Wednesday 13 March 2019

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA PTERIGIUM


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA
PTERIGIUM



KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT  atas segala nikmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah Pterigium disusun untuk memenuhi salah satu komponen tugas pada mata kuliah di akademi keperawatan Unaya Banda Aceh
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi perbaikan dan penambahan wawasan kami di masa yang akan datang.
Demikian akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca pada umumnya terima kasih


Banda Aceh,   Mei 2017



Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR................................................................................... ........ i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ....... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang...................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.     Tujuan................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. ....... 3
A.    Definisi.................................................................................................. 3
B.     Epidemiologi......................................................................................... 3
C.     Etiologi.................................................................................................. 3
D.    Patogenesis............................................................................................ 4
E.     Klasifikasi............................................................................................. 4
F.      Tipe klinis pterigium.............................................................................. 5
G.    Tipe lain dari pterigium......................................................................... 5
H.    Manifestasi klinik.................................................................................. 5
I.       Diagnosis............................................................................................... 6
J.       Penatalaksanan...................................................................................... 8

BAB III LAPORAN  DAN PEMBAHASAN DARI KASUS ........................ 12
A.    Identitas Pasien................................................................................... 12
B.     Anamnesis........................................................................................... 12
C.     Pemeriksaan Fisik................................................................................ 14
D.    Resume................................................................................................ 16
E.     Diagnosis Kerja................................................................................... 16
F.      Diagnosis Banding.............................................................................. 16
G.    Penatalaksanaan.................................................................................. 16
H.    Prognosis............................................................................................. 17

BAB III PENUTUP....................................................................................... ..... 20
A.    Kesimpulan.................................................................................... ..... 20
B.     Saran.............................................................................................. ..... 20

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... ..... 21







BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pterigium merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Puncak segitiga terletak di kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata. Apabila hal ini mencapai pupil dapat mempengaruhi penglihatan. Penyebab dari penyakit ini adalah iritasi kronik akibat debu, angin, paparan sinar UV atau mikrotrauma yang mengenai mata.
Pterigium banyak dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak bersinggungan dengan udara, debu ataupun sinar matahari dalam jangka waktu yang lama.
Umumnya banyak muncul pada usia 20 – 30 tahun. Pemicu pterigium tidak hanya dari etiologinya saja tetapi terdapat factor risiko yang mempengaruhinya antara lain faktor usia, jenis kelamin, jenis pterigium, jenis pekerjaan (outdoor atau indoor ). Hal tersebut di atas dapat dibuktikan pada studi yang dilakukan Gazzard di Indonesia ( Kepulauan Riau ) yang menyebutkan pada usia dibawah 21 tahun sebesar 10 % dan diatas 40 tahun sebesar 16,8%, pada wanita 17,6 % dan laki-laki 16,1%.
Berdasarkan letak Indonesia sebagai bagian negara beriklim tropis dan dengan paparan sinar UV yang tinggi, angka kejadian Pterigium cukup tinggi. Tingkat kekambuhan pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % – 52 %. Data di RSCM angka kekambuhan pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Kekambuhan pterigiummerupakan pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskuler konjungtiva ke kornea pada bekas pembedahan. Pterigium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterigium yang disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea.
Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan. Terapi yang digunakan adalah berupa tindakan bedah atau ekstirpasi dengan berbagai macam metode. Salah satu metode yang masih digunakan sampai saat ini adalah metode bare sclera. Dalam penggunaannya metode bare sclera ternyata menunjukkan tingkat kekambuhan yang tinggi, metode lain yang digunakan yaitu free conjunctival autograft (CAG).

B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah defenisi dari Pterigium?
2.      Dimanakah penyebaran dari Pterigium?
3.      Mencegah dan mengobati Pterigium?

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui defenisi dari Pterigium
2.      Untuk  mengetahui penyebaran dari Pterigium
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah dan mengobati dari Pterigium

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Definisi
Pterigium berasal dari bahasa latin pterigeon yang artinya adalah sayap. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degenerative dan invasif. Merupakan pertumbuhan tidak ganas dan lambat. Pertumbuhan berasal dari jaringan subkonjungtiva dan dapat mencapai kornea, karenanya dapat mengganggu penglihatan.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata.

B.       Epidemiologi
Pterigium tersebar luas di seluruh dunia. Lebih umum pada daerah beriklim panas dan kering. Berhubungan erat dengan sinar UV langsung. Umumnya laki-laki lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Pada umur 20-40 tahun, biasanya lebih mudah terkena, namun prevalensi nya lebih tinggi pada umur 40 tahun.

C.      Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas, dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Hubungan antara sinar UV dengan pertumbuhan pterigium sangat erat. Orang yang lebih sering bekerja diluar ruangan lebih mudah terkena. Pterigium juga berhubungan erat dengan basal cell carcinoma, polymorphous light eruption, porphyria cutanea tarda, dan xeroderma pigmentosa.

D.      Patogenesis
Patogenesis terbentuknya pterigium belum begitu jelas, namun ada beberapa hipotesa terbentuknya pterigium. Hipotesa yang pertama adalah berdasarkan factor angiogenesis, seringnya terpapar sinar UV membuat perubahan biologi pada membran bowman. Protein yang berubah pada membrane bowman tersebut membentuk factor angiogenik atau pteriogenik.
Sinar UV dapat memicu pertumbuhan hiperplasi pada sel di bagian limbal. Sel tersebut dapat menginvasi kornea dan limbus yang pertumbuhan nya secara sentripetal terhadap kornea dan limbus. Hal ini menjelaskan bentuk segitiga atau sayap pada pterigium.
Selain itu dalam pembentukan pterigium, sekalipun sangat berhubungan erat dengan sinar UV, namun tidak lepas dengan adanya mikrotrauma. Hal ini menjelaskan mengapa debu adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan pterigium. Ketika sinar UV masuk ke mata bersamaan dengan adanya mikrotrauma, maka akan terjadi perubahan yang akhirnya membuat hilangnya kolagenase dan mata menjadi kering. Hal ini menginduksi extracellular matrix untuk berakumulasi. Lalu terjadi reaksi fibroblastic yang akhirnya menyebabkan pterigium.
Sinar UV membuat penipisan pada sel langerhan di bagian limbus (stocker’s line).
None

E.       Klasifikasi
Grade 1 . Jika pterigium hanya sebatas limbus kornea
Grade 2 . Jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2mm melewati limbus.
Grade 3 . Jika pterigium sudah melebihi grade 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil 3mm)
Grade 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

F.       Tipe klinis pterigium
Progresif:
      Tebal
      Kemerahan
      Terlihat adanya pembuluh darah
      Pada puncaknya terlihat bagian opak yang disebut sebagai cap yang dikenal sebagai Stocker’s line
Athropic / stationary:
      Tipis
      Vaskularisasi tidak terlihat
      Tidak memiliki cap
Description: Screen Shot 2015-02-04 at 8.56.36 PM.pngDescription: Screen Shot 2015-02-04 at 8.56.43 PM.png

G.      Tipe lain dari pterigium
  • Double Pterygium
  • Pterigium berulang
  • Pterigium malignan

H.      Manifestasi klinik
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterigium.
Kadang pterigium dapat menimbulkan rasa perih, dan rasa mengganjal saat berkedip. Pasien dengan pterigium mungkin juga datang dengan keluhan gatal pada mata.

I.         Diagnosis
1.      Anamnesis                              :
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, munculnya selaput yang progresif, tidak ada penurunan penglihatan. Selain itu perlu juga dinyatakan adanya riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi atau berdebu
2.      Pemeriksaan fisik                   :
Diagnosa Pterigium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik menggunakan slit lamp.
3.      Pemeriksaan penunjang          :
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan pada pterigium terutama apabila pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan. Pemeriksaan berupa topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
4.      Diagnosis banding
Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.
Untuk membandingkan antara pterigium dengan pseudopterigium, dapat dilihat dari riwayat pasien. Pseudipterigium merupakan hasil dari inflamasi kornea yang diakibatkan oleh iritasi bahan kimia, perforasi kornea, atau ulkus kornea yang lama, dimana memicu pertumbuhan konjungtiva ke kornea.
Dibedakan dengan pterigium dengan adanya riwayat inflamasi sebelumnya, selain itu pseudopterigium umumnya hanya ada pada satu mata, bentuk pseudopterigium tidak berbentuk “wing” atau sayap, dan tidak progresif. Selain itu beda pterigium dengan pseudopterigium dapat dilihat dari letaknya, pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak atau fisura palpelbra juga pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde dibawahnya.
None
Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal.
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar.
Pinguekula dibedakan dengan pterigium menggunakan slit lamp. Pinguekula hanya sebatas limbus dan konjungtiva. Pinguekula tidak mencapai kornea.

J.      Penatalaksanan
a.       Non-farmakologi
Pada pasien dengan Pterigium, tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan melindungi mata pasien dari sinar UV atau sinar matahari. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko pterigium bertambah parah. Selain itu pasien diharapkan untuk menghindari debu, udara panas, dan juga aktivitas diluar ruangan.
b.      Farmakologi
Terapi farmakologi diberikan tergantung pada keluhan pasien, apabila pasien mengeluhkan mata kering, maka di berikan pengganti air mata. Apabila terjadi iritasi dan radang, diberikan steroid topical.
c.       Pembedahan
Pembedahan pada pasien dengan pterigium dilakukan apabila,
-          pertumbuhan pterigium sudah mengganggu penglihatan,
-          Inflamasi berulang
-          Pterigium yang walaupun hanya di periferal namun mengganggu penglihatan dengan membuat adanya astigma tinggi.
-          Gangguan pergerakan bola mata dengan diplopia.
-          Alasan kosmetik, untuk alasan ini harus dijelaskan pada pasien bahwa pterigium dapat berulang.
Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien pterigium adalah pro eksisi dengan teknik conjunctival autograft.
5.      Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat pterigium adalah gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan karena pterigium dapat terjadi karena pterigium yang sudah tumbuh melewati pupil, atau dapat karena mengganggu visual axis. Selain itu pterigium dapat menyebabkan iritasi pada mata
6.      Pencegahan
Pencegahan pterigium dapat dilakukan dengan menghindari paparan langsung terhadap sinar matahari, udara panas, dan debu. Apabila seseorang harus berhadapan dengan aktivitas luar ruangan, maka disarankan untuk menggunakan kaca mata hitam.
7.      Prognosis
Prognosis pterigium adalah baik karena tidak selalu mengganggu atau memberikan simtom. Pterigium dapat kembali lagi atau muncul kembali terutama pada pasien dengan umur dibawah 40 tahun.

Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
-          Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
-          Konjungtiva bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sclera dibawahnya.
-          Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehinga bola mata mudah bergerak.

1.      Kornea
2.      Lensa
3.      Fornix
4.      Marginal Konjungtiva
5.      Palpebral portion of lacrimal gland
6.      Tarsal konjungtiva


BAB III
LAPORAN  DAN PEMBAHASAN DARI KASUS

A.      Identitas Pasien
1        Nama                                 : Tn. M A
2        Umur                                 : 33 tahun
3        Jenis kelamin                     : Pria
4        Tanggal lahir                     : 18-03-1982
5        Agama                               : Islam
6        Kebangsaan/ suku             : Indonesia/ Jawa
7        Pendidikan                                    : SMA
8        Perkerjaan                         : Buruh pabrik
9        Alamat                              : KP Malaka Tegal Kunir Kidul Maur, Tangerang
10    Status                                : Menikah
11    Tanggal pemeriksaan         : 27 agustus 2015

B.       Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 Agustus 2015.
Keluhan utama     : Adanya selaput kemerahan pada mata kanan pasien yang semakin hari semakin mendekati bagian hitam mata pasien sejak 2 tahun lalu.
Keluhan tambahan : Adanya rasa mengganjal pada mata kanan dan kiri

Riwayat Penyakit  Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Polri Sukanto dengan keluhan muncul selaput berwarna putih kemerahan pada mata kanan dan kiri sejak 2 tahun yang lalu. Selaput ini berbentuk segitiga. Pada awalnya, pasien mengatakan munculnya selaput ini hanya berada di mata kanan dan kiri dekat hidung (tidak mengenai bagian hitam mata) sejak 2 tahun yang lalu. Lalu, selaput yang tumbuh ini semakin menjalar mendekati bagian hitam mata pasien. Pasien juga mengeluh ada rasa mengganjal pada mata kanan dan kiri sejak 2 tahun terakhir. Keluhan mata merah dan terasa kering terdapat sejak 1 tahun lalu hilang timbul dengan sendirinya. Pasien belum menggunakan obat untuk mengatasi  keluhannya. Keluhan mata gatal dan keluarnya kotoran mata yang banyak disangkal. Rasa nyeri dan bengkak disangkal. Gangguan pada penglihatan juga disangkal oleh pasien. Keluhan pandangan menjadi kabur, berbayang ataupun berkabut disangkal.
Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat mata terkena bahan kimia disangkal. Penggunaan kacamata ataupun kontak lens disangkal. Riwayat penyakit mata sebelum muncul selaput disangkal. Pasien mengaku belum pernah mengalami hal yang serupa.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal pernah mengalami riwayat trauma pada mata.
Pasien menyangkal menggunakan kacamata sebelumnya.
Pasien menyangkal memiliki riwayat penggunaan lensa kontak sebelumnya.
Riwayat diabetes mellitus: disangkal
Riwayat hipertensi: disangkal
Riwayat alergi makanan atau obat: disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
            Anggota keluarga denga sakit yang sama disangkal.
            Riwayat diabetes mellitus: disangkal.
Riwayat hipertensi: disangkal.
Riwayat Kebiasaan:
            Pasien mengaku sering terpapar sinar matahari dan matanya sering terkena debu akibat bekerja di pabrik benang. Pasien tidak menggunakan topi ataupun kacamata. Pasien juga merupakan pengguna kendaraan bermotor, yang biasanya menggunakan helm tanpa kaca pelindung mata. Pasien mengaku tinggal di daerah yang panas.





C.      Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
Keadaan umum     : Baik
Kesadaran             : Compos Mentis
Tanda Vital
      Tekanan darah : 120/80
      Nadi                : 84 kali/menit
      Respirasi          : 18 kali/menit
      Suhu                : 36.6 °C

Status Oftalmologi

OD
OS
Visus
5/5 E
5/5 E
Kedudukan bola mata
Ortoforia
Gerakan bola mata















Tekanan intraokular
N/palpasi
N/palpasi
Palpebra superior
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ;benjolan (-)
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ;  benjolan (-)
Palpebra inferior
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ;benjolan (-)
Hiperemis (-) ; edema (-) ; nyeri tekan (-) ;  benjolan (-)
Konjungtiva tarsalis superior
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ; sekret (-)
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ; sekret (-)
Konjungtiva tarsalis inferior
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ; sekret (-)
Hiperemis (-) ; papil (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ; sekret (-)
Konjungtiva bulbi
Injeksi konjungtiva (-) ; injeksi siliar (-) ; perdarahan (-)
Injeksi konjungtiva (-) ; injeksi siliar (-) ; perdarahan (-) ;
Kornea
Infiltrat (-) ; ulkus (-) ; sikatriks (-)
Terdapat selaput berbentuk segitiga di bagian nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
Infiltrat (-) ; ulkus (-) ; sikatriks (-)
Terdapat selaput berbentuk segitiga di bagian nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
Bilik mata depan
Dalam, jernih
Dalam, jernih
Iris
Berwarna coklat, kripte (+), sinekia anterior (-), sinekia posterior (-)
Berwarna coklat, kripte (+), sinekia anterior (-), sinekia posterior (-)
Pupil
Bulat, isokor, berada di sentral, refleks cahaya (+), diameter 3mm
Bulat, isokor, berada di sentral, refleks cahaya (+), diameter 3mm
Lensa
Jernih, shadow test (-)
Jernih, shadow test (-)
Vitreus
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Fundus
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan


Description: Macintosh HD:Users:marleen:Desktop:Screen Shot 2015-08-31 at 11.31.53 PM.png Description: Macintosh HD:Users:marleen:Desktop:Screen Shot 2015-08-31 at 11.33.18 PM.png
Description: Macintosh HD:Users:marleen:Desktop:Screen Shot 2015-08-31 at 11.34.51 PM.png


D.    Resume
Seorang pria, 33 tahun, datang dengan keluhan utama munculnya selaput berwarna kemerahan pada mata kanan dan kiri yang semakin hari semakin mendekati bagian hitam mata sejak 2 tahun yang lalu. Selaput berbentuk triangular dibagian nasal dengan bagian sentral terletak dipinggir kornea. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa mengganjal pada mata kanan dan kiri. Keluhan mata merah dan mata kering terdapat serta hilang timbul dengan sendirinya
Pasien sering terpapar sinar matahari dan debu pabrik serta sering beraktivitas diluar ruangan tanpa menggunakan topi atau kacamata. Pasien mengaku belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Pasien mengaku tidak menggunakan kacamata.
Pada pemeriksaan oftalmologis, pemeriksaan kornea pada oculi dextra dan sinistra ditemukan adanya selaput berbentuk segitiga dibagian nasal yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Pemeriksaan visus:
·         Visus OD : 5/5 E
·         Visus OS : 5/5 E

E.     Diagnosis Kerja
Pterygium ODS derajat II

F.     Diagnosis Banding
Pseudopterygium
Pinguekula

G.    Penatalaksanaan
Diagnostik                       :
Pemeriksaan fisik :
Slit Lamp : untuk melihat jaringan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva
Terapi
Non medikamentosa
Anjuran untuk mengurangi aktivitas diluar ruangan.
Anjuran untuk memakai topi dan kacamata saat beraktivitas diluar ruangan atau sewaktu bekerja.
            Medikamentosa
            Steroid topical : CendoXitrol® (Polimyxin B, Neomycin, Dexamethason) tetes mata 3  kali 1 tetes selama 5 – 7 hari pada oculi dextra
            Air mata artifisial (1 tetes 4 kali sehari) ; Cendo lyteers
            Tindakan bedah
Pro eksisi pterygium dengan teknik conjunctival autograft dengan pemberian mytomicin C intraoperatif.
Monitoring                  :
Gejala : Selaput tumbuh semakin mendekati pupil atau sama saja, rasa perih dan mengganjal sama saja atau semakin memburuk.
Edukasi                      :
·         Edukasi mengenai penyakit pasien
Komplikasi : gangguan penglihatan, iritasi berulang.
·         Edukasi mengenai terapi pterigium
Guna obat: untuk meredakan keluhan tapi tidak menghilangkan selaput dan bahwa terapi definitive adalah pembedahan.
·         Edukasi pasien untuk control setelah operasi
Komplikasi post-op : infeksi konjungtiva, reaksi material jahitan, terbentuknya granuloma, rekuren.
H.      Prognosis
            Quo ad vitam              :Bonam
            Quo ad fungsionam    :Dubia ad bonam
            Quo ad sanationam     :Dubia ad bonam

Pada anamnesis, seorang pria 33 tahun ditemukan gejala yang khas pada pterygium yaitu munculnya selaput pada bagian putih mata dekat hidung berbentuk segitiga dengan bagian tengah di pinggir bagian hitam bola mata, serta adanya rasa mengganjal. terdapat keluhan mata merah dan mata kering dirasakan hilang timbul dengan sendirinya. Pasien tidak memiliki keluhan gangguan penglihatan, sekret, gatal, bengkak dan nyeri. Hal ini dapat menyingkirkan diagnosa mata merah dengan visus turun bersamaan dengan menyingkirkan diagnosa mata merah dengan belek.
Dari anamnesis, pada riwayat kebiasaan didapatkan pasien sering beraktivitas diluar ruangan, tanpa memakai topi ataupun kacamata pelindung sehingga sering terkena paparan UV serta pasien juga mengaku bekerja sebagai buruh pabrik benang sehingga sering terpapar debu. Hal ini mendukung diagnosis pterygium karena sering terpapar dengan sinar UV serta benda asing seperti debu merupakan salah satu faktor resiko dari pterygium.
Dari pemeriksaan fisik, pada oculi dextra dan sinistra ditemukan selaput berbentuk triangular dari bagian nasal yang melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Berdasarkan kriteria derajat klinis menurut Youngson, makaditegakkan diagnosis pterygium oculi dextra dan sinistra derajat II. Untuk membedakan pterigium dengan diagnose banding lain adalah posisi pterigium itu sendiri. Pada pseudopterigium, jaringan muncul tidak harus dari bagian nasal atau temporal, namun bisa dari mana saja. Selain itu dari anamnesa dapat ditemukan riwayat sakit mata sebelumnya. Pterigium juga dapat dibedakan dengan pinguekula dari lokasinya. Pada pinguekula, benjolan hanya ada di batas limbus dan konjungtiva. Pinguekula tidak pernah mengganggu kornea. Dari pemeriksaan fisik pasien ini, dilihat bahwa jaringan segitiga tersebut melewati batas limbus.
Pada tatalaksana non medikamentosa, dianjurkan kepada pasien untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan dan memakai topi dan kacamata jika berada di luar ruangan atau sedang bekerja di pabrik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir paparan UV sehingga kemungkinan terjadinya progresivitas penyakit berkurang serta meminimalisir debu yang dapat mengiritasi mata.
Padatatalaksanamedikamentosa, diberikan obat tetes mata CendoXitrol® (Polimyxin B, Neomycin, Dexamethason) 3 kali 1 tetes pada mata kanan dan kiri. Diharapkan kortikosteroid dalam kombinasi ini dapat meredakan gejala iritasi yang terjadi.
Terapisurgikal yang dianjurkan kepada pasien adalah eksisi pterygium dengan teknik conjunctival autograft dengan pemberian mytomycin C intraoperatif. Teknik conjunctival autograft dipilih karena tingkat kekambuhannya yang rendah. Pemberian mytomycin C intraoperatif dipertimbangkan pada kasus ini karena kasus tingkat kekambuhan pterygium diharapkan menurun dengan pemberian mytomycin C karena MMC menghambat sintesis fibroblas sehingga dapat mencegah rekurensi penyakit tersebut.
1
BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pterigium merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman
Pasien dengan pterigium yang menggunakan teknik operasi free conjunctival autograft memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan pterigium yang menggunakan teknik operasi bare sclera.

B.       Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut pada faktor resiko yang mempengaruhi antara kedua metode tersebut. Pemilihan jenis operasi perlu mempertimbangkan pada faktor – faktor resiko tersebut untuk mengurangi kekambuhan.











DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2008.  Classification and Management of Conjunctival Disorders. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist. pp 165-167.


Ilyas,Sidharta. 2005. Kelopak Mata. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit  FKUI, hlm : 58-60

lusby, Franklyn W. Medine Plus. 2008. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001011.htm (accessed 2015).

Sebastian, Roberto. Diagnostic Pathology. 2013. http://www.diagnosticpathology.org/content/8/1/32.

Subramaniam, Dr Ramya. Ejournal Ophtalmology. 2011. http://www.ejournalofophthalmology.com/ejo/ejo40.html.

Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. 2000. Palpebra dan Aparatus Lakrimalis. Dalam Oftamologi umum. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. Hal 81-82

Vision, Mission for. Anatomy of the human eye. 2005. http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2005/11/conjunctiva-answers.html.


Youngson, Liutenant Colonel R.M. Ramcjournal. 1970. http://www.ramcjournal.com/content/116/3/126.full.pdf.


No comments:

Post a Comment