Thursday 10 March 2022

MAKALAH PENYALAHGUNAAN HAK KEKUASAAN DALAM (KORPORASI TINDAK PIDANA KORUPSI)

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang ............................................................................................ 1

B.    Rumusan Masalah ....................................................................................... 3

C.    Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 5

A.    Korporasi Tindak Pidana Korupsi ............................................................... 5

B.    Sanksi Korporasi Tindak Pidana Korupsi.................................................... 7

C.    Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi  yang Berbasis Nilai Keadilan .. 14

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 17

A.    Kesimpulan................................................................................................. 17

B.    Saran........................................................................................................... 17

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Penyalahgunaan kekuasaan , korupsi ,kolusi , dan nepotisme mengakibatkan timbulnya korban pada dasawarsa ini merupakan topik kajian yang aktual . Korban penyalah gunaan kekuasaan harus mendapatkan keadilan , sebagai prinsip dasar perlindungan hukum untuk menyelesaikan pemasalahn korban . Sehubungan dengan permasalahan korban menurut Deklarasi PBB Tahun 1985 ( Resolution 40/34) . Pada Amex : Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power : Victins of Crime adalah sebagai berikut :

Vistins mean person who, individually or collectively have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economics loss or subtansial impaiment of their fundamentalrights, though acts or mission that are in violation of criminal laws operative whitin Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power”.

Deklarasi PBB Tahun 1985 (resolution 40/34) tersebut menatur prinsip dasar keadilan untuk para korban tindak pidana kekerasan dan penyalah gunaan kekuasaan antara lain restitusi, kompensasi, serta bentuk bantuan untuk kepentingan korban. Pelaku tindak pidana penyalah gunaan kekuasaa jarang atau bahkan tidak melakukan tindak pidana kekerasan, tetapi lebih sering dilakukan seolah-olah legitimate economic activites ( termaksut economic crimes ) yang dilakukan oleh pelaku sebagai badan hukum yang dinamakan korupsi. Tindak pidana oleh korupsi dalam lingkup economic crimes ( tindak pidana ekonomi ) menimbulkan adanya pihak-pihak korban seperti perusahaan saingan (competitors), negara (state), karyawan (employees) , konsumen (consumers) , masyarakat ( public) . Dalam merumuskan tindak pidana ekonomi harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut :

 

1.      Tindak pidana ekonomi dilakukan dalam rangka aktivitas bisnis dan sah .

2.      Tindak pidana ekonomi merupakan kejahatan yang melanggar kepentingan Negara , masyarakat secara umum , tidak hanya korban individual .

3.      Termaksuk pula dalam hal tindak pidana dilingkungan bisnis terhadap perusahaan lain atau terhadap program.

Permasalahan tindak pidana ekonomi sangat kompleks karena perkembangan di sektor ekonomi dan perdagangan dapat menibulkan berpariasi  perbuatan yang secara  ekonomi dapat merugikan kepentingan umum sehingga dapat menggoyahkan perokonomian  nasional. Perbuatan yang dapat  mengoyahkan perekonomian nasional dilakukan oleh para pelaku , antara lain karena menyalah gunakan kekuasaan ekonomi dan politik sehingga yang menjandi korban yang paing dirugian adalah Negara (termaksut masyarakat / rakyat ) . Para korban tersebut  tentunya harus mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dengan menerpakan peraturan perundang –perundang  pidana kepada pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku terhadap korban .

        Pada umumnya kegiatan usaha dalam dilaksanakan oleh korporasi  yang berbadan hukum dengan bentuk perseroan terbatas . Korporasi dalam melakukan kegiatan usahanya harus belandaskan pada pasal 33 UUD 1945 yaitu :

1.      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

2.      Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh Negara.

3.      Bumi,air,dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dandigunakan untuk sebenar-benarnya kemakmuran rakyat .

4.      Perokonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kekuasaan ekonomi nasional .

5.      Ketemtuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. “istilah korporasi berasal daro corporate, yaitu suatu badan yang empunyai sekumpulan anggota dan angota-angotanya tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing anggota.

Salah satu tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah korupsi . permasalahan korupsi di indnesia memamg sudah semakin parah. Berbagai kalangan angkat bicara, mendiskusikan dan membahas permasalahan korupsi. Dari orang awam, mahasiswa, praktisi hukum pakar hukum dan sastrawanpun ikut bicara.Intinya, korupsi harus segera diberantas .

Korupsi dikategorikan sebagai kejhatan luar biasa karena korban yang diakibatkan oleh korupsi adalah sangat pasif karena dengan korupsi , kerugian yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa uraian latar belakang di atas , permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana penerapan sanksi terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi saat ini ?

2.      Bgaimana kendala/hambatan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi saat ini ?

3.      Bagaimana rekontruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi  yang berbasis nilai keadilan ?

 

C.    Tujuan Penelitian

1.      Mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi  saat ini .

2.      Mengkaji dan menganalisi kendala/hambatan penerapan pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi saat ini .

3.      Merekontruksi sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berbasis nilai kedailan.

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Korporasi Tindak Pidana Korupsi

Korporasi adalah  kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. “istilah korporasi berasal dari corporate, yaitu suatu badan yang  mempunyai sekumpulan anggota dan angota-angotanya tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing anggota.Salah satu tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah korupsi . Lebih lanjut , korporasi dalam pasal 1 angka 3 UU Tindak Pidana Korupsi dimasukkan dalam salah satu definisi dari “ setiap orang adalah orang perseorangan atau termaksut korporasi” . Berdasarkan definisi tersebut , maka apabila kita hubungkan secara sistematis antara pasal dalam UU Tindak Pidana yang memasukkan “setiap orang” sebagai bagian dari delik adalah : 

1.      Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara ;

2.      Penyalah gunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuanga negara atau perekonomian negara ;

3.      Pemberan suap;

4.      Pemberian hadiah karena jabatan;

Dan ketentuan Udang-Undang lain sebagai mana diatur dalam pasal 2,pasal 3 ,pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) , pasal 7 ayat (1) , pasal 13 dan 14 UU Tindak Pidna Korupsi .

Perbuatan penyalah gunaan kewenangan dalam jabatan atau kedudukan yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara .Delik tersebut diatur dalam pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi , menyalahgunakan kewenangan , kesematan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana dengan pidana penjara seuumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 dan paling banyak Rp.1.000.000.000.00 “.

Penyalah gunaan kekuasaan disebabkan oleh kebijakan publik  yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, namun apa bila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri  atau suatu kelompok ( korporasi) yang berdampak pada kerugian perekonomian, maka hal tersebut merupakan tindakan pidana. Sebagaimana disebutkan dalam novel korupsi karya Pramudya Ananta Toer (2002), soal pelanggaran hukum dalam kaitan dengan penjabat negara.

Persoalan korupsi yang terjadi dari penyalahgunaan jabatan , terkait dengan kompleksitas masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup , kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial . Dengan demikian , kasus tindak pidana korupsi dengan bentuk penyalah gunaan kekuasaan bersifat multi dimensional dan kompleks . Namun ada satu hal merupakan penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi  yaitu kurangnya integritas.

Sanksi yang diberikan kepada sipelaku tindak pidna korupsi ,sudah jelas kebijakannya tersebut bernama Undang-Undang KUHP No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,isi pasalnya sebagai berikut :

1.      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit  200.000.000.00 dan paling banyak 1.000.000.000.00.

2.      Dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagai mana dimaksut dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu , pidana mati dapat dijatuhkan.

Bahkan yang lebih ekstrim lagi, berdasarkan ayat(2) tersebut, para koruptor bisa mendapatkan pidana mati , semua tergantung data-data pelaporan dan mekanisme ketika para koruptor beraksi.

       

B.     Sanksi Korporasi Tindak Pidana Korupsi

Pertanyaan mendasar adalah sejauh mana efektivitas ketentuan mengenai ancaman pidana terhadap korporasi dalam praktik ? pertanyaan ini menjadi penting karena mengingat kejahatan korupsi yang dilakukan korporasi dewsa ini begitu  meraja lela dan sistematis sehingga mengakibatkan kerugian negara yang begitu besar baik dalam bidang bisnis pendagang , perbankan , pertanian , sumberdaya alam dan pangan barang dan jasa.

Penanggung jawaban pidana yang dianut dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Tindak pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang  Nomor 20 Tahun 2001 bersifat kumulatif – alternatif , dengan adanya kalimat “korporasi dan/atau pengurus “ dalam rumusan pasal 20 ayat (1), maka untuk menuntut dan menjatuhkan pidana dalam hal tindak pidana korupsi  dilakukan oleh atau atas nama satu korporasi dapat dilakukan  terhadap” korporasi “ saja atau “pengurus” saja.

Dalam hal tindak pidana korupsi diruuskan sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum pidana , maka tuntutan pidana dan penjatuhan pidana yang diakukan terhadap korporasi  dan pengurus atau korporasi saja maka ketentuan berdasarkan pasal 20 ayat (3) ,pasal  20 ayat (4) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi , korporasi dan pengurus korporasi  yang mewakili korporasi dapat diwakili oleh orang lain . Namun berdasarkan ketentuan pasal  20 ayat (5) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus korporasi yang mewakili korporasi dan mewakilkannya lagi kepada orang lain, ditentukan bahwa hakim dapat memerintahkan agar pengurus korporasi tersebut mengadap sendiri  pada pemeriksaan disidang pengadilan dan dapat pula hakim memerintahkan agar pengurus yang dimaksut dibawa kesidang pengadilan . Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang tindak pidana korupsi , ditentukan bahwa dalam penuntutan tehadap korporasi  sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana , maka pengadilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan :

  1. Ditempat tinggal pengurus ;
  2. Ditempat pengurus berkantor;

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa  pemindaan tehadap korporasi terdir dari pidana pokor berupa pidana denda yang diperberat  1/3 dari ancaman pidana maksimal dengan pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (7)  Pasal  18 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Tindak Paduan korupsi .

Penertian pengurs korporsi dalam penjelasan 20 ayat (1) Undang-Undang  Tindak Pidana Korupsi yang dimaksut dengan pengurus bukan hanya terbatas kepada mereka yang menjadi organ korporasi yang menjalankan kepengurusan sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasar ( pengurus dalam arti formal yuridis ), tetapi termaksut juga siapa saja yang dalam kenyataannya atau secara formal  yuridis tidak memiliki kewenangan untuk melakukan untuk melakukan kepengurusan. Namun dalam hal untuk bertindak mewakili korporasi sebagaimana dimaksut dalam pasal 20 ayat (4) , ayat (5) dan (6) Undang-Undang  Tindak Pidana Korupsi , maka pengurus korporasi harus dibekali surat tugas atau surat perintah dan bukan surat kuasa karena didalam hukum acara pidana tindak dikenal  adanya terdakwa yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk hadir dipemeriksaan sindang  pengadilan .

Bahwan dalam setiap AD/ART dari suat korporasi , pada umumnya telah diatur dan ditentuan  pengurus korporasi  tentu yang ditunjuk untuk bertindak mewakili korporasi tertentu ditunjuk untuk bertindak mewakili korporasi baik di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan , akan tetapi  sehubungan dengan ketentuan pasal 20 ayat (6)  Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menetukan bahwa surat panggilan disampaikan di tempat tinggal “pengurus” ,maka pengurus dalam pasal 20 ayat (6) menurut wiyono (2008) adalah:

“Pengurus yang mempunyai  kedudukan tertinggi dalam menjalankan kepengurusaan  korporasi  sesuai dengan anggaran dasar dari korporasi , misalnya Direktur Utama dari suatu persoalan terbatas . Bahwa kemudian direktur utama menunjuk salah satu dari pengurus untuk mewakili korporasi . Penunjukan tersebut merupakan urusan intern dari korporasi sesuai dengan ketentuan yang  terdapat didalam anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan “.

Persoalan teknis yuridis lain yang mengemukakan adalah bagaimana penyidik merumuskan identitas tersangka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka dan dalam berkas perkara demikian halnya dengan penuntut umum dalam merumuskan identitas terdakwa dalam srat dakwaan.Secara normatif dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, telah ditentukan syarat formil surat dakwaan yang disusun penuntut umum yaitu berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Bahwa ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi selain yang ditentukan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, selama ini belum ditemukan ketentuan hukum acara pidana yang mengatur kedudukan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa baik dalam tahap penyidikan menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tersangka maupun dalam tahap penuntutan menyangkut  identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam tindak pidana.

Sedangkan syarat formil yang mengharuskan Surat Dakwaan memuat uraian lengkap identitas terdakwa sebagaimana tersebut di atas, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang merupakan manusia alamiah (naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam Surat Dakwaan bagi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan dalam KUHAP sebagai lex generalis demikian halnya dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam Surat Dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh Hakim.

  Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Surat Jaksa Agung RI Nomor : B-036/A/Ft./06/2009, Perihal : Korporasi sebagai tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi, tanggal 29 Juli 2009 yang menegaskan penuntutan korporasi sebagai tersangka atau terdakwa, apabila pertanggungjawaban pidana dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan korporasi sebagai subjek hukum korporasi, maka berkas perkara dan surat dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Sementara keberadaan BAP tersangka dengan tersangka korporasi digariskan tidak bersifat mutlak.

Selanjutnya terhadap perbuatan pidana yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dan mempunyai pertanggungjawaban pidana dan untuk itu dapat dituntut dan dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum ancaman pidana dendanya ditambah 1/3 (satu per tiga) dan dapat dikenakan pidana tambahan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu berupa :

1.      perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

2.      pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3.      penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

4.      pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Dengan demikian pemidanaan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana pokok berupa pidana denda yang diperberat dengan menambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman maksimum pidana denda dan pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana apabila terpidana korporasi tidak mau membayar pidana pokok berupa denda atas putusan hakim ?.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 hanya mengatur pidana pokok terhadap pelaku koporasi berupa pidana denda dan tidak ada pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut apabila terpidana korporasi tidak mau membayar denda.

Beda halnya dengan rumusan pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang juga mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan ancaman pidana pokoknya juga berupa pidana denda, namun dalam undang-undang tentang pencucian uang tersebut mengatur lebih lanjut apabila denda tidak dibayar oleh terpidana korporasi, sehingga lebih jelas pengaturan sanksi pidananya. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010, yang selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 6:

(1)    Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.

(2)    Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila Tindak Pidana Pencucian Uang:

a.       dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi

b.      dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi

c.       dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah

d.      dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi

 

Pasal 7:

(1)    Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2)    Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a.        pengumuman putusan hakim

b.        pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi

c.        pencabutan izin usaha

d.       pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi

e.        perampasan aset Korporasi untuk negara

f.         pengambilalihan Korporasi oleh negara.

 

Pasal 8:

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

 

Pasal 9:

(1)   Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

(2)   Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Dari bunyi Pasal 8 dan 9 tersebut, undang-undang pencucian telah mengatur secara tegas tentang alternatif pidana denda apabila denda tidak dibayar sehingga mempermudah bagi aparat penegak hukum terutama jaksa penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku korporasi.

Namun lain halnya dengan  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tidak ada diatur alternatif pidana denda apabila denda tidak dibayar, sehingga penulis melihat persoalan ini merupakan suatu kendala dari semangat pemberantasan korupsi karena undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak mengatur secara kompilt dan tegas. Memang walaupun tidak diatur dalam undang-undang tipkor tersebut, dapat diterapkan Pasal 30 KUHP dengan dasar ketentuan Pasal 103 KUHP yaitu jika undang-undang hukum pidana khusus tidak mengatur, ketentuan KUHP lah  yang dipakai.Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko  Sarwoko berpendapat bahwa apabila pidana denda tidak dibayar oleh koporasi maka dapat diterapkan Pasal 30 KUHP yaitu1 :  

Ayat  (2) :  jika denda tidak dibayar lalu diganti dengan kurungan.

Ayat (3) :  lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan.

Ayat (5) : jika ada pemberatan  denda, disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52 a. maka kurungan pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan.

Ayat (6) :   kurungan pengganti sekali kali tidak boleh lebih dari delapan  bulan.

Walaupun pidana pokok berupa denda tidak dibayar dapat dikenakan hukuman penggganti berupa pidana kurungan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, namun penerapan pidana kurungan tersebut tidak dapat diterapkan kepada korporasi. Kalaupun hukuman pengganti tersebut dibebankan kepada pengurus, maka akan timbul permasalahan yaitu siapa dari pengurus korporasi yang harus menjalankan pidana kurungan tersebut ? sebab permasalahan tersebut tidak diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya menjadi kendala bagi jaksa dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan.

Apabila menilik lebih jauh pidana pengganti denda apabila tidak dibayar berdasarkan pasal 30 KUHP tersebut, maka hal tersebut merupakan suatu kelemahan dalam semangat pemberantasan korupsi yang dewasa ini korupsi di Indonesia sedang merajalela dalam segala tatanan kehidupan bangsa, sehingga sudah dapat dibayangkan sanksi pidana tersebut tidak memberikan efek jera terhadap korposasi yang melakukan korupsi.

Oleh karenanya sanksi pidana denda menurut penilaian penulis tidak efektif menjerat dan memberi efek jera bagi korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.Menurut Hakim Agung Surya Jaya “Dalam perkara korupsi, penjatuhan pidana denda bagi korporasi tidak efektif. Sanksi pidana denda hanya menjadi macan kertas saja,”

 

C.    Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi  yang Berbasis Nilai Keadilan

Era reformasi selama sepuluh tahun terakhir, tidak ada upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Ini merupakan hal sangat ironis, mengingat tujuan reformasi adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ini juga menunjukkan pemerintahan yang lebih demokratis tidak serius memberantas korupsi. Bahwa korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan.

 Tujuan penelitian untuk menganalisis kebenarkah sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi saat ini belum berkeadilan, untuk menganalisis kelemahan-kelemahan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi saat ini dan untuk menemukan rekontruksi sanksi pelaku tindak pidana korupsi yang berbasis nilai keadilan. Rekontruksi sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi berbasais nilai keadilan, sesuai konsep sistem pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana yang akan datang pada hakikatnya, setidaknya peneliti menyoroti beberapa hal untuk dilakukan perubahan, yakni pada sanksi yang di dalamnya termasuk bentuk, berat ringannya, dan indikator penjatuhan sanksi pidana. Dan terhadap lamanya pidana penjara juga perlu ditinjau ulang, lebih tepat pengalihan kepada bentuk pidana lain misal pidana seumur hidup atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib mengembalikan dua kali lipat hasil kerugian negara.

 Hasil penelitian  dalam rekontruksi pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) tahun dan paling lama 20 (dua Puluh) tahun dan atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib mengembalikan 2 (dua) kali lipat hasil kerugian negara”. Dan pada Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib mengembalikan 2 (dua) kali lipat hasil kerugian negara”.

 Serta pada Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau pidana mati dan di miskinkan serta wajib mengembalikan 2 (dau) kali lipat hasil kerugian negara”. Kata Kunci : Rekontruksi, Sanksi, Tindak Pidana Korupsi.


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

 Kesimpulan dari hasil pembahasan makalah sebagai berikut :

Hasil penulisan makalah ini menunjuk kan bahwa masih tingginya tingkat korupsi saat ini dan makin bertambahnya korporasi yang membuat banyak kerugian di bidang ekonomi negara Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sangat berbahaya, korupsi  merupakan suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary cryme) yang memang  telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

 Semakin hari perkembangan korupsi di dunia dan khususnya di Indonesia bukanlah semakin  berkurang, akan tetapi makin hari makin meluas dan bertambah. Hal tersebut di  tandai dengan modus dalam suatu kejahatan korupsi yang dari waktu ke waktu  bisa di katakan banyak mengalami perubahan yang drastis. Hal ini dapat dilihat  dari berbagai macam kasus korupsi yang ditangani oleh para penegak hukum, baik  oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, maupun kejaksaan itu sendiri.      

 

B.     Saran

Dengan kesimpulan yang sudah diuraikan di atas, maka saran yang paling relevan  untuk permasalahan ini ialah:

Rumusan perbuatan Perdagangan Pengaruh (Trading in Influence) sebagai  norma dalam hukum positif Indonesia haruslah segera di rumuskan dan di  berlakukan, pasalnya apabila rumusan tersebut masih saja belum di  rumuskan dan di berlakukan akan menimbulkan kebingunan antar penegak  hukum satu dengan yang lainyaa. Undang – undang 28 tahun 1999 tentang  Penyenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan  Nepotisme dewasa ini hanya menjadi sebuah himbauan saja pada  masyarakat, tidak di taati dengan sungguh – sungguh sesuai dengan  semangat membasmi perbuatan korup. UU 28/99 pun tidak dapat  mengakomodir perbuatan Perdagangan Pengaruh (Trading in Influence).

 


DAFTAR PUSTAKA

 

http://repository.unissula.ac.id/18403/

JURNAL RECHTEN : RISET HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttps://nasional.tempo.co/read/1484215/vonis-korupsi-edhy-prabowo-berapa-hukuman-maksimal-koruptor-sesuai-kuhp/full?view=ok

https://acch.kpk.go.id/en/artikel/paper/48-riset-publik/815-lingkup-tindak-pidana-korupsi-dan-pembuktian-kesalahan-dalam-sistem-pertanggungjawaban-pidana-korporasi-di-indonesia-inggris-dan-prancis#:~:text=%E2%80

Raden Imam Al Hafis PUBLIKa, Vol 3, No. 1 Hal. 80-88 (2017)

No comments:

Post a Comment