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1

S. Taslim, 1999, Buku Ajar Geulima I (Saraf), Jakarta.




No comments:

Post a Comment