Wednesday 18 August 2021

MAKALAH FARMAKOLOGI ANTIBIOTIK DAN ANTIVIRUS

 

DAFTAR  ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1

1.      Latar Belakang........................................................................................................ 1

2.      Tujuan Masalah........................................................................................................ 2

BAB II TINJAUN PUSTAKA (ANTIBIOTIK)............................................................ 3

1.      Konsep Antibiotik ……………………………………………………………….3

2.      Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik  ................................................. 3

3.      Resistensi Antibiotik …………………………………………………………..15

4.      Antinonretro Virus………………………………………………………………...20

5.      Antiretro Virus………………………………………………………………….25

BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 27

1.      Kesimpulan.............................................................................................................. 27

2.      Saran........................................................................................................................ 27

Daftar Pustaka................................................................................................................... 28

 

 

 

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.      Latar Belakang Masalah

Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri.  Di negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% dirawat di rumah sakit mendapat antibiotik. Seringkali penggunaan antibiotik dapat menimbulkan masalah resistensi dan efek obat yang tidak dikehendaki, oleh karena itu penggunaan antibiotik harus mengikuti strategi peresepan antibiotik.

Penulisan resep dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat tersebut cenderung meluas. The Center for Disease Control and Prevention in USA pada tahun 2013  menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnecessary prescribing), dari 150 juta peresepan setiap tahun. Penyakit infeksi seringkali dialami oleh pasien geriatrik,  karena pada geriatrik memiliki kerentanan terhadap infeksi yang lebih tinggi dibandingkan pasien lain.  Beckett (2014:56) mengatakan bahwa, “Penggunaan antibiotik pada pasien geriatrik memiliki risiko yang lebih besar dari pasian pada ummny. Pemberian antibiotik yang tidak tepat ke pada anak-anak dan orang dewasa, salah satu faktor yang sering kali menjadi penyebab yaitu menurunnya fungsi hati dan ginjal pada pasien geriatri, kerentanan terhadap penyakit infeksi meningkat dengan bertambahnya usia, penurunan pH pada gastrointestinal pada proses absorpsi, penurunan cairan tubuh pada proses distribusi, penurunan aliran darah hepatik pada proses metabolisme, dan penurunan sekresi tubular pada klirens.

Eko(2013:89) mengatakan bahwa,  “Penggunaan antibiotik pada pasien yang menderita infeksi sering kali diderita oleh penduduk di Negara berkembang dari pada di negara maju, berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik”. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Perkembangan obat anti virus baik sebagai profilaksis ataupun terapi belum mencapai hasil seperti apa yang di inginkan oleh sebagian besar manusia. Berbeda dengan anti mikroba lainya, antivirus yang dapat menghambat atau membunuh virus juga akan dapat merusak sel hospes dimana virus itu berada. Ini karena replikasi virus RNA maupun DNA berlangsung didalam sel hospes dan membutuhkan enzim dan bahan lain dari hospes. Tantangan bagi penelitian ialah bagaimana menemukan suatu obat yang dapat menghambat secara spesifik salah satu proses replikasi virus seperti peletakan, uncoanting dan replikasi. Analisis biokimiawi dari proses sintesis virus telah membuka tabir bagi terapi yang efektif untuk beberapa infeksi seperti : virus hespes, beberapa virus saluran napas dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Dengan mencuatnya masalah penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) maupun virus lainnya, maka kegiatan penelitian mencari obat antivirus telah mendapat dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah, terutama di Negara maju.

Sejumlah obat anti virus dapat dikembangkan didekade 50 dan 60, saat ini memiliki pemanfaatan terbatas. Obat ini adalah idoksuridin, vidarabin dan sitarabin. Obat  tersebut bersifat tidak selektif dalam menghambat replikasi virus sehingga banyak fungsi sel hospes juga dihambat. Toksisitas misalnya supresi sumsum tulang  telah menghalangi obat di atas digunakan secara parental kecuali vidarabin. Hanya idoksuridin dan vidarabin yang saat ini masih dapat digunakan secara topikal sebagai obat pilihan kedua dan ketiga pada herpes simplex keratin konjunctifitis. Obat antivirus generasi baru pada umumnya bekerja lebih selektif terutama asiklovir sehingga toksisitasnya lebih rendah.

2.      Tujuan Penelitian

1.      Mengetahui pengertian dari antibiotik dan antivirus

2.      Mengetahui jenis-jenis dari antibiotik dan antivirus

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.    Konsep Antibiotik

1.1 Pengertian Antibiotik

Menurut asalnya anti bakteri dapat dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik dan agen kemoterapetik. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menhambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-lain. Antibiotik yang relatif non toksis bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapetik dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip, contohnya sulfonamida, kuinolon dan fluorikuinolon (Setiabudy,2011; Dorland, 2010).

1.2 Penggolongan Antibiotik

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah berkembang biaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host (Kemenkes, 2011).

Penggolongan antibiotik berdasarkan struktur kimia dapat dibedakan sebagai berikut        (Kasper et. al 2005, Setiabudi, 2007, Katzung, et. al. 2011) .

(a)    Beta laktam, penisilin (contohnya: penisilin, isoksazolil penisilin,ampisilin), sefalosporin (contohnya sefadroksil, sefaklor), monobaktam (contohnya: azteonam) dan karbapenem (contohnya: imipenem).

(b)   Tetrasiklin, contohnya tetrasiklin dan doksisiklin.

(c)    Makrolida, contohnya eritromisin dan klaritromisin

(d)   Linkomisin, contohnya linkomisin dan klindamisin

(e)    Kloramfenikol, contohnya kloramfenikol dan tiamfenikol

(f)    Aminoglikosida, contohnyastreptomisn, neomisin dan gentamisin.

(g)   Sulfonamida (contohnya: sulfadizin, sulfisoksazol) dan kotrimoksazol (kombinasi trimetroprim dan sulfametoksazol).

(h)   Kuinolon (contohnya: asam nalidiksat) dan fluorokuinolon (contohnya: siprofloksasin dan levofloksasin).Glikopeptida, contohnyavankomisin dan telkoplanin.

(i)     Antimikrobakterium, isoniazid, rifampisin, pirazinamid.

(j)     Golongan lain, contohnya polimiksin B, basitrasin, oksazolidindion.

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteri ostatik (contohnya sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin, linkomisin dan klindamisin) dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn, neomisin, kanamisin, gentamisin dan basitrasin). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau infeksi dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid harus digunakan (Kemenkes, 2011; Setiabudy, 2011).

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu (Kasper et. al., 2011:78.

(a)    Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu komples polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang mendaur ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin. Pada umumnya bersifat bakterisidal.

(b)   Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Sel bakteri mensintesisberbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri.Yang termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. Selain aminoglikosida, pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.

(c)    Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya trimetoprim dan sulfonamid. Pada umumnya antibiotik ini bersifat bakteriostatik.

(d)   Mempengaruhi sistem sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,nitrofurantoin.

(e)    Mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika yangtermasuk adalah polimiksin. Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik terbagi atas duakelompok besar, yaitu antibiotik dengan aktivitas spektrum luas (broadspectrum)danaktivitas spectrum sempit(narrowspectrum).

1.3 Golongan antibiotik yang digunakan pada Terapi Profilaksis

Antibiotik beta-laktam merupakan obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri.Terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obatan atibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram-positif dan negatif. Antibiotik betalaktam   mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes,  2011).

Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitasantibiotiknya. Salah satu golongan penisilin yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah golongan aminopenisilin, sebagai contoh Ampisilin dan Amoksisilin.Selain mempunyai aktivitas terhadap bakteri Grampositif, juga mencakup mikroorganisme Gram-negatif, seperti Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan Proteus mirabilis. Obat-obat ini sering diberikan bersama inhibitor beta-laktamase (asam klavulanat, sulbaktam, tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis oleh betalaktamase yang semakin banyak ditemukan pada bakteri Gram-negatif.

Obat Ampisilin diberikan secara intramuskular, intravena dan oralsedangkan obat Amoksisilin hanya dapat diberikan secara oral denganwaktu paruh obat yaitu, 1,1-1,5 jam untuk ampisilin dan 1,2-2,0 jam untuk amoksisilin (Kemenkes, 2011). Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya, yaitu generasi I hingga IV  (Setiabudy, 2011) :

(a)    Generasi I, yaitu Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin dan sefadroksil merupakan antibiotik yang efektif terhadap Gram-positifdan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.

(b)   Generasi II, yaitu Sefaklor, sefamandol, sefuroksim, sefoksitin, sefotetan, sefmetazol dan sefprozil memiliki aktivitas antibiotik Gramnegatif yang lebih tinggi daripada generasi I.

(c)    Generasi III, yaitu Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim, sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim dan moksalaktam. Memiliki aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi I, tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase. Seftazidim dan sefoperazon juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap kokus Gram-positif.

(d)   Generasi IV, yaitu sefepim dan sefpirom memiliki aktivitas lebih luas dibanding generasi III dan tahan terhadap beta-laktamase. Banyak rumah sakit di negara berkembang menggunakan antibiotik sefalosporin dalam jumlah berlebihan, terutama di bagian bedah sebagai pilihan antibiotik profilaksis. Mikroorganisme yang digunakan sebagai terapi sefalosporin adalah organisme komensal, seperti stafilokokkus gram negatif, Pseudomonas aeruginosa, enterococci

(e)    danCandida albicans, dan organisme yang lebih pathogen seperti Clostridium difficile, penicillin-resistant pneumococci, multiplyresistant coliforms dan methicillin-resistant Staphylococcusaureus (MRSA). Beberapa organisme ini secara konstitutif resisten terhadap sefalosporin sementara yang lain telah resisten, biasanya akibat resistensi ganda.(Dancer, 2001).

2.      Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotik 

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini (Kemenkes, 2011, Setiabudy, 2011) :

(1)   Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).

(2)   Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggikadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.

(3)   Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

(4)   Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

 

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat farmakokinetikanya, yaitu;

(a)    Time dependent killing.

Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar diatas Kadar Hambat Minimum (KHM) sangat penting untukmemperkirakan outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok inikadar antibiotik dalam darah diatas KHM paling tidak selama50%interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time dependent killingantara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida.

(b)   Concentration dependent.

Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darahmelampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadapbakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/ KHM sekitar 10. Inimengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memilikikadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jikagagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akanmengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadisalah satu penyebab timbulnya resistensi.Farmakokinetik (PK) membahas tentang perjalanan kadarantibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (PD) membahastentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya.Dosisantibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun,ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting.Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkanmenjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa digunakanuntuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegahresistensi.Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadistandar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin sering digunakan.Beberapa ukuran PK danPD lebih prediktif terhadap efikasi klinis. (Kemenkes RI, 2011)

 

2.1    Prinsip Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibitik yang rasional didasarkan pada pemahaman dari banyak aspekpenyakit infeksi.Faktor yang berhubungan denganpertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi dan kepekaan mikroorganisme,farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik perlu diperhatikan  (Gould IM, et. al., 2005). Pada fasilitas pelayanan kesehatan, antibiotik digunakan padakeadaan berikut (Gyssens, 2005; Kemenkes RI.,2011) :

(a)    Terapi empiris.

Pemberian antibiotika untuk mengobati infeksi aktif padapendekatan buta (blind) sebelum mikroorganisme penyebab diidentifikasi dan antibiotik yang sensitif ditentukan.Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberian antibiotik pada terapi empiris adalahditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteritertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.Rute pemberian pada antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi.Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.durasi pemberian pada antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.

(b)   Terapi definitif.

Pemberian antibiotik untuk mikroorganisme spesifik yang menyebabkan infeksi aktif atau laten. Penggunaan antibiotik untukm terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yangsudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya.Tujuanpemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi ataupenghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.Indikasi pemberianantibiotik pada terapi definitif adalah sesuai dengan hasil mikrobiologiyang menjadi penyebab infeksi. Rute pemberian adalah antibiotik oral seharusnya menjadipilihan pertama untuk terapi infeksi.Pada infeksi sedang sampai beratdapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.Jika kondisipasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segeradiganti dengan antibiotik peroral.Durasi pemberian antibiotik definitiveberdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosisawal yang telah dikonfirmasi.

(c)    Terapi profilaksis

Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya infeksi.Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkantanda-tandainfeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi.Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudahmencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhanbakteri.

2.2  Antibiotika Profilaksis

Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan pada pasien yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh pathogen (Kemenkes RI, 2011)  Profilaksis merujuk pada pencegahan infeksi dan dapat dikategorikan menjadi profilaksis primer, sekunder, atau eradikasi.Profilaksis primer merupakan pencegahan pada infeksi awal.Sedangkan profilaksis sekunder merupakan pencegahan dari munculnya kembali atau re-aktivasi dari infeksi yangsudah ada.Dan eradikasi merupakan eliminasi dari organisme kolonisasi untuk mencegah perkembangan infeksi (Thirion,2013:78).

2.3  Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis

Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakanprosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan insisiawal. Kemenks RI, 2011:34) Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam keadaan-keadaan berikut.

(a)    Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu.

(b)   Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain-lain.

(c)    Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah.Idealnya sediaan antibiotik yang digunakan untuk profilaksis pada operasi harus :

1.      Mencegah infeksi luka pasca operasi pada luka operasi

2.      Mencegah morbiditas dan mortalitas infeksi pascaoperasi

3.      Mengurangi durasi dan biaya perawatan

4.      Tidak menimbulkan efek yang merugikan baik bagi flora normal pasien dan bagi rumah sakit.

       Diharapkan dari pemberian antibiotik profilaksis dapat memberikan manfaat yaitu :

(a)    Penurunan angka kejadian infeksi pasca bedah

(b)   Penurunan jumlah flora pathogen penyebab infeksi

(c)    Penurunan morbiditas baik jangka panjang maupun jangka pendek

(d)   Pengurangan biaya dan lamanya rawat inap di rumah sakit

(e)    Terhindarinya pembentukan resistensi antibiotik serta peningkatan kondisi pasien

(f)    Kualitas hidup pasien pasca operasi.

(g)   Penggunaan antibiotik merupakan sejarah dalam upaya mencegah luka infeksi.Konsep antibiotik profilaksis diperkenalkan tahun 1960an ketika data eksperimen menetapkan bahwa antibiotik harus berada dalam sistem peredaran darah pada dosis yang cukup tinggi pada saat insisi supaya efektif.Umumnya disepakati bahwa antibiotik profilaksis diindikasikan untuk luka yang terkontaminasi dan

(h)   terkontaminasi.Antibiotik untuk luka kotor merupakan bagian dari terapi karena infeksi sudah terbentuk.Sedangkan pada prosedur operasi bersih masih menjadi perdebatan.Pada penggunaan antibiotik profilaksis dalam prosedur bersih dimana alat buatan palsu dimasukkan. Infeksi dalam kasus ini akan menjadi bencana bagi pasien. Namun, prosedur bersih lainnya (misalnya operasi payudara) masih menjadi perdebatan (Singhal, 2017), 

Patogen normal pada permukaan kulit dan mukosa adalah kokkus-gram positif (terutama stafilokokus); Namun, kuman aerob gram negativedan bakteri anaerob dapat mengkontaminasi kulit di daerah pangkalpaha/perineum.Patogen yang terkontaminasi dalam operasi gastrointestinaladalah banyak flora usus intrinsik, yang meliputi bakteri gram negativebasili (misalnya Escherichia coli) dan mikroba gram positif, termasuk organisme enterococcidan anaerob.Organisme gram positif, terutama stafilokokus dan streptokokus, menjelaskan kebanyakan flora luar yang terlibat dalam infeksi luka operasi.

Asalpatogen semacam itu termasuk dari personil bedah / rumah sakit dan keadaan intraoperatif, termasuk instrumen bedah, barang yang dibawa kelapangan operasi, dan udara ruang operasi. (Singhal, 2017) Kelompok bakteri yang paling sering bertanggung jawab untukterkait dengan infeksi luka. Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) terbukti menjadi masalah utama pada operasi. Seperti strain S Aureus lainnya, MRSA dapat berkoloni di kulit dan tubuh seseorang  tanpa menyebabkan penyakit, dan dengan cara ini, dapat disebarkan ke orang lain tanpa  sadar. Timbulnya masalah dalam pengobatan infeksi  MRSA karena pilihan antibiotik sangat terbatas. Infeksi MRSA tampak meningkat dan menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang lebih luas. Yang menjadi perhatian khusus adalah vancomyc inintermediate Saureus(VISA) bagian dari MRSA. Strain ini mulai resisten terhadap, vankomisin,yang saat ini merupakan antibiotik yang paling efektif melawan MRSA. Resistensi ini baru muncul karena jenis bakteri lain, yang disebut  enterococci,  umumnya menunjukkan  resisten terhadap vankomisin (Hsiao, 2012).

2.4  Indikasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis

Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan pada kelas operasi, yaitu operasi bersih,operasi bersih kontaminasi, operasi kontaminasi serta operasi koto (SIGN, 2014). Tujuan  pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan adalah terjadi penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), penurunan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi, penghambatan muncul flora normal yang resisten dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan (Kemenkes RI,2011).

Antibiotik profilaksis diberikan pada pembedahan denganklasifikasi operasi bersih-terkontaminasi. Profilaksis pada operasi bersih pada umumnya tidak diperlukan, namun dapat diberikan pada operasi bersih dengan memasang alat implan atau bahan protesis. Namun tidak menutup kemungkinan juga diberikan antibiotik profilaksis jika diindikasikan akanterjadi infeksi yang dapat menimbulkan dampak yang serius seperti operasi bedah syaraf, bedah jantung dan mata. Operasi kontaminasi dan operasi kotor telah terjadi kolonisasi kuman dalam jumlah besar atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum bermanifestasi. Untuk kasus ini terapi empirik akan lebih tepat (David, 2010).

2.5  Dasar Pemberian Antibiotik profilaksis pada Operasi

Dasar  pemilihan jenis antibiotik untuk  tujuan  profilaksis yaitu sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan dan spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi, bersifat bakteri sidal dan harga terjangkau (Ongom, 2013:90). Antibiotik profilaksis hanya bisa digunakan jika terbukti dapat memberikan keuntungan dan harus dihentikan bila terbukti tidak memberikan manfaat. SIGN dalam guideline-nya membagi 4 rekomendasiterhadap pemberian antibiotik profilaksis pada operasi (SIGN, 2014).

(a)    Highly Recomendation, Profilaksis yang dengan terbukti tegas menurunkan morbiditas, menurunkan biaya perawatan dan menurunkankonsumsi antibiotik secara keseluruhan.

(b)   Recomended; Profilaksis yang menurunkan morbilitas jangka pendek,mengurangi biaya perawatan dan bila dimungkinkan menurunkankonsumsi antibiotik secara keseluruhan.

(c)    Should be considered; Profilaksis yang belum memiliki bukti yang kuat dapat memberikan keuntungan, dan kemungkinan dapat meningkatkanbiaya perawatan dan peningkatan konsumsi antibiotk utamanya untukpasien dengan low risk ILO. 

(d)   Not recomended; profilaksis yang  tidak memiliki bukti kuat efektif secara klinis serta tidak menurunkan  morbiditas jangka pendek. Dan dapat meningkatkan  biaya perawatan serta meningkatkan konsumsi antibiotik sedangkan keuntungan secara klinis sangat rendah.Rekomendasi antibiotik yang digunakan pada profilaksis bedah pada operasi bersih secara rinci diuraikan pada tabel 4.

2.6  Pemilihan Antibiotik Profilaksis pada Operasi

Pemilihan antibiotik profilaksis dipengaruhi oleh beberapafaktor.Oleh karena itu penting untuk menanyakan ke pasien tentang riwayat penggunaan antibiotik dan alergi. Betalaktam merupakan antibiotik yang banyak digunakan sebagai profilaksis. Bila terdapat riwayat alergi penisilin yang berat (anafilaksis atau angiodema) menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menerima penisilin dan juga berarti sefalosporin juga dikontraindikasikan terhadap pasien tersebut.Meski cukup sederhana, tapi dapat memberikan dampak reaksi yang signifikan. Paling penting yang harus diperhatikan yaitu antibiotik harus aktif terhadap bakteri yang dapat menyebabkan Infeksi Luka Operasi (ILO) (Kemenkes,2011).

Umumnya infeksi pascaoperasi disebabkan oleh bakteri flora pasien itu sendiri.Profilaksis tidak harus dapat menghambat semua jenis bakteri flora pasien tersebut.Ada beberapa bakteri yang tidak bersifat patogen atau jumlahnya hanya sedikit atau keduanya.Sangat penting untuk memilih antibiotik dengan spektrum sempit sesuai dengan yang dibutuhkan untuk meminimalisir multi resisten terhadap antibiotik.Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada biaya, profil efek yangdapat merugikan, kemudahan pemberian, profil farmakokinetik, dan aktifitas antibakterinya.Antibiotik yang dipilih harus memiliki aktivitas terhadap bakteri yang sering mengakibatkan infeksi pada operasi.

Meskipun berbagai organisme dapat menyebabkan infeksi pada pasien bedah, Infeksi luka operasi biasanya diakibatkan oleh sejumlah kecil patogen umum (kecuali dengan adanya implantasi biomaterial). Berikut ini adalah antibiotik yang sering digunakan sebagaiprofilaksis pada operasi (Munckhof,2005) :

(a)    Sefalosporin generasi pertama (cefazolin atau cefalotin)

(b)   Gentamisin

(c)    Metronidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)

(d)   Oral tinidazol (jika disebabkan oleh bakteri anaerobik)

(e)    Flucloxacillin (jika infeksi methicillin-susceptible staphylococcal)

(f)    Vankomicin (jika infeksi methicillin-resistant Staphylococcal)

2.7 Jalur dan Waktu Pemberian Antibiotik Profilaksis

Antibiotik profilaksis biasanya diberikan sebagai bolus intravena yang disertai dengan induksi anastesi untuk memastikan konsentrasi efektif pada jaringan tercapai sebelum pembedahan dimulai.Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip.Waktu pemberian antibiotik ini sangat penting utamanya untuk beta-laktam yang memiliki waktu paruh relatif singkat. Vankomisin membutuhkan  waktu infus selama satu jam oleh  karena itu pemberiannya harus dimulai lebih cepat agar infus selesai tepat ketika pembedahan akan dimulai.

Pemberian antibiotik profilaksis secara intramuskular jarang dilakukan dibandingkan intravena. Pemberiannya biasanya dilakukan beberapa saat sebelum operasi karena waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level konsentrasi antibiotik yang efektif pada jaringan cukup lama (ASF, 2003; SIGN,2014). Cara pemberian antibiotik bedah profilaksis agar efektif adalah dosis pertama antibiotik profilaksis harus sedekat mungkin dengan waktu operasi.Pada luka yang bersih, apabila operasinya kurang dari dua jam,cukup satu dosis.Namun, jika luka bersih terkontaminasi, satu atau dua dosissebelum dan setelah operasi.Dan pada luka yang terkontaminasi, antibiotikdiberi selama dua atau tiga hari dan diberikan melalui intravena dosis tinggi (Tjay, 2007).

Oral dan rektal juga harus diberikan lebih awal untuk memastikan kadar efektif pada jaringan telah tercapi pada saat pembedahan. Metronidazol suppositoria banyak digunakan pada pembedahan usus besar dan harus diberikan 2-4 jam sebelum tindakan operasi dilakukan.Antibiotik topikal tidak direkomendasikan kecuali untuk bedah mata atau akibat luka bakar.(ASF, 2003; SIGN, 2014).Waktu pemberian antibiotik untuk mencapai konsentrasi aktif dalamjaringan sangat bergantung pada profil farmakokinetik dan rute administrasinya.Antibiotik profilaksis yang diberikan terlalu cepat atau terlalu lambat dapat menurunkan efek dari dari antibiotik tersebut dan mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya ILO.

\Waktu pemberian antibiotik profilaksis diberikan =30 menit sebelum insisi kulit. Dosispemberian untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. (SIGN, 2014).Beberapa literatur menyebutkan sebaiknya pemberian profilaksis.secara intravena dilakukan < 30 menit sebelum tindakan operasi dilakukan untuk semua kategori operasi kecuali operasi sesar.National SurgicalInfection Prevention Project melaporkan tingkat kepatuhan antibiotik profilaksis dalam kurun waktu 1 jam sebelum insisi adalah  55,7% (Bratzler, 2013).

2.7 Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent) (Kemenkes RI,2011)

(1)   Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan  dosis yang adekuat, interval dan durasi pemberian yang tepat.

(2)   Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotik policy) ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.

(3)   Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotiks).

(4)   Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self -limited).

Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada :

          (1)      Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik.

          (2)      Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.

          (3)      Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

          (4)      Melakukan deeskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologidan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.

          (5)      Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective danaman.

Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:

          (1)      Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.

          (2)      Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, danmikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakitinfeksi.

          (3)      Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.

          (4)      Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim(teamwork).

          (5)      Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat multidisiplin.

          (6)      Memantau penggunaan antibiotik secara intensif danberkesinambungan.

          (7)      Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secaralebih rinci ditingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanankesehatan lainnya dan masyarakat.

3.      Resistensi Antibiotik

3.1  Resistensi

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik.WHO mendefinisikan resisten siantimikroba sebagai resistensi mikroorganisme terhadap obat antimikroba yang pernah mampu mengobati infeksi oleh mikroorganis meter sebut. Seseorang tidak dapat menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistensi terjadi pada mikroba, bukan pada orang atau organisme lainyang terinfeksi oleh mikroba (WHO, 2009).

Resistensi patogen mikroba terhadap antibiotik meningkat diseluruh dunia sangat pesat, sejalan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan infeksi yang disebabkan oleh patogen yang resisten terhadap antibiotik.Setidaknya 2 juta orang terinfeksi bakteri resisten antibiotik setiap tahun di AS saja, dan setidaknya 23.000 orang meninggal sebagai akibat langsung dari infeksi ini. Di Uni Eropa, diperkirakan 400.000 pasien dengan resisten strain bakteri setiap tahun, dimana 25.000 pasien meninggal. Akibatnya, WHO telah memperingatkan bahwa jangkauan terapeutik tidak mencukupi dalam waktu 10 tahun, menempatkan dunia berisiko memasuki era "pasca antibiotik", di mana antibiotik tidak akan lagi efektif melawan penyakit infeksi (WHO, 2009; CDC, 2014).

Bakteri dapat bersifat resisten pada obat secara intrinsik (misalnyabakteri anaerob resisten terhadap aminoglikosida) atau mendapatkan resistensi melalui mutasi terhadap gen tertentu atau membentuk gen baru. Mekanisme utama resitensi yang dilakukan bakteri yaitu inaktivasi obat, mempengaruhi atau overproduksi target antibiotik, akuisisi target baru yang tidak sensitif obat, menurunkan permeabilitas obat dan efluks aktifterhadap obat (Kasper, 2005:34) hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu :

(a)    Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

(b)   Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

(c)    Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

(d)   Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.

(e)    Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera di keluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel.

Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL) yang mampumenghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHMmenggambarkan tahap awal menuju resisten. Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada Tahun 1945dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa jugaditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia Coli yang mendapat terapiampisilin. Resistensi terhadap golongan beta-laktam antara lain terjadikarena perubahan atau mutasi gen penyandi protein (Penicillin BindingProtein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akanmenghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis (Kemenkes, 2011).

Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang resistenterhadap antimikroba di rumah sakit dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Resistensi muncul bahkan pada agen antimikroba yang lebih baru dan lebih poten seperti karbapenem.Seleksi dan penyebaran mikroorganisme yang resisten terhadap antimikroba difasilitasi oleh penggunaan obat yang tidak rasional, dan pengobatan sendiri yaitu penyalahgunaan obat antibioti. Resistensi antimikroba sangat terkait dengan penggunaan antimikroba yang tidak tepat. Diperkirakan 50% atau lebih penggunaan antimikroba di rumah sakit tidak tepat. Diperlukan kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang resistensi antimikroba di kalangan petugas kesehatan profesional (Desai, 2016). Multiple Drug Resistance (MDR), resistensi beberapa obat ataumultiresistensi adalah resistensi antimikroba yang ditunjukkan oleh spesies mikroorganisme terhadap beberapa antimikroba. Jenis yang paling mengancam bagi kesehatan masyarakat adalah bakteri MDR yang melawan banyak antibiotik; termasuk virus MDR, jamur, dan parasite (resisten terhadap banyak antijamur, antiviral, dan antiparasit dari berbagai jenis bahan kimia).Mengetahui tingkat MDR yang berbeda, istilah yang resistan terhadap obat secara Ekstensif Drug Resistant (XDR) dan Pandrugresistant (PDR), istilah tersebut telah diperkenalkan pada tahun 2011.(Singhal, 2017).

(c)  Konsep Antivirus.

Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Kata virus berasal dari bahasa latin yaitu venom yang berarti racun. Virus juga merupakan mikroorganisme yang bersifat parasit dengan menginfeksi atau memanfaatkan sel organisme biologis makhluk hidup lainnya seperti manusia, hewan, tanaman sebagai inangnya. Virus tumbuh dan berkembang biak di sel organisme biologis makhluk hidup lain karena virus hanya terdiri dari selubung protein yang terbentuk dari DNA atau RNA saja dan tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi.

Anti virus adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan menekan kemampuan untuk replikasi, menghambat kemampuan untuk menggandakan dan memperbanyak diri.

3.2 Siklus Hidup Virus.

Virus hanya dapat berkembang biak pada sel-sel yang hidup. Untuk reproduksi, virus hanya memerlukan asam nukleat. Di dalam proses reproduksi, virus memerlukan lingkungan sel hidup sehingga virus memerlukan organisme lain sebagai inangnya.Siklus hidup virus memiliki 2 jenis siklus, yaitu siklus litik dan siklus lisogenik.       

(a)    Siklus litik

Siklus litik adalah replikasi virus yang disertai dengan matinya sel inang setelah terbentuk anakan virus yang baru. Siklus litik virus yang telah berhasil diteliti oleh para ilmuwan adalah siklus litik virus T (Bacteriophage), yaitu virus yang menyerang bakteri Escherichia coli (bakteri yang terdapat di dalam colon atau usus besar manusia).

Siklus litik terdiri atas 5 fase, yaitu:

(b)   Fase adsorbsi

Fase adsorbsi merupakan fase awal dimana ujung ekor Bakteriofag menempel atau melekat pada bagian tertentu dari dinding sel bakteri yang masih dalam keadaan normal. Daerah itu disebut daerah reseptor (receptor site atau receptor spot). Virus yang menempel kemudian mengeluarkan enzim lisosim/lisozim yang berfungsi merusak atau melubangi dinding sel bakteri.

(c)    Fase penetrasi

Fase penetrasi, ujung ekor virus T dan dinding sel bakteri E. coli yang telah menyatu tersebut larut hingga terbentuk saluran dari tubuh virus T dengan sitoplasma sel bakteri. Melalui saluran ini DNA virus masuk ke dalam sitoplasma bakteri.

(d)   Fase replikasi

Pada fase ini, DNA virus mengambil alih sintesis protein di dalam bakteri. Terjadi replikasi DNA virus sehingga virus jumlahnya bertambah banyak karena terjadinya sintesis protein.

(e)    Fase perakitan

Fase perakitan pada siklus litik merupakan fase dimana bagian-bagian protein dan DNA yang terbentuk dari proses sintesis protein dan replikasi DNA terjadi sehingga dihasilkan virus-virus baru yang seutuhnya.

(f)    Fase lisis

Fase lisis merupakan fase rusaknya sel bakteri karena aktifitas enzimatis dari virus T serta jumlah virus T yang sudah tidak muat ditampung oleh sel bakteri tersebut sehingga dinding sel bakteri menjadi pecah. Selanjutnya sejumlah virus T yang baru tersebut akan keluar dan siap untuk menyerang sel bakteri lainnya.

 

 

3.3 Siklus Lisogenik

Siklus lisogenik hampir mirip dengan siklus litik. Perbedaannya adalah ketika sudah mencapai fase penetrasi, DNA virus tidak mengalami replikasi dan sintesis protein melainkan bergabung dengan DNA bakteri sehingga antara DNA virus dan DNA bakteri menjadi satu. Ketika DNA virus sudah bergabung dengan DNA bakteri, maka yang terjadi adalah ketika bakteri melakukan pembelahan diri, secara otomatis DNA virus juga akan ikut mengganda.
Saat kondisi menguntungkan bagi DNA virus maka siklus lisogenik dapat masuk ke dalam siklus litik lagi yang ditandai dengan fase replikasi dan sintesis protein dari virus tersebut.

 

 

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWkVYWbRiTf4Oyk1Fz0rJR91o9gmtFzrCxEdEEZtbZ9XtCdDUD9Y5vdx-k6_5MCv_bDyN_FE9F72rWN1XpinmRzwEV1tkSUmPGg-EJHlNTp9F63qSnL7WUSZZmrA6lvzDCliFZqCLzO1K8/s640/a.png

Gambar 1 Siklus litik dan lisogenik

 

 

 

 

4.      ANTINONRETRO VIRUS

 4.1 Antivirus Untuk Influenza

Jenis virus influenza diklasifikasikan oleh protein inti mereka (yaitu, A, B, atau C), spesies asal (misalnya, unggas, babi), dan lokasi geografis isolasi. Influenza A, satu-satunya strain yang menyebabkan pandemi, diklasifikasikan menjadi 16 H (hemagglutinin) dan 9 N (neuraminidase) subtipe yang diketahui berdasarkan protein permukaan. Meskipun virus influenza B biasanya hanya menginfeksi orang, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai inang hewan. Subtipe influenza A saat ini yang beredar di antara populasi di seluruh dunia termasuk H1N1, H1N2, dan H3N2. 15 subtipe diketahui menginfeksi burung, menyediakan reservoir yang luas. Meskipun subtipe avian influenza biasanya sangat spesifik untuk spesies, mereka pada kesempatan langka melintasi penghalang spesies untuk menginfeksi manusia dan kucing. Virus dari subtipe H5 dan H7 (misalnya, H5N1, H7N7, dan H7N3) dapat dengan cepat bermutasi dalam kawanan unggas dari bentuk patogen rendah hingga tinggi dan baru-baru ini memperluas jangkauan inang mereka untuk menyebabkan penyakit unggas dan manusia.

Yang menjadi perhatian khusus adalah virus H5N1 unggas, yang pertama kali menyebabkan infeksi manusia (termasuk penyakit parah dan kematian) pada tahun 1997 dan telah menjadi endemik pada unggas Asia Tenggara sejak 2003. Hingga saat ini, penyebaran virus H5N1 dari orang ke orang telah langka, terbatas, dan tidak aman. Namun, munculnya virus influenza H1N1 2009 (sebelumnya disebut "flu babi") pada 2009-2010 menyebabkan pandemi influenza pertama (yaitu, wabah global penyakit yang disebabkan oleh virus flu baru) dalam lebih dari 40 tahun. Meskipun obat antiviral tersedia untuk influenza memiliki aktivitas melawan influenza

A, banyak atau sebagian besar strain virus H5N1 yang beredar, serta strain H1 dan H3 yang menyebabkan influenza musiman di Amerika Serikat, resisten terhadap amantadine dan rimantadine. Resistensi terhadap oseltamivir juga meningkat secara dramatis.

Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A & B, virus sinsitial pernapasan (RSV).

A. Amantadin dan Rimantadin

(1) Mekanisme kerja :

     Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu   kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.

(2) Resistensi

Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.

(3) Indikasi

 Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk terapi  penyakit Parkinson.

(4) Farmakokinetik :

Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah yang sama. Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.

(5) Dosis :

Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral. Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ). Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10 ml/menit.

(6)      Efek samping :

Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut. Efek samping yang lebih serius (misalnya, perubahan perilaku yang ditandai, delirium, halusinasi, agitasi, dan kejang) mungkin disebabkan oleh perubahan neurotransmisi dopamine; kurang sering dengan rimantadine dibandingkan dengan amantadine; berhubungan dengan konsentrasi plasma tinggi; dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan insufisiensi ginjal, gangguan kejang, atau usia lanjut; dan dapat meningkat bersamaan dengan antihistamin, obat antikolinergik, hidroklorotiazid, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Manifestasi klinis dari aktivitas antikolinergik cenderung hadir dalam overdosis amantadine akut. Kedua agen teratogenik dan embriotoksik pada hewan pengerat, dan cacat lahir telah dilaporkan setelah paparan selama kehamilan.

B. Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )

Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan disain struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Inhibitor neuraminidase oseltamivir dan zanamivir, analog dari asam sialic, mengganggu pelepasan virus influenza progeni dari sel inang yang terinfeksi, sehingga menghentikan penyebaran infeksi di dalam saluran pernapasan. Agen ini secara kompetitif dan reversibel berinteraksi dengan situs enzim aktif untuk menghambat aktivitas neuraminidase virus pada konsentrasi nanomolar rendah. Penghambatan hasil neuraminidase virus dalam penggumpalan virion influenza yang baru dirilis satu sama lain dan ke membran sel yang terinfeksi. Tidak seperti amantadine dan rimantadine, oseltamivir dan zanamivir memiliki aktivitas melawan virus influenza A dan influenza B. Administrasi dini sangat penting karena replikasi puncak virus influenza pada 24-72 jam setelah timbulnya penyakit di seluruh dunia,

(1)    Mekanisme kerja

Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi, yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.

(2)   Resistensi

Disebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus pada sel yang terinfeksi.

(3)   Indikasi

Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.

(4)   Dosis :

 Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari (2 x 5 mg, setiap 12 jam )selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2 x 75 mg kapsul, setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir /oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.

(5)   Efek samping :

Terapi zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala. Efek samping yang potensial termasuk mual, muntah, dan nyeri perut, yang terjadi pada 5-10% pasien di awal terapi tetapi cenderung menghilang secara spontan.

5. ANTIRETRO VIRUS

5.1 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)

Reverse transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma. Karena NRTI tidak memiliki gugus 3’-hidroksil, inkorporasi NRTI ke DNA akan menghentikan perpanjangan rantai.

A.    Zidovudin

(1)   Mekanisme Kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

(2)   Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)

(3)   Dosis: Per oral 600mg / hari.

(4)   Efek Samping: Anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.

B.     Didanosin

(1)   Mekanisme Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

(2)   Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)

(3)   Dosis: Peroral 400 mg / hari dalam dosis tunggal atau terbagi.

(4)   Efek Samping: Diare, pankreatitis, neuropati perifer.

5.2 Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)

Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular untuk menjadi bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Diharapkan dengan berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna. Tenofovir

(1)   Mekanisme Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

(2)   Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)

(3)   Dosis: Peroral sekali sehari 300mg.

(4)   Efek Samping: Mual, muntah, flatulens, diare.

5.3 Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)

Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs aktif ini. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif.

A.  Nevirapin

(1)   Mekanisme Kerja: Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.

(2)   Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada RT.

(3)   Indikasi: Infeksi HIV-1

(4)   Dosis: Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200 mg per hari ), kemudian 400 mg / hari ( 2 x 200 mg tablet ).

(5)   Efek Samping: Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim hati.

B.   Efavirenz

(1)   Mekanisme Kerja: Sama dengan nevirapin.

(2)   Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada RT.

(3)   Indikasi: Infeksi HIV-1

(4)   Dosis: Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk mengurangi efek samping SSP nya.

(5)   Efek Samping: Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam.

5.4 Protease Inhibitor (PI)

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV – protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

A. Sakuinavir

(1)   Mekanisme Kerja: Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.

(2)   Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada enzim protease.

(3)   Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)

(4)   Dosis:  Per oral 3600 mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800 mg / hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap.

(5)   Efek Samping: Diare, mual, nyeri abdomen.

B. Ritonavir

(1)   Mekanisme Kerja: Sama dengan sakuinavir.

(2)   Resistensi: Disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

(3)   Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)

(4)   Dosis: Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan).

(5)   Efek Samping: Mual, muntah, diare.

 

5.5 Viral Entry Inhibitor

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat masukkan HIV ke sel melalui reseptor CXCR4.

A.   Enfuvirtid

(1)   Mekanisme Kerja: Enfuvirtid menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghambat fusi virus ke membran sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR-1 ( first heptad-reat)pada sub unit gp41 envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.

(2)   Resistensi: Perubahan genotif pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap enfuvirtid, tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.

(3)   Indikasi: Terapi infeksi HIV-1

(4)   Dosis: Enfurtid 90 mg (1ml) 2 kali sehari diinjeksikan subkutan di lengan atasbagian paha anterior atau di abdomen.

(5)   Efek Samping: Adanya reaksi lokal seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan nodul atau kista.

 

     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3. Kesimpulan.

3.1 ANTIBIOTIK

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

(1)   Obat antibiotik golongan Beta Laktam (ß-Laktam)  yaitu  antibiotik. Amoksisilin dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan kategori tingkat resistensi intermediet.

(2)   Obat antibiotik golongan Fluorokuinolon yaitu antibiotik Siprofloksasin dapat menghambat pertumbuhan bakteri  Staphylococcus aureus dengan  kategori tingkat resistensi sensitif.

(3)   Obat antibiotik Siprofloksasin lebih sensitif dan lebih efektif dibandingkan obat antibiotik Amoksisilin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

3.2  Saran

Dari hasil penelitian  ini, maka peneliti memberikan saran bahwa :

(1)    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap obat antibiotik Amoksisilin dan antibiotk Siprofloksasin terhadap bakteri lain penyebab infeksi.

(2)   Perlu dilakukan penambahan pada penelitian lebih lanjut terhadap jumlah sampel pasien biakan infeksi Staphylococcus aureus untuk mendapatkan kesamaan hasil rata-rata uji resistensi terhadap sampel yang berbeda.

(3)   Diharapkan kepada praktisi kesehatan agar dapat memilih antibiotik yang efektif dalam mengobati penyakit infeksi gigi dan mulut yang disebabkan oleh bakteriStaphylococcus aureus

(4)   Diharapkan kepada praktisi kesehatan untuk memilih dan memakai antibiotik secara rasional untuk mencegah perkembangan resistensi bakteri.

(5)   Diharapkan kepada masyarakat agar lebih menyadari dalam memlih keefektivitas dan potensi bahaya pengonsumsian antibiotik spektrum luas

(6)   Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan pembanding  bagi peneliti lain yang akan meneliti uji resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ceylan, Okmen and Ugur, 2008, Isolaton of Soil Streptomyces as Source Antibiotiks active  Agains    Resistant Bacteria, Journal Biosci, 2 (73), 73–82.

Choma, I., 2005, The use of thin-layer chromatography with direct bioautography for antimicrobial analysis, LGCG Europe, 18 (9), 1–7.

Chowdhury, M., Moniruzzaman, N., Nahar and N., Choudhhury, 1991, Production o

Cellulases and Saccharification of Lignocellulolitic by Micromonospora, Journal Microbiology and Biotechnology Springer, 7 (6), 1-8.

Devi, T. R. and Chhetry, G., 2012, Rhizosphere and non Rhizosphere Microbial Population

Dynamics and Their Effect on Wilt Causing Pathogen of Pigeonpea, International Journal of Scientific and Research Publications, 2 (5), 1–4.

Gupta S. K., Sharma, A., and Bengal W., 2015, Dynamic properties of Escherichia coli, World Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences, 4 (07), 296–307.

Jawetz, Melnick, and Adelberg’ s, 2005, Mikrobiologi Kedokteran M, R, ed., Jakarta, Salemba Medika. 29

Kanti, 2005, Actinomycetes Selulolitik dari Tanah Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, In Jambi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 85–89.

Kelecom and Alphonse, 2002, Secondary metabolites from marine microorganisms, Analis Academic Bras science, 1 (74), 151–170.

Lee, J., Y., and Hwang, B., K., 2002, Diversity of Antifungal Actinomycetes in Various Vegetative Soils of Korea, Canadian Journal of Microbiology, 39 , 254-264.

Nedialkova, D., and Naidenova, M., 2004, Screening The Antimicrobial Activity Of Actinomycetes Strain Isolated from Antartica. Journal of Culture Colection, 4, 29–35.

Nord, Sandrine, R., Laurent, R., Anne, H., Ian Probert, Colomban, D., Bach, S., and Chris, B., 2004, Marine Bioprospecting - Searching for Interesting and Unque Genes,

Biomolecules and Organisms in the Marine Environment. Journal Bioprospecting, 2 (1), 1-7.

Nurkanto, A., Listyaningsih, F., Julistiono., & Agusta, A., 2008, Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomycetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik, Jurnal Biologi Indonesia, 6 (3), 325-339.

No comments:

Post a Comment