Thursday 11 November 2021

ASKEP MENDETEKSI DINI PERDARAHAN PADA KEHAMILAN MUDA

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia pada tahun 2015 adalah 261 per 100.000 kelahiran hidup atau diperkirakan jumlah kematian ibu adalah 303.000 kematian dengan jumlah tertinggi berada di negara berkembang yaitu sebesar 302.000 kematian. Angka kematian ibu berkembang 20 kali lebih tinggi dibandingkan angka kematian ibu di negara maju yaitu 239 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan di negara maju hanya 12 per 100.000 kelahiran hidup, penyabab utama kematian ibu ialah tekanan darah tinggi (hipertensi) dalam kehamilan (32%) serta perdarahan setelah persalinan (20%). Sedangkan AKB mencapai 22 per 1000 kelahiran hidup  (WHO, 2015).

Survei Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2015 dalam Profil Kesehatan Indonesia AKI di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup. Dan AKB  pada tahun 2017 di Indonesia adalah 15 per 1000 kelahiran hidup. Disebabkan berbagai penyakit, seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), panas tinggi hingga diare. Langkah bidan dalam menurunkan penyebab AKI dan AKB  yang mengutamakan kesinambungan pelayanan (continuity of care). Sangat penting bagi wanita untuk mendapatkan pelayanan dari seorang profesional, sebab dengan begitu maka perkembangan kondisi mereka setiap saat akan terpantau dengan baik selain juga mereka menjadi lebih percaya dan terbuka karena merasa sudah mengenal si pemberi asuhan (Walyani, 2016).

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana cara  mengenali dan mengatasi perdarahan pada kehamilan muda ?

C.    Tujuan Umum

1.      Untuk mengetahui karakteristik Perdarahan kepada ibu hamil.

 

 

D.    Tujuan Khusus

1.      Untuk mengetahui umur rata-rata ibu penderita kehamilan ektopik, Abortus, dan blighted ovum

2.      Untuk mengetahui keluhan utama yang di rasakan oleh ibu hamil karena terjadinya perdarahan pada saat kehamilan.

3.      Untuk memberikan asuhan kebidanan terkait masalah perdarahan pada ibu hamil sesuai usia kehamilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.    Abortus

1.      Pengertian abortus

Menurut Prawirohardjo (2012) abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

2.      Patofisiologi

Pada permulaan abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan bagian benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah janin, disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. 

3.      Klasifikasi

Klasifikasi Abortus Menurut terjadinya, Prawirohardjo (2012) membagi abortus menjadi tiga jenis yaitu:

a.       Abortus provokatus  Didefinisikan sebagai prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan baik oleh orang-orang yang tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan atau dalam lingkungan yang tidak memenuhi standar medis minimal atau keduanya.

b.      Abortus terapeutik  Abortus terapeutik adalah abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Pertimbangan demi menyelamatkan nyawa ibu dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis Jiwa. Bila perlu dapat ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait.

c.       Abortus Spontan Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa adanya tindakan apa pun.

d.      Abortus Imminens Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.2

e.       Abortus insipiens Abortus insipiens ialah peristiwa peradrahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih daltam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah. Pengeluaran hasil konsepsi dapat dilaksanakan dengan kuret vakum atau dengan cunam ovum, disusul dengan kerokan. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu biasanya perdarahan tidak banyak dan bahaya peforasi pada kerokan lebih besar, maka sebaiknya proses abortus dipercepat dengan pemberian infus oksitosin.

f.       Abortus inkomplit Abortus inkomplit ialah pengeluaran sebagan hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan pada abortus inkomplit dapat banyak sekali sehingga menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa konsepsi dikeluarkan.

g.      Abortus komplit Pada abortus komplit semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil.

h.      Missed abortion Missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Etiologi missed abortion tidak diketahui, tetapi diduga pengaruh hormon progesteron. Pemakaian hormon progesteron pada abortus imminens mungkin juga dapat menyebabkan missed abortion.2

i.        Abortus habitualis  Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Abortus habitualis disebabkan oleh adanya kelainan yang menetap yang paling mungkin adalah kelainan genetik, kelainan anatomis saluran reproduksi, kelainan hormonal, infeksi, kelainan faktor imunologis atau penyakit sistemik.

j.        Abortus Infeksius, Abortus Septik Abortus Infeksius ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis). Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis. 

k.      Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum) Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suatu kelainan kehamilan yang baru terdeteksi setelah berkembangnya ultrasonografi.

4.      Etiologi

a.      Faktor Janin Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni: Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi); Embrio dengan kelainan local ; Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).

b.      Faktor maternal Infeksi maternal dapat membawa risiko bagi janin yang sedang berkembang, terutama pada akhir trimester pertama atau awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin secara pasti, apakah janin yang terinfeksi atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyebabnya. Penyakit- penyakit yang dapat menyebabkan abortus adalah: Virus, misalnya rubella, sitomegalovirus, virus herpes simpleks, varicella zoster, vaccinia, campak, hepatitis, polio, dan ensefalomielitis. Bakteri, misalnya Klamidia trakomatis, Ureaplasma urelitikum, Bakterial vaginosis, dan Salmonella typhi Parasit, misalnya Toxoplasma gondii, Plasmodium  Penyakit vaskular, misalnya hipertensi vaskular. Kelainan endokrin Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progesterone tidak mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid; defisiensi insulin. Faktor imunologis Ketidakcocokan (inkompatibilias) system HLA (Human Leukocyte Antigen). Kelainan uterus dan serviks  Hipoplasia uterus, mioma (terutama mioma submukosa), serviks inkompeten dan kelainan serviks

c.       Faktor psikosomatik.

5.      Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik, abdomen perlu diperiksa untuk menentukan lokasi nyeri. dengan pemeriksaan inspekulo dan pemeriksaan vaginal toucher kemudian tentukan perdarahan berasal dari dinding vagina, permukaan serviks atau keluar melalui ostium uteri eksterna. Pada pemeriksaan dalam, bila nyeri pada pergerakan serviks (+), kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik perlu dipertimbangkan. Jika ditemukan ostium uteri interna telah membuka, kemungkinan yang terjadi adalah abortus insipiens, inkomplit maupun abortus komplit. Pemeriksaan pada uterus juga perlu dilakukan, tentukan besar, konsistensi uterus serta pada adneksa, adakah nyeri tekan atau massa. Bila didapatkan adanya sekret vagina abdominal, sebaiknya dibuat pemeriksaan biologisnya. Pada kasus abortus, selain menghentikan perdarahannya, perlu dicari penyebab terjadinya abortus dan menentukan sikap dalam  penanganannya selanjutnya. Pemeriksaan penunjang yang dapat kita lakukan antara lain : - HCG, pemeriksaan kadar Hb dan Ht, pemeriksaan golongan darah dan skrining antibody, pemeriksaan kadar progesteron serum.

6.      Penanganan        

a.       Abortus imminens

·         Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik berkurang.

·         Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi kerentanan otot-otot rahim.

·         Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah mati.

·         Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.

·         Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg.

·         Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.

b.      Abortus insipiens

·         Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan transfusi darah.

·         Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuskular.

·         Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.

·         Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.

·         Memberi antibiotik sebagai profilaksis.

c.       Abortus inkomplet

·         Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat yang disusul dengan ditransfusi darah.

·         Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikkan ergometrin 0,2 mg intramuskular untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.

·         Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.

d.      Abortus komplet

·         Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi darah.

·         Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

·         Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin. dan mineral.

 

 

 

 

B.     Molahidatidosa

1.      Pengertian molahidatidosa

Molahidatidosa adalah suatu kehamilan di mana hasil konsepsi tidak berkembang menjadi embrio, tetapi terjadi proliferasi dari villi koriales disertai dengan degenerasi hidropik (Fadlun , 2013).

2.      Etiologi

a.       Umur

Molahidatidosa banyak ditemukan pada wanita hamil yang berusia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.

b.      Genetik

Wanita dengan balanced tranlocation merupakan risiko paling tinggi.

c.       Gizi

Molahidatidosa banyak ditemukan pada mereka yang kekurangan protein,β-carotene, dan vitamin A.

d.      Penggunaan kontrasepsi oral.

Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan resiko terjadinya kehamilan mola hidatidosa.

e.       Paritas tinggi

Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas pada kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang menjadi mola hidatidosa.

f.       Keadaan sosial-ekonomi yang rendah

Keadaan sosial ekonomi akan mempengaruhi terhadap pemenuhan gizi ibu yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan ovum abnormal yang mengarah pada pembentukkan mola hidatidosa (Norwitz, 2012).

3.      Patofisiologi

Uterus adalah organ yang tebal, berotot, berbentuk buah pear, terletak dalam rongga panggul kecil diantara kandung kemih dan anus,ototnya disebut miometrium dan selaput lendir yang melapisi bagian dalamnya disebut endometrium. Peritonium menutupi sebagaian besar permukaan luar uterus, letak uterus sedikit anteflexi pada bagian lehernya dan anteversi (meliuk agak memutar ke depan) dengan fundusnya terletak diatas kandung kencing. Bagian bawah bersambung dengan vagina dan bagian atasnya tube uterin masuk ke dalamnya. Ligamentum latum uteri dibentuk oleh dua lapisan pertoneum, di setiap sisi uterus terdapat ovarium dan tuba uterina. Panjang 5-8 cm dengan berat 60-80 gram. Uterus terbagi atas 3 bagian yaitu Fundus : bagian lambung di atas muara uterine, Badan uterus : melebar dari fundus ke serviks, terletak antara badan dan serviks.

Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum, sesudah keluar dari overium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan ovum secara normal terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal berlangsung selama 40 minggu,uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi lebih  tipis tetapi lebih kuat dan membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam rongga abdomen pada masa fetus. Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirkan bayi yang sempurna. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering kali perkembangankehamilan mendapat gangguan. Demikian pula dengan penyakit trofoblast, pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidrifik dari jonjot karion, sehingga menyerupai gelembung yang disebut “Molahidatidosa”.Pada umumnya penderita “Molahidatidosa akan menjadi baik kembali,tetapi ada diantaranya yang kemudian mengalami degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.

4.      Klasifikasi

Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi 2 jenis yaitu :

1.      Molahidatidosa komplet (Klasik), yaitu penyimpanan pertumbuhan perkembangan kehamilan yang tidak  disertai janin dan seluruh vili korialis mengalami perubahan hidropik.

2.      Molahidatidosa inkomplet (Parsial), yaitu sebagian pertumbuhan dan perkembangan vili korialis berjalan dengan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembangbahkan sampai aterm (Nugroho,2013).

5.      Gambaran klinik

a.       Amenorea dan tanda-tanda kehamilan Perdarahan pervaginam berulang.

b.      Darah cenderung berwarna coklat. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.

c.       Mual dan muntah lebih sering terjadi dan durasinya lebih lama.

d.      Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.

e.       Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya DJJ sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih.

f.       Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.

g.      Sesak nafas

h.      Tidak ada aktivitas janin

i.        Kadar hormon korionik gonadotropin (HCG) tinggi dalam darah dan air kencing ibu (Sukarni, 2013).

6.      Diagnosis

Gejala hamil muda yang sangat menonjol.

a.       Emesis gravidarum/hiperemesis gravidarum.

b.      Terdapat komplikasi. Tirotoksikosis (2-5%), Hipertensi/preeklamsia, Anemia akibat perdarahan, pemeriksaan palpasi

c.       Uterus Lebih besar dari usia kehamilan (50%-60%), Besarnya sama dengan usia kehamilan (20–25 %), Lebih kecil dari pada usia kehamilan (5-10% ), Palpasi lunak seluruhnya,  Tidak ada teraba janin. Terdapat  bentuk asimetris. Bagian menonjol agak padat.

d.      Pemeriksaan USG

Sudah dipastikan mola hidatidosa tampak seperti tv  rusak, Tidak terdapat janin, Akan ada kelihatan bayangan badai salju, Tampak sebagaian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin, Genitalia eksternal : pemeriksaan  genetalia eksternal dilakukan inspekulo menggunakan speculum terlihat adanya pengeluaran darah pervaginam dan terlihat gelembung-gelembung mola seperti buah anggur (Esti,2013)

7.      Prognosis

Risiko kematian/kesakitan pada penderita molahidatidosa meningkat karena perdarahan, Perforasi uterus, pre-eklamsia berat atau infeksi. Akan tetapi,kematian karena mola hidatidosa sudah jarang sekali. Sebagaian besar penderita mola hidatidosa akan kembali pada saat kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa berulang dapat terjadi, tetapi jarang. Walaupun demikian 15-20 % dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblast gestasional, baik berupa mola insatif, koriokarsinoma,maupun placental site trophoblast, keganasan ini biasanya terjadi pada satu tahun pertama setelah terjadi mola yang terbanyak adalah enam bulan pertama. Molahidatidosa parsial lebih jarang terjadi keganasan (Sastrawinata, 2012).

8.      Penanganan

a.       Menentukan diagnosa dini

b.      Melakukan pemeriksaan  USG, jika fasilitas pemeriksaan USG terbatas maka dapat dilakukan :

·         Evaluasi klinik

·         Riwayat haid terakhir dan kehamilan

·         Perdarahan tidak teratur atau spotting

·         Pembesaran abnormal uterus

·         Perlunakan serviks dan korpus uterus,Kajian uji kehamilan dengan pengeceran urin, Pastikan tidak ada janin (Ballotement) atau denyut jantung janin

c.       Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera

d.      Antisipasi Komplikasi (perdarahan hebat dan perforasi uterus)

e.       Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1tahun pasca evakuasi)

9.      Penanganan khusus

a.       Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan semestara proses evakuasi berlangsung, berikan infus 10 IU oksitosia dalam 500 ml NS atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara cepat )

b.      Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih amam dari Kuretase tajam, Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai.

c.       Kenali dan tangani komplikasi penyerta seperti tiritoksikosis atau krisis tiroid baik sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi.

d.      Anemia sedang cukup diberikan sulfas ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi.

e.       Kadar Hcg diatas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai risiko tinggi untuk perubahan ke arah ganas, pertimbangan untuk memberikan methatrexale (MTX) 35 mg/kg BB atau 25 mg IM dosis tunggal.

f.       Lakukan pemantauan kadar hCG hingga minimal 1 tahun pascaevakuasi. Kadar yang menetap atau meninggi setelah 8 minggu pascaevakuasi menunjukkan masih terdapat trofoblas aktif (di luar uterus atau invasif ) : berikan kemoterapi MTX dan pantau β-hCG serta besar uterus secara klinik dan USG tiap 2 minggu.

g.      Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomi apabila ingin menghentikan fertilitas.

 

C.    Blighted ovum

1.      Pengertian

Blighted ovum merupakan kehamilan tanpa janin (anembrionik pregnancy) jadi hanya ada kantong gestasi atau kantong kehamilan dan air ketuban saja. Kehamilan anembrionik mengacu pada kehamilan yang dimana kantong kehamilan berkembang didalam rahim namun kantong kosong dan tidak mengandung embrio. Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa embrio berhenti berkembang pada tahap yang sangat awal dan itu kehambali diserap (Sukarni dan Margareth, 2013).

 Blighted ovum juga dikenal sebagai kehamilan tanpa embrio.Pada saat terjadi pembuahan, sel-sel tetap membentuk kantung ketuban, plasenta, namun telur yang telah dibuahi (konsepsi) tidak berkembang menjadi sebuah embrio. Pada kondisi blighted ovum kantung kehamilan akan terus berkembang, layaknya kehamilan biasa, namun sel telur yang telah dibuahi gagal untuk berkembang secara sempurna. Maka pada ibu hamil yang mengalami blighted ovum, akan merasakan bahwa kehamilan yang dijalaninya biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi sesuatu, karena memang kantung kehamilan berkembang seperti biasa (Fransisca, 2014).

2.      Etiologi  Blighted ovum

terjadi saat awal kehamilan. Penyebab dari blighted ovum saat ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena beberapa faktor. Faktor-faktor blighted ovum adalah sebagai berikut (Dwi W, 2013).

a.       Adanya kelainan kromosom dalam pertumbuhan sel sperma dan sel telur.

b.      Meskipun prosentasenya tidak terlalu besar, infeksi rubella, infeksi TORCH, kelainan imunologi, dan diabetes melitus yang tidak terkontrol.

c.       Faktor usia dan paritas. Semakin tua usia istri atau suami dan semakin banyak jumlah anak yang dimiliki juga dapat memperbesar peluang terjadinya kehamilan kosong.

d.      Kelainan genetik 

e.       Kebiasaan merokok dan alkohol. 

3.      Patosisiologi

Pada saat pembuahan, sel telur yang matang dan siap dibuahi bertemu sperma. Namun dengan berbagai penyebab (diantaranya kualitas telur/sperma yang buruk atau terdapat infeksi TORCH, maka unsur janin tidak berekembang sama sekali. Hasil konsepsi ini akan tetap tertanam didalam rahim lalu rahim yang berisi hasil konsepsi tersebut akan mengirimkan sinyal pada indung telur dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon yang dikirimkan oleh hasil konsepsi tersebut akan menimbulkan gejala - gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan lainnya seperti hal umumnya yang dialami ibu hamil ( Sukarni dan Margareth, 2013).

Untuk blighted ovum pada kehamilan awal kehamilan berjalan baik dan normal tanpa ada tanda - tanda kelaina. Kantung kehamilan terlihat jelas,  tes kehamilan urine positif. blighted ovum terdeteksi saat ibu melakukan USG pada usia kehamilan memasuki 7-8 minggu (Sukarni, 2014).

 

 

 

4.      Diagnosis Blighted Ovum

Ada kemungkinan bagi seseorang yang mengalami blighted ovum pada tahap awal kehamilan merasa bahwa dirinya sedang mengalami kehamilan secara normal. Hal ini dikarenakan blighted ovum memiliki gejala yang sama dengan kehamilan, seperti haid yang terlambat disertai hasil tes kehamilan yang positif. Pasien dapat terus merasa dalam keadaan hamil hingga terjadi pendarahan dari vagina. Waspadai gejala selain pendarahan yang dapat menjadi tandatanda keguguran, yaitu volume menstruasi yang lebih banyak dari biasanya, kram pada daerah perut serta munculnya flek. Dokter biasanya akan mencari tahu level hormon hCG (human chorionic gonadotropin) utnuk memastikan adanya kehamilan. Hormon ini dihasilkan oleh plasenta dan levelnya dapat terus bertambah hingga beberapa waktu. Dokter juga akan melakukan tes USG untuk memastikan kantong kehamilan yang telah terbentuk, berisi embrio atau tidak. Biasanya dokter akan melakukan USG kembali sepuluh hari setelah tes USG pertama untuk memantau perkembangan embrio dan kondisi kehamilan. Untuk memastikan diagnosis blighted ovum, kantong kehamilan dan embrio harus memenuhi beberapa kriteria ukuran, yaitu diameter 25 mm atau lebih untuk kantong kehamilan dan tidak memiliki kantung yolk sac (ovum) atau embrio. Gambaran lainnya adalah ketika embrio memiliki panjang lebih dari 15 mm namun tidak memiliki aktivitas jantung yang sehat. Ditegakkan saat usia kehamilan 7 - 8 minggu bila pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai gambaran mudigah maka evaluasi 2 minggu kemudian tapi bila tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan diameter gestasi sudah mencapai 25 mm, maka dinyatakan sebagai kehamilan anembrionik atau blighted ovum.

5.      Penanganan blighted ovum

Untuk penanganan kehamilan pada blighted ovum tidak ada jalan lain kecuali mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim. Caranya bisa dilakukan dengan kuretase atau dengan menggunakan obat. Tetapi kuretase dianggap memiliki kelebihan karena dapat mencegah terjadinya infeksi dan juga pemeriksaan kromosom (Fadillah, 2013). Salah satu prosedur penanganan yang dilakukan setelah seseorang didiagnosis blighted ovum adalah dengan membuka kemudian mengangkat embrio dan jaringan plasenta yang tidak berkembang dari dalam rahim. Prosedur ini dinamakan dilatase dan kuretase.Selain itu, obat-obatan dapat digunakan sebagai pilihan selain prosedur operasi. Kedua cara tersebut memiliki efek samping kram perut. Pasien yang mengalami blighted ovum perlu mempelajari dan mengetahui bahwa dia bukanlah penyebab dari keguguran yang dialaminya. Dirinya sendiri harus menyadari bahwa keguguran adalah proses alami yang tidak bisa dicegah ketika tubuh mendeteksi ketidaknormalan pada proses kehamilan. Dengan memahami hal ini, kesehatan tubuh dan jiwa pasien dapat kembali pulih dengan cepat.

D.    Kehamilan Ektopik

1.      Pengertian Kehamilan ektopik

suatu keadaan dimana hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh dan berkembang di luar endometrium kavum uteri.Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat impantasi/ nidasi/ melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga rahim.Sedangkan kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus rupture pada dinding tuba. Kehamilan ektopik dapat terjadi di luarrahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam servik, pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.

2.      Etiologi

Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor risiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah:

a.       Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur.

b.      Riwayat operasi tuba.

c.       Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang. d) Kehamilan ektopik sebelumya.

d.      Aborsi tuba dan pemakaian IUD.

e.       Kelainan zigot yaitu kelainan kromosom.

f.       Bekas radang pada tuba menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.

g.      Operasi plastik pada tuba.

h.      Abortus buatan

3.      Klasifikasi 

Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi darikehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut :

1.      Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian tuba fallopi. Merupakan bagian jenis terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling sering terjadi sekitar 95% dari kehamilan ektopik.11,19 Kehamilan tuba akan menghasilkan salah satu dari ketiga hal ini : Kematian ovum dalam stadium dini , ovum ini kemudian bisa di absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal sebagai mola tuba,  Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering ditemukan, bersama-sama ovum (dan kemungkinan pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk masuk ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum, Ruptura tuba erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau ovum terus tumbuh hingga melampaui kemampuan peregangan otot tuba.

2.      Kehamilan ovarial merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan terjadi bukan saja disebabkan oleh pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga rupture tuba korpus luteum, torsi dan endometriosis.11,19 Meskipun dayaakomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada trimester awal.

3.      Kehamilan uterus merupakan kehamilan pada uterus tidak pada tempat yang tepat, pada endometrium kavum uteri sebab implantasi terjadi pada kanalis servikalis (gestasi pada servikal uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum uteri), kurnua (gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk rudimenter).

4.      Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang terjadi.Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil.

5.      Kehamilan Abdominal terbagi menjadi dua yaitu :

a.       Primer,dimana impantasi sesudah dibuahi langsung di peritoneum atau cavum abdominal.

b.      Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya didalam saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya.  Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang sempurna.

6.      Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang dapat terjadi dalam waktu berdekatan dengan kehamilan ektopik. Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas :

a.       Kehamilan kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan kehamilan intrauterin normal.

b.       Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi kehamilan ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang terjadi kemudian berkembang seperti biasa.

7.      Kehamilan interstisial yaitu implantasi telur terjadi dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauterin, tetapi implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan pembuluh darah. Karena lapisan miometrium di sini lebih tebal maka ruptur terjadi lebih lambat kira-kira pada bulan ke 3 atau ke 4.          

8.      Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah (bagian yang berada di antara kedua lapisan peritoneum visceral yang membentuk ligamentum latum).

9.      Kehamilan tubouterina merupakan kehamilan yang semula mengadakan implantasipada tuba pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara perlahan-lahanke dalam kavum uteri.

10.  Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula mengadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara berangsur mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.

11.  Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada tubadan sebagian pada jaringan ovarium.

4.      Patofisiologi

1.      Pengaruh faktor mekanik Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi nonginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalah pernah menderita kehamilan ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur.

2.      Pengaruh faktor fungsional  Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik yang terdapat dalam uterus dan otot polos dari saluran telur.

3.      Kegagalan kontrasepsi Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

4.      Peningkatan afinitas mukosa tuba Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya meningkatkan implantasi pada tuba.

5.      Pengaruh proses bayi tabung Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan induksi ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.

6.      Diagnosis

1.      Anamesis

Pada anamneses, terdapat trias KET yaitu amenorea yang disertai tanda hamil muda, nyeri perut, bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam.

2.      Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan dijumpai penderita tampak kesakitan, pucat, anemis, gelisah, gejala penimbunan darah dalam kavum abdomen, perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok, gejala gangguan kardiovaskuler, dan gejala perubahan sistem pernafasan. Pada pemeriksaan dalam/ ginekologi terasa nyeri tekan dan nyeri goyang pada serviks, forniks posterior menonjol dan nyeri, uterus dapat teraba agak membesar, terdapat tumor dengan batas tidak jelas disekitar uterus, dan kavum douglas menonjol, berisi darah dan nyeri bila ditekan.

3.      Pemeriksaan Laboratorium

a.       Hemoglobin, Hematokrit, dan Hitung Leukosit Setelah perdarahan, volume darah yang berkurang dikembalikan kearah normal oleh hemodilusi yang berlangsung dalam satu atau beberapa hari. Oleh karena itu, pemeriksaan hemoglobin atau hematokrit pada awalnya mungkin hanya memperlihatkan sedikit penurunan. Pada kehamilan ektopik terganggu, derajat leukositosis sangat bervariasi. Pada sekitar separuh wanita, dapat ditemukan leukositosis hingga 30.000/μL.

b.      Pemeriksaan Urine untuk Kehamilan Pemeriksaan urine yang tersering digunakan adalah pemeriksaan latexagglutination inhibition (hambatan penggumpalan lateks) menggunakan slidedengan sensitivitas untuk gonadotropin korion (hCG) dalam kisaran 500 hingga 800 mIU/mL. pada kehamilan ektopik, kemungkinan positif hanyalah 50 hingga 60 persen. Jika digunakan tabung, deteksi hCG adalah dalam kisaran 150 hingga 250 mIU/mL, dan uji ini positif pada 80 hingga 85 persen kehamilan ektopik. Uji yang menggunakan enyme-linked immunosorbent assay (ELISA) sensitive hingga 10 sampai 50 mIU/mL dan positif pada 95 persen kehamilan ektopik.

c.       Pemeriksaan β-hCG Serum Radioimmunoassay, dengan sensitivitas 5 sampai 10 mIU/mL merupakan metode paling tepat untuk mendeteksi kehamilan. Karena satu kali hasil pemeriksaan serum yang positif tidak menyingkirkan kehamilan ektopik maka dirancanglah beberapa metode yang menggunakan nilai serum kuantitatif serial untuk menegakkan diagnosis. Metode ini sering digunakan bersama dengan sonografi.

d.      Progesteron Serum Satu kali pengukuran progesteron sering dapat digunakan untuk memastikan kehamilan yang berkembang normal. Nilai yang melebihi 25 ng/mL menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik dengan sensitivitas 97,5 persen. Nilai yang kurang dari 5ng/mL mengisyaratkan bahwa mudigah-janin telah meninggal, tetapi tidak menunjukkan lokasinya. Kadar progesterone antara 5 dan 25 ng/mL bersifat inkonklusif.

4.      Pencitraan Ultrasound

a.       Sonografi Abdomen Kehamilan di tuba falopi sulit diidentifikasi dengan sonografi abdomen. Tidak adanya kehamilan di uterus secara sonografis, uji kehamilan yang positif, adanya cairan di cul-de-sac, dan adanya massa abnormal di panggul, menunjukkan kehamilan ektopik. Sayangnya ultrasound mungkin memberi gambaran kehamilan intrauterus pada sebagian kasus kehamilan ektopik saat bekuan darah atau silinder desidua memberi gambaran seperti suatu kantong intrauterus kecil. Hal yang utama, suatu kehamilan intrauterus biasanya tidak terdeteksi dengan ultrasound abdomen hingga 5 atau 6 minggu haid atau konsentrasi β-hCG serum lebih dari 6000 mIU / mL.

b.      Sonografi Vagina Sonografi dengan transduser vagina dapat mendeteksi kehamilan uterus paling awal 1 minggu setelah terlambat haid jika kadar β-hCG serum lebih dari 1500 mIU / mL . Uterus yang kosong dengan konsentrasi β-hCG serum 1500 mIU / mL atau lebih sangat akurat untuk mengidentifikasi kehamilan ektopik. Identifikasi kantong gestasi dengan ukuran 1 hingga 3 mm atau lebih, yang terletak eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion mengisyaratkan kehamilan intrauterus.

c.       Ultrasound Doppler Warna dan Berpulsa Pada teknik ini dilakukan identifikasi atas letak warna vascular intra- atau ekstrauterus dalam bentuk khas yang disebut pola ring-of-fire dan pola aliran kecepatan-tinggi impendansi-rendah yang sesuai dengan perfusi plasenta. Jika pola ini terlihat di luar rongga uterus maka ditegakkan diagnosis kehamilan ektopik.

5.      Prognosis

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril, setelah mengalami kehamilan ektopik, atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan 0% sampai 14,6 %. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomia bilateralis. Dengan sendirinya hal ini perlu disetujui oleh suami-isteri sebelumnya. 

6.      Penanganan

1.      Operasi laparoskopi

adalah cara yang dilakukan untuk mengangkat embrio dan memperbaiki kerusakan akibat perdarahan pada kondisi kehamilan ektopik. Operasi ini dilakukan dengan membuat sayatan kecil dibuat di perut. Letak sayatannya di dekat pusar. Selanjutnya, dokter kandungan akan menggunakan tabung tipis yang dilengkapi dengan lensa kamera dan cahaya untuk melihat kondisi tuba fallopi.Untuk mengatasi kehamilan ektopik, bagian tuba fallopi yang rusak akan diangkat (salpingektomi) dan diperbaiki (salpingostomi). Setelah melakukan operasi ini, Anda diharuskan beristirahat total selama 1 sampai 2 hari.

2.      Operasi darurat

Jika kehamilan ektopik menyebabkan perdarahan hebat, Anda mungkin perlu operasi darurat yang dilakukan dengan cara menyayat sayatan perut (laparotomi). Dalam beberapa kasus, kerusakan pada tuba falopi dapat diperbaiki. Jika tuba dan indung telur rusak parah, Anda mungkin memerlukan operasi pengangkatan (salpingektomi).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

 

A.    Kesimpulan

Kehamilan merupakan suatu proses fertilisasi atau bertemunya

spermatozoa dan ovum, lalu tertanam di dalam lapisan rahim, kemudian menjadi janin, Perdarahan hamil muda adalah pada saat perdarahan yang melalui jalan lahir yang terjadi sebelum umur kehamilan 16 – 28 minggu

(menurut beberapa buku sumber yang berbeda yaitu minimal 16 minggu

dan maksimal 28 minggu). Perdarahan uterus merupakan tanda yang paling utama dan dapat beragam mulai dari bercak darah sampai perdarahan yang profus. Perdarahan dapat terjadi saat sebelum abortus, atau yang lebih sering,terjadi secara intermitten berminggu-minggu atau berbulan-bulan

 

B.     Saran

1.      Bagi penulis

selanjutnya, dibutuhkan waktu  serta kesabaran serta keahlian dalam  memberikan asuhan yang berkesinambungan. 

2.      Bagi calon ibu

hendaknya  mempersiapkan gizi pranatal yang baik sehingga dapat terhindar dari anemia. Bagi ibu hamil hendaknya memeriksakan kehamilan secara teratur di fasilitas pelayanan kesehatan untuk meminimalisir faktor risiko yang dimiliki sehingga ibu dan bayi sehat.

3.      Bagi bidan

sebaiknya melibatkan keluarga dalam memberikan asuhan kebidanan berkesinambungan.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Fadlun,  dan Ahmad feryanto, 2013. Asuhan Kebidanan Patologis.  Cetakan I. Salemba Medika, Jakarta, Halaman 47.

Icesmi Sukarni, 2013 . Kehamilan Persalinan dan Nifas. Cetakan I. Nuha Medika, Jakarta, Halaman 178-183.

Margareth ZH, 2013 Kehamilan Persalinan dan Nifas. Cetakan I. Nuha medika, Jakarta.

Nugroho, 2013 Kasus mergency Kebidanan untuk Kebidanan dan Keperawatan. Cetakan I. Nuha Medika. Halaman 107-115.

Nugraheny Esti, 2013 Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Cetakan I. Pustaka Rihama, Halaman 60-65.

Norwitz E.R, 2012 Obstretics dan Gynaecology at a Glance. Cetakan I. Wiley Blackwell, Jakarta. Halaman 95-104.

Prawirohardjo, 2012. Ilmu Kebidanan. Penerbit Bina Pustaka, Jakarta : EGC.

No comments:

Post a Comment