Wednesday 27 March 2019

ASKEP LANSIA DENGAN ARTRITIS REUMATOID

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Mobilitas dan aktivitas adalah hal yang vital bagi kesehatan total lansia sehingga perawat harus banyak memiliki pengetahuan dalam pengkajian dan intervensi muskuloskeletal. Perawat memainkan dua peranan penting. Pertama, mempraktikkan promosi kesehatan jauh sebelum berusia 65 tahun dapat menunda dan memperkecil efek degeneratif dari penuaan. Penyakit muskuloskeletal bukan merupakan konsekuensi penuaan yang tidak dapat dihindari dan karenanya harus dianggap sebagai suatu proses penyakit spesifik, tidak hanya sebagai akibat dari penuaan.
Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi.
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik. Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3 : 1.7 Perbandingan ini mencapai  5:1 pada wanita dalam usia subur. Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan  600.000 pria.
Penanganan medis pasien dengan artritis reumatoid pada lansia bergantung pada tahap penyakit ketika diagnosis dibuat dan termasuk dalam kelompok mana yang sesuai dengan kondisi tersebut. Untuk menghilangkan nyeri dapet mempergunakan agens antiinflamasi, obat yang dipilih adalah aspirin.
1.2.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakan asuhan  keperawatan artritis reumatoid (RA) pada pasien lansia ?

1.3.       Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Dapat menambah pengetahuan mahasiswa mengenai penyakit rematoid artritis serta asuhan keperawatan yang dapat dilakukan terhadap pasien lansia dengan masalah rematoid artritis.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.    Mahasiswa mampu mengetahui anatomi fisiologi sistem persendian.
2.    Mahasiswa mampu mengetahui pengertian rematoid artritis.
3.    Mahasiswa mampu mengetahui penyebab terjadinya rematoid artritis.
4.    Mahasiswa mampu mengetahui  patofisiologi rematoid artritis.
5.    Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala yang muncul pada rematoid artritis.
6.    Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan keperawatan yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami rematoid artritis.
7.    Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang bisa dilakukan  pada pasien dengan masalah rematoid artritis.

1.4.       Manfaat
1.    Mahasiswa mampu  memahami pengertian arthritis reumatoid
2.    Mahasiswa mampu memahami etiologi arthritis reumatoid
3.    Mahasiswa mampu memahami patofisiologi arthritis reumatoid
4.    Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik arthritis reumatoid
5.    Mahasiswa lebih mampu memahami pemeriksaan diagnosk arthritis reumatoid
6.    Mahasiswa mengetahui komplikasi arthritis reumatoid
7.    Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan arthritis reumatoid
8.    Mahasiswa memahami cara mencegah arthritis reumatoid
9.    Mahasiswa memahami konsep dasar asuhan keperawatan arthritis reumatoid

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Anatomi dan Fisiologi
Suatu artikulasi, atau persendian, terjadi saat permukaan dari dua tulang bertemu, adanya pergerakan atau tidak bergantung pada sambungannya. Persendian dapat diklasifikasi menurut struktur dan menurut fungsi persendian.
2.1.1. Klasifikasi Struktural Persendian
a.    Persendian fibrosa tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan jaringan ikat fibrosa.
b.    Persendian kartilago tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan jaringan kartilago.
c.    Persendian sinovial memiliki rongga sendi dann diperkokoh dengan kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnnya.
2.1.2. Klasifikasi Fungsional Persendian
a.    Sendi sinartrosis atau sendi mati.
1)        Sutura adalah sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat dan hanya ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh sutura adalah sutura sagital dan sutura parietal.
2)        Sinkondrosis adalah sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilago hialin. Salah satu contohnya adalah lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang seorang anak. Saat sinkondrosis sementara berosifikasi, maka bagian tersebut dinamakan sinostosis.
b.    Amfiartrosis adalah sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan terjadinya sedikit gerakan sebagai respons terhadap torsi dan kompresi.
1)        Simfisis adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago, yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh simfisis adalah simfisis pubis antara tulang-tulang pubis dan diskus intervertebralis antar badan vertebra yang berdekatan.
2)        Sindesmosis terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-serat jaringan ikat kolagen. Contoh sindesmosis dapat ditemukan pada tulang yang terletak bersisian dan dihubungkan dengan membran interoseus, seperti pada tulang radius dan ulna, serts tibia dan fibula.







c.    Diartrosis adalah sendi yang dapat bergerak bebas, disebut juga sendi sinovial. Sendi ini memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial, suatu kapsul sendi (artikular) yang menyambung kedua tulang, dan ujung tulang pada sendi sinovial dilapisi kartilago artikular.
 









2.1.3. Klasifikasi Persendian Sinovial
a.    Sendi sferoidal terdiri dari sebuah tulang dengan kepala berbentuk bulat yang masuk dengan pas ke dalam rongga berbentuk cangkir pada tulang lain. Memungkinkan rentang gerak yang lebih besar, menuju ke tiga arah. Contoh sendi sferoidal adalah sendi panggul serta sendi bahu.
b.    Sendi engsel. Sendi ini memungkinkan gerakan kesatu arah saja dan dikenal sebagai sendi uniaksial. Contohnya adalah persendian pada lutut dan siku.
c.    Sendi kisar (pivot joint). Sendi ini merupakan sendi uniaksial yang memungkinkan terjadinya rotasi disekitar aksial sentral, misalnya persendian tempat tulang atlas berotasi di sekitar prosesus odontoid aksis.
d.   Persendian kondiloid. Sendi ini merupakan sendi biaksial, yang memungkinkan gerakan kedua arah disudut kanan setiap tulang. Contohnya adalah sendi antara tulang radius dan tulang karpal.
e.    Sendi pelana. Persendian ini adalah sendi kondiloid yang termodifikasi sehingga memungkinkan gerakan yang sama. Contohnya adalah persendian antara tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
f.     Sendi peluru. Sedikit gerakan ke segala arah mungkin terjadi dalam batas prosesus atau ligamen yang membungkus persendian. Persendian semacam ini disebut sendi nonaksial; misalnya persendian invertebrata dan persendian antar tulang-tulang karpal dan tulang-tulang tarsal.
2.2.       Pengertian Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis dan terutama menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah yang ada disekitarnya. (Kowalak, 2011).
 









2.3.       Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu :
1.    Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2.    Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.
3.    Autoimmun
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4.    Metabolik
5.    Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.

2.4.       Patofisiologi Artritis Reumatoid
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada artritis reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.


2.5.       WOC
Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial
Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1
Aktivasi sel CD4+
Sekresi IL-2
Merangsang pembentukan IL-3 dan IL 4
Terjadi mitosis & proliferasi sel >>
Aktivasi sel B
Terbentuk antibodi
Reaksi antibodi terhadap penyebab RA
Terbentuk kompleks imun di ruang sendi
Pengendapan kompleks imun
Reumatoid Artritis (RA)
Pelepasan mediator kimia bradikinin
Inflamasi membran sinovial
Kurangnya pemajanan/mengingat
Stimulus ujung saraf nyeri
Kurang pengetahuan
Menyentuh serabut C
Nyeri
Penebalan membran sinovial
Terbentuk tannus
Menghambat nutrisi pada kartilago
Kerusakan kartilago & tulang
Tendon & ligamen melemah
Kekuatan otot
Kartilago nekrosis
Erosi kartilago
Adhesi permukaan sendi
Ankylosis fibrosa
Kekakuan pada sendi
Gangguan Mobilitas fisik
Keterbatasan gerak
Kurang perawatan diri
Terbentuk nodul
Deformitas sendi
Gangguan body image
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang
Pembentukan radikal oksigen bebas
Depolimerasi hialorunat
Veskositas cairan sendi ↓
Pembentukan tulang terganggu
Pemendekan tulang
Kontraktur
Risiko cedera
 
























2.6.       Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap :
1.    Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.
 









2.    Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat. Pasien mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada deformitas sendi.
3.    Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
4.    Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat mengakibatkan terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang meluas dan luka pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin terjadi.






Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1.    Kelompok 1
Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini dapat mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
2.    Kelompok 2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari American Rheumatologic Association untuk artritis reumatoid karena mereka mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
3.    Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan memiliki prognosis yang baik.

2.7.       Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid
2.7.1   Pemeriksaan cairan synovial :
1.    Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2.    Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3.    Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding terbalik dengan cairan sinovium.


2.7.2   Pemeriksaan darah tepi :
1.    Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
2.    Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
2.7.3   Pemeriksaan kadar sero-imunologi :
1.    Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita dengan nodul subkutan.
2.    Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.

2.8.       Komplikasi Artritis Reumatoid
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.

2.9.       Penatalaksanaan Artritis Reumatoid
Tujuan utama dari program penatalaksanaan  perawatan adalah sebagai berikut :
1.    Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2.    Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari penderita.
3.    Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.
4.    Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain.
2.9.1   Penatalaksanaan Keperawatan
1.    Pendidikan
Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian, patofisiologi (perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
2.    Istirahat
Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.
3.    Latihan Fisik dan Termoterapi
Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
2.9.2   Penatalaksanaan Medikamentosa
1.    Penggunaan OAINS
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
a.    Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.
b.   Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c.    Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
d.   Menghambat proliferasi seluler.
e.    Menetralisasi radikal oksigen.
f.    Menekan rasa nyeri
2.    Penggunaan DMARD
Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
a.    Klorokuin : Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b.   Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi.
c.    D-penicillamine : Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
3.    Operasi
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu : Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus, endokrin, autoimmun, metabolik, dan faktor genetik serta pemicu lingkungan
Jika pasien artritis reumatoid pada lansia tidak diistirahatkan, maka penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap yaitu terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan kelebihan produksi cairan sinovial, secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat, jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga mengurangi ruang gerak sendi, ankilosis fibrosa mengakibatkan penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas. Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah nyeri, gangguan mobilitas fisik, gangguan bodi image, kurang perawatan diri, risiko cedera, dan kurang pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, Artritis Rematoid. (online). http:// www. naturindonesia. com/ artikel-berbagai- penyakit- degeneratif/ 449-artritis-reumatoid-.html, diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.30
Anonymus, 2012. Makalah Rematoid Artritis. (online). http://profesional-eagle. blogspot. Com /2012/05/makalah- reumatoid- artritis-copast.html, diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.40
Anonymus, 2012. Asuhan Keperawatan Rematoid Artritis. (online). http://www. kapukonline.com/2012/01/askep-asuhan keperawatan rheumatoid arthri. html, diakses tanggal 11 Maret 2013 pukul 12.50
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.
Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika : Jakarta.
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. EGC : Jakarta.


No comments:

Post a Comment