Tuesday 19 October 2021

MAKALAH BAHASA INDONESIA TEORI INTETEKSTUALITI

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

 

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

A.    Latar Belakang............................................................................................. 3

B.    Rumusan Masalah........................................................................................ 4

 

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 5

A.    Pengertian Intertekstualiti............................................................................ 5

B.    Pendapat Beberapa Ahli/Tokoh Mengenai Intertekstualiti.......................... 6

C.    Tujuan Intertekstualiti.................................................................................. 8

D.    Sejarah Munculnya Intertekstualiti....................................................... ....... 8

E.     Prinsip Intertekstualiti................................................................................ 10

 

BAB III PENUTUP............................................................................................. 12

A.    Kesimpulan................................................................................................. 12

 

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Sebuah karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya, termasuk dalamnya situasi sastra (teeuw, 1980 dalam Rachmat; 2007).[1] Karya sastra mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.

Kajian Intertekstualiti dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.  Secara Khusus    Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain.

Secara luas Interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam Interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai Interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, Interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjunya Riffaterre (dalam Ratna,2005:222) mendifinisikan hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan,2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra mempengaruhinya. Kajian Intertekstualiti berangkat dari pemikiran bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua kesepakan dan tradisi di masyarakat. Dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian Intertekstualitiitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.

Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5 dalam Rahman dan Abdul Jalil:2004) Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pasca strukturalis, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak.

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain. wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983: 65). Intertekstualiti merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata Intertekstualiti, lahir dari teks-teks lain dan harus dipadang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Menurut Kristeva (dalam Worton) Intertekstualitiitas merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva. Istilah Intertekstualiti pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponenteks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.

Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan: Pertama, peng;”Larang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua,sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton,19901). Menurut Bakhtin, pendekatan Intertekstualiti menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipadang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan (Noor 2007: 4-5). Selain itu masala tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50), mengartikan intertektual sebagai “kitaa menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.

 

 

 

B.       Rumusan Masalah

1.      Pengertian teori Intertekstualiti

2.      Tujuan teori inter tekstual

3.      Prinsip Teori Intertekstualiti

4.      Sejarah Teori Intertekstualiti


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Intertekstualiti

Intertekstualiti merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses menbaca suatu karya sastra. Karena setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang membaca untuk memberoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca tersebut.

Teori Intertekstualiti pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau Intertekstualiti merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.

Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstualiti memandang teks berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).

Kajian Intertekstualiti berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut. Karena itu, teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka (Teeuw, 1988:145). Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru disebut hipogram, dan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi (Riffaterre, 1978:11, 23).

 

B.       Pendapat Beberapa Ahli/Tokoh Mengenai Intertekstualiti

Menurut Laurent Jenny dalam (Culler, 1981: 104) sebagai “outside of intertextuality, the literary work would be quite simply impertceptible, in the same way as an utterance in an as yet unknown language”. Yang artinya bahwa ketika suatu teks benar-benar tidak bergantung kepada teks lain, maka teks tersebut menjadi tidak bersignifikansi.

Culler menekankan Intertekstualiti memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981: 103);Penyadaran posisi penting prior texts (teks-teks pendahulu). Intelligibility (tingkat terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek signifikansi. Karya sastra ditulis atau dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada. Karya sastra ditulis mencontoh karya yang sudah ada sebelumnya. Akan tetapi, di samping itu, karya sastra adalah kreatifitas, maka karya sastra ditulis tidak semata-mata hanya mencontoh saja, melainkan juga memperkembangkan konvensi yang sudah ada, bahkan menyimpangi ciri-ciri dan konvensi-konvensi yang ada dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarah sastra selalu ada ketegangan antar konvensi dengan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12). Hal ini merupakan prinsip kreativitas dan sifat kreatif karya sastra.

Proses pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai signifikansinya ditentukan oleh teks-teks pendahulunya sedangkan pembaca teks juga tidak bergulat dengan teks dalam keadaan bersih.

Pemikiran Kristeva mengenai Intertekstualiti dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985: 87-88): Kehadiran suatu teks di dalam teks yang lain, Selalu adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu. Adanya fakta bahwa penulis suatu teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak. Pembaca suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca (dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks lain.

Tokoh lain juga memiliki pendapat mengenai Intertekstualiti adala Gray. Di dalam bukunya, Gray menekankan arti penting Intertekstualiti dengan genre. Ia melihat bahwa The Simpsons yang berbentuk genre parodi merujukkan kepada dua hal yang terkait dengan Intertekstualiti;

Hal yang pertama adalah penciptaan situasi yang absurd karena ditampilkan secara komikal sehingga cerminan terhadap dunia menjadi aneh. Hal yang kedua adalah dalam kontekscritical intertextuality; suatu keadaan di mana referen-referen Intertekstualiti digunakan justru untuk mengkritik keadaan masyarakat. Riffaterre mengemukakan paradigma pembacaan sajak yang melibatkan dua tahap pembacaan (Riffaterre, 1978: 4-6);

Tahap pertama Heuristic reading adalah tahap pembacaan yang menekankan kebutuhan seorang pembaca akan kompetensi linguistik, sebab sajak tidak mengikuti tata bahasa baku, dan kompetensi kesusastraan (tidak dalam khazanah buku-buku sastra saja, pen.), sebab sajak melibatkan teks-teks lain, semesta tanda, sehingga akan dapat dimunculkannya model hypogramamatis. Sedangkan tahap kedua pembacaan adalah tahap hermeneutic reading atau dia juga memakai istilah retroactive reading. Pada tahapan ini seorang pembaca merangkai semesta tanda di dalam satu konteks keutuhan sajak. Tanda yang tidak relevan bakal untuk sementara tidak dipakai karena pada proses baca ulang kesekian kalinya bisa jadi referen yang dikesampingkan bakal dipakai dalam mewujudkan signifikansi sajak.

Riffaterre juga yang menggunakan istilah hypogram, sistem tanda-tanda yang ada pada teks-teks sebelumnya, untuk mengaitkan produksi tanda yang terjadi pada sebuah sajak (Riffaterre, 1978: 23). Misalnya saja Zulfahnur dan Sayuti Kurnia (1996: 9-12) di dalam buku Sastra Bandingan. Mereka membandingkan keterkaitan dan pengaruh sajak Amir Hamzah, Berdiri Aku, terhadap sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil. Kedua sajak menurut mereka memiliki keterkaitan di dalam aspek “tema + setting”: elang, udara, dan suasana pantai. Di dalam simpul analisis, mereka menyatakan bahwa keterkaitan di antara kedua sajak justru terletak pada kontras atau kontradiksi di antara kedua sajak. Zulfahnur dan Sayuti Kurnia menemukan bahwa sajak Amir Hamzah memberikan nuansa kesempurnaan dunia menurut si “aku” sedangkan sajak Chairil Anwar menyajikan nuansa kemuraman, kebekuan, dan sepinya dunia bagi si “aku”.

Pendekatan Intertekstualiti juga terjadi ketika analisis sastra menyinggung masalah “sastra bandingan” atau comparative literature. Karena teori Intertekstualiti ini memiliki kesamaan dengan sastra bandingan. Sastra bandingan adalah kegiatan telaah produk,  literature  (sastra dan seni) saling berhubungan dalam konteks aspek tema/mitos; jenis/bentuk/teknik tulis; gerakan/trend; keterkaitan antar-karya sastra dengan karya seni yang lain; dan keterkaitan teori dan praktik kritis di dalam perbandingan berdasarkan pendekatan terhadap karya sastra.

 

C.      Tujuan Intertekstualiti

Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya (Karya Sastra). Penulisan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya, sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).

 

D.      Sejarah Munculnya Intertekstualiti

Teori intertekstualiti mendapat namanya di tangan Kristeva pada sekitar tahun 1970-an, Bagaimanapun, perbicaraannya sudah dimulai dekat 1960-an dengan Kristeva menjelaskan dasar teori dialogikal M. Bakhtin, tegasnya teori ini adalah hasil modifikasi sastra danipada pemikiran Bakhtin. Dengan itu, tokoh awal yang memperkenalkan konsep intertekstualiti ialah Mikhail Bakhtin pada tahun 1920-an, Pada mulanya, Bakhtin menggunakan konsep dialogik sebagaimana diuraikannya dalam bukunya The Dialogic Imagination. Beliau  berpendapat bahwa semua karya sastra itu dihasilkan berdasarkan pada dialog di antara teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain teori ini memperlihatkan hubungan antara teks dengan teks yang lain itu. Baginya tidak ada sebuah karya pun yang bersifat mandiri. Sebuah teks adalah terbina hasil perhubungan dan pergantungan dengan teks-teks sebelumnya segala unsur itu masuk kedalam teks. Ada hubungan dialogis antara semua ungkapan itu sehingga membina hubungan semantik atau makna teks" (1976:36).

Ada beberapa hal yang mendorong Bakhtin penyelidikan dan menemukan teori dialogiknya Pertama karya-karya Rusia yang dianggap kuno seperti yang dihasilkan oleh Toistoy, Pushkin dan terutamanya Doestovsky tidak difahami sepenuhnya oleh masyarakat sastra waktu itu. Kedua, Bakhtin menyatakan bahwa formalisme karya sastra yang terkembang zaman itu sebagai wacana modern mempunyai  kelemahan yang mendasar, terlalu teknikal, melecahkan fenomena makna dan terpenjara dalam tekstualitinya (Holquist, Michael, 1990).

Penemuan Bakhtin ini sebenarnya didasarkan kepada teori dialogisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 di Rusia. Bakhtin telah berjaya meneliti teori tersebut berdasarkan tulisan-tulisan beberapa penulis Rusia yang terkemuka seperti Mayakovsky, Knlebnikov dan Bely. Daripada penelitiannya, Bakhtin telah membina asas teori dialogik untuk digunakan bagi usaha membaca dan rnernahami karya sastra yang dikatakan sukar difahami itu. Bakhtin menggunakan teori dialogik itu untuk membaca dan memahami karya Dostoevsky yang dikarenakan sukar dipahami oleh masyarakat Rusia akhir tahun 1920-an. Pendekatan formalisme Rusia yang berkembang pada waktu itu ternyata tidak berhasil membantu masyarakat memahami karya Dostoevsky ialah penulis Rusia yang terkenal yang telah menghasilkan empat betas buah novel dan antologi cerpen. DI aantara karya vang bestir ialah The Big Gamble, The Idiot dan The Brothers Karamanzoo. Bakhtin menggunakan teori dialogik untuk membincangkan karya-karya Dostoevsky itu terutamanya dalam tulisannya Problem, of Dostoevsky' Poetics. Bakhtin banyak menganalisis tekstualiti dan hubungan dengan teks-teks lainnya yang membina makna karya Dostoevsky tersebut

Pokok utama menurut dialogik Bakhtin dalam setiap karya itu berlaku dialog yang menghubungkan antara teks dalaman dan teks luaran. Yanc, dimaksudkan dengan teks dalaman ialah aspek vang berkaitan dengan pembinaan sesebuah karya sastra seperti estetik, imaginatif dan ilusi sementara teks luaran merupakan teks sosial yang paling erat kaitannya dengan pengalaman pengaran, ideologi, sejarah, moral, budaya dan sebagainya. Oleh itu, sesebuah karya itu tidak dapat dipisahkan dengan. teks sosial yang merupakan teks luaran. Sebagai contohnva, teks sosial mempunyai pengertian yang mencakupi fakta d.an peristiwa sejarah. Malah setiap karya yang dihasilkan itu mempunyai unsur-unsur serajahnya tersendiri seperti timbulnya hasrat untuk menulis, pengumpulan bahan dan semuanya itu  mempengaruhi penuhsan dan dianggap sebagai unsur sejarah adalah jelas bahwa dialog yang dirnaksudkan oleh Bakhtin (19-76A06-7) ialah adanva kemasukan unsur-unsur luar daiam sesebuah karya sastra.

 

E.       Prinsip Intertekstualiti

Prinsip Intertekstualiti yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya.

Hutomo (1993b: 13-14) menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori Intertekstualiti. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain.

Pendekatan atau kajian ilmu sastra mutakhir yang paling menonjol adalah hubungan Intertekstualiti antara teks sastra dengan berbagai macam teks lainnya, yang kesemuanya itu dilihat sebagai suatu produk budaya pada kurun waktu tertentu (Junus, 1996: 121; Budianta, 2002: 43).

Menurut Julia Kristeva (dalam Hutomo, 1993b: 13-14) teori Intertekstualiti itu mempunyai kaidah dan prinsip tertentu, diantaranya: Pada hakikatnya sebuah teks itu mengandung berbagai teks;

Studi Intertekstualiti itu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah teks;  Studi Intertekstualiti itu mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat; Dalam kaitan dengan proses kreatif pengarang, kehadiran sebuah teks merupakan hasil yang diperoleh dari teks-teks lain;

Dalam kaitan dengan studi Intertekstualiti, pengertian teks (sastra) janganlah ditafsirkan terbatas pada bahan sastra, tetapi harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk bahasa. Bagi teori Intertekstualiti, penulis ataupun teks tidak terputus dari dunia budaya yang lebih besar. Sebuah teks bermakna penuh bukan hanya karena mempunyai struktur, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.

Menurut Riffaterre (1978: 5)  pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata  berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami   dengan kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya dengan teks lain.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Blog, Dipa Nugraha S., S.S., M.M. 20 oktober 2013. 19.25. WIB. (http://dipanugraha.blog.com/2011/04/18/sastra-dan-Intertekstualiti/).

http://sastra33.blogspot.com/2011/05/teori-sastra-11-Intertekstualiti.html. (20 oktober 2013, 19.24pm. A,T: Sastra 33._).

I Wayan Jatiyasa Tuminggal. Label: APRESIASI SASTRA, SASTRA, TEORI SASTRA 6:26:00 AM. http://iwayanjatiyasatumingal.blogspot.com/2013/05/teori-Intertekstualiti.html.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Uman Rejo. http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/teori-Intertekstualiti-dalam-sastra-bandingan. (20.0ktober 2013, 19.26pm).

 

No comments:

Post a Comment