Sunday 31 March 2019

ASKEP PADA IBU NIFAS DENGAN POST PARTUM BLUES

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum wanita menganggap bahwa kehamilan adalah peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian wanita mengganggap sebagai peristiwa khusus yang sangat menentukan kehidupan selanjutnya. Perubahan fisik dan emisional yang kompleks, memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi. Konflik antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosial cultural dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat.
Masa nifas adalah suatu masa dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun psikologis terhadap proses melahirkan yang lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain itu pengertian masa nifas adalah masa mulainya persalinan sampai pulihnya alat-alat dan anggota badan yang berhubungan dengan kehamilan/persalinan (Ahmad Ramli. 1989).
Dari dua pengertian di atas kelompok meyimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta psikososial yang berhubungan dengan kehamilan/persalinan selama 6 minggu. Dalam proses adaptasi pada masa postpartum terdapat tiga metode yang meliputi ”immediate puerperineum” yaitu 24 jam pertama setelah melahirkan, ”early puerperineum” yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu, dan ”late puerperineum” yaitu setelah satu minggu sampai 6 minggu postpartum.
Perubahan psikologi pascapartum pada seorang ibu yang baru melahirkan terbagi dalam tiga fase:

1.      taking in dimana pada fase ini ibu ingin merawat dirinya sendiri, banyak bertanya dan bercerita tentang pengalamannya selama persalinan yang berlangsung 1 sampai 2 hari.
2.      taking hold dimana pada fase ini ibu mulai fokus dengan bayinya yang berlangsung 4 sampai 5 minggu.
3.      fase letting-go dimana ibu mempunyai persepsi bahwa bayinya adalah perluasan dari dirinya, mulai fokus kembali pada pasangannya dan kembali bekerja mengurus hal-hal lain.
Perubahan tersebut merupakan perubahan psikologi yang normal terjadi pada seorang ibu yang baru melahirkan. Namun, kadang-kadang terjadi perubahan psikologi yang abnormal. Gangguan psikologi pascapartum dibagi menjadi tiga kategori yaitu postpartum blues atau kesedihan pascapartum, depresi pascapartum nonpsikosis, dan psikosis pascapartum. Pada makalah ini kami akan membahas secara khusus mengenai post partum blues. Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun segi psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang oleh para peneliti dan klinisi disebut post-partum blues.

B.       Tujuan
1.      Tujuan Umum
v  Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi yang dimaksud dengan gangguan psikologis pada ibu masa postpartum khusunya post partum Blues.
2.   Tujuan Khusus
v  Untuk mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan Asuhan keperawatan pada Gangguan psikologis ibu postpartum.
v  Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawatan.
v  Memenuhi salah satu tugas perkuliahan Keperawatan Maternitas.
BAB II
KONSEP DASAR

A.      Pengertian
Post partum blues adalah keadaan di mana seorang ibu mengalami perasaan tidak nyaman (kesedihan atau kemurungan)/gangguan suasana hati setelah persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan dirinya sendiri. Ketika plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan hormon yang melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh Ibu, yang dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosional Ibu.
Post-partum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca-salin yang disebut sebagai ‘milk fever’ karena gejala
disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues (PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan.

B.       Etiologi
Etiologi atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum diketahui. Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya postpartum blues, antara lain:
1.      Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estradiol. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi noradrenalin dan serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.

2.      Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
3.      Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
4.      Latar belakang psikososial ibu, seperti; tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, sosial ekonomi serta keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya (suami, keluarga dan teman). Apakah suami menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga, dan teman memberi dukungan moril (misalnya dengan membantu pekerjaan rumah tangga, atau berperan sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya atau timbul permasalahan, misalnya suami yang tidak membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun persoalan lainnya dengan suami, problem dengan orang tua dan mertua, problem dengan si sulung.
5.      Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami peristiwa kehidupan yang menakan. Ibu mengalami ketakutan pada bayinya tentang adanya ketidaksempurnaan pada bayinya.
Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan  bahwa depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat obstetrical) dalam pertolongan melahirkan dapat memicu depresi postpartum blues ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar,, episiotomy dan sebagainya. Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap sebagai factor  pemicu.

C.      Manifestasi Klinis
Gejala-gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau ke-6 hari setelah melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya Ibu sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahagia, penakut, tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit kepala sering berganti mood, mudah tersinggung (iritabilitas), merasa terlalu sensitif dan cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang semula sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat keputusan, merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja di lahirkan , insomnia yang berlebihan. Gejala-gejala itu mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression.

D.        Patofisilologi
Sejarah kehamilan adalah factor utama yang bisa menimbulkan terjadinya baby blues ini atau biasa dikenal dengan post partum blues. Riwayat seperti kehamilan yang tidak di inginkan, adanya problem dengan orang tua atau mertua, kurangnya biaya untuk persalinan, kurangnya perhatin yang diberikan pada si ibu dan factor  ari etiologi serta factor psikolog lainnya  merupakan penyebab utama. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi nonadrenalin dan serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.  Karena proses ini pula seorang ibu setelah melahirkan mengalami perubahan pada tingkat emosional.
Biasanya ibu akan mengalami kenaikan dalam resons psikologisnya, sensitive dan lebih membutuhkan perhatian, kasih sayang dari orang di sekitarnya yang di anggap penting baginya. Keabnormalitasan pada post partum blues ini mengakibatkan rasa tidak nyaman, kecemasan yang mendalam pada diri ibu, tek jarang terkadang seorang ibu menangis tanpa sebab yang pasti. Khawatir pada bayinya dengan kekhawatiran yang berlebihan

E.       Pemeriksaan Diagnostik
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara langsung post partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi post partum blues bila memenuhi kriteria gejala yang ada. Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu yang mengalami kelelahan luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang mengalami post partum blues mempunyai jumlah kadar tyroid yang sangat rendah.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.

F.       Penatalaksanaan
Post-partum blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang ‘berjuang’ sendiri dalam beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah namun mereka sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka pergi mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya Untuk minta pertolongan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami post-partum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penanganannya.
Post-partum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.

G.        Pencegahan
Post partum blues dapat dicegah dengan cara :
1.      Anjurkan ibu untuk merawat dirinya, yakinkan pada suami atau keluarga untuk selalu memperhatikan si ibu
2.      Menu makanan yang seimbang
3.      Olah raga secara teratur
4.      Mintalah bantuan pada keluarga atau suami untuk merawat ibu dan bayinya.
5.      Rencanakan acara keluar bersama bayi berdua dengan suami
6.      Rekreasi

H.        Asuhan Keperawatan Post Partum Blues
1.    Pengkajian
Pengkajian pada pasien post partum blues menurut Bobak ( 2004 ) dapat dilakukan pada pasien dalam beradaptasi menjadi orang tua baru. Pengkajiannya meliputi ;
a.       Identitas lengkap klien meliputi : Data diri klien : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record.
b.      Dampak psikologis klien, meliputi :
·         Perasaan ibu setelah melahirkan anaknya.
·         Pengalaman dalam persalinan sangat berbeda dari yang diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi epidural, kelahiran sesar), orang tua bisa merasa kecewa karena tidak bisa mencapai yang telah direncanakan sebelumnya.
·         konsep diri, citra tubuh, dan seksualitas  pada ibu.
·         Apakah anak yang dilahirkan merupakan anak yang di harapkan??
·         Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan tubuhnya selama masa nifas dapat mempengaruhi perilaku dan adaptasinya dalam menjadi orang tua.
·         Sering timbul rasa khawatiran bagi orang tua baru.
·         Ibu mengalami ketergantungan pada alcohol dan rokok.
·         Kurangnya perhatian dan kasih saying dari orang yang di anggap berarti.
·         Adanya permasalahan dengan pembiayaan saat persalinan.
·         Kurangnya kasih sayang yang di rasakan ibu saat masih usia anak-anak.
·         Adanya keinginan bunuh diri pada masa sebelum kehamilan.

Sedangkan Pengkajian Dasar data klien menurut Marilynn E. Doenges ( 2001 ) Adalah :
a.       Aktivitas / istirahat Insomnia mungkin teramati.
b.      Sirkulasi : Episode diaforetik lebih sering terjadi pada malam hari.
c.       Integritas Ego : Peka rangsang, takut/menangis (" Post partum blues " sering terlihat kira-kira 3 hari setelah kelahiran).
d.      Eliminasis : Diuresis diantara hari ke-2 dan ke-5.
e.       Makanan/cairan : Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan mungkin pada hari – hari ke-3.
f.       Nyeri/ketidaknyamanan : Nyeri tekan payudara/pembesaran dapat terjadi diantara hari ke-3 sampai ke-5 pascapartum.

2.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien postpartum blues diantaranya Adalah :
a.       Nyeri akut berhubungan dengan trauma mekanis.
b.      Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu berkaitan perubahan emosional yang tidak stabil pada ibu.
c.       Gangguan pola tidur berhubungan dengan Respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan setelah melahirkan.
d.      Risiko tinggi terhadap perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan pengaruh komplikasi fisik dan emosional.
e.       Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber – sumber.

3.        Intervensi Keperawatan
a.       Dx I : intervensi :
1.      Tentukan adanya, lokasi, dan sifat ketidaknyamanan.
2.      Inspeksi perbaikan perineum dan epiostomi.
3.      Berikan kompres es pada perineum, khususnya selama 24 jam pertama setelah kelahiran.
4.      Berikan kompres panas lembab (misalnya ; rendam duduk / bak mandi)
5.      Anjurkan duduk dengan otot gluteal terkontraksi diatas perbaikan episiotomy.
6.      Kolaborasi dalam pemberian obat analgesik 30-60 menit sebelum menyusui.
b.      Dx II : intervensi :
1.      Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk ibu post partum
2.      Hindarkan factor yang dapat menimbulkan emosi.
3.      Berikan pengertian pada keluarga tentang perubahan yang di alami oleh klien.
4.      Berikan pengertian pada keluarga klien untuk lebih bersabar.
5.      Ajarkan teknik relaksasi pengalihan perhatian jika klien merasakan kejenuhan.
c.       Dx III : Intervensi
1.      Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan untuk istirahat.
2.      Kaji factor-faktor, bila ada yang mempengaruhi istirahat.
3.      Berikan informasi tentang kebutuhan untuk tidur/istirahat setelah kembali ke rumah.
4.      Berikan informasi tentang efek-efek kelelahan dan ansietas pada suplai ASI.
5.      Kaji lingkungan rumah, bantuan dirumah, dan adanya sibling dan anggota keluarga lain.
d.      Dx IV : intervensi :
1.      Kaji kekuatan, kelemahan, usia, status perkawinan, ketersediaan sumber pendukung dan latar belakang budaya.
2.      Perhatikan respons klien/pasangan terhadap kelahiran dan peran menjadi orang tua.
3.      Evaluasi sifat dari menjadi orangtua secara emosi dan fisik yang pernah dialami klien/pengalaman selama kanak-kanak.
4.      Tinjau ulang catatan intrapartum terhadap lamanya persalinan, adanya komplikasi, dan peran pasangan pada persalinan.
5.      Evaluasi status fisik masa lalu dan saat ini dan kejadian komplikasi pranatal, intranatal, atau pascapartum.
6.      Evaluasi kondisi bayi ; komunikasikan dengan staf perawatan sesuai indikasi.
7.      Pantau dan dokumentasikan interaksi klien/pasangan dengan bayi.
8.      Anjurkan pasangan/sibling untuk mengunjungi dan menggendong bayi dan berpartisipasi terhadap aktifitas perawatan bayi sesuai izin.
9.      Kolaborasi dalam merujuk untuk konseling bila keluarga beresiko tinggi terhadap masalah menjadi orang tua atau bila ikatan positif diantara klien/pasangan dan bayi tidak terjadi.
e.       Dx V : intervensi :
1.      Pastikan persepsi klien tentang persalinan dan kelahiran, lama persalinan, dan tingkat kelelahan klien.
2.      Kaji kesiapan klien dan motivasi untuk belajar.
3.      Berikan informasi tentang perawatan diri, termasuk perawatan perineal dan higiene, perubahan fisiologis.
4.      Diskusikan kebutuhan seksualitas dan rencana untuk kontrasepsi.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Postpartum blues yaitu suatu perasaan bercampur aduk.
2.      Penyebab postpartum blues belum diketahui secara pasti.
3.      Penderita postpartum dapat dideteksi melalui skrinning yaitu dengan kuisioner yang berupa pertanyaan tentang rasa cemas.
4.      Asuhan keperawatan pada pasien postpartum blues pada dasarnya harus holistik yaitu menyeluruh dari bio-psiko-sosio-spiritual dan melibatkan orang tua si anak yaitu ayah dan ibu si anak

B.  Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan pelayanan Keperawatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan untuk para tim medis agar dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang keperawatan sehingga dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health education dalam perawatan depresi postpartum blues.













DAFTAR PUSTAKA


Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar: Keperawatan Maternitas edisi-4. Jakarta: EGC.

Diposting oleh Agus Sutiono dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Konsep Dasar dan Askep Postpartum Blues. http://agussutionopathy.blogspot.com/2008/05/bab-i-tinjauan-pustaka-konsep-dasar.html. diakses tanggal 09 januari 2011.

Diposting Oleh zietraelmart dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Ilmu Jiwa Kebidanan.http://zietraelmart.multiply.com/journal/item/8/POST_PARTUMBLUES. diakses tanggal 09 januari 2011.

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made,  Jakarta : EGC.

No comments:

Post a Comment