Tuesday 5 October 2021

ASUHAN KEPERAWATAN BENCANA GEMPA BUMI PADA ANAK

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Secara geologis dan hidrologis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana alam. Salah satunya adalah gempa bumi dan potensi tsunami. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng tersebut.

Sumber bencana bisa berasal dari alam, seperti banjir, kebakaran, angiun topan, dan gempa bumi, bisa juga berasal dari kecelakaan teknologi, seperti kecelakaan pesawat, minyak tumpah, pembuanagn bahan kimia, terorisme maupun perlakuan kekerasan. Kemunculan bencana ini bisa terjadi secara perlahan tetapi bia juga secara tiba-tiba bahkan tidak terduga. Kesamaannya adalah bahwa bencana berpotensi untuk mengakibatkan gangguan dalam masyrarakat secara meluas, seperti pengungsian, kehilangan sumber nafkah, kerusakan property, kematian dan luka fisik, dan juga penderitaan emosi.

Resiko becana ini dalam kemunculannya secara global adalah sesuatu yang dihasilkan secara kompleks dari gabungan factor lingkungan, demografi, teknologi, dan kondisi sosial ekonomi. Perubahan cuaca dan degradasi lingkungan, perkembangan populasi, meningkatnya urbanisasi, pembangunan yang tidak berkesinambungan di daerah rawan bencana, teknologi yang berisiko, kesenjangan sosial ekonomi mempunyai peran yang besar dalam peningkatan jumlah bencana alam secara dramatis. (Perrow 2006; Swiss Re 2007). Jumlah bencana alam yang tercatat secara global meningkat dari 100 pada tahunn 1975 menjadi lebih dari 400 di tahun 2007 (UNHABITAT 2007).

Tidak terhitung jumlah kerusakan dan kerugian materi serta korban jiwa. Lebih dari 255 juta orang pertahun terkena dampak dari bencana (Conference on Disaster Reduction 2005). Meskipun bencana terjadi secara global tetapi dampaknya tidak terdistribusi secara merata, dengan 98% mengenai penduduk di Negara berkembang (UN-HABITAT 2007).

 

 

 

Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas hidup penduduk, termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang dihadapi setelah terj adi bencana adalah pelayanan kesehatan terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan korban bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan. Salah satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting Puskesmas dalam penanggulangan bencana (Departemen Kesehatan RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001).

Literatur atau sumber pustaka tentang bencana menunjukkan bahwa reaksi anak dan remaja akibat bencana alam (seperti gempa bumi, banjir atau gunung meletus) dan bencana akibat ulah tangan manusia (seperti kecelakaan dan perang) tergantung tingkat perkembangan mereka masing-masing. Reaksi anak-anak ini sering memperlihatkan sebagai masalah psikologis yang luas. Anak usia pra sekolah menunjukkan masalah psikologis yang rendah jika dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan remaja, tetapi mereka memiliki insiden trauma yang lebih tinggi seperti ketakutan dan masalah perilaku (seperti ketergantungan dan tidak mampu mandiri). Respon anak usia sekolah termasuk gangguan makan dan tidur, depresi, kecemasan dan pandangan pesimis tentang masa depan. Masalah-masalah ini dikenal dengan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).

Meskipun banyak korban bencana usia anak dan remaja memperlihatkan beberapa jenis reaksi pasca bencana, penelitian klinis menunjukkan bahwa gejala-gejala tergantung pada usia. Memang penelitian menunjukan bahwa usia adalah faktor kunci pemahaman anak terhadap bencana. Usia sebagai indeks ketrampilan perkembangan, merefleksikan perbedaan kemampuan anak untuk memahami apa sebenarnya bencana atau kejadian yang dapat menyebabkan trauma dan keterlibatan mereka dalam kejadian tersebut (Vogel & Venberg, 1993).

Terlepas dari kesiapan kita, Ketika terjadi bencana alam, anak-anaklah yang paling rentan terkena dampaknya. Terutama sekali jika pada saat kejadian, anak-anak sedang belajar di sekolah. Gempabumi di Pakistan pada bulan Oktober 2005 menyebabkan lebih dari 16 ribu anak-anak meninggal akibat runtuhnya gedung sekolah. Longsorlahan di Leyte, Philipina menewaskan lebih dari 200 anak sekolah. Dari dua contoh kejadian tadi, seharusnya kita berupaya melindungi anak-anak kita sebelum bencana terjadi.

Anak, yang didefinisikan oleh Konvensi hak Anak PBB sebagai individu berusia 18 tahun atau lebih muda, mewakili jumlah yang signifikan dalam kelompok yang terkena dampak parah dari bencana. Pada akhir  abd 20, bencana membawa dampak pada 66.5 juta anak setiap tahun. – (Penrose and Takaki 2006). Jumlah ini berlipat tiga kali dalam decade abad 21 dengan 175 anak setiap hari terkena dampak bencana dari perubahan iklim. Dalam kenyataannya kurangya focus pada anak dalam bencana dikarenakan adanya asumsi bahwa anak tidak terkena dampak secara serius dan bereaksi sementara terhadap bencana (La Greca et al. 2002; La Greca, Silverman, and Wasserstein 1998). 

Anderson (2005) mengemukakan bahwa  penelitian sosial mengenai anak dalam bencana juga masih kurang, dan hal ini dikarenakan status sosial anak dalam masyarakat yang menempatkan anak sebagai individu yang belum bisa berperan alam fungsi kemasyarakatan. Dengan keadaan demikian anak sering tidak diperhitungkan dalam tanggap bencana maupun aktifitas di dalamnya (Anderson 2005).

Pada kenyataannya, anak justru mewakili kelompok rentan. Bayi dan anak kecil khususnya, secara fisik sangat rentan terhadap bencana yang tiba-tiba muncul ataupun bencana kronis. Ini dikarenakan anak masih sangat tergantung pada orang dewasa. Selain rentan fisik, anak yang sedikit berusia lebih dewasa rentan pada gangguan emosi dan psikis yang mucul akibat bencana. Kita harus mengenali berbagai macam kerentanan fisik dan emosi yang diderita anak supaya kita bisa memeberikan perlindungan dan pertolongan yang sesuai. Selain itum tanpa ada focus khusus pada anak, kebutuhan khusus mereka mungkin tidak terpenuhi. Setelah bencana terjadi, kita tidak bisa berasumsi bahwa kebutuhan anak sudah terpenuhi jika kebutuhan orangtua sudah terpenuhi. Berdasarkan umur dan tahap perkembangan, anak membutuhkan dukungan fisik, sosial, mental, dan emosional yang berbeda dari orang dewasa. Terlebih bila orang dewasa juga mengalami masalah karena dampak bencana, mereka mungkin tidak bisa memberikan bantuan dan dukungan keamanan dan keselamatan pada anak. Anak juga tidak diuntungkan dengan ketidakmapuan mereka untuk mengartikulasikan stress dan mencari pertolongan (Silverman and La Greca 2002).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUN TEORI

 

A.      PENGERTIAN

1.      Pengertian gempa

Gempa bumi (earthquake) adalah getaran yang terasa dari permukaan bumi, cukup kuat untuk menghancurkan bangunan utama dan membunuh ribuan orang. Tingkat kekuatan getaran berkisar dari tidak dirasakan hingga cukup kuat untuk melemparkan orang di sekitar. Gempa bumi merupakan hasil dari pelepasan tibatiba energi dalam kerak bumi yang menciptakan gelombang seismik. Kegempaan, seismism atau aktivitas seismik pada suatu daerah mengacu pada frekuensi, jenis dan ukuran gempa bumi yang terjadi selama periode waktu tertentu. Ketika episentrum gempa besar terletak di lepas pantai, dasar laut akan tergerus dan cukup untuk menimbulkan tsunami. Gempa bumi juga bisa memicu tanah longsor, dan aktivitas vulkanik sesekali.

Gempa bumi diukur dengan menggunakan alat dari seismometer. Moment magnitude adalah skala yang paling umum di mana gempa bumi dengan magnitude sekitar (skala) 5 dilaporkan untuk seluruh dunia. Sedangkan banyaknya gempa bumi kecil kurang dari 5 magnitude dilaporkan oleh observatorium seismologi nasional diukur sebagian besar pada skala magnitude lokal, atau disebut juga sebagai Skala Richter. Kedua ukuran itu sebenarnya sama selama rentang pengukurannya valid.

Besaran gempa dengan skala 3 magnitude atau kurang kebanyakan sering tidak dapat dirasakan dipermukaan atau disebut lemah. Namun jika besaran magnitude dengan skala 7 atau lebih besar akan berpotensi menyebabkan kerusakan serius disebuah daerah, tergantung pada kedalaman mereka. Gempa bumi terbesar yang terjadi pada dekade ini dengan skala lebih dari 9 magnitude atau lebih adalah terjadi di Jepang pada tahun 2011 (semenjak tulisan ini dibuat), dan itu adalah gempa Jepang terbesar sejak pencatatan dimulai. Intensitas getaran diukur pada skala Mercalli yang dimodifikasi. Karena merupakan gempa dangkal sehingga gempa tersebut menyebabkan semua struktur bangunan rata dengan tanah.

 

2.      Penyebab Alami Gempa Bumi

Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang disebabkan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi. Gempa tektonik terjadi di mana saja di bumi di mana ada energi yang tersimpan regangan elastis yang cukup untuk mendorong perambatan fraktur disepanjang bidang patahan (seperti gelang karet yang ditarik kemudian dilepas tiba-tiba).

 

 

Sisi patahan bergerak melewati satu sama lain dengan lancar dan secara seismik hanya jika tidak ada penyimpangan atau asperities (tingkat kekasaran permukaan lempeng di zona subduksi) sepanjang permukaan patahan yang meningkatkan hambatan gesek. Kebanyakan permukaan patahan memiliki asperities tersebut dan ini mengarah ke bentuk stick-slip behaviour. Kadangkala ketika patahan terkunci, dan terus terjadi gerakan relatif antara lempeng akan menyebabkan meningkatnya tekanan dan karenanya energi regangan tersimpan dalam sekitar permukaan patahan. Ini terus berlanjut sampai tekanan telah meningkat cukup untuk menerobos asperity, kemudian secara tiba-tiba memungkinkan meluncur di atas bagian yang terkunci dari patahan, dan melepaskan energi yang tersimpan (Ohnaka, 2013). Energi ini dilepaskan sebagai kombinasi dari radiasi gelombang seismik regangan (elastis), panas dari gesekan permukaan patahan, dan retakan dari batuan, sehingga menyebabkan gempa bumi (Ohnaka, 2013).

Proses bertahap build-up dari tegangan dan tekanan yang diselingi oleh sesekali kegagalan gempa secara tiba-tiba disebut sebagai teori elastic-rebound. Diperkirakan bahwa hanya 10 persen atau kurang dari total energi gempa yang dipancarkan sebagai energi seismik. Sebagian besar energi yang digunakan untuk daya gempa perkembangan fraktur gempa atau hasil dari panas yang dihasilkan oleh gesekan. Oleh karena itu, gempa bumi skala tersedia dari bumi yang merupkan energi potensial bumi dan kenaikan suhu, meskipun perubahan ini diabaikan dibandingkan dengan arus konduktif dan konvektif alur panas yang keluar dari interior yang dalam bumi (Spence, Sipkin, & Choy, 1989).

Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung api. Gempa bumi seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun) juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan dari/ke dalam Bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain Arsenal). Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi. berkekuatan 7 melepaskan 900 kali (30 × 30) lebih banyak energi daripada 5 magnitude gempa. Sebuah gempa berkekuatan 8,6 melepaskan jumlah energi yang sama seperti 10.000 bom atom seperti yang digunakan pada Perang Dunia II (USGSb , 2015)

 

 

 

 

 

 

 

B.        ANAK Pada Masa Emergency Bencana Gempa Bumi

 Pengetahuan mitigasi bencana pada anak-anak perlu dilakukan melalui pendekatan dari keluarga maupun sekolah tempat anak. Keluarga dapat memfasilitasi anak melalui buku-buku mitigasi bencana yang dapat diakses di media sosial maupun dari anggota keluarga yang secara langsung mempunyai pengalaman atau riwayat kerja di lingkup BNPB. Selain dari keluarga, sekolah yang merupakan rumah kedua dari anak juga dapat memfasilitasi dengan menjadwalkan untuk bekerja sama dengan Badan atau Organisasi Penanggulangan Bencana, seperti BNPB, BPBD, TAGANA, dan sebagainya. Selain itu, sekolah bisa juga melakukan kerja sama dengan para relawan bencana yang biasa bertugas. Pengenalan bencana pada anak-anak perlu dilakukan melalui tutur bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti oleh mereka. Penyampaian melalui cerita atau media bergambar dapat memfasilitasi anak untuk tahu tentang antisipasi atau mitigasi bencana.

 Jika terjadi gempa yang berada di sekolah, ini yang harus dilakukan

1.      Tetap tenang

Carilah  tempat untuk berlindung dari reruntuhan, contohnya meja disekitar kelas

2.      Berlindung

Lalu berlindung dengan cara menggunakan benda di sekeliling untuk melindungi kepala dan leher  dari reruntuhan

3.      Bertahan

Jika berlindung di bawah meja, bertahanlah sampil berpegangan sampai guncangan berhenti

Tindakan jika gempa bumi menguncang secara tiba-tiba, berikut ini terdapat 10 petunjuk yang dapat dijadikan pegangan dimanapun anda berada

1.      Di dalam rumah

Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda harus mengupayakan keselamatan diri anda dan keluarga anda. Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda. Jika anda tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal. Jika anda sedang menyalakan kompor maka matikan segera untuk mencegah terjadinya kebakaran.

2.      Di sekolah

Berlindunglah di bawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas atau buku, jangan panik, jika gempa mereda keluarlah berurutan mulai dari jarak yang terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan berdiri dekat gedung, tiang dan pohon.

3.      Di luar rumah

Lindungi kepala anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca dan papanpapan reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas atau apapun yang anda bawa.

4.      Di pusat perbelanjaan

Jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari pegawai atau satpam.

5.      Di dalam lift

 Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran. Jika anda merasakan getaran gempa bumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia.

6.      Di kereta api

Berpeganganlah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh seandainya kereta dihentikan  secara mendadak. Bersikap tenanglah mengikuti penjelasan dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi petugas kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.

7.      Di dalam mobil

Saat terjadi gempa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak terkunci.

8.      Di dalam mobil

Ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami. Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak, cepatlah mengungsi ke dataran yang tinggi.

9.      Beri Pertolongan

Sudah dapat diramalkan bahwa banyak orang akan cedera saat terjadi gempa bumi besar. Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian maka bersiaplah memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang berada di sekitar anda.

 

10.  Dengarkan  Informasi

Saat gempa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat memperoleh informasi yang benar dari pihak berwenang, polisi, atau petugas lainnya. Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas

 

C.      ANAK PADA MASA RECOVERY BENCANA GEMPA BUMI

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari Kesiapsiagaan Bencana 2019 mengemukakan bahwa tren bencana yang terjadi di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data, jumlah kejadian bencana yang telah terjadi di Indonesia sebanyak 2.572 kasus dan telah menyebabkan puluhan ribu korban manusia, baik yang meninggal maupun yang mengalami luka-luka. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun tak luput dari kejadian bencana tersebut. Anak-anak perlu mendapatkan perhatian khusus ketika peristiwa bencana terjadi, alasan yang sederhana karena anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang rentan menjadi korban saat terjadinya bencana.

Para pengungsi menempati tenda-tenda darurat yang mereka buat menggunakan bahan-bahan sisa reruntuhan bangunan seperti kayu, seng, bilik bambu atau plastik. Anak dan perempuan tidur dalam tenda yang sama; sedang laki-laki dewasa menempati tenda yang berbeda. Tempat pengungsian ini berada di pinggir jalan, di ujung-ujung kampung, atau di lapangan terbuka. Walau sudah menggunakan tikar atau terpal sebagai alas lantai, akan tetapi kalau hujan pasti menggenang. Tiga malam pertama pasca gempa turun hujan lebat, sehingga para pengungsi berdiri sampai hujan reda dan tanah kering; sedangkan anak-anak digendong oleh orang tua mereka.

Di daerah Bambanglipuro anak dan lansia tinggal dalam bak belakang truk dengan alasterpal; di mana mereka tidur di tempat itu dengan alasan untuk memudahkan untuk evakuasi jika ada bencana susulan. Di Seloharjo (Pundong) anak dan lansia tinggal kandang peternakan ayam; di mana kondisi itu ditemukan juga di Ganjuran (Samas). Bantuan tenda sudah mulai berdatangan, akan tetapi kebutuhan untuk melindungi bayi dan balita masih sangat kurang sekali.

Anak-anak di Pulokandang tinggal dalam tenda-tenda darurat; di mana mereka tinggal bersama ibu mereka. Dalam 1 tenda ukuran 2×7 m2 digunakan oleh 4-6 KK atau sekitar 8-16 orang yang terdiri atas anak-anak dan ibu-ibu. Di beberapa tempat ada tenda ukuran 3×4 m2 yang dihuni sampai 12 orang. Tenda darurat tersebut tidak tertutup rapat dengan alas tikar dan plastik. Di daerah Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul yang berdekatan dekat kota Yogyakarta; masyarakat yang berada di tepi sungai membuat tempat perlindungan darurat di dekat rumah mereka. Anak-anak ada yang tidur dalam tempat tidur yang bagian atas diberi plastik sebagai peneduh. Anak yang tidur di sini sebanyak tiga orang anak beserta ibunya.

Lebih lanjut Galante & Foa melakukan survey terhadap 300 anak sekolah (SD) 6 bulan setelah gempa bumi, mereka melaporkan variasi ketakutan yang riil dan fantasi dan mereka merasa takut lagi pada saat ulang tahun kejadian. Anak usia sekolah juga menunjukkan kemunduran dalam sekolah, setelah kejadian bencana. Secara khusus masalah paska bencana dan diskontinuitas kondisi kehidupan menyebabkan maslah-masalah sekolah. Anak tidak tertarik dengan aktifitas sekolah dan masalah somatik seperti sakit kepala mempengaruhi kehadiran sekolah (Gurwitch, 2004).

Contohnya Mc.Farlan dkk (1987) menemukan bahwa anak korban bencana mengalami penurunan penampilan dan tingkat jehadiran di sekolah. Lebih lanjut Taylor (1994) menganalisis fungsi akademik anak sebelum dan sesudah bencana, 3 bulan setelah angin topan, anak—anak yang mempunyai gejala paska bencana lebih besar menunjukkan prestasi akademik yang menurun dibanding anak dengan gejala paska bencana yang lebih sedikit atau ringan.

Ketika terjadi bencana gempa bumi, setiap orang merasakan gunjangan dan shoc terapi yang dahsyat dalam dirinya. Dapat kita bayangkan apabila hal tersebut dirasakan oleh anak-anak, dan disaat itu juga mereka melihat didepan mata kepalanya jenazah ayah, ibu atau adik dan kakaknya tewas akibat robohnya bangunan atau air tsunami yang menghantam deras. Sungguh keadaan yang akan selalu teringat dalam sejarah hidupnya kelak. Hal inilah yang dapat mempengaruhi kejiwaan anak pasca bencana. Berdasarkan pengalaman dilapangan. butuh waktu 3 – 5 bulan untuk dapat mngembalikan keceriaan anak-anak. Hal itupun harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam membimbing anak dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan.

Secara keseluruhan, anak sekolah yang selamat dari bencana memperlihatkan ketakutan pada tingkat yang tinggi, gejala somatik yang luas, masalah kognitif, perilakku dan masalah sosial. Masalah kognitif meliputi kurang konsentrasi, permasalahan membaca dan pemahaman dan menurunnya performance di sekolah. Masalah terkait perilaku diantaranya seperti perilaku menolak datang ke sekolah dan ketidakmampuan konsentrasi. Perilaku anak menjadi tidak konsisten seperti mudah marah, tidak sopan dan secara emosional menjadi sensitif. Oleh karena itu, teman sebayanya mungkin menjadi menderita karena perilaku ini. Mereka juga mungkin mengalamikehilangan support sosial seperti teman. Penelitian juga mengindikasikan bahwa perbandingan anak usia pra sekolah dengan anak usia sekolah erhadap tingkat gejala PTSD dan mempunyai pemahaman yang lebih tinggi pada ank usia sekolah terhadap pengalaman yang traumatic

Reaksi Spesifik terhadap Bencana atau Kejadian traumatik berdasarkan usia

1.      Somatik (Somatic) Kehilangan energi, keluhan fisik (sakit kepala, sakit perut), gangguan tidur

2.      Kognitif (Cognitive) Percaya terhadap kekuatan supernatural, distorsi tentang penyebab bencana, gangguan terhadap gambaran yang tidak diinginkan, suara, bau dan memori, kurang konsentrasi, performance dan level yang turun, kesedihan saat mengenang ulang tahun peristiwa.

3.      Emosional (Emotional) Marah, menolak,ekspresi kesalahan setelah aktivitas, kurang bantuan, kurang tertarik dengan aktifitas yang menyenangkan, moodiness, sedih, menyalahkan diri sendiri, mudah menangis, trauma, takut dan khawatir

4.      Perilaku (Behavioral) Respon mengejutkan, perilaku agresif (fighting), hiperaktif, hypervigilance, masalah dengan teman sebaya, mengulang cerita tentang trauma, permainan yang berhubungan dengan trauma, penolakan sosial dan emosional

 

1.        Dampak bencana

Dalam menjelaskan dampak bencana, perlu dipertimbangkan interseksi antara indikator sosial dan indikator lingkungan seperti kemungkinan resiko bencana, kualitas tempat tinggal lingkungan yang terbangun, status sosial ekonomi, genderm etnik, umur status kesehatan, pekerjaan, pendidikan, jaringan sosial, kemampuan akses, dll (Cutter, Boruff, and Shirley 2003). Dalamhal ini yang termasuk kategori rentan adalah orang miskin, perempuan, etnis minoritas, lansia, dan terlebih anak. Kelompok ini dikategorikasn sebagai kelompok yang rentan pada kerusakan, kehilangan, penderitaan, dan kematian dalam bencana (Wisner et al. 2004).

Anak mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seprti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengonrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety and tension in adults around them.

Setiap anak mempunyai respon yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemehaman dan pengerian mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi.

 

2.        Deteksi Dini: Kerentanan Pendidikan

Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu kepastian tempat tinggal mereka.

 

 Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih tinggi. Angka putus sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska bencana.

 

 

3.        Faktor Resiko Anak Paska Bencana

Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak adalah

a.       kematian orangtua atau orang yang dicintai anak

Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan terhadap praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan seksual. Perdagangan anak juga menjadi isue santer paska bencana ini, dimana anak yang tidak punya orangtua disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.

b.        nonintegrated family – separated children

Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari orangtuanya. Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua, anak batita dan balita adalah anak dalam kategori berisiko tinggi dalam hal ini karena mereka belum bisa menjelaskan jatidiri mereka, seperti nama orangtua, asal-usul, dsb. Anak-anak ini kebanyakan dipelihara oleh orang yang menemukan mereka atau tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa perlindungan.

c.       Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak

     Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi anak yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang baru merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan yang memberinya rasa nyaman.

 

4.        Apa yang di lakukan setelah terjadi gempa bumi:

1.      Tetap waspada terhadap gempa bumi susulan.

2.      Ketika berada di dalam bangunan, evakuasi diri anda setelah gempa bumi berhenti. Perhatikan reruntuhan maupun benda-benda yang membahayakan pada saat evakuasi.

3.      Jika berada di dalam rumah, tetap berada di bawah meja yang kuat.

4.       Periksa keberadaan api dan potensi terjadinya bencana kebakaran.

5.       Berdirilah di tempat terbuka jauh dari gedung dan instalasi listrik dan air. Apabila di luar bangunan dengan tebing di sekeliling, hindari daerah yang rawan longsor.

6.       Jika di dalam mobil, berhentilah di pinggir jalan, tetapi tetap berada di dalam mobil. Hindari berhenti di bawah atau di atas jembatan atau rambu-rambu lalu lintas.

 

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Bencana berdampak pada perkembangan anak, tidak saja merusak kegiatan dan kebiasaan sehari-hari anak, bencana mengakibatkan tertundanya sekolah dan akhirnya perkembangan pendidikan anak, kesempatan sosial anak, dan meningkatnya tekanan pada stress hidup sepeerti penyakit, kekerasan keluarga, dan alcohol. (Silverman and La Greca 2002). Bencana juga mengakibatkan anak terpisah dari orangtuanya, dari anggota keluarga, dan juga temannya. Mengakibatkan kematian orang-orang yangdicintai dan akhirnya memaksa anak untuk tinggal dengan lingkungan yang tidak familiar bahkan tidak bisa menerima mereka. Efek negative ini jelas mempunyai pengaruh yang buruk dagi kesehatan fisik dan emosioal anak sebagai “well being”.

Meskipun anak mempunyai kerentanan tinggi terhadap bencana, mereka bukan korban yang pasif. Anak dan pemuda dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan tanggap bencana di sekolah, dirumah an di masyarakat untuk meminimalkan resiko yang mungkin akan mereka hadapi dalam bencana. Memasukkan ”disaster risk reduaction” di sekolah adalah cara yang bagus untuk menjangkauketerlibatan anak. Anak-anak ini akan saling berkomunikasi mengenai informasi resiko dengan teman sebaya dan anggota keluarga. I Untuk mendidik anak mengenai bencana dan melibatkan mereka dalam kegiatan persiapan, materi harus disiapkan sesuai dengan umur.

Materi ini dikembangkan dan diseminasi melalui media elektronik. Anak juga mungkin  mempunyai ide praktis dan kreatif dalam membantu keluarga dan masyarakat sekitar untuk pulih dari bencana. Bencana menghancurkan ruang fisik anak dalam tumbuh belajar dan bermain – rumah mereka, lingkungan sekitar, sekolah, taman dan tempat bermain. Namun demikian orang dewasa jarang bertanya pada anak mengenai bagaimana mereka menginginkan ruang fisik mereka dibangun.Sistem dapat dibangun untuk melibatkan suara anak dalam pengambilan keputusan ini. Ada perbedaan antara “mendengarkan” anak berbicara dan menyimak apa yang mereka katakan.   

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A. Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors for Adolescent Alcohol Use Following a Natural Disaster http://pdm.medicine.wisc.edu Prehospital and Disaster Medicine Schroeder, Polusny 123 

Lauten, Anne Westbrook and Kimberly Lietz (2008). “A Look at the Standards Gap: Comparing Child Protection Responses in the Aftermath of Hurricane Katrina and the Indian Ocean Tsunami.” Children, Youth and Environments 18(1): 158-201. Available from: http://www.colorado.edu/journals/cye

Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T. Edwards (2008). “Disaster Risk Reduction and Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the Comprehensive Disaster Management Framework.” Children, Youth and Environments 18(1): 389-407. Available from: www.colorado.edu/journals/cye

Plutchik, R 2003. Emotions and Life: Perspective from psychology, biology, and evolution. Washington, DC:APA 

Ronan, Kevin R., Kylie Crellin, David M. Johnston, Kirsten Finnis, Douglas Paton and Julia Becker (2008). “Promoting Child and Family Resilience to Disasters: Effects, Interventions and Prevention Effectiveness.” Children, Youth and v fEnvironments 18(1): 332-353. Available from: www.colorado.edu/journals/cye

Santrock, J.W. 1999. Life Span Development. Seventh Edition. Boston: McGraw-Hill 

Weissbecker, Inka, Sandra E. Sephton, Meagan B. Martin, and David M. Simpson (2008). “Psychological and Physiological Correlates of Stress in Children Exposed to Disaster: Review of Current Research and Recommendations for Intervention.” Children, Youth and Environments 18(1): 30-70. Available from: www.colorado.edu/journals/cye.

 

No comments:

Post a Comment