Saturday 5 March 2022

RESUME BUKUFIQIH WANITA Karya Prof. Dr. Mohamed Osma El-Khosht

 

PEMBAHASAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 1

Bagian wanita dalam warisan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IBU

Ada tiga pembahasanuntuk ibu dalam masalah warisan:

Pertama, ibu mendapatkan seperenam (1/6) dalam dua keadaan:

1.      Apabila si mayit meninggalkan ahli waris lain, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah. Hal ini berdasarkan kalam Allah:

Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalakn, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak…”

(QS an- Nisa’ {4} : 11)

 

2.      Apabila si mayit meninggal dua orang saudara laki-laki atau perempuan atau lebih secara mutlak, baik mereka adalah saudara sekandung, atau saudara sebapak, saudara seibu, atau campuran. Hal ini berdasarkan kalam Allah:

“…Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam…” (QS an-Nisa’ {4} : 11)

 

              Kedua ,ibu mendapat sepertiga (1/3) dari semua harta waris apabila si mayit tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, naik itu dua atau lebih dari saudara laki-laki dan perempuan, atau salah satu dari pasangan ibu-bapaknya. Hal ini berdasarkan kalam Allah:

..JIka dia

(yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja),maka ibunya memdapat sepertiga..”(QS an-Nisa’[4]: 11)

          

           Ketiga, ibu mendapatkan sepertiga (1/3) dari sisa harta waris setelah dibagikam kepada salahsatu pasangan (suami atau istri) si mayit. Keadaan harta warisan yang hanya dibagikan kepada bapak, ibu, dan salah satu pasangannya (suami atau istri), ini disebut ‘ummariyyah atau ghara’. Dasar hukumnya adalah kalam allah:

..Jika dia ( yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), mka ibunya mendapat sepertiga…” (QS an-Nisa[4]: 11)

 

           Maksud hitungan spertiga di sini adalah sepertiga dari hak bagian kedua orang tua bukan sepertiga dari keseluruhan harta warisan sehingga ayat, “dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja),,” tetap berfungsi. Jadi ,maksud “dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga” adalah jatah bagian yang diambil untuk ibu-bapaknya. Dan sepertiga dari bagian tersebut adlah sepertiga dari sisa harta waris setelah jatah bagian salah satu pasangan telah diberikan.

 

ANAK PEREMPUAN

 Allah menerangkan bahwa ada tiga kondisi untuk anak kandung perempuan, yaitu:

Pertama, anak perempuan mewarisi setengah (1/2) dari harta warisan jika dia sendiri (tanpa ada ahli waris yang lain). Hal ini berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

Jika dia (anak perempuan)itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan)… (QS an-Nisa’[4]:11).

Kedua, anak perempuan mendapat dua pertiga (2/3) dari harta warisan jika si mayit meninggalkan dua anak perempuan atau lebih tanpa ada anak laki-laki.

 Hal ini berdasarkan kalam-Nya, “… dan jika anak itu semuanya perempuanyang jumlahnya lebih dari da, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…” (QS an-Nisa’[4]: 11)

 

Ketiga, anak perempuan hanya mendapatkan ashabah apabila si mayit juga mwninggalkan anak laki-laki, baik dia (anak perempuan) sendiri maupun lebih, baik anak laki-laki itu sendiri maupun lebih. Pembagiannya, bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. (…. Allah mesyariatkan (mewajibkan) kepadamu  istri laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan …           QS an-Nisa’ [4]: 11)

 

ISTRI

Berdasarkan ayat tersebut, ada dua kondisi untuk istri:

           Pertama ,istri mendapat seperempat (1/4) dari harta waris apabila tidak ada ahli waris lainnya, seperti anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki, dan terus ke bawah. Bagian ini diterima oleh istri, baik sendiri maupun lebih (jika poligami). Berdasarkan keumumkan ayat, bagian seperempat tersebut bisa saja diterima oleh satu istri jika memang sendiri atau dibagikan sama rata kepada beberapa istri.

           Kedua, istri hanya mendapat seperdelapan (1/8) dari harta waris apanila si mayit meninggalkan ahli waris lainnya, baik ahli waris tersebut dari arahnya atau selainnya. Tentukan, bagian untuk satu istri adalah bagian terbanyak, sebagaimana juga dalam kasus pertama.

 

 

JADDAH (NENEK, BUYUT PEREMPUAN, DAN TERUS KE ATAS)

Ada tiga kondisi untuk nenek kandung, yaitu:

Pertama, nenek menerima seperenam (1/6), baik nenek dari arah ibu maupun bapak, baik jumlahnya seorang maupun lebih apabila kedudukannya sederajat, seperti nenek dari arah ibu dan nenek dari arah bapak. Jika jumlah nenek banyak, mereka berserikat dalam seperenam.

 

Kedua, nenek tidak berhak mendapatkan warisan dalam kondisi-kondisi berikut.

1)      Apabila kakek masih hidup bersama nenek yang bersal dari bapak, nenek tidur mendapatkan warisan.

2)      Nenek dari arah mana pun jika ibu si mayit hidup.

3)      Apabila si mayit meninggalkan bapaknya bersama nenek yang dari arah bapak.

Ketiga, nenek yang levelnya dekat dapat menghalangi nenek  yang levelnya jauh. Misalnya, nenek dari arah ibu dapat menghalangi buyut perempuan dari arah ibu nenek dan buyut perempuan dari arah bapak-kakek.

 

 

SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

Ada lima kondisi pembagian harta waris untuk saudara kandung perempuan sebagai berikut.

Pertama, dia mewarisi setengah (1/2) harta waris apabila sendiri: tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, atau saudara kandung laki-laki.

 

Kedua, dia mewarisi dua pertiga (2/3) harta waris apabila jumlah saudara kandung perempuan dua atau lebih dan tidak ada anggota keluarga sebagaimana yang disebutkan dalam kasus pertama. Hal ini berdasarkan kalam Allah, “tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan…” (QS an-Nisa’ [4]: 176)

Ketiga, dia menjadi ashabah apabila ada satu atau lebih saudara kandung laki-laki dan tidak ada anggota keluarga seperti yang disebutkan dalam kasus pertama.

 

Keempat, saudara kandung perempuan menjadi ashabah bersama ahli waris yang lain, yaitu bersama anak perempuan si mayit atau cucu perempuan dari arah anak laki-laki si mayit.

 

Kelima, saudara kandung perempuan tidak mendapatkan bagian waris sama sekali dengan adanya ahli waris, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki, dan terus ke bawah.

 

SAUDARA PEREMPUAN SEIBU

Pertama, mendapat bagian seperenam (1/6) apabila dia sendiri tanpa ada saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu yang lain, sedangkan si mayit tidak meninggalkan ahli waris lain, baik yang bersifat furu’ (cabang) secara mutlak maupun ashl (pokok) dari kalangan laki-laki.

 

Kedua, mendapat bagian spertiga (1/3) apabila saudara perempuan seibu itu dua atau lebih, bai mereka bersama saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu.

 

Ketiga, saudara perempuan seibu tidak mendapatkan warisan sama sekali karena adanya ahli waris yang bersifat furu’, baik laki-laki maupun perempuan, seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki arah anak laki-laki.

 

            Sebagaimana yang dijelaskan berkali-kali bahwa kalalah itu adalah keadaan mayit yang tidak meninggalakn anak ataupun bapak.

 

 

SAUDARA PEREMPUAN SEBAPAK

Ada enam kondisi pembagian harta waris untuk saudara perempuan sebapak. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

            Pertama, saudara perempuan sebapak mendapat bagian setengah (1/2) apabila dia sendiri tanpa ada saudara kandung laki-laki atau saudara kandung perempuan atau sadara laki-laki sebapak dan juga tidak ada ahli waris yang menghalanginya.

            Kedua, saudara perempuan sebapak mendapat bagian dua pertiga (2/3) apabila berjumlah dua atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki sebapak atau saudara-saudara kandung perempuan.

            Ketiga, saudara perempuan sebapak mendapat bagian ashabah apabila berjumlah satu atau lebih dengan saudara laki-laki sebapak. Dia menjadi ashabah bil ghair dengan ketentuan bagian laki-laki itu seperti dua bagian perempuan.

            Keempat, saudara perempuan sebapak mendapat bagian ashabah apabila berjumlah satu atau lebih dengan adanya ahli waris yang bersifat furu’ dari kalangan perempuan, seperti anak perempuan atau cucu perempuan dari arah anak laki-laki.

            Kelima, saudara perempuan sebapak mendapat bagian seperenam (1/6) apabila berjumlah satu atau lenih karena adanya saudara kandung perempuan.

            Keenam, mereka tidak mendapatkan warisan sama sekali dalam beberapa keadaan berikut.

1)      Jika ada ahli waris furu’ atau ashl dari kalangan laki-laki

2)      Jika ada saudara kandung laki-laki

3)      Jika ada saudara kandung perempuan yang mendapatkan bagian ashabah ma’al ghair, seperti anak perempuan atau cucu perempuan dari arah anak laki-laki.

4)      Jika ada dua saudara kandung perempuan yang mendapat hak bagian saudara-saudara perempuan, yaitu sebesar dua pertiga.

 

 

CUCU PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI (WASIAT WAJIBAH)

Menurut peraturan yan ada, cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapatkan hak waris kakeknya yang meninggal apabila bapak mereka telah meninggal terlebih dahulu semasa kakeknya masih hidup dan masih ada para paman serta bibi dari arah bapak.

Undang-undang mensyaratkan dua hal untuk melegalkan wasiat ini:

Pertama, keturunan (cucu) bukan termasuk ahli waris dari si mayit.

Kedua, si mayit tidak boleh memberikan bagian harta sepadan dengan wasiat wajibah atau bahkan lebih banyak kepada cucu karena apa yang mereka berhak untuk mendapatkannya pasti akan mereka dapatkan dengan jalan yang lain.

 

Beberapa keadaan cucu perempuan terhadap harta warisan adalah sebagai berikut.

Pertama, mereka tidak menjadi ahli waris selama ada anak laki-laki si mayit, baik satu anak maupun lebih.

 

Kedua, mereka tidak menjadi ahli waris selama ada dua anak kandung perempuan atu lebih yang berhak mendapatkan dua pertiga harta waris.

 

Ketiga, mereka mendapat bagian harta waris secara ashabah bersama cucuu laki-laki yang sederajat dengan ketentuan dua berbanding satu, seperti cucu laki-laki dan cucu perempuan.

 

Keempat, mereka mewarisi setengah (1/2) harta warisan apabila cucu ini sendiri dan tidak ada bersamanya anak kandung perempuan atau anak kandung laki-laki atau pemilik ashabah lain seperti cucu laki-lkai.

 

Kelima, mereka mewarisi dua pertiga (2/3) harta warisan apabila cucu ini berjumlah da atau lebih dan apabila tidak ada anak kandung perempuan atau anak kandung laki-laki atau pemilik ashabah lain.

 

Keenam,  mereka mewarisi seperenam (1/6) harta warisan apabila bersamanya ada satu anak kandung perempuan, tetapi tidak ada pemilik ashabah yang sederajat dengannya atau diatasnya yang dapat menghalanginya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab II

Beberapa Hukum Seputar Pernikahan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HUKUM PERNIKAHAN

Menikah itu wajib bagi perempuan yang sangat berptensi akan terjerumus dalam perbuatan zina dan dia telah merasa mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban berkeluarga.

Menikah menjadi mustahab (lebih disukai) apabila dia merasa mampu bergaul dan cinta, tetapi sebenarnya dia tidak  khawatir terjerembab dalam perzinaan.

Menikah hukumnya berubah menjadi makruh apabila dia merasa ragu,akankah mampu atau tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban berumah tangga dengan berbagai problematikanya.

 

WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI

Ada dua macam pengharaman seorang laki-laki menikahi wanita-wanita yang haram dinikahi:

v tahrim muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya) disebabkan hubungan yang mengharuskan pengharaman dan tidak akan hilang.

v Tahrim muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara) karena penyebab pengharamannya dapat saja hilang, apabila penyebabnya telah hilang, hilang pula pengharamannya.

 

Wanita-wanita yang haram dinikahi bersifat tahrim muabbad:

a.    Wanita –wanita yang ahram dinikahi karena nasab atau hubungan kerabat.

·      Ibu,nenek, dan terus ke ats, baik dari arah bapak maupun ibu.

·      Anak perempuan dan terus ke bawah.

·      Saudara perempuan.

·      Bibi dari arah bapak dan bibi dari arah ibu.

·      Anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan dan terus ke bawahnya.

b.    Wanita –wanita yang haram dinikahi karena mushaharah (sebab pernikahan)

·      Istri bapak, istri kakek, dan terus ke atas.

·      Ibu istri (mertua), nenek, dan terus ke atas.

·      Anak perempuan istri dan keturunannya dengan syarat telah berjimak dengan istri tersebut.

·      Istri anak (menantu) atau istri cucu.

c.    Wanita –wanita yang haram dinikahi karena sesusuan.

     Wanita yang haram dinikahi disebabkan hubungan penyusuan, sebenarnya penyebabnya sama sengan nasab, berdasarkan kalam Allah Ta’ala, “ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.”

     Semua anak laki-laki ibu susu itu diharam untuk menikahi anak perempan yang menyusu kepada ibu tersebut meskipun anak laki-lakinya tidak ikut menyusu sebab mereka semua menajdi saudara.

 

Wanita –wanita yang haram dinikahi bersifat muaqqat (sementara waktu):

Apabila penyebab haramnya telah hilang, mereka pun menjadi halal untuk dinikahi. Mereka adalah:

Ø Istri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.

Ø Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara.

Ø Perempuan yang hendak dijadikan istri kelima setelah menikahi empat perempuan.

Ø Istri yang telah ditalak sebanyak tiga kali, kecuali jika mantan istri tersebut sudah menikah dengan laki-laki lain, kemudian diceraikan dan selesai masa iddahnya.

Ø Perempuan penyembah berhala yang tidak memeluk agama samawi.

Ø Perempuan pezina, kecuali jika dia benar-benar bertobat, kemudian masa iddahnya dari zina telah selesai sehingga rahimnya benar-benar bersih.

Ø Sebagaimana muslimah diharamkan untuk menikah dengan laki-laki non-islam maka diharamkan pula menikah dengan pezina, kecuali jika telah berobat.

 

 

HUKUM-HUKUM KHITBAH (MELAMAR)

Lamaran disyariatkan sebelum menikah sehingga dua calon mempelai saling mengenal satu dengan yang lain dan saling mengetahui. Dengan demikian, pinangan dapat memberikan kesempatan untuk  keduanya menimbang antara setuju dan tidsk, baik dalam hal watak dan sifat, keinginan dan tujuan, maupun visi dan misi.

Syarat Maju untuk Melamar

Ada dua syarat boleh dilamar:

1.  Si wanita bebas dari larangan syariat tentang haramnya menikah yang bersifat permanen (tahrim muabbad) atau temporer (tahrim muaqqat).

2.  Si wanita tidak dalam posisi telah dilamar orang lain.

 

Melamar Wanita yang Masih dalam Masa Iddah

     Melamar wanita yang sedang menjalani masa iddah talak bain (dalam dua macamnya) dengan cara sindiran juga diperbolehkan karena mantan suami sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi. Melamarnya dengan sendirian tidak melanggar hak mantan suami yang mencerainya. Dalam hal ini, serupa dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah sebab kematian.

     Adapun wanita yang sedang menjalani masa iddah talak raj’I, tidak boleh dilamar dengan cara terang-terangan atau sindiran karena suami yang menceraikannya masih mempunyai hak rujuk dalam masa iddah. Oleh karena itu, si wanita masih dikatakan istrinya. Melamarnya merupakan penyerobotan hak suami.

 

Waniat Melamar Laki-Laki dan Bolehnya Wali Melamarkan Anak Perempuannya Terhadap Orang-Orang Shalih

     Wanita boleh melamar seorang laki-laki berdasarkan hadits bahwa seorang wanita datang kepala Rasulullah saw, dan berkata, “Aku datang untuk menghibahkan diriku untukmu.” Meskipun (akhirnya) Rasulullah tidak menikahinya, tetapi beliau tidak mengingkari perbuatan itu.

     Wali wanita boleh juga melamarkan untuk wanita tersebut kepada orang yang terlihat baik dan shalih, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah bahwa Nabi Syu’aib melamarkan salah satu dari anak perempuannya kepada Nabi Musa. Allah berkalam:

     Dia (syekh madyan) berkata, “ Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun….” (QS al-Qashash [28]: 27)

 

Wanita Melamar Seorang Laki-Laki yang Telah Melamar Wanira Lain

     Kasus seorang wanita melamar laki-laki yang telah melamar wanita lain hukumnya sesuai dengan beberapa keadaan. Dihukumi haram atau mubah bergantung pada keadaanya.

     Apabila wanita pelamar pertama bukan penyempurna dari jumlah yang disyariatkan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menambah, yaitu dari empat istri, dan laki-laki tersebut tidak ingin membatasi diri hanya satu istri, lamaran wanita kedua kepada lelaki tersebut tidak diharamkan. Hal itu karena laki-laki boleh menikahi dua orang wanita bersamaan.

 

Melihat Wanita yang Hendak Dilamar dan Berkenalan dengannya

“melihat “ yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah “melihat” yang disyariatkan. Si pelamar diperbolehkan melihat wajah dan dua telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri postur tubuh.  Adapun yang lebih jauh dari itu bisa dilakukan dengan memeriksa dan mengorek, semisal mengutus perempuan lain yang dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan sehingga perempuan tersebut dapat mengenali sifat-sifat si calon wanita.

 

Pascakhitbah

Khitbah hanya sebatas janji menikah dan bukan pernikahan itu sendiri maka tidak ada hak seperti setelah pernikahan. Pihak satu masih menjadi orang ajnabi (bukan mahram) bagi pihak yang lain dengan pengeculian adanya hal yang dibolehkan syariat untuk keduanya, sebagainya yang lewat penjelasannya.

 

Pengaruh Pembatalan Khitbah

Tidak ada pengaruh apa pun dalam pembatalan khitbah, kecuali jika wanita yang dilamar dirugikan dari segi materi. Pengadilan Mesir pada tahun 1939 M telah menetapkan bahwa apabila pihak pelamar merugikan pihak yang dilamar  secara materi, seperti permohonan kepada pihak yang dilamar untuk meninggalkan tugasnya, lalu dia juga meninggalkan atau menuntut barang perkakas tertentu dan membeli sesuai dengan keinginannya, kemudian (ternyata) dia membatalkan khitbah maka pihak yang dilamar berhak mendapat ganti dari kerugian tersebut.

 

 

Di sinilah letak keadilan dan kebijaksanaan sehingga pihak laki-laki yang memberikan hadiah tidak terbebani rasa sakit hati sebab pembatalan khitbah, juga kerugian finansial apabila pembatalan berasal dari pihak perempuan. Begitu pula sebaliknya, pihak perempuan yang menerima hadiah tidak terbebani rasa sakit hati karena khitbah dibatalkan dan keharusan mengembalikan hadiah apabila pihak laki-laki yang membatalkan khitbah.

 

MAHAR (MASKAWIN) DAN HUKUMNYA

Mahar adalah salah satu hak mempelai wanita yang diwajibkan Al-Quran. Mempelai wanita berhak melakukan apa pun terhadap mahar karena benda ini murni miliknya. Dia bebas mempergunakannya tanpa intervensi siapa pun.

 

Ukuran Mahar

Ukuran mahar harus sesuai dengan keadaan para pemuda secara sosial dan budaya lokal masing-masing serta nalar. Mahar tidak ada ukuran maksimal berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

….sedang kamu telah memberikan kepala seorang diantara mereka harta yang banyak….(QS an-Nisa’ [4]: 20)

adapun batas minimal mahar adalah semua benda yang dikategorikan harta walaupun sedikit bisa dijadikan mahar. Ini berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

Dan dihalalkan bagikan selain ( perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu..(QS an-Nisa’ [4]: 24)

.. dan berilah mereka maskawin yang pantas… (QS an-Nisa’ [4]: 25)

 

Akad Nikah tanpa Menyebut Mahar

Pernikahan yang tidak menentukan mahar, hukum akadnya tetap sah karena mahar bukannya syarat ataupun rukun nkah.

 

Mahar dan Persiapan Tempat Hunian Suami Istri

Istri boleh mensyaratkan suami untuk melakukan persiapan, tetapi dia tidak boleh mewajibkannya karena itu merupakan kewajiban suami. Mahar yang diberikan adalah semata-mata hak istri demi melegalkan dan menghalalkan jimaknya. Muslimin harus ptuh dengan syarat-syarat yang persyaratan membatalkan adat istiadat yang berlaku.

 

Menyegerakan (Membayar Kontan) dan Menunda (Utang) Pemberian Mahar

Membayar sebagian dan menunda sebagian nominal mahar dengan syarat itu diperbolehkan, sebagaimana bolehnya membayar kontan atau mengutang mahar. Apabila istri mensyaratkan suami agar membayar kontan, suami wajib membayarnya pada saat akad nikah.

 

Mahar yang Disembunyikan dan yang Diberitahukan serta Perselisihan Suami Istri dalam Menentukan Ukurannya

Dalam rangka mencegah terjadinya percekcokan yang mengancam keutuhan pernikahan adalah dibuatnya suatu dokumen resmi yang ditetapkan oleh petugas untuk menetapkan ukuran mahar.

 

Hubungan Mahar dengan Perceraian sebelum dan sesudah Dukhul (Jimak)

Istri wajib mendapatkan setengah maharnya suami menceraikannya sebelummengumpulinya. Ini berdasarkan kalam Allah Ta’ala:

Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskanoleh orang yang akad nikah ada di tanganya. Pembebasan itu lebih deka kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di amtara kamu….(QS al-Baqarah [2]: 237)

Adapun jika diceraikan setelah jimak, istri wajib mendapat mahar secara utuh. Ini berdasarkan kalam-Nya:

Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain( sebagi suami istri=jimak). (QS an-Nisa’ 4[4]: 21)

 

 Mut’ah

 Yang dimaksud mut’ah di sini adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikan sesuai kemampaun finansialnya untuk menghibur perasaannya.

Mut’ah wajib dberikan kepada setiap wanita yang dicerai, kecuali wanita yang dicerai sebelum terjadinya jimak dan maharnya telah ditentukan. Hal ini berdasarkan:

Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut…(QS al-Baqarah [2]: 241)

Juga berdasarkan kalam-Nya tentang istri-istri Rasul:

…maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.(QS al-Ahzab [33]: 28)

Semua itri beliau telah berhubungan dengan beliau sehingga ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mut’ah kepada istri yang sudah digauli.

Adapun dalil tentang tidak wajibnya mut’ah bagi istri-istri yang diceraikan sebelum jimak dan mahar telah ditentukan adalah kalam Allah Ta’ala:

 

Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tenntukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah…(QS al-Baqarah [2]: 236)

 

PERNIKAHAN-PERNIKAHAN YANG RUSAK

Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan sampai waktu yang ditentukan atau dipersyaratkan menceraikannya dalam satu waktu, misalnya satu atau dua bulan.

Rukun nikah mut’ah menurut Syiah Imamiyyah adalah:

1)   Calon istri: disyaratkan dari wanita muslimah atau kitabiah. Lebih diutamakan lagi memilih wanita beriman yang ‘afifah (pandai menjaga kehormatan diri) dan dibenci memilih wanita pezina.

2)   Mahar : harus disebutkan, cukup disaksikan, dan dengan syarat saling rela

3)   Shighat : seperti ucapan, “Aku mut’ahkan engkau” atau Aku nikahi engkau”

4)   Jangka waktu tertentu : ini manjadi syarat dan ditetapkan sesuai kerelaan, seperti satu bulan atau satu tahun, tetapi wajib dibatasi.

 

Masih menurut Syiah Imamiyyah, ada beberapa hukum yang berkaitan dengan nikah mut’ah, di antaranya:

1)      Anak ikut suami

2)      Suami istri tidak saling mewarisi. Adapu  anak, dia menjadi ahli waris bagi keduanya dan keduanya juga ahli warisnya.

3)      Tidak ada perceraian atau saling laknat.

4)      Masa iddahnya stelah lewat dua kali datang bulan atau haid dari masa habisnya nikah mut’ah jika masih bisa haid. Apabila dia sudah menopause, masa iddahnya selama empat puluh lima hari.

 

Nikah Tahlil

    Pernikahan dengan maksud penghalalan hukumnya batal. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sebenarnya (bukan sandiwara-pent) dan harus didasari rasa cinta kepada perempuan tersebut dan misinya adalah pernikahan itu sendiri. Di dalamnya tidak ada maksud supaya menghalalkan istri tersebut kembali kepada suami pertama.

    Barang siapa yang menikahi seorang wanita dengan maksud menghalalkannya kepada suami pertama mak itu sama saja menjatuhkan dirinya pada laknat Allah dan sama saja memosisikan dirinya seperti kambing pejantan.

Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menyikapi nikah tahlil ini:

Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah ini haram hukumnya. Mereka berdalil dengan hadist-hadist sebagaimana yang telah tersebut.

Al-Auza’I berpendapat bahwa sangat untuk buruk perbuatannya, padahal nikah itu boleh.

Ahli ilmu yang lain berpendapat pernikahan laki-laki lain (dengan perempuan yang ditolak) itu boleh selagi tidak ada persyaratan (nikah tahlil) dalam akad nikah.

 

Nikah  Syighar

Nikah syighar adalah seorang laki-laki menikahkan saudara perempuannya dengan orang lain dengan syarat orang tersebut harus menikahkan saudara perempuannya dengannya.

 

 

 

AKAD NIKAH

Hak Mempelai Wanita dan Para Wali

Menurut jumhur ulama, kecuali para pengikut Mashab Hanafi, keberadaan wali merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Islam memang memberikan hak saran atau hak tolak kepada para wali ketika mereka mengetahui ada sesuatu yang jelek pada diri calon suami pelihannya yang tidak sekufu baginya. Hal itu dapat dimaklumi karena akad nikah mempunyai keterkaitan dengan anggota keluarga. Oleh karena itu, wali mempunyai hak campur tangan untuk memberikan saran atau hak menolak dalam urusan kekeluargaan secara khusus.

 

Pelaksanaan Akad Nikah

akad nikah terdiri dari atas dua rukun mendasar, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah ucapan dari satu pihak yang pertama (wali dari perempuan), sedangkan qabul adalah ucapan dari pihak lain yang kedua (calon mempelai laki-laki). Misalnya, ucapan calon istri atau wakilnya, “Aku nikahkan kamu dengan orang yang mewakilkanku Fulanah dengan mahar sekian…” kemudian, mempelai laki-laki menjawab, “Saya terima nikahnya dengan maar ini”. Ucapan yang pertaam disebut ijab dan ucapan yang kedua disebut qabul.

 

Pesta Pernikahan

Islam sangat menganjurkan diadakannya pesta pernikahan agar anggota keluarga dan kerabat dapat berkumpul bersama serta menikmati acara-acara menggembirakan dan menyenangkan.

Nash-nash shahih yang jelas tersebut menunjukan kebolehan nyanyian dalam acara-acara resepsi pernikahan dengan syarat nyanyian tersebut tidak mengandung percintaan atau menodai rasa malu. Tarian-tarian dalm batas menjaga etika dan kehormatan juga tak mengapa, sebagaimana orang-orang Habasyah melakukannya di hadapan Rasulullah saw. Dan istrinya, Aisyah. Kisah ini dikutip dalam hadist riwayat Bukhari.

 

Aqiqah

Apabila Allah menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami istri, sangat dianjurkan untuk disembelihkan seekor kambing pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Apabila tidak

 Memungkinkan untuk mengadakan aqiqah pada hari yang ketujuh, boleh juga di hari keempat belas atau kedua puluh satu dari kelahirannya.

Dianjurkan pula untuk memberikan nama yang bagus untuk si bayi, menggundul rambut kepalanya jika bayi laki-laki, lalu dikeluarkan shadaqah perak seberat rambut yang dicukur jika mampu.

 

Keluarga Berencana

Mengingat bagitu urgen pembahasan ini dan diiringi dengan banyaknya perbedaan pendapat maka kami hanya mengemukakan pendapat-pendapat yang jelas. Dengan demikian, para pembaca mampu menguasai pembahasan ini sedetail-detailnya dan mampu mengikuti pandangan-pandangan yang paling benar sesuai dengan pemahaman nash-nash Al-Quran dan Hadist Nabi serta realita kehidupan.

Sebagian orang menyangka bahwa keluarga berencana sama saja menentang kodrat Allah Ta’ala. Ini persangkaan yang salah sebab Rasulullah saw. Menjelaskan kepada kita bahwa penciptaan dan keturunan bergantung pada kehendak Allah. Keluarga berencana sama sekali tidak bertentangan dengan kehendak ni. Perlu diketahui bahwa tak seorang pun mampu menghentikan kehendak Allah walaupun dengan sebab-sebab yang ada di langit dan di bumi.

 

Inseminasi Buatan ( Bayi Tabung)

Masalah bayi tabung ini sudah tidak diragukan lagi, bagitu penting dan amat pelik. Bagaimana tidak, praktik inseminasi buatan dalam tabung uji menjadi tren di banyak rumah sakit dalam rangka mengatasi infertilisasi (kemandulan) atau untuk tujuan lain yang bermacam-macam.

Dalam pelaksanaannya, inseminasi buatan dan bayi tabung ada beberapa keadaan. Ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang.

Pertama, apabila inseminasi buatan merupakan pembuahan antara sel telur wanita dan sel sperma suaminya sendiri, kemudian sel telur yang telah dibuahi ditanamkan ke dalam rahim perempuan tersebut, itu diperbolehkan menurut syara’.

Kedua, apabila inseminasi buatan merupakan pembuahan antara sel telur wanita dan sel sperma laki-laki lain, itu dilarang oleh syara’.  Hal itu sama saja dengan zina (hubungan kelamin antarlawan jenis diluar pernikahan). Dikatakan demikian karena menanam air sperma laki-laki ajnabiyah (bukan suami) ke dalam suatu lahan yang tidak ada hubungan tali pernikahan sesuai syariat antara pemilik lahan.

Kasus inseminasi buatan yang ketiga, seorang istri tidak bisa hamil karena ada masalah dalam rahimnya, tetapi sebenarnya sel telur masih normal dan produktif. Kemudian, diambillah sel telurnya dan sel sperma suaminya, lalu dibuahkan di dalam tabung uji. Setelah itu, hasil pembuahan diambil dan ditanamkan ke dalam rahim perempuan lain (baik secara sukarela maupun diberi kompensasi), sampai kemudian janin tumbuh di dalam rahimnya. Setelah sampai pada umur kelahiran, bayi lahir secara alami. Kasus seperti ini menurut hukum syara’ diperbolehkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

No comments:

Post a Comment