Monday 15 November 2021

MAKALAH PENDIDIKAN AKHLAK KAUM QADARIAH

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilahSyiah, KhawarijJabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

Di era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.

Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pengertian Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?

2.      sekte sekte pemahaman qadariah

3.      tokoh tokoh mu’tazilah dan pemikiranya

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk Mengetahui Pengertian Aliran Jabariyah , Qadariyah, dan Mu’tazilah

2.     agar memaham sekte sekte pemahaman qadariah

3.     untuk mengetahui tokoh tokoh mu’tazilah dan pemikiranya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    ALIRAN JABARIYAH      

1.      Pengertian Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

.

Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah

Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :

a.       Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.

b.      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.

c.       Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)

d.      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.

e.       Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.

f.       Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.

g.      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.

h.      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah

 

B.     ALIRAN QADARIYAH

1.      Pengertian Dan Penisbatan Paham Qadariyah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

 

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free willfreedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah menentukan segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun.

 

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa:“kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.

 

Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:

a.         Tersebar luasnya madzhab asy’ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu’tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy’ariyah yang mayoritas.

b.        Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi

 Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.

Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:

 

a.       Tersebar luasnya madzhab asy'ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu'tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy'ariyah yang mayoritas.

b.      Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi

 

2.    Asal Usul Kemunculan Paham Qadariyah

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.

Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi

Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu ‘anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya.

 

7.  Sekte Paham Qadariyah

Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.

Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.

  1. Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
  2. Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
  3. Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal jamaah).

Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:

  1. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir
  2. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.

Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:

Artinya:

“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah..

 

C.    ALIRAN MU’TAZILAH

1.      Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah

a.      Pengertian

Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.

Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.

Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.

Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.

Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).

Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.

 

b.   Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah

Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :

1.      Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.

 

2.       Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.

 

3.      Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.

 

4.      Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.

 

5.      Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

 

c.    Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah

Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah

Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :

a.      Tauhid

Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).

Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya.

 

d.   Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.

 

e.      Kelompok – kelompok Mu’tazilah

Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :

1.      Mu’tazilah Ekstrim

Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.

Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.

2.      Mu’tazilah Moderat

Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.

 

f.      Perkembangan  Mu’tazilah

              Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.

                 Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.

 

              Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.

 

              Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).

         Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.

            Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.

         Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.

 

g.      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya

 

a.       Wasil bin Atha’

    Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

b.      Abu Huzail al-Allaf

    Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

c.       Abu Huzail al-Allaf

    Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.

d.      Al-Jubba’i

    Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

e.       An-Nazzam

    An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.

Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.

 

B.    Saran

Setiap muslim bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Al-Dar Al-Fikr: Beirut. Press, Jakarta, 1986.Watt, Montgomery. W. Islamic Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburg University, 1992.Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisis perbandingan, UI http:// blogspot.co.id/2017/04/ aliran-jabariyah.html.

http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D

 http://cakrowi.blogspot.com/.../kajian-ilmu-kalam-qadariah-dan-jabariah.

 http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/03/10/asal-usul-pandangan-dan-pendapat-aliran-jabariyah/

http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com/

http://gusriwandi.blogspot.com/2012/03/aliran-dalam-ilmu-kalam-qadariyah-dan.html

http://fahimganteng.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html

Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya. Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007

Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996.

Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1990.

https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqah-qadariyah-gen-firqoh-dan-akar-bidah/.

https://shafavolefel.wordpress.com/2015/12/16/contoh-makalah-qadariyah/

http://karyacombirayang.blogspot.co.id/2015/10/aliran-qadariyah.html

http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/10/aliran-qadariyah.html

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.

Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.

Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia

Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS

Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-usul.htmlhttp://www.fauzulmustaqim.com/2015/11/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html

 

No comments:

Post a Comment